Faktor Fisiko dan Kimia Perairan

c Kedalaman dan kecerahan Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam perairan. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah yang memungkinkan terjadinya fotosintesis. Kecerahan ini berbanding terbalik dengan kekeruhan Nybaken 1988. Mutu dan banyaknya cahaya berpengaruh terhadap produksi dan pertumbuhan rumput laut Kadi dan Atmadja, 1988. Kedalaman perairan Tambak Desa Selok, Adipala Cilacap adalah 60 cm. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Sulistijo 2002, bahwa kedalaman air tambak untuk budidaya rumput laut adalah berkisar antara 20-50 cm. Cahaya matahari tersebut sumber energi dalam proses fotosintesis yang mana terjadi pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan rumput laut G. verrucosa d Nilai pH Nilai pH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hidrogen dalam perairan dan menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air Saeni 1989. Perubahan nilai pH akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas biologis. Nilai pH perairan selama penelitian berkisar antara 6-7, nilai pH perairan selama penelitian baik untuk budidaya G. verrucosa. Kisaran pH yang baik untuk pertumbuhan rumput laut adalah berkisar antara 6-9 Chapman dan Chapman 1980; Ahda et al. 2005. e Unsur hara Kesuburan perairan ditentukan oleh kandungan nitrat dan fosfat. Unsur fosfat yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik adalah bentuk orto-fosfat, sedangkan nitrogen yang dapat diserap dalam bentuk nitrit NO 2 , nitrat NO 3 , dan ammonium NH 4 , namun yang paling disukai tumbuhan adalah dalam bentuk ammonium Effendi 2000. Rumput laut atau alga sebagaimana tanaman berklorofil lainnya memerlukan unsur hara sebagai bahan baku dalam proses fotosintesis. Untuk menunjang pertumbuhan diperlukan ketersediaan unsur hara dalam perairan. Masuknya material atau unsur hara ke dalam jaringan tubuh rumput laut adalah dengan jalan proses difusi yang terjadi pada seluruh bagian permukaan tubuh rumput laut. Bila difusi makin banyak akan mempercepat proses metabolisme sehingga akan meningkatkan laju pertumbuhan Doty dan Glenn 1981. Nitrat NO 3 adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga karena nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Kadar nitrat pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mgl, akan tetapi jika kadar nitrat lebih besar dari 0,2 mgl akan mengakibatkan eutrofikasi pengayaan yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat Effendi 2000. Kadar nitrat mempengaruhi reproduksi alga bila zat hara tersebut melimpah di perairan Aslan 1998. Konsentrasi nitrat yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 0,120-0,170 mgl. Konsentrasi nitrat ini cukup baik bagi pertumbuhan rumput laut. Fosfat merupakan salah satu nutrien makro yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan. Sumber fosfat dalam perairan dapat berasal dari pelapukan batuan mineral, dekomposisi bahan organik, pupuk buatan limbah perairan, limbah industri, limbah rumah tangga, dan mineral-mineral fosfat Saeni 1989. Fosfat merupakan faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga akuatik karena digunakan dalam transfer energi, sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi produktivitas perairan. Keberadaan fosfat di perairan alami biasanya relatif sedikit lebih kecil dari nitrogen Effendi 2000. Kandungan fosfat dari hasil pengamatan didapatkan nilai kisaran yaitu 0,015-0,022 mgl. Dilihat dari hasil pengukuran bahwa nilai fosfat cukup rendah. Menurut UNESCOWHOUNEP 1992 dalam Effendi 2000 bahwa kadar fosfat dalam perairan berkisar antara 0,0005 – 