Physico chemistry Characteristics of Agar Powder from Gracilaria verrucosa at Different Cultivated Methods, Weight Seed, Planting Periode

(1)

BOBOT BIBIT DAN UMUR PANEN YANG BERBEDA

KRISAN ANGGUN PERMATA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis “Karakteristik Fisiko Kimia Agar Tepung Gracilaria verrucosa dengan Metode Penanaman, Bobot Bibit, dan Umur Panen yang Berbeda” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan manapun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2010

Krisan Anggun Permata C351070041


(3)

KRISAN ANGGUN PERMATA. Physico-chemistry Characteristics of Agar Powder from Gracilaria verrucosa at Different Cultivated Methods, Weight Seed, Planting Periode. Supervissed by JOKO SANTOSO and RUDDY SUWANDI.

Gracilaria verrucosa is one kind of seaweed which produces agar and has important economic value especially for food and pharmaceutical industries. Characteristics of agar are affected by some factors such as culture method, seed weight, and planting periode of seaweed, which is specific locally in correlation to environmental parameters. Seaweed cultivation was carried out in brackishwater pond (temperature 25-29 oC, salinitas 25-28 ppt, deeply 60 cm, pH 6-7, nitrat 0,120-0,170 mg/l, fosfat 0,015-0,022 mg/l) at Selok Village, District of Adipala, Cilacap Regency, Central Java. The experiment was carried out to: 1) determine the culture method, seed weight and planting periode that provides the best growth rate of G. verrucosa; 2) to measure the physico-chemical characteristics of agar from G. verrucosa at different culture method, seed weight and planting periode.

This study was begin with the cultivation G. verrucosa used the culture method floating raft and sinking raft, seed weight 50, 75 and 100 g, and planting periode 45, 60, 75 and 90 day. G. verrucosa dried cultivated and then checked the moisture content, ash and acid insoluble ash content. Research continued with the extraction of G. verrucosa to produce agar whice is then carried out to characteristics of yield, moisture content, ash content, gel strength, and viscosity. The best agar of each method for culture method and then do characteristics of which 3,6-anhidro-L-galaktosa content, sulfat content, heavy metal, geling point, melting point, and whiteness. Variety of obsevation data were analyzed and followed by Duncan multiple range test, with the program spss 13 on level 95%.

Enviromental conditions at research area are suitable for cultivation of

G. verrucosa. Seed weight and planting periode had influence on growth rate of

G. verrucosa, which floating method gave higher growth rate than sinking method. The quality of agar which cultivated using floating method was better than sinking method. Floating method with 50 g of seed weight and harvesting time at 60 days gave the best quality of agar.

Keywords: Gracilaria verrucosa, metode penanaman, bobot bibit, umur panen, agar


(4)

KRISAN ANGGUN PERMATA. Karakteristik Fisiko Kimia Agar Tepung

Gracilaria verrucosa dengan Metode Penanaman, Bobot Bibit dan Umur Panen yang Berbeda. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan RUDDY SUWANDI.

Salah satu jenis rumput laut merah yang memiliki nilai ekonomis tinggi adalah Gracilariaverrucosa yang merupakan bahan baku pabrik agar, disamping diekspor dalam bentuk kering. Agar adalah bentuk koloid dari suatu polisakarida kompleks hasil ekstraksi dari beberapa jenis rumput laut merah diantaranya

Gracilaria. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen yang memberikan laju pertumbuhan G. verrucosa terbaik, dan mengukur karakteristik fisiko-kimia agar tepung G. verrucosa yang diperoleh dari metode penanaman, bobot bibit dan umur panen yang berbeda. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan produktivitas dan mutu agar yang dihasilkan oleh G. verrucosa.

Penelitian ini diawali dengan budidaya G. verrucosa dengan metode penanaman (apung dan dasar), bobot bibit (50, 75 dan 100 g) dan umur panen (45, 60, 75 dan 90 hari). G. verrucosa kering hasil budidaya kemudian diukur kadar air, kadar abu dan kadar abu tak larut asam. Penelitian dilanjutkan dengan ekstraksi G. verrucosa untuk menghasil agar tepung yang kemudian dilakukan karakterisasi rendemen, kadar air, kadar abu, kekuatan gel dan viskositas. Agar terbaik dari setiap metode penanaman kemudian dilakukan karakterisasi yaitu kadar 3,6-anhidro-L-galaktosa, kadar sulfat, logam bobot, titik jendal, titik leleh dan derajat putih. Data hasil pengamatan dianalisis ragam dan dilanjutkan dengan uji beda jarak berganda Duncan, dengan program SPSS 13 pada tingkat kepercayaan 95%.

Tambak yang digunakan berukuran 600 m2, sebelum tambak digunakan tambak dibersihkan dari lumut dan hewan pengganggu. Air tambak tidak perlu dilakukan pemupukan, hal ini dikarenakan tambak yang digunakan untuk penelitian sebelumnya telah digunakan untuk budidaya bandeng sehingga diharapkan tambak yang digunakan masih memiliki zat hara yang cukup untuk budidaya rumput laut. Substrat tambak terdiri dari pasir dan sedikit lumpur.

Rakit yang digunakan yaitu sebanyak 52 rakit, luas dari masing-masing rakit yaitu 3x3 m2 dengan 10 tali nilon yang direntangkan dengan jarak antar ikatan nilon 30 cm. Setiap tali diikatkan bibit sebanyak 10 ikat bibit dengan jarak antar bibit 30 cm, jumlah ikatan per rakit sebanyak 100 ikat bibit. Rakit diikatkan pada tiang pancang, namun masih memungkinkan rakit tersebut mengikuti tingginya air.

Karakteristik habitat akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan rumput laut G. verrucosa. Tersedianya sinar matahari untuk kebutuhan fotosintesis, suhu, difusi zat hara, yang terdapat dalam perairan. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan rumput laut dan pembentukkan cadangan makanan atau mutu agar. Kondisi tempat perairan penelitian sesuai untuk budidaya rumput laut G. verrucosa dengan beberapa alasan yaitu kedalaman dan kecerahan 60 cm, suhu 25-29 oC, salinitas perairan 25-28 ppt, pH 6-7. Rata-rata laju pertumbuhan harian rumput laut pada metode apung sebesar


(5)

Rumput laut yang dipelihara dengan metode penanaman rakit apung, bobot bibit 50 g, dan lama pemeliharaan 60 hari memberikan laju pertumbuhan terbaik yaitu sebesar 4,46%. Karakteristik fisiko kimia agar terbaik dari metode penanaman apung yaitu: rendemen 32,57%, kadar air 10,92%, kadar abu 5,74%, kekuatan gel 306,33 gcm, viskositas 38,17 cP, kadar 3,6-anhidro-L-galaktosa 37,52%, kadar sulfat 2,71%, logam bobot; Pb dan Hg tidak terdeteksi, Cu 0,340 ppm, Zn 3,04 ppm, titik leleh 35,45 oC, titik jendal 63,00 oC, derajat putih 16,60%. Karakteristik fisiko-kimia agar dari metode penanaman dasar yaitu: rendemen 31,18%, kadar air 10,78%, kadar abu 5,54%, kekuatan gel 293,67 gcm, viskositas 37,17 cP, kadar 3,6-anhidro-L-galaktosa 36,35%, kadar sulfat 3,55%, logam bobot; Pb dan Hg tidak terdetekasi, Cu 0,268 ppm, Zn 3,28 ppm, titik leleh 33,60 oC, titik jendal 60,27 oC, derajat putih 14,93%.

Kata kunci: Gracilaria verrucosa, metode penanaman, bobot bibit, umur panen, agar


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

BOBOT BIBIT DAN UMUR PANEN YANG BERBEDA

KRISAN ANGGUN PERMATA

TESIS

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

(9)

Umur Panen yang Berbeda Nama : Krisan Anggun Permata NRP : C351070041

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Hasil Perairan

Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(10)

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya, sehingga penelitian dengan judul ”Karakteristik Fisiko-Kimia Agar Tepung Gracilaria verrucosa dengan Metode Penanaman, Bobot Bibit dan Umur Panen yang Berbeda” dapat diselesaikan oleh penulis. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Teknologi Hasil Perairan.

Pada Kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si selaku Pembimbing Utama, yang telah membimbing, memberikan arahan dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan teisi ini.

2. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku Pembimbing Kedua, yang telah membimbing, memberikan arahan dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan teisi ini.

3. Ir. Irzal Effendi, M.Si selaku Dosen Penguji yang telah memberikan banyak masukan dan arahan guna penyempurnaan tesis ini.

4. Seluruh dosen dan pegawai di Program Studi Teknologi Hasil Perairan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, yang telah banyak membantu penulis selama menjalankan studi.

5. Drs. Ilal Qisny Insan, M.Si selaku dosen Pengajar Algologi Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

6. Kedua orang tua Bapak Drs. Purnomo Yulianto, MBA dan Ibu Dedet Daryatun, kakak Agung Pratama, SE, MM, dan adik Anugrah Kresnaya, yang telah memberikan kasih sayangnya, semangat, dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis.

7. Rizqi Aswaransyah Pratama, S.Si, MBA dan seluruh keluarga yang banyak membantu, memfasilitasi penulis selama penelitian lapangan serta dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis.

