Sifat Fisiko-Kimia Agar Terbaik

berbanding terbalik dengan kandungan sulfatnya. Berdasarkan hasil penelitian titik jendal dan titik leleh pada metode apung berbeda nyata dengan metode dasar, hal ini dapat diduga karena kadar 3,6-anhidro-L-galaktosa memiliki pengaruh yang berbeda nyata pada kedua metode. Tabel 3. Sifat fisiko-kimia agar terbaik Parameter Metode Apung Dasar Titik jendal o C 35,45 0,49 b 33,60 0,10 a Titik leleh o C 63,00 0,56 b 60,27 0,11 a Derajat putih 16,60 0,06 b 14,93 0,11 a 3,6-anhidro-l-galaktosa 37,52 0,45 b 36,35 0,08 a Sulfat 2,71 0,28 a 3,55 0,99 b Logam bobot ppm Pb Cu Zn Hg tidak terdeteksi 0,34 0,15 b 3,04±0,01 a tidak terdeteksi tidak terdeteksi 0,26 0,03 a 3,28±0,10 a tidak terdeteksi Keterangan : Huruf a,b yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan antara perlakuan bobot bibit p0,05 berdasarkan uji Duncan Multiple range Test. Berdasarkan hasil penelitian Purnawati 1992 menjelaskan bahwa suhu pembentukan gel erat kaitannya dengan kadar 3,6-anhidro-L-galaktosa. Adanya 3,6-anhidro-L-galaktosa dalam molekul agar menyebabkan sifat beraturan dalam rantai polimer bertambah dan sebagai akibatnya akan mempertinggi potensi pembentukan heliks rangkapnya, dengan demikian suhu pembentukan gel lebih cepat tercapai. Suryaningrum 1988 menyatakan bahwa suhu pembentukan gel berbanding lurus dengan kandungan 3,6-anhidro-L-galaktosa dan berbanding terbalik dengan kandungan sulfatnya. Menurut Whistler 1973 agar mempunyai temperatur leleh antara 60-97 o C pada konsentrasi 1,5. Perbedaan temperatur leleh dipengaruhi oleh jenis rumput laut, kondisi tempat tumbuh dan metode ekstraksi. Titik jendal pada metode penanaman apung lebih tinggi dibandingkan dengan metode penanaman dasar Tabel 5. Suhu pembentukan gel erat kaitannya dengan kadar 3,6-anhidro- L-galaktosa dan kadar sulfat. Peningkatan kadar 3,6-anhidro-L-galaktosa dan penurunan kadar sulfat akan meningkatkan suhu pembentukan gel Glicksman 1983. Satari 2001 menyatakan bahwa sifat agar antara lain dapat membentuk gel dalam larutan 1,5 agar membentuk gel yang stabil pada suhu 32-39 o C. Istini et al. 1986 menambahkan bahwa beberapa sifat dari agar adalah pada tidak larut dalam air dingin tetapi larut dalam air panas. Titik leleh gel adalah suhu dimana pertama kali gel mulai mengalami pelelehan. Titik pelelehan adalah suhu pada saat penguraian daerah simpulan junction zones menjadi struktur pilinan ganda double helix dan untuk selanjutnya berubah menjadi konformasi gulungan acak random coil Rees et al. 1969. Menurut Whistler 1973 agar mempunyai temperatur leleh antara 60 – 97 o C pada konsentrasi 1,5. Perbedaan temperatur leleh dipengaruhi oleh jenis rumput laut, kondisi tempat tumbuh dan metode ekstraksi. Derajat putih merupakan gambaran secara umum dari warna suatu bahan pada umumnya. Derajat putih agar diharapkan mendekati 100 karena agar yang bermutu tinggi biasanya tidak berwarna, sehingga aplikasinya lebih luas. Nilai derajat putih pada metode apung lebih tinggi dibandingkan nilai derajat putih pada metode dasar, hal ini diduga akibat pencucian yang kurang sempurna. Metode dasar lebih banyak tertempel oleh kotoran dibandingkan dengan metode apung. Tumbuhan lain pengganggu atau kotoran lain yang menempel dan sukar dipisahkan dalam pencucian, diduga menurunkan derajat putih tepung agar. Agar terdiri dari 