0,02 mgl. 4.2 Laju Pertumbuhan Harian Gracilaria verrucosa Pertumbuhan tanaman dapat dipantau dengan cara sampling untuk mengukur laju pertumbuhannya sehingga dapat diprediksi. Nilai laju pertumbuhan harian pada metode penanaman apung yaitu sebesar 3,20-4,46; sedangkan pada metode penanaman dasar sebesar 3,01-3,63 Gambar 5.Rata-rata laju pertumbuhan G. verrucosa pada metode penanaman apung dan dasar menunjukkan peningkatan sampai umur panen 60 hari, kemudian mengalami penurunan pada umur panen 75 dan 90 hari. Laju pertumbuhan harian pada bobot bibit 50, 75, dan 100 g untuk semua metode penanaman juga menunjukan peningkatan pada umur panen 60 hari dan penurunan pertumbuhan pada umur panen 75 dan 90 hari. Nilai laju pertumbuhan harian G. verrucosa pada metode penanaman apung umur panen 60 hari yaitu 4,46, 4,27, dan 4,16 masing- masing berasal dari bobot bibit awal 50, 75 dan 100 g, untuk metode penanaman dasar yaitu 3,63, 3,50 dan 3,34 masing-masing berasal dari bobot bibit awal 50, 75 dan 100 g. Perlakuan metode penanaman apung menghasilkan laju pertumbuhan harian yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode penanaman dasar. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan G. verrucosa pada perlakuan metode penanaman dasar rumput laut banyak tertutup oleh tanaman atau hewan pengganggu sehingga kemampuan untuk menyerap cahaya dan sumber nutrisi lain tidak optimal. Kecerahan perairan menentukan intensitas sinar matahari atau cahaya yang masuk perairan. Kemampuan daya tembus sinar matahari ke dalam perairan sangat ditentukan oleh kedalaman perairan, warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik, kepadatan plankton, jasad renik, dan detritus Wardoyo 1975 dalam Apriyana 2006. Semakin besar cahaya matahari yang diterima maka proses fotosintesis dapat berjalan semakin cepat sehingga meningkatkan laju pertumbuhan yang pada akhirnya meningkatkan bobot basahnya Aslan 1998. Kecerahan perairan yang ideal untuk budidaya rumput laut yang disarankan oleh Direktorat Jenderal Perikanan, Direktorat Bina Produksi 2006 adalah 1,5 m, hal ini dimaksudkan agar rumput laut dapat melakukan fotosintesis dengan baik. Laju pertumbuhan G. verrucosa yang ditanam pada tambak di daerah Cilacap ini menunjukkan peningkatan pada umur panen 60 hari kemudian mengalami penurunan pada umur panen 75 dan 90 hari. Panen dapat dilakukan pada umur panen 2-2,5 bulan sesudah penanaman; waktu panen memang bervariasi untuk setiap penanaman lokasi penanamanan yang berbeda Indriani dan Sumiarsih 2004. Bobot bibit mempunyai pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan, dimana bobot bibit yang lebih kecil memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi, hal ini diduga semakin kecil bobot bibit yang digunakan, persaingan untuk mendapatkan unsur hara dari perairan semakin kecil sehingga pertumbuhannya semakin cepat Sulistijo dan Atmadja 1977. Histogram laju pertumbuhan harian rumput laut G. verrucosa dapat dilihat pada Gambar 7. y = 0.242x 2 - 5.262x + 86.93 R² = 0.997 y = 0.307x 2 - 5.631x + 108.5 R² = 0.995 y = 0.292x 2 - 1.243x + 83.04 R² = 0.991 500 1000 1500 2000 2500 15 30 45 60 75 90 105 Be ra t g Lama Pengamatan hari bobot bibit 50 bobot bibit 75 bobot bibit 100 Metode Apung y = 0.097x 2 - 0.068x + 53.51 R² = 0.995 y = 0.139x 2 - 0.623x + 89.42 R² = 0.997 y = 0.196x 2 - 2.280x + 137.7 R² = 0.999 500 1000 1500 2000 2500 15 30 45 60 75 90 105 Be ra t g Lama Pengamatan hari Metode Dasar bobot bibit 50 bobot bibit 75 bobot bibit 100 Gambar 7. Laju pertumbuhan harian Gracilaria verrucosa pada metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen yang berbeda