8. Teman-teman Pascasarjana THP 2006 (Mas Chandra, Mba Utji, Pak Max) yang telah memberikan arahan dan masukan yang sangat membangun bagi penulis. THP 2007 (Mba Tati, Mba Elin, Ulina, Sevri, Mba Diah, Mba Rita,


(11)

terima kasih untuk kebersamaannya selama 3 tahun ini. THP 2008 (Teh Iis, Erika, Kak Nikma, Kak Sil, Bang Ido, Bang Sholi, Mba Lilis, Vivi, Ruski, Mas Hafi) yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan serta teman-teman dari Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian lapangan di Cilacap.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2010


(12)

Penulis dilahirkan di Purwokerto pada 5 Mei 1984 sebagai anak kedua dari dua bersaudara, putri dari pasangan Drs. Purnomo Yulianto, MBA dan Dedet Daryatun. Penulis mengawali pendidikan di SDN Pelita Harapan Bekasi pada 1990 dan menyelesaikan pendidikan pada 1996. Pada tahun yang sama penulis diterima di SLTPN 1 Bekasi dan menyelesaikan pendidikannya pada 1999.

Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMU Muhammadiyah 2 Yogyakarta dan selesai pada 2002.

Pada tahun yang sama penulis diterima di Universitas Jenderal Soedirman melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis diterima di Fakultas Biologi dan selesai pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan Magister Program Studi Teknologi Hasil Perairan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(13)

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1.4 Hipotesis ... 4

1.5 Kerangka Pemikiran ... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Karakteristik Gracilariaverrucosa ... 7

2.2 Budidaya Gracilaria verrucosa. ... 9

2.3 Panen ... 13

2.4 Agar ... 14

2.4.1 Sifat agar ... 15

2.4.2 Pembentukan gel ... 16

2.5 Viskositas ... 17

2.6 Ekstraksi Agar ... 17

2.7 Manfaat Agar ... 19

2.8 Standar Mutu Agar ... 19

3 METODOLOGI ... 21

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 21

3.2 Bahan dan Alat ... 22

3.3 Tahapan Penelitian ... 22

3.3.1 Budidaya rumput laut ... 23

3.3.2 Ekstraksi agar ... 25

3.4 Laju Pertumbuhan Gracilaria verrucosa ... 26

3.5 Analisis Parameter Físiko-Kimia ... 26


(14)

4.2 Laju Pertumbuhan Harian Gracilaria verrucosa ... 37

4.3 Komposisi Kimia Gracilaria verrucosa Kering ... 40

4.3.1 Kadar air ... 41

4.3.2 Kadar abu ... 43

4.3.3 Kadar abu tak larut asam ... 44

4.4 Karakteristik Fisiko Kimia Agar Gracilaria verrucosa. ... 44

4.4.1 Rendemen ... 45

4.4.2 Kadar air ... 46

4.4.3 Kadar abu ... 48

4.4.4 Kekuatan gel ... 50

4.4.5 Viskositas ... 51

4.5 Sifat Fisiko Kimia Agar Terbaik ... 53

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 58

5.1 Simpulan ... 58

5.2 Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59


(15)

Halaman

1. Standar mutu Gracilaria kering (SNI No. 01-2690.1998) ... 14 2. Standar mutu agar tepung rumput laut Gracilaria

(SNI No. 01-2802-1995)... 20 3. Sifat fisiko-kimia agar terbaik ... 54


(16)

Halaman

1. Diagram alir kerangka pemikiran ... 6

2. Gracilaria verrucosa ... 8

3. Rumus bangun agar ... 15

4. Peta lokasi penelitian ... 21

5. Desain metode penanaman rumput laut . ... 23

6. Proses pembuatan tepung agar ... 25

7. Laju pertumbuhan harian Gracilaria verrucosa pada metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen yang berbeda ... 39

8. Kadar air rumput laut kering Gracilariaverrucosa pada metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen yang berbeda ... 41

9. Kadar abu rumput laut kering Gracilariaverrucosa pada metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen yang berbeda ... 42

10. Kadar abu tak larut asam rumput laut kering Gracilaria verrucosa pada metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen yang berbeda. ... 44

11. Rendemen agar Gracilaria verrucosa ... 46

12. Kadar air agar Gracilaria verrucosa ... 47

13. Kadar abu agar Gracilaria verrucosa. ... 49

14. Kekuatan gel agar Gracilaria verrucosa. ... 51


(17)

Halaman

1. Kurva standar pengukuran logam berat agar tepung rumput

Gracilaria verrucosa ... 65

2. Kurva standar pengukuran kadar 3,6 anhidro-L-galaktosa agar tepung rumput Gracilaria verrucosa……… 67

3. Rekapitulasi data laju pertumbuhan harian Gracilaria verrucosa pada metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen yang berbeda ... 68

4. Hasil analisis ragam laju pertumbuhan Gracilaria verrucosa. ………… 69

5. Hasil uji Duncan Laju Pertumbuhan Gracilariaverrucosa ... 69

6. Rekapitulasi data kadar air rumput laut kering Gracilaria verrucosa ... 70

7. Hasil analisis ragam kadar air rumput laut kering Gracilaria verrucosa.. ... 71

8. Hasil uji Duncan kadar air rumput laut kering Gracilaria verrucosa ... 71

9. Rekapitulasi data kadar abu rumput laut kering Gracilaria verrucosa ... 72

10. Hasil analisis ragam kadar abu rumput laut kering Gracilaria verrucosa ... 73

11.Hasil uji Duncan kadar abu rumput laut kering Gracilaria verrucosa ... 73

12. Rekapitulasi data kadar abu tak larut asam rumput laut kering Gracilariaverrucosa ... 74

13.Hasil analisis ragam kadar abu tak larut asam rumput laut kering Gracilariaverrucosa ... 75

14. Hasil uji Duncan kadar abu tak larut asam rumput laut kering Gracilariaverrucosa. ... 75

15. Rekapitulasi data rendemen agar tepung Gracilariaverrucosa ... 76

16. Hasil analisis ragam rendemen agar tepung Gracilariaverrucosa ... 77

17. Hasil uji Duncan rendemen agar tepung Gracilariaverrucosa ... 77

18. Rekapitulasi data kadar air agar tepung Gracilariaverrucosa ... 78

19. Hasil analisis ragam kadar air agar tepung Gracilariaverrucosa ... 79

20. Hasil uji Duncan kadar air agar tepung Gracilariaverrucosa ... 79


(18)

24. Rekapitulasi data kekuatan gel agar tepung Gracilaria verrucosa ... 82

25. Hasil analisis ragam kekuatan gel agar tepung Gracilaria verrucosa .. 83

26. Hasil uji Duncan kekuatan gel agar tepung Gracilariaverrucosa ... 83

27. Rekapitulasi data viskositas agar tepung Gracilariaverrucosa ... 84

28. Hasil analisis ragam viskositas agar tepung Gracilariaverrucosa ... 85


(19)

1.1Latar Belakang

Indonesia memiliki perairan laut dengan luas sekitar dua pertiga dari seluruh wilayah nasional atau kurang lebih tujuh juta kilometer persegi, dengan jumlah pulau 13.667 serta panjang garis pantai sekitar 81.000 km. Kondisi ini menjadikan Indonesia mempunyai potensi rumput laut yang cukup besar, baik dalam jenis maupun jumlah. Berdasarkan kandungan pigmen, rumput laut di Indonesia dikelompokkan menjadi tiga kelas, yaitu Rhodophyceae (rumput laut merah), Phaeyophyta (rumput laut coklat), Chlorophyceae (rumput laut hijau).

Produksi rumput laut basah nasional dari tahun ke tahun mengalami peningkatan signifikan. Pada tahun 2005 produksi rumput laut basah berkisar 910.636 ton, pada tahun 2006 mengalami peningkatan sekitar 1.079.850 ton dan terus mengalami peningkatan sampai tahun 2009 sebesar 2.574.000 ton basah (DKP 2010). Produksi agar di Indonesia juga mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan produksi rumput laut. Departemen perindustrian (2010) menginformasikan bahwa pada tahun 2010 produksi agar akan ditingkatkan menjadi sebesar 30 ton per hari dari produksi semula sebesar 10 ton per hari, hal ini dapat diartikan bahwa produksi agar di Indonesia pada tahun 2010 berkisar

9000-10.000 ton, meningkat dari produksi 2009 yang hanya berkisar 2500-3500 ton.

Jenis rumput laut yang banyak dimanfaatkan adalah rumput laut merah (Rhodophyceae) karena mengandung agar, karaginan, porpiran, furcelaran, dan pigmen fikobilin (terdiri dari fikoeritrin dan fikosianin) yang mengandung banyak karbohidrat sehingga digunakan sebagai cadangan makanan. Gracilaria sp.. merupakan salah satu jenis rumput laut merah yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Gracilaria sp. digunakan sebagai bahan baku industri agar, disamping diekspor dalam bentuk kering (Yunizal 2002).

Agar adalah bentuk koloid dari suatu polisakarida kompleks hasil ekstraksi dari beberapa jenis rumput laut merah, diantaranya Gracilaria sp. Sifat paling menonjol dari agar adalah memiliki daya gelasi (kemampuan membentuk gel), viskositas (kekentalan), setting point (suhu pembentukan gel), dan melting point


(20)

(suhu mencairnya gel) sehingga sangat menguntungkan dipakai pada dunia industri pangan maupun nonpangan (Yunizal 2002).

Marinho-Soriano dan Bourret (2003; 2004) menyatakan bahwa kandungan agar terdiri dari dua komponen berbeda yaitu agarosa dan agaropektin. Agarosa merupakan polisakarida netral dengan struktur linear dari pengulangan unit disakarida agarobiosa yang terdiri dari D-galaktosa dan 3,6-L-galaktosa. Agaropektin adalah polisakarida asam yang mengandung sulfat ester, asam piruvat dan asam D-glukuronik. Jenis dan jumlah grup penyusun pada rantai polisakarida serta rendemen agar dipengaruhi oleh jenis rumput laut, kondisi lingkungan, faktor fisiologis, musim, metode ekstraksi dan tahapan dari siklus hidup. Kandungan dan sifat fisik agar seperti gel strength dan suhu pembentukan gel menentukan nilai komersialnya.

Gracilaria termasuk jenis rumput laut penghasil agar (agarophyta) dari Kelas Rhodophyceae. Gracilaria mempunyai prospek cerah untuk dibudidayakan karena pertumbuhan dan penyebarannya yang mudah dan luas serta mengandung bahan agar tiga kali lipat dibandingkan rumput laut jenis Gelidium. Kandungan agar rumput laut G. verrucosa sekitar 21,3-23,7% (Kadi dan Atmadja1988).

Menurut Sutresno dan Prihastanti (2003), usaha budidaya rumput laut selain dilakukan di laut juga dapat dilakukan di tambak terutama untuk jenis

Gracilaria sp. Hal ini dikarenakan toleransi Gracilaria sp. terhadap salinitas cukup lebar. Produksi rumput laut selain dipengaruhi oleh syarat tumbuh juga dipengaruhi oleh pemilihan metode budidaya yang tepat. Metode budidaya rumput laut berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan dibagi menjadi tiga cara yaitu, metode dasar, metode lepas dasar, dan metode apung. Metode apung dapat dimodifikasi dengan tiga sistem yaitu metode apung sistem tali tunggal, sistem apung jaring dan sistem jaring apung (Aslan 1998).

Penggunaan bobot awal dalam budidaya rumput laut mempengaruhi pertumbuhannya. Hal tersebut berkaitan dengan perbedaan jumlah nutrisi yang didapat berdasarkan sedikit banyaknya jumlah rumpun. Penggunaan bobot bibit rumput laut secara tepat akan menghasilkan produksi maksimal, sedangkan penanaman rumput laut dengan bobot awal yang terlalu besar merupakan suatu pemborosan. Yu-Feng et al. (2005) menyatakan bahwa perbedaan penggunaan


(21)

bobot bibit akan mempengaruhi produktivitas laju pertumbuhan. Pada bobot bibit 25 g menghasilkan laju pertumbuhan tertinggi, sedangkan pada bobot bibit 100 g menghasilkan laju pertumbuhan terendah.

Kualitas rumput laut tidak hanya dipengaruhi oleh teknik budidaya, tetapi juga dipengaruhi oleh umur tanam, cara panen, dan keadaan cuaca pada saat panen. Pemanenan dapat dilakukan pada umur 1,5-2 bulan setelah tanam. Apabila panen dilakukan kurang dari umur tersebut menghasilkan rumput laut berkualitas rendah (Anggadiredja et al. 2006). Yu-Feng et al. (2005) menambahkan bahwa perbedaan penggunaan bobot bibit mempengaruhi produktivitas laju pertumbuhan. Kualitas rumput laut tidak hanya dipengaruhi oleh syarat tumbuh, tetapi juga dipengaruhi oleh umur panen, cara panen dan keadaan cuaca.

Indonesia memiliki perairan luas dan mendukung budidaya rumput laut. Beberapa kendala masih dihadapi dalam pengembangan industri rumput laut antara lain ketersediaan bibit bermutu, pengetahuan dan keterampilan para pembudidaya dalam menghasilkan rumput laut berkualitas baik. Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai pengaruh metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen untuk mendapatkan rumput laut agarofit jenis Gracilaria verrucosa

dengan mutu baik.

1.2 Perumusan Masalah

Indonesia merupakan negara maritim dengan potensi rumput laut besar, salah satunya adalah Gracilaria sp. yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Rumput laut jenis Gracilaria sp. telah banyak dibudidayakan di Indonesia, karena menghasilkan jumlah agar lebih banyak dibandingkan dengan rumput laut jenis

Gelidium. Hasil rumput laut berfluktuasi dari segi produktivitas, rendemen dan mutu agar. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan dan keterampilan para pembudidaya dalam teknis budidaya, sehingga rumput laut bermutu rendah dan tidak diterima oleh unit pengolah.

Rendemen dan kualitas agar dipengaruhi oleh metode tanam, kondisi lingkungan, kualitas dan bobot bibit, umur panen, dan metode ekstraksi. Telah dilakukan beberapa penelitian tentang metode penanaman, kondisi lingkungan, dan metode ekstraksi yang tepat untuk menghasilkan agar dengan kualitas baik.


(22)

Namun belum ada informasi ilmiah mengenai metode penanaman, bobot bibit dan masa panen Gracilaria verrucosa yang dibudidayakan di tambak terkait dengan hasil rendemen dan kualitas agar.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1)Menentukan metode penanaman, bobot bibit dan umur panen yang memberikan laju pertumbuhan Gracilaria verrucosa terbaik.

2)Mengukur fisiko-kimia agar tepung Gracilaria verrucosa dengan metode penanaman, bobot bibit dan umur panen yang berbeda.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan produktivitas dan mutu agar tepung yang dihasilkan oleh Gracilaria verrucosa.

1.4 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah:

1)Diduga ada pengaruh metode penanaman, bobot bibit dan umur panen terhadap laju pertumbuhan Gracilaria verrucosa yang ditanam pada tambak Desa Selok, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

2)Diduga ada pengaruh metode penanaman, bobot bibit dan umur panen terhadap karakteristik fisiko-kimia agar yang dihasilkan Gracilaria verrucosa pada tambak Desa Selok, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

1.5 Kerangka Pemikiran

Hasil pertanian dan kelautan menempati urutan pertama penyumbang pendapatan nasional, namun tidak seperti hasil pertanian lain, rumput laut mempunyai porsi kecil. Meskipun hasil produksi rumput laut dari tahun ke tahun cenderung meningkat namun tetap saja belum memenuhi kebutuhan rumput laut nasional. Persoalan untuk meningkatkan produksi rumput laut nasional dapat diatasi dengan cara ekstensifikasi dan intensifikasi budidaya rumput laut.


(23)

Budidaya rumput laut tentu dapat dilakukan di perairan tambak atau payau dengan metode sesuai.

Pertumbuhan dan perkembangan rumput laut pada metode penanaman, bobot bibit dan umur panen berbeda akan memberikan pengaruh berbeda pula. Faktor lingkungan mempunyai peranan besar bagi kehidupan biota dalam perairan. Kualitas air, dasar perairan, biota perairan, dan aspek-aspek habitat lain merupakan faktor-faktor pembentuk suatu karakteristik habitat. Karakteristik habitat akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan rumput laut

G. verrucosa. Ketersediaan sinar matahari untuk kebutuhan fotosintesis, suhu, difusi zat hara, yang terdapat dalam perairan mempengaruhi pertumbuhan rumput laut dan pembentukkan cadangan makanan.

Rumput laut G. verrucosa merupakan salah satu rumput laut penghasil agar. Agar banyak digunakan dalam industri, baik industri makanan, farmasi, dan kimia. Kualitas agar yang baik membutuhkan rumput laut yang baik pula. Diagram alir kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.


(24)

(25)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Gracilaria verrucosa

Gracilaria merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyta) dengan anggota kurang lebih 100 jenis, antara lain Gracilaria gigas Harv. dan

Gracilaria verrucosa Huds. Rumput laut G. gigas dan G. verrucosa merupakan jenis rumput laut penghasil agar yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan (Rasyid 2004).

Klasifikasi Gracilaria menurut Anggadiredja et al. (2006) adalah sebagai berikut:

Divisio : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Bangsa : Gigartinelas Suku : Gracilariaceae Marga : Gracilaria

Jenis : Gracilaria verrucosa

G. verrucosa mempunyai talus berbentuk silindris, permukaan licin, berwarna kuning coklat atau kuning kehijauan. Percabangan memusat ke pangkal, berulang-ulang, berselang-seling tidak beraturan. Cabang-cabang lateral memanjang menyerupai rambut dengan ukuran panjang sekitar 25 cm dan diameter talus sekitar 0,2 – 1,5 mm dan jarak antar cabang talus relatif berdekatan sekitar 3 – 15 mm (Atmadja 1996).

G. verrucosa dapat tumbuh di berbagai kedalaman, namun pada umumnya pertumbuhan jenis ini lebih baik di tempat dangkal. Disamping itu, sebagian besar

Gracilaria lebih menyukai intensitas cahaya tinggi (Soegiarto et al. 1978).

Gracilaria dapat hidup pada perairan tenang atau di tempat tergenang (kolam atau tambak), bersubstrat dasar lumpur dan mempunyai toleransi tinggi terhadap kisaran salinitas. Keistimewaan rumput laut G. verrucosa dapat dibudidayakan di tambak (Ahda et al. 2005).

G. verrucosa hidup di daerah litoral dan sublitoral, sampai pada batas kedalaman yang masih dapat ditembus cahaya matahari. Beberapa jenis juga dapat hidup di perairan keruh, dekat muara sungai. Tumbuhan ini dapat tumbuh


(26)

pada perairan estuarin dengan kedalaman antara 1-5 m pada saat pasang tinggi dan ditemukan juga pada dataran terumbu karang (Bold dan Wynne 1978). Morfologi Gracilaria verrucosa dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Gracilaria verrucosa (http://www.niobioinformatics.in/seaweeds) Menurut Trono dan Gavino (1990), Gracilaria ditemukan pada lokasi dengan karakteristik perairan tenang, memiliki nilai nutrien tinggi, tempat dangkal dengan substrat berpasir atau berlumpur. Tempat pembudidayaan dapat di lokasi tidak bergelombang. Gracilaria memiliki talus mudah rusak atau putus bila terkena gelombang. Pada daerah tropis, Gracilaria ditemukan pada batu karang dan dasar perairan berpasir dan bebas dari gelombang. Menurut Marinho dan Bourret (2003), efek musim dapat mempengaruhi rendemen dan sifat fisik dari agar.

Rumput laut Gracilaria merupakan kelompok rumput laut agarofit yaitu rumput laut penghasil agar (Winarno 1996). Gracilaria telah dibudidayakan oleh nelayan di tambak namun pemanfaatannya belum optimal. Kandungan utama rumput laut adalah polisakarida sebesar 40-70% bobot kering, bergantung pada jenis dan keadaan lingkungan tumbuh (Angka dan Suhartono 2000).


(27)

2.2 Budidaya Gracilaria verrucosa

Budidaya rumput laut untuk menghasilkan pertumbuhan optimum harus memperhatikan faktor-faktor pendukung yang diperlukan diantaranya adalah pemakaian jenis rumput laut bermutu, teknik budidaya tepat, pengelolaan tepat, selain itu dipengaruhi juga oleh faktor fisik, kimia dan biologi. Faktor fisik antara lain kedalaman, suhu dan kecerahan. Faktor kimia meliputi salinitas, pH, nutrisi dan faktor biologi yang meliputi persaingan antar talus, predator, dan tumbuhan pengganggu (Anggadiredja et al. 2002).

Metode penanaman berkaitan dengan penerimaan sinar matahari yang merupakan faktor utama untuk kehidupan rumput laut. Rumput laut tidak tumbuh pada kedalaman yang tidak terjangkau sinar matahari. Bobot bibit yang digunakan dalam budidaya rumput laut berkaitan dengan ruang tumbuh dan persaingan antar talus dalam mendapatkan nutrisi. Nutrisi dalam proses kehidupan diperoleh dari media air laut yang diserap secara difusi oleh talus. Lama penanaman rumput laut berkaitan dengan penyimpanan hasil fotosintesis. Hal ini didukung dengan pernyataan DKP (2003) bahwa dari hasil fotosintesis rumput laut menghasilkan beberapa zat penting dan mempunyai nilai ekonomis. Rumput laut merah (Rhodophyceae) menghasilkan floridin starch, mannoglycerate dan floridosida. Lebih spesifik lagi dikenal dengan polisakarida berupa agar dan karaginan. Rumput laut coklat (Phaeophyceae) menghasilkan alginat. Rumput laut hijau (Chlorophyceae) menghasilkan kanji dan lemak.

Produksi rumput laut selain dipengaruhi oleh syarat tumbuh juga dipengaruhi oleh pemilihan metode budidaya yang tepat. Metode budidaya rumput laut berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan dibagi menjadi tiga cara, yaitu metode dasar, metode lepas dasar, dan metode apung. Metode apung dapat dimodifikasi dengan tiga sistem yaitu metode apung sistem tali tunggal, sistem apung jaring dan sistem rakit apung (Aslan 1998).

Sistem dasar dilakukan dengan langsung menebarkan bibit di dasar perairan dan dibiarkan tumbuh secara alami. Sistem lepas dasar dengan cara mengikat bibit dengan rafia pada tali plastik yang direntangkan beberapa sentimeter di atas perairan dengan patok kayu atau bambu. Letak tanaman diusahakan selalu terendam dalam air. Pada sistem apung, biasanya digunakan


(28)

rakit bambu yang direntangi tali dan bibit diikat pada tali tersebut. Letak rakit dari permukaan air diatur dengan pemberat sehingga rumput laut tidak muncul dari permukaan air pada saat tanaman menjadi besar (Kadi dan Atmadja 1988).

Pada sistem apung, biasanya digunakan rakit bambu yang direntangi tali rafia pada tali plastik yang direntangkan beberapa centimeter di atas perairan dengan patok kayu dan bambu. Letak tanaman diusahakan selalu terendam air. Keuntungan pemeliharaan metode ini antara lain adalah pemeliharaan mudah dilakukan, gangguan hama sedikit, pemeliharaan lokasi lebih fleksibel dan intensitas cahaya matahari lebih besar (Ahda et al. 2005). Sistem dasar biasanya dilakukan pada perairan yang tenang (tambak) dan umumnya pada perairan yang tidak terlalu dalam, sehingga cahaya matahari mampu menembus perairan.

Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut seperti halnya biota perairan lainnya sangat dipengaruhi oleh toleransi fisiologi dari biota tersebut untuk beradaptasi terhadap faktor-faktor lingkungan, seperti substrat, salinitas, temperatur, intensitas cahaya, dan nutrisi. Secara umum, rumput laut dijumpai tumbuh di perairan yang dangkal dengan kondisi perairan berpasir, sedikit lumpur, atau campuran keduanya (Anggadiredja et al. 2002).

Faktor-faktor dalam budidaya rumput laut adalah pemilihan lokasi yang memenuhi persyaratan budidaya, penyediaan bibit yang baik dan cara pembibitan, metode budidaya dan perawatan, panen, penyimpanan, dan pemetaan. Bibit rumput laut yang digunakan harus mempunyai syarat-syarat pertumbuhan. Hal-hal dalam memilih bibit yang baik adalah fisik yang segar, talus kecil dan agak keras, bercabang banyak, rimbun dan berujung runcing, bibit berwarna cerah dan harus seragam (DKP 2008).

(a) Suhu

Suhu merupakan faktor penting untuk pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. Suhu mempunyai pengaruh terhadap kecepatan fotosintesis sampai suatu titik tertentu. Kecepatan fotosintesis akan meningkat dengan peningkatan temperatur (Fiter dan Hay 1992). Kemampuan adaptasi alga (Gracilaria) sangatlah bervariasi tergantung pada lingkungan dimana tumbuhan tersebut hidup. Chen dan Shang (1976) dalam Sjafrie (1990) menyatakan bahwa temperatur


(29)

optimum untuk budidaya Gracilaria adalah 20-25 oC, sedangkan menurut Kadi dan Atmadja (1988) suhu air untuk budidaya Gracilaria di Indonesia berkisar antara 20-28 oC.

(b) Salinitas dan pH

Salinitas merupakan faktor lingkungan penting bagi kehidupan organisme perairan. Setiap organisme memiliki toleransi berbeda terhadap kisaran salinitas. Chen dan Shang (1976) dalam Sjafrie (1990) menyatakan bahwa kisaran salinitas yang baik untuk budidaya Gracilaria adalah 15–20 o/oo,. Kadi dan Atmadja (1988)

menyatakan bahwa kisaran nilai pH yang baik untuk usaha budidaya

Gracilaria sp. di Indonesia adalah antara 8-8,5.

Menurut Trono dan Gavino (1990), Gracilaria sp. merupakan spesies

euryhaline dan dapat tumbuh pada perairan payau dengan kisaran salinitas luas. Salinitas optimum berkisar antara 15 sampai 24 ppt. Peningkatan salinitas dapat terjadi selama musim panas dengan nilai hingga 35 dan menurun sampai 8 ppt selama musim hujan.

(c) Unsur hara

Unsur hara atau nutrien merupakan suatu elemen berfungsi dalam kehidupan organisme. Unsur hara perairan mempengaruhi proses reproduksi, perkembangan, morfologi dan distribusi rumput laut. Unsur hara perairan berasal dari perairan itu sendiri, antara lain akibat dekomposisi sisa pakan, zat hara yang masuk ke perairan melalui aliran air permukaan tanah (run off), arus, erosi tanah, dan limbah sekitar (Watson 1978). Zat hara anorganik utama yang diperlukan fitoplankton untuk tumbuh dan berkembangbiak adalah nitrogen dalam bentuk nitrat (NO3) dan fosfor dalam bentuk fosfat (PO4) (Nybakken 1988).

Fosfor (P) merupakan unsur penting bagi semua aspek kehidupan terutama berfungsi dalam transformasi energi metabolik. Fosfor tidak dapat digantikan oleh unsur lain. Kandungan fosfor dalam sel alga mempengaruhi laju serapan fosfat, yaitu berkurang sejalan dengan meningkatnya kandungan fosfat dalam sel. Beberapa jenis alga mampu menyerap fosfat melebihi kebutuhannya dan mampu menyerap fosfat pada konsentrasi sangat rendah (Kuhl 1974). Senyawa fosfat


(30)

merupakan penyusun fosfolipida penting sebagai penyusun membran dan terdapat dalam jumlah besar. Energi yang dibebaskan dari hidrolisis pirofosfat dan berbagai ikatan fosfat organik digunakan untuk mengendalikan berbagai reaksi kimia (Noogle 1986 dalam Patadjal 1993).

Nitrogen adalah salah satu unsur utama penyusun sel organisme yaitu dalam proses pembentukan protoplasma. Nitrogen seringkali berada dalam jumlah terbatas di perairan, terutama di daerah beriklim tropis. Kekurangan nitrogen dalam perairan dapat menghambat pertumbuhan tanaman akuatik, walaupun unsur hara lain berada dalam jumlah melimpah (Hunter 1990 dalam Patadjal 1993).

Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan organisme dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah satu unsur utama pembentuk protein. Di perairan nitrogen ditemukan dalam bentuk amonia, nitrit dan nitrat serta beberapa senyawa nitrogen organik lain (Wardoyo 1981). Nitrat adalah nitrogen utama di perairan alami dan merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan alga (Effendi 2000).

Pada tumbuhan tingkat rendah (rumput laut) penyerapan air dan zat hara yang terlarut di dalamnya dilakukan melalui seluruh bagian tubuh dengan cara difusi. Telah diketahui bahwa isi sel hidup adalah protoplasma yang merupakan satu larutan. Tubuh tumbuhan dibangun oleh sel-sel tumbuhan yang setiap selnya memiliki dinding sel dari selulosa. Dinding tersebut umumnya bersifat permeabel

sehingga dapat dilewati air dan zat-zat telarut di dalamnya. Dinding sel alga

terdiri dari selulose dan agar atau karagen (Lobban dan Harrison 1994).

Ketersediaan unsur hara ke tanaman, dapat juga terjadi karena melalui mekanisme perbedaan konsentrasi. Konsentrasi unsur hara pada tanaman lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi hara pada lingkungan. Peristiwa pergerakan unsur hara terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi unsur hara tersebut dikenal dengan mekanisme penyediaan hara secara difusi. Proses difusi ini dapat berlangsung karena konsentrasi beberapa ion dalam sitosol dipertahankan tetap rendah, karena begitu ion-ion tersebut masuk kedalam sitosol akan segera dikonversi kebentuk lain, misalnya NO3ˉ segera direduksi menjadi

NH4ˉ, selanjutnya digunakan dalam sintesis asam amino dan protein. H2PO4ˉ


(31)

konsentrasi ketiga anion ini di dalam sitosol cenderung tetap rendah dan menyebabkan proses difusi dapat berlangsung (Lobban dan Harrison 1994).

(d) Kecerahan dan kedalaman

Kecerahan perairan sangat menentukan jumlah intensitas sinar matahari masuk ke suatu perairan. Kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh kekeruhan perairan, kandungan bahan-bahan organik

tersuspensi, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus (Anggadiredja

et al. 2006).

Air keruh dapat menghalangi cahaya matahari ke dalam air sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Disamping itu, kotoran dapat menutupi permukaan talus dan menyebabkan talus busuk dan patah. Secara keseluruhan kondisi ini akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan rumput laut (Ahda

et al. 2005).

Cahaya matahari merupakan sumber energi dalam proses fotosintresis. Gracilaria sebagai tumbuhan berklorofil, maka fotosintesis merupakan proses utama penentu laju pertumbuhan. Hal ini dikarenakan fotosintesis merupakan proses pengubahan zat anorganik menjadi zat organik dengan bantuan sinar matahari, kemudian digunakan untuk tumbuh dan berkembang secara normal (Rifai 2002).

2.3 Panen

Kualitas rumput laut tidak hanya dipengaruhi oleh teknik budidaya tetapi juga dipengaruhi oleh umur tanam, cara panen, dan keadaan cuaca pada saat panen. Rumput laut siap dipanen pada umur 1,5-2 bulan setelah tanam. Apabila panen dilakukan kurang dari umur tersebut maka menghasilkan rumput laut berkualitas rendah. Hal ini dikarenakan kandungan agar masih rendah dan kekuatan gel (gel strength) juga rendah, tetapi memiliki kadar air tinggi. Kondisi seperti ini tidak dikendaki oleh industri pengolah rumput laut sehingga akan dihargai lebih rendah, atau bahkan tidak dibeli (Anggadiredja et al. 2006).

Tanaman dapat dipanen setelah mencapai umur 6–8 minggu setelah tanam dengan bobot ikatan sekitar 600 g dari bobot awal sebesar 100 g. Cara memanen


(32)

rumput laut adalah dengan mengangkat seluruh tanaman ke darat, kemudian tali rafia pengikat rumput laut dipotong. Waktu pemanenan bervariasi untuk setiap lokasi penanaman berbeda. Namun, secara umum panen dilakukan pada usia satu bulan, perbandingan bobot basah dan kering berkisar 8 : 1. Apabila rumput laut dipanen pada usia dua bulan, perbandingan bobot basah dan bobot kering adalah 6 : 1 (Indriani dan Sumiarsih 2004). Pada Tabel 1 tercantum standar mutu rumput laut kering untuk Gracilaria.

Tabel 1. Standar mutu Gracilaria kering (SNI No. 01-2690.1998) Karakteristik Syarat (%)

- Kadar air - Benda asing* - Bau

maksimal 20 maksimal 5 Spesifik rumput laut * garam, pasir, karang dan kayu

Sumber: BSN (1998) 2.4 Agar

Agar merupakan salah satu jenis gum polisakarida yang telah lama dikenal dan merupakan koloid hidrofilik hasil ekstrak alga laut dari Kelas Rhodopyceae (Peterson dan Johnson 1978). Struktur agar terdiri atas dua komponen utama, yaitu agarosa dan agaropektin dalam jumlah bervariasi (Glicksman 1983). Agarosa merupakan komponen pembentuk gel netral dan tidak mengandung sulfat (Furia 1975). Agarosa terdiri dari pengulangan unit-unit agarobiosa tersusun dari ikatan ß-1,4 -3,6-anhidro-L-galaktosa dan ikatanα-1,3-D-galaktosa (Peterson dan Johnson 1978). Kandungan agar pada Gracilaria tiga kali lebih banyak daripada

Gelidium (Chapman dan Chapman1980). Rumus bangun agar dapat dilihat pada Gambar 3.


(33)

Gambar 3. Rumus bangun agar (Sumber: Aslan 1998)

Satari (2001) menyatakan bahwa agar merupakan polisakarida yang disusun dari dua fraksi utama yaitu agarosa dan agaropektin. Agaropektin mengandung muatan sulfat. Rasio antara agarosa dan agaropektin dalam agar berkisar antara 50-90%. Agarosa umumnya bebas sulfat dan terdiri dari β -1,3-D-galaktosa dan α,1-4,3-6-anhidrogalaktosa. Agaropektin kompleks merupakan campuran beberapa polisakarida mengandung 3-10% sulfat. Jumlah asam glukoronat tergantung spesies penghasilnya. Seringkali di dalam agaropektin

terdapat rangkaian agarosa dan 3,6-anhidro-L-galaktosa digantikan oleh L-galaktosa sulfat.

2.4.1 Sifat agar

Agar memiliki sifat khas yaitu tidak larut dalam air dingin, namun larut dalam air panas (Aslan 1998). Sifat menonjol dari agar adalah sifat gelasi (kemampuan membentuk gel), viskositas (kekentalan), melting point (suhu mencairnya gel) yang sangat menguntungkan dalam dunia industri pangan maupun nonpangan (Senior 2004). Satari (2001) menyatakan bahwa agar seberat 1,5 g dalam 100 ml air akan membentuk gel stabil pada suhu 32-39 oC dan tidak meleleh sampai suhu di bawah 85 oC. Dalam keadaan kering agar sangat stabil, sedangkan pada suhu tinggi dan pH rendah akan mengalami degradasi.

Bertambahnya umur akan meningkatkan kandungan 3,6-anhidro-L-galaktosa, hal ini sesuai dengan pernyataan Friedlander dan Zelokovitch (1984), bahwa peningkatan kekuatan gel berbanding lurus dengan banyaknya kandungan 3,6-anhidrogalaktosa dan berbanding terbalik dengan kandungan sulfatnya. Menurut Fritz (1987) hasil fotosintesis dari Rhodophyceae merupakan senyawa polisakarida. Rumput laut yang memiliki bobot awal lebih kecil, karena persaingan


(34)

relatif kecil, cenderung tumbuh lebih cepat dan mengandung lebih banyak senyawa polisakarida.

Agar merupakan polisakarida yang terakumulasi dalam dinding sel rumput laut penghasil agar atau agarofit, oleh karenanya agar yang terdapat dalam rumput laut dipengaruhi oleh musim. Semakin tua umur panen maka kandungan polisakarida yang dihasilkan semakin banyak sehingga karaginannya juga semakin tinggi (Syamsuar 2006). Konsentrasi sulfat dalam agar dapat dipengaruhi oleh perbedaan jenis dan asal rumput laut, metode ekstraksi, serta umur panen. Peningkatan umur panen dapat memberikan respon terhadap kandungan sulfat (Suryaningrum 1988).

Viskositas agar pada suhu 45 oC, pH 4,5-9 dengan konsentrasi larutan 1% adalah 2-10 Cp. Gugus yang menyebabkan pembentukan gel pada agar adalah 3,6-anhidro-L-galaktosa yang dapat membentuk ikatan heliks. Sifat lain yang sangat berpengaruh dalam pemanfaatan agar adalah viskositas yang tergantung

pada agarofit penghasilnya (Yunizal 2002). Menurut Indriani dan Sumiarsih (2004), fungsi utama agar adalah sebagai bahan pemantap, bahan

pembuat emulsi, bahan pengental, bahan pengisi, dan bahan pembuat gel. Kelebihan ini digunakan dalam beberapa industri seperti industri makanan, farmasi, kosmetik, tekstil, kulit, dan sebagai media pertumbuhan mikroba. Pemanfaatan agar dalam pembuatan makanan antara lain berfungsi sebagai

thickener dan stabilizer.

Dalam keadaan masih segar, rumput laut mempunyai kandungan air 65-90% dan rata-rata sekitar 83%. Perubahan musim dan faktor-faktor lain tidak berpengaruh terhadap kandungan air. Kadar abu rumput laut berkisar antara 15-40% berat kering dan sangat penting sebagai sumber mineral bagi keperluan gizi manusia. Talus muda mengandung sedikit mineral, dibanding talus tua (Yunizal 2002).

2.4.2 Pembentukan gel

Karakteristik pembentukan gel disebabkan oleh tiga buah atom hidrogen pada residu 3,6-anhidro-L-galaktosa yang memaksa molekul membentuk struktur heliks. Interaksi antar struktur heliks menyebabkan terbentuknya gel.


(35)

Penggantian senyawa L-galaktosa sulfat oleh senyawa 3,6-anhidro-L-galaktosa menyebabkan kekejangan (kekakuan) dalam struktur heliks dan pada saat ini gel mulai dibentuk. Jika grup sulfat dikonversi menjadi senyawa 3,6-anhidro-L-galaktosa, maka kekuatan gel akan lebih tinggi (Glicksman 1983).

Menurut Araki (1966) dalam Marinho-Soriano (2001), sifat pembentukan gel pada agar digunakan dalam pharmaceutical, kosmetik, dan industri makanan. Agar merupakan campuran dari sifat dasar pada polimer netral agarosa, piruvat agarosa, dan sulfat galaktan. Marinho-Soriano (2001) menyatakan bahwa muatan residu pada rantai polisakarida sebagian besar adalah ester sulfat dan gugus ketal piruvat. Menurut Orosco et al. (1992), pada umumnya agar yang diperoleh dari

Gracilaria memiliki kekuatan gel rendah, bagaimanapun karakter ini perlu diperbaiki. Agar memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, semakin tinggi kekuatan gel maka akan semakin tinggi harga di pasaran. Agar dengan kekuatan gel 800-900 gcm memiliki harga Rp. 90.000 dan kekuatan gel 1000-1200 gcm memiliki harga Rp. 200.000 (www.twenga.co.uk 2010).

2.5 Viskositas

Viskositas merupakan salah satu sifat agar selain kekuatan gel dan beberapa sifat yang lain. Viskositas pada alga merupakan daya aliran molekul dalam sistem larutan. Suspensi koloid dalam larutan dapat meningkat dengan cara mengentalkan cairan sehingga terjadi absorbsi dan pengembangan koloid (Glicksman 1983).

Agar merupakan suatu jenis gum yaitu senyawa polimer yang dapat dilarutkan ke dalam air sehingga memberikan suatu larutan atau suspensi kental. Agar bersifat tidak larut dalam air dingin tetapi larut dalam air mendidih. Viskositas larutan agar dipengaruhi oleh suhu, pH, dan bahan baku. Jika gel sudah terbentuk, viskositas pada suhu konstan akan meningkat dengan peningkatan umur gel (Yunizal 2002).

2.6 Ekstraksi agar

Rumput laut yang telah dibersihkan dari kotoran kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah rumput laut kering kemudian dicuci dengan


(36)

menggunakan air tawar mengalir untuk membersihkan butiran garam yang menempel akibat adanya penguapan air laut (Anggadiredja et al. 2006). Dilakukan perendaman menggunakan kapur Ca(OH2) sebanyak 0,25% selama

4-6 jam, dengan perendaman ini dimaksudkan untuk menghasilkan rumput laut putih bersih. Setelah dilakukan perendaman, rumput laut yang telah putih bersih dicuci kembali dengan air tawar untuk menghilangkan bau kapur, kemudian dikeringkan kembali (Winarno 1996). Pemucatan dengan melakukan perendaman rumput laut dalam larutan alkali (basa) bertujuan untuk mengkatalis pelepasan grup 6-sulfat dari unit galaktopiranosa yang berikatan 1,4 dengan membentuk residu 3,6-anhidro-L-galaktosa, sehingga dapat mempercepat proses kekejangan struktur heliks dan dapat memberikan kekuatan gel yang lebih tinggi (Ress 1971

dalam Yunizal 2002).

Perendaman rumput laut dalam larutan asam lebih baik dibanding dengan perendaman rumput laut dalam larutan alkali karena dapat mempercepat waktu ekstraksi, meningkatkan rendemen agar dan meningkatkan kekuatan gel agar. Perendaman rumput laut dalam larutan asam bertujuan untuk mempersiapkan pemisahan agar dari substansi nonagar (Matsuhashi 1977 dalam Yunizal 2002). Menurut Marinho dan Bourret (2003), efek musim dapat mempengaruhi rendemen dan sifat fisik dari agar.

Dinding sel perlu dipecah dengan ditambahkan asam untuk memudahkan ekstraksi. Bila tidak ada asam sulfat dapat digunakan asam asetat, asam sitrat, buah asam atau daun asam (Indriani dan Sumiarsih 2004). Di Australia, ekstraksi agar dilakukan dengan menggunakan asam fosfat. Setelah dilakukan perendaman kemudian perlu dilakukan pencucian dengan cara rumput laut direndam dalam air bersih selama 15 menit, hal ini dilakukan mengingat asam sulfat cukup berbahaya (Indriani dan Sumiarsih 2004).

Pemasakan dilakukan pada suhu 90 -100oC, pH 5-6 yang dapat diatur dengan menambahkan asam cuka 1%. Selain untuk mempertahankan pH, asam cuka juga dapat befungsi sebagai stabilizer agent, sehingga diperoleh tekstur molekul yang konsisten (Sadori 1992). Bila pH terlalu tinggi, maka gel dapat membeku dengan baik dan sebaliknya apabila pH larutan terlalu rendah, gel akan mudah terhidrolisis (Winarno 1996). Menurut Matsuhasi (1977) dalam


(37)

Yunizal (2002), proses ekstraksi dapat pula dilakukan pada pH netral atau tanpa penambahan asam yang direbus pada suhu 100oC selama 1-4 jam. Biasanya ekstraksi pada pH netral ini dilakukan hanya untuk rumput laut yang telah mengalami perendaman dalam larutan asam.

Agar yang telah dimasak disaring, kemudian cairan yang keluar ditampung dan didinginkan selama 7 jam. Agar yang telah beku dihancurkan dan dipres dengan kain. Hasilnya berupa lembaran-lembaran kemudian diangin-anginkan. Lembaran-lembaran kering dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam alat penggiling. Hasil penggilingan adalah agar tepung (Indriani dan Sumiarsih 2004).

2.7 Manfaat Agar

Agar di Indonesia dikenal dalam bentuk lembaran, batangan maupun tepung. Pada mulanya agar hanya digunakan sebagai bahanmakanan dan obat-obatan. Dengan kemajuan teknologi yang dicapai dewasa ini, penggunaan agar semakin luas. Sampai saat ini agar digunakan untuk keperluan laboratorium sebagai media kulturmikroba, dalam industri farmasi sebagai bahan peluntur, dalam industri kosmetik sebagai bahan dasar pembuat salep, krim, sabun dan lotion. Disamping itu agar juga dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam industri kertas, tekstil, odol. Dalam industri pangan, agar banyak dijumpai dalam berbagai bentuk, baik sebagai produk utama maupun produk tambahan bagi makanan lain (food additive) (Yunizal 2002).

Di bidang kesehatan, khususnya ketika Perang Dunia II, agar digunakan untuk membersihkan luka. Hal ini disebabkan dalam agar terdapat komponen yang dapat menghentikan penggumpalan darah, sehingga luka mudah untuk dibersihkan. Pada jaman dahulu, baik Jepang maupun Cina, agar digunakan sebagai obat sakit perut (Winarno 1996).

2.8 Standar Mutu Agar

Agar yang diperdagangkan harus memenuhi standar mutu industri Indonesia. Fungsi utama agar di industri adalah adalah sebagai bahan pemantap,


(38)

bahan pengemulsi, bahan pengental, bahan pengisi, dan bahan pembuat gel. Tabel 2. memperlihatkan standar mutu agar tepung.

Tabel 2. Standar mutu agar tepung rumput laut Gracilaria (SNI No. 01-2802-1995)

No Kriteria uji Satuan Persyaratan

1 Organoleptik (kenampakan, baudan konsistensi)

- Normal

2 Air % b/b Maksimal 17

3 Kelarutan (lolos ayakan 80 mesh) % b/b Maksimal 80 4 Abu tak larut asam % b/b Maksimal 0,5

5 Uji pati - Negatif

6 Absorbsi air % b/b Minimal 5 x bobot agar

7 7.1 7.2 7.3 7.4

8 9

Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Hg) Cemaran arsen

mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg

Maksimal 2,0 Maksimal 30,0 Maksimal 40,0 Maksimal 40,0 Maksimal 0,03 Maksimal 1,0 Sumber: BSN (1995)


(39)

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dimulai pada Mei 2009 sampai dengan Februari 2010. Penelitian lapangan dilaksanakan pada Mei 2009 sampai dengan Agustus 2009, sedangkan analisis laboratorium dilaksanakan pada September 2009 sampai dengan Februari 2010. Lokasi penelitian lapangan di Desa Selok, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta lokasi penelitian

Ekstraksi agar dilakukan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Analisis agar meliputi kadar air, kadar abu, sulfat dan logam berat dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Analisis viskositas, kekuatan gel, titik jendal, titik leleh dan derajat putih dilakukan di Laboratoriun Pengolahan dan Biokimia Pangan dan Gizi Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan IPB.

Desa Selok

Samudera Hindia

Lokasi

7o65 LS 7o

65 LS 109o15 BT


(40)

3.2 Bahan dan Alat

Bahan utama dalam penelitian adalah rumput laut jenis Gracilaria verrucosa. Bahan-bahan yang digunakan untuk budidaya rumput laut adalah tali nilon, bambu, dan tali rafia. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses ekstraksi agar adalah CaOCl2 dan CH3COOH. Bahan-bahan kimia yang

digunakan untuk analisis parameter mutu agar adalah HCl, Na2CO3, HNO3,

BaCl2, H2O2, asetaldehid, dan resorcinol.

Alat yang digunakan untuk penelitian lapangan adalah thermometer, kertas indikator pH, secchidisc, dan hand refractometer. Alat-alat yang digunakan untuk proses ekstraksi agar adalah panci, timbangan analitik, gelas ukur, kain blacu, cetakan agar, alat pengepres dan kompor. Alat yang digunakan untuk analisis mutu agar adalah cawan porselin, desikator, oven, labu erlenmeyer, gelas piala, tanur, Spektrofotometer Absorbsi Atom (AAS), whiteness meter, dan viscometer Brookfield.

3.3 Tahapan Penelitian

Penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pertama budidaya rumput laut dengan perlakuan metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen. Setiap 5 hari sekali dilakukan pengamatan yaitu dengan membersihkan rumput laut dari kotoran yang menempel, kemudian dilakukan pengukuran terhadap salinitas, pH, kadar sulfat, kadar fosfat dan kecerahan perairan. Rumput laut kering hasil budidaya sebelum diekstraksi menjadi tepung agar, terlebih dahulu dianalisis kadar air, kadar abu dan kadar abu tak larut asam. Tahap kedua, yaitu ekstraksi dan analisis sifat fisiko kimia agar dari rumput laut hasil budidaya. Tepung agar yang dihasilkan masing-masing perlakuan kemudian dianalisis rendemen, kekuatan gel, viskositas, kadar air, dan kadar abu. Penentuan agar terbaik dari masing-masing metode penanaman dipilih berdasarkan kelima parameter tersebut yang sesuai dengan standar mutu agar.Agar terbaik dari masing-masing metode penanaman kemudian dilakukan analisis yang meliputi titik jendal, titik leleh, derajat putih, kadar sulfat, 3,6-anhidro-L-galaktosa, dan kandungan logam berat.


(41)

3.3.1 Budidaya rumput laut

Budidaya rumput laut dilakukan dengan perlakuan metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen. Jenis bibit yang digunakan adalah jenis Gracilaria verrucosa, diperoleh dari petani budidaya rumput laut di Pemalang. Rumput laut dibawa ke Cilacap dengan cara dikemas menggunakan karung kemudian ditutup menggunakan terpal. Desain metode penanaman rumput laut dengan metode rakit apung dan dasar dapat dilihat pada Gambar 5.

(a) Metode rakit apung

(b) Metode rakit dasar

Gambar 5. Desain metode penanaman rumput laut Tiang

pancang

30 cm Pemberat

Pelampung

3 m

3 m 30 cm


(42)

Tambak yang digunakan berukuran 600 m2, sebelum tambak digunakan tambak dibersihkan dari lumut dan hewan pengganggu. Air tambak tidak perlu dilakukan pemupukan, hal ini dikarenakan tambak yang digunakan untuk penelitian sebelumnya telah digunakan untuk budidaya bandeng sehingga diharapkan tambak yang digunakan masih memiliki cukup zat hara untuk budidaya rumput laut. Substrat tambak terdiri dari pasir dan sedikit lumpur.

Rakit yang digunakan yaitu sebanyak 52 rakit, luas dari masing-masing rakit yaitu 3x3 m2 dengan 10 tali nilon yang direntangkan dengan jarak antar ikatan nilon 30 cm. Setiap tali diikatkan bibit sebanyak 10 ikat bibit dengan jarak antar bibit 30 cm, jumlah ikatan per rakit sebanyak 100 ikat bibit. Rakit diikatkan pada tiang pancang, namun masih memungkinkan rakit tersebut mengikuti tingginya air.

Metode tanam yang digunakan adalah metode rakit apung dan metode rakit dasar, bobot bibit yang ditanam sebanyak 50, 75 dan 100 gram tiap titik tanam. Lokasi budidaya dilakukan di perairan tambak. Pemanenan dilakukan setelah masa pemeliharaan 45, 60, 75 dan 90 hari. Setiap 5 hari kondisi tanaman dan perairan tambak dipantau, dibersihkan dari sampah dan biota pengganggu. Parameter perairan yang diukur yaitu suhu air tambak menggunakan termometer, pengukuran pH menggunakan kertas indikator pH, salinitas menggunakan hand refractometer, kecerahan menggunakan secchidisc, kedalaman perairan menggunakan tali dan meteran. Pengukuran kadar nitrat dan fosfat menggunakan

spektrofotometer.

Rumput laut dipanen sesuai dengan perlakuan umur panen, dan ditimbang untuk mengetahui bobot basahnya. Setelah dipanen rumput laut dicuci dengan menggunakan air tawar, untuk menghilangkan kotoran menempel. Rumput laut kemudian dimasukkan ke dalam karung untuk selanjutnya dibawa ke tempat penjemuran. Rumput laut dijemur di atas para-para selama 2-3 hari. Selama proses penjemuran, rumput laut tetap dijaga terhindar dari embun dan air hujan.


(43)

3.3.2 Ekstraksi agar

Pada penelitian tahap ekstraksi agar menggunakan rumput laut hasil budidaya dengan metode penanaman sistem apung (A1) dan sistem dasar (A2), bobot bibit 50 g (B1), 75 g (B2) dan 100 g (B3), dan umur panen 45 hari (C1), 60

hari (C2), 75 hari (C3), 90 hari (C4). Proses ekstraksi agar menggunakan metode Yunizal (2002), rumput laut kering direndam dengan air tawar selama 24 jam.

Ekstraksi dilakukan dengan perebusan menggunakan air dan CH3COOH 1% pada

suhu 80-90 oC dengan perbandingan rumput laut kering 1:10 selama 2 jam, kemudian dilakukan penyaringan. Penjendalan dilakukan dengan mendiamkan filtrat hasil penyaringan selama 24 jam, kemudian dipotong-potong setebal ± 1 cm. Pengepresan dilakukan dengan cara lembaran agar yang telah dipotong dibungkus dengan kain dan ditumpuk untuk dipres menggunakan alat pres. Setelah dipres selama 24 jam kemudian dijemur 2-3 hari hingga membentuk lembaran tipis. Kemudian lembaran digiling danagar kering kemudian dibuat tepung. Diagram alir proses pembuatan tepung agar dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Proses pembuatan tepung agar (Yunizal 2002)

Gracilaria verrucosa

Perendaman Ekstraksi Penyaringan

Penjedalan Pemotongan Pengepresan Penjemuran Penggilingan

Tepung agar

Semalaman

Suhu 80-90 oC Air tawar (1:10)

Penambahan CH3COOH


(44)

3.4 Laju Pertumbuhan Gracilaria verrucosa

Laju pertumbuhan dianggap menguntungkan adalah di atas 3% pertambahan bobot per hari. Laju pertumbuhan dihitung berdasarkan model eksponensial pertambahan bobot per hari (DKP 2008), yaitu:

Keterangan: G = Laju pertumbuhan harian (%) Wt = Rata-rata bobot akhir (g) Wo = Rata-rata bobot awal (g) t = Waktu budidaya (hari) 3.5 Analisis Parameter Fisiko-Kimia

Rumput laut kering hasil budidaya sebelum diekstraksi menjadi tepung agar, terlebih dahulu dianalisis kadar air, kadar abu dan kadar abu tak larut asam. Tepung agar yang dihasilkan masing-masing perlakuan kemudian dianalisis rendemen, kekuatan gel, viskositas, kadar air, kadar abu. Penentuan agar terbaik dari masing-masing metode penanaman dipilih berdasarkan kelima parameter tersebut yang sesuai dengan standar mutu agar. Agar terbaik dari masing-masing metode penanaman kemudian dilakukan analisis yang meliputi titik jendal, titik leleh, derajat putih, kadar sulfat, 3,6-anhidro-L-galaktosa, dan kandungan logam berat.

(a) Rendemen (Marine Colloid FMC Corp. 1978)

Rendemen agar sebagai hasil ekstraksi dihitung berdasarkan rasio antara bobotagar yang dihasilkan dengan bobot rumput laut kering yang digunakan pada masing-masing perlakuan. Nilai rendemen dihitung dengan rumus sebagai berikut:

100% x

(g)

kering laut

rumput berat

(g)

kering agar

berat =

(%)

Rendemen

x10 1

Wo Wt G


(45)

(b) Kekuatan gel (Faridah et al. 2006)

Larutan agardisiapkan dalam konsentrasi 1,5% (b/v), kemudian dipanaskan selama 10 menit sambil diaduk.Larutan panas dimasukkan ke dalam cetakan yang berdiameter 3 cm dan tinggi 4 cm. Larutan agar dibiarkan membentuk gel selama satu malam.Pengukuran dilakukan dengan menggunakan

Texture Analyzer. Alat ini menggunakan probe dengan luas 0,9123 cm2. Sampel diletakkan dibawah probe dan dilakukan penekanan beban 97 g. Tinggi kurva kemudian diukur menggunakan jangka sorong. Perhitungan kekuatan gel adalah sebagai berikut:

960 x

G

dyne =

(gcm) gel

Kekuatan

Keterangan: F = tinggi kurva G = konstanta (0,07) D = kekutan gel (gcm)

(c) Viskositas (Faridah et al. 2006)

Viskositas adalah pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir.Satuan dari viskositas adalah poise (1 poise = 100 cP). Viskositas diukur dengan viscometer brookfield. Makin tinggi viskositas menandakan makin besarnya tahanan cairan yang bersangkutan. Larutan agar dengan konsentrasi 1,5% dipanaskan dalam bak air mendidih sambil diaduk secara teratur sampai suhu mencapai 75 oC kemudian nilai viskositas dapat diketahui dengan pembacaan pada skala 1 sampai 100. Pembacaan dilakukan setelah 1 menit putaran penuh 2 kali untuk spindle no 1.

(d) Derajat putih (Keet Electric Laboratory 1981)

Pengujian derajat putih dilakukan dengan menggunakan alat whiteness meter. Prinsipnya adalah melalui pengukuran indeks refleksi dari permukaan sampel dengan sensor foto dioda. Semakin putih sampel, maka cahaya yang dipantulkan semakin banyak. Pengukuran derajat putih menggunakan natrium karbonat (Na2CO3) sebagai standar putih, standar putih ini bernilai 100. Produk

yang akan diukur derajat putihnya dicari warna dasarnya terlebih dahulu dengan cara mencocokkan warna sampel dengan atribut warna pada alat, kemudian


(46)

nilainya dibandingkan dengan warna standar putih. Semakin tinggi skala yang diperoleh, maka warna yang dihasilkan akan semakin mendekati standar.

(e) Titik jendal dan titik leleh (Marine Colloid FMC Corp. 1978)

Pengukuran suhu larutan agar 2% dilakukan dengan termometer digital ketelititan 0,1oC sambil menurunkan suhu media bertahap dengan kecepatan penurunan 0,6 oC/menit. Sensor diangkat secara periodik dan suhu pada saat sensor dapat mengangkat gel dari filtrat adalah suhu pembentukan gel.

Suhu pelelehan diukur dengan memanaskan gel pada konsentrasi 2% yang diatasnya diletakkan gotri dengan dengan kecepatan pemanasan 1 oC/menit. Suhu yang tercatat pada saat gotri jatuh ke dasar gel merupakan titik leleh agar.

(g) Kadar air (AOAC 2005)

Analisis kadar air dilakukan dengan metode oven. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam cawan yang telah dikeringkan dalam oven 100-102 °C selama 15 menit dan telah diketahui bobotnya. Sampel dalam cawan dikeringkan dalam oven 100-102 °C selama 6 jam atau untuk produk yang tidak mengalami dekomposisi dengan pengeringan yang lama, dapat dikeringkan selama 1 malam (16 jam). Kemudian cawan dipindahkan ke dalam desikator sampai bobotnya tetap kemudian ditimbang kembali. Kadar air ditentukan dengan rumus:

1 0 0 %

(g)

awal samp b erat

(g ker sam b erat

-(g)

awal

samp el b erat

=

(%) air

Kad ar x

(h) Kadar abu (AOAC 2005)

Cawan pengabuan disiapkan, kemudian dibakar dalam tanur, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 g sampel ditimbang dalam cawan tersebut, diletakkan dalam tanur pengabuan, dibakar sampai didapat abu berwarna abu-abu. Pengabuan dilakukan selama 2 tahap: pertama pada suhu sekitar 400 °C dan dilanjutkan pada suhu 550 °C. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan rumus:


(47)

100% x

(g)

sampel berat

(g) abu berat =

(%) abu Kadar

(i) Kadar abu tidak larut asam (Marine Colloid FMC Corp. 1978)

Sampel yang telah diabukan dididihkan dengan 25 ml HCl 10% selama 5 menit. Bahan-bahan yang tidak terlarut disaring dengan menggunakan kertas saring tak berabu kemudian kertas tersebut dibakar dalam tanur, didinginkan dalam desikator untuk selanjutnya ditimbang. Kadar abu tidak larut asam dihitung menggunakan rumus:

100% x

(g)

sampel berat

(g) abu berat =

(%) asam larut

abu tak Kadar

(j) Logam berat (AOAC 2005) - Pb, Cu, Zn

Penetapan jumlah timbal, tembaga dan seng dilakukan dengan Atomic Absorbtion spectofotometer (AAS) yang dilengkapi dengan Graphite furnace.

Prosedur pengukurannya adalah sebagai berikut: cawan porselen bertutup disiapkan dan dibuka separuh permukaannya untuk meminimalkan kontaminasi dari debu selama pengeringan. Cawan porselen dikeringkan dalam oven pada suhu 103 oC selama 2 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian dilakukan penimbangan dan pencatatan. Masing-masing sampel ditimbang sebanyak 0,5 g. Untuk kontrol positif (spike), ditambahkan 0,25 ml larutan standar masing-masing unsur (Pb, Cu dan Zn) 1 mg/l ke dalam contoh sebelum dimasukkan ke dalam tungku pengabuan. Spliked diuapkan di atas hot plate pada suhu 100 oC. Sampel dan spiked dimasukkan ke dalam tungku pengabuan dan tutup separuh permukaannya. Suhu tungku pengabuan dinaikkan secara bertahap 100 oC setiap 30 menit sampai mencapai 450 oC dan dipertahankan selama 18 jam. Sampel dan spiked dikeluarkan dari tungku pengabuan dan didinginkan pada suhu kamar.

Setelah dingin ditambahkan 1 ml HNO3 65%, digoyang secara hati-hati


(48)

pada suhu 100 oC hingga kering. Setelah kering sampel dan spiked dimasukkan kembali ke dalam tungku pengabuan. Suhu dinaikkan secara bertahap 100 oC setiap 30 menit sampai mencapai 450 oC dan dipertahankan selama 3 jam. Setelah abu terbentuk sempurna berwarna putih, sampel dan spiked didinginkan pada suhu ruang. Sebanyak 5 ml HCl 6M ditambahkan ke dalam masing-masing contoh dan

spiked, kemudian digoyang secara hati-hati sehingga abu larut dalam asam. Uapkan di atas hot plate pada suhu 100 oC sampai kering. 10 ml HNO3 0,1 M

dimasukkan kedalam masing-masing sampel dan didinginkan pada suhu ruang selama 1 jam, larutan dipindahkan ke dalam labu takar 50 ml (polypropylene), kemudian ditepatkan sampai tanda batas dengan menggunakan HNO3 0,1M.

Larutan standar untuk pengukuran kadar Pb disiapkan dengan enam titik kadar (0,5; 1; 3; 6; 9; 12 ppm), larutan standar untuk pengukuran kadar Cu disiapkan dengan enam titik (0,1; 0,25; 0,5; 0,75; 1; 1,25 ppm), larutan standar untuk pengukuran kadar Zn disiapkan dengan empat titik (0,2; 0,4; 0,8; 1,2 ppm). Larutan standar, sampel, dan spiked pada alat spektofotometer serapan atom pada panjang gelombang yang disesuaikan untuk masing-masing logam (Pb 228,8nm, Cu 324,7 nm, dan Zn 213,9 nm.. Kadar sampel ditentukan berdasarkan kurva kalibrasi. Kurva standar disajikan pada Lampiran 1. Kadar logam dalam sampel dari kurva standar dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

W

ml

1000 l

1 x V x Fp x E)

-(D =

(ppm) dan Zn Cu,

Pb,

Kadar

Keterangan: D : kadar sampel dari hasil pembacaan AAS

E : kadar blanko sampel dari hasil pembacaan AAS W : berat sampel

V : volume akhir larutan sampel Fp : faktor pengenceran

- Hg

Penetapan jumlah merkuri dilakukan dengan Atomic Absorbtion spectofotometer tanpa nyala api (Flameless AAS). Prosedur pengukurannya adalah sebagai berikut: labu alas bulat 250 ml dikeringkan dalam oven pada suhu 103 oC selama 2 jam. Labu alas bulat kemudian didinginkan dalam desikator


(49)

selama 30 menit, ditimbang dan dicatat. Sampel ditimbang sebanyak 0,2 g dan catat bobotnya. Untuk kontrol positif (spiked), 0,5 ml larutan standar merkuri 1 mg/l ditambahkan ke dalam sampel, ditambahkan 10 mg-20mg V2O5, kemudian

ditambahkan secara berturut-turut 10 ml HNO3 65% dan 10 ml H2SO4 95-97%.

Pemanasan dilakukan dengan panas yang rendah sampai mendidih secara perlahan selama kurang lebih 6 menit (untuk mencegah tumpahnya contoh), kemudian pemanasan dilanjutkan dengan panas yang lebih tinggi untuk menghasilkan larutan berwarna coklat kekuningan yang bening (cleary yellowish brown). Labu digoyangkan selama digesti berlangsung sampai zat padat tidak ada lagi kecuali apungan lemak yang tampak setelah didinginkan pada suhu ruang

selama kurang lebih 4 menit. Pendingin dibilas dengan 15 ml air deionisasi. 2 tetes H2O2 30% ditambahkan melalui ujung atas pendingin, kemudian bilas

pendingin dengan 15 ml air deionisasi. Larutan didinginkan pada suhu ruang (labu alas bulat dan pendingin harus tetap bersatu). Labu diangkat dari pendingin, leher labualas bulat dibilas dengan air deionisasi. Larutan dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml kemudian tepatkan dengan air deionisasi.

Pembacaan AAS dilakukan