3,6-anhidro-L-galaktosa dan galaktosa. Agar yang berkualitas baik mempunyai kandungan 3,6-anhidro-L-galaktosa dan nilai gel strength yang tinggi dangan kandungan sufat rendah.Kadar 3,6-anhidro-L- galaktosa ini biasanya berbanding lurus dengan kekuatan gel dari agar dan berbanding terbalik dengan kandungan sulfat yang dimiliki agar Utomo dan Satriyana 2006. Kadar 3,6-anhidro-L-galaktosa berbanding lurus dengan kekuatan gel dari agar dan berbanding terbalik dengan kandungan sulfat yang dimiliki agar Utomo dan Satriyana 2006. Peningkatan kekuatan gel sangat berkaitan dengan jumlah 3,6-anhidro-L-galaktosa dan sulfat yang terkandung dalam agar Rees 1969 dalam Utomo dan Satriyana 2006. Agar yang dihasilkan oleh metode apung memiliki kadar 3,6-anhidro-L-galaktosa yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan metode dasar Tabel 3. Menurut Maciel et al. 2007 3,6-anhidro-L-galaktosa dapat dipengaruhi oleh proses fotosintesis, respirasi dan kandungan karotenoid. Peningkatan kekuatan gel sangat berkaitan dengan jumlah 3,6-anhidro-L- galaktosa dan sulfat yang terkandung dalam agar Rees 1969 di dalam Utomo dan Satriyana 2006. Izumi 1971 menyatakan bahwa penurunan konsentrasi 3,6-anhidro-L-galaktosa selalu disertai dengan penurunan kandungan grup 6-0- metil dan peningkatan residu sulfat. Peningkatan kekuatan gel sangat berkaitan dengan jumlah 3,6-anhidro-L-galaktosa dan sulfat yang terkandung di dalamnya. Kadar sulfat merupakan parameter yang digunakan untuk berbagai jenis polisakarida yang terdapat dalam alga merah Winarno 1996. Konsentrasi sulfat dalam agar dapat dipengaruhi oleh perbedaan jenis dan asal rumput laut, metode ekstraksi, serta umur panen. Peningkatan umur panen dapat memberikan respon terhadap kandungan sulfat Suryaningrum 1988. Kandungan sulfat pada agar yang dihasilkan pada metode apung berbeda nyata dengan agar yang dihasilkan oleh metode dasar. Agar yang dihasilkan pada metode penanaman dasar mempunyai kadar sulfat yang lebih tinggi dibandingkan metode penanaman apung Tabel 3, hal ini dapat disebabkan karena sulfat dapat diperoleh dari dua sumber yaitu dari air dan tanah dasar tambak. Kandungan sulfat berpengaruh terhadap kekuatan gel dari agar, semakin tinggi kandungan ester sulfat dalam agar, maka kekuatan gel yang terbantuk akan semakin rendah Chapman dan Chapman 1980. Pencemaran air dapat berupa garam dari logam berat dan logam berat yang membentuk senyawa toksik. Beberapa logam berat merupakan logam yang paling berbahaya dari zat-zat pencemar. Logam berat yang sering dijumpai dalam perairan antara lain Timbal Pb, Merkuri Hg, Seng Zn danTembaga Cu dalam bentuk senyawa toksik. Syamsuar 2006 menyatakan bahwa adanya kandungan logam pada perairan menunjukkan adanya pencemaran pada lokasi penanaman rumput laut, karena rumput laut mampu menyerap logam berat dari perairan melalui proses absorbsi. Adanya seng dalam agar disebabkan oleh akumulasi seng oleh rumput laut melalui absorbsi atau proses pertukaran ion. Proses ini terjadi melalui dinding sel rumput laut, yang kemudian bersenyawa dengan protein atau polisakarida. Nilai standar SNI untuk logam berat pada agar tepung yaitu sebesar, untuk Pb maksimum 2 ppm, Cu maksimum 30 ppm, Zn maksimum 40 ppm, dan Hg maksimum 0,03 ppm SNI No. 01.2802.1995. Nilai logam berat yang terkandung dalam agar pada penelitian ini masih memenuhi standar.

5. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Rumput laut yang dipelihara dengan metode penanaman rakit apung, bobot bibit 50 g, dan lama pemeliharaan 60 hari memberikan laju pertumbuhan terbaik yaitu sebesar 4,46. Karakteristik fisiko kimia agar terbaik dari metode penanaman apung yaitu: rendemen 32,57, kadar air 10,92, kadar abu 5,74, kekuatan gel 306,33 gcm, viskositas 38,17 cP, kadar 3,6-anhidro-L-galaktosa 37,52, kadar sulfat 2,71, logam berat Pb dan Hg tidak terdeteksi, Cu 0,340 ppm, Zn 3,04 ppm, titik leleh 63,00 o C, titik jendal 35,45 o C, derajat putih 16,60. Karakteristik fisiko-kimia agar terbaik dari metode penanaman dasar yaitu: rendemen 31,18, kadar air 10,78, kadar abu 5,54, kekuatan gel 293,67 gcm, viskositas 37,17 cP, kadar 3,6-anhidro-L-galaktosa 36,35, kadar sulfat 3,55, logam berat; Pb dan Hg tidak terdetekasi, Cu 0,268 ppm, Zn 3,28 ppm, titik leleh 60,27 o C, titik jendal 33,60 o C, derajat putih 14,93.

5.2 Saran

1 Untuk meningkatkan produktivitas rumput laut dan mutu agar yang sesuai dengan standar yang ditetapkan, maka disarankan kombinasi perlakuan dengan metode apung,bobot bibit 50 g, dan umur panen 60 hari. 2 Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan bobot bibit yang lebih kecil dari 50 g dan metode budidaya lainnya untuk mengetahui karakteristik sifat fisiko-kimia agar. DAFTAR PUSTAKA Ahda A, Surono A, Iman BS, Batubara I, Ismanadji I, Suitha MI, Yunaidar R, Setawan, Kurnia N, Danakusumah E, Sulistijo, Zatnika A, Basmal J, Effendi I, Runtu BN. 2005. Profil Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan. Anggadiredja TJ, Zatnika A, Purwanto H, Istini S. 2006. Rumput Laut: Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran Komoditas Perikanan Potensial. Jakarta: Penebar Swadaya. Angka SL, Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Kelautan. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Virginia USA: Association of Official Analytical Chemist. Apriyana D. 2006. Studi hubungan karakteristik habitat terhadap kelayakan pertumbuhan dan kandungan karaginan alga Eucheuma spinosum di perairan Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press. Armisen R, Galatas F. 2000. Agar. Dalam Handbook of Hydrocolloid. Phillip GO, Wilian PA, editor. England: Woodhead Publishing Ltd. Aslan M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Yogyakarta: Kanisius. Atmadja WS. 1996. Pengenalan Jenis Alga Merah. Di dalam: Pengenalan Jenis – Jenis Alga Rumput Laut Indonesia.Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Basmal J, Syarifudin, Ma’aruf WF. 2003. Pengaruh konsentrasi larutan potassium hidroksida terhadap mutu kappa-karaginan yang diekstraksi dari Eucheuma cottonii. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 9 5: 95-103. Bold HC, Wynne MJ. 1978. Introduction to the Algae Structure and Reproduction. New Delhi: Private Limited. BSN Badan Standardisasi Nasional Indonesia. 1995. Agar-Agar Tepung. 01-2802. 1995. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. __________________________________________. 1998. Rumput Laut Kering 01-2690. 1998. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.