4.3 Komposisi Kimia Gracilaria verrucosa Kering

Rumput laut yang digunakan dalam pembuatan agar diperolah dari hasil budidaya di Desa Selok, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, yang dibudidayakan menggunakan metode rakit dengan tiga perlakuan utama, yaitu metode penanaman apung dan dasar, bobot bibit 50, 75, dan 100 g, dan umur panen 45, 60, 75 dan 90 hari. Rumput laut hasil panen kemudian dilakukan pencucian dengan air tawar untuk menghilangkan kotoran yang menempel, kemudian dijemur 2 sampai 3 hari hingga diperoleh rumput laut kering. Rumput laut kering kemudian siap digunakan sebagai bahan baku ekstraksi agar. Sebelum dilakukan ekstraksi, rumput laut terlebih dahulu diuji komposisi kimianya, yang meliputi kadar air, kadar abu, dan abu tak larut asam.

4.3.1 Kadar air

Kadar air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi daya tahan suatu bahan dan menunjukkan kestabilan serta indeks mutu dari bahan pangan. Bahan dengan kadar air tinggi, akan lebih mudah rusak dibandingkan dengan bahan yang berkadar air rendah Winarno 1997. Kadar air merupakan komponen yang penting dalam rumput laut kering, karena akan mempengaruhi mutu rumput laut. Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata kadar air yang dihasilkan berkisar antara 21,22-24,54 . Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur panen memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar air rumput laut kering yang dihasilkan. Bertambahnya umur panen menyebabkan kadar air cenderung meningkat, hal ini diakibatkan oleh sifat hidrofilik yang dimiliki oleh rumput laut. Kadar air maksimal yang disyaratkan oleh SNI untuk rumput laut kering 1998 maksimum 25, dengan demikian kadar air rumput laut kering pada penelitian ini masih memenuhi syarat yang ditetapkan oleh SNI N0. 01-2690 1998. Hasil penelitian Wenno 2009 menunjukkan bahwa umur panen memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air Eucheuma cotonii, sedangkan pada bagian talus dan bobot bibit tidak berpengaruh nyata. Histogram kadar air pada G. verrucosa dicantumkan pada Gambar 8. Metode rakit apung 5 10 15 20 25 30 45 60 75 90 umur panen hari kad ar ai r bobot bibit 50 g bobot bibit 75 g bobot bibit 100 g aq ap aq aq ap ap aq ab q aq bq 23 ,3 2 23 ,3 7 21 ,3 9 23 ,2 7 23 ,5 5 21 ,4 2 23 ,6 23 ,8 21 ,7 4 24 ,0 2 21 ,2 3 ap 24 ,0 2 aq Metode rakit dasar 5 10 15 20 25 30 45 60 75 90 umur panen hari K ad ar A ir bobot bibit 50 g bobot bibit 75 g bobot bibit 100 g 23 ,2 4 23 ,7 8 21 ,9 4 23 ,9 23 ,3 22 ,0 1 24 ,0 8 24 ,2 3 22 ,1 4 24 ,5 4 ap aq ab q c ab p ab q aq ab p ab q bc q bp 21 ,2 2 bq 24 ,4 7 cq Keterangan: Huruf a,b menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan bobot bibit p0,5 berdasarkan uji Duncan Multiple range test Huruf p,q,r menunjukkan adanya perbedaan perlakuan dalam umur panen p0,5 berdasarkan uji Duncan Multiple range test Gambar 8. Kadar air rumput laut Gracilaria verrucosa kering pada metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen berbeda

4.3.2 Kadar abu

Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral pada rumput laut kering yang tidak terbakar selama pembakaran atau pengabuan. Winarno 1996 menyatakan bahwa kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Proses pembakaran menyebabkan bahan-bahan yang mudah menguap yaitu air dan bahan volatile lainnya akan mengalami oksidasi dengan menghasilkan CO 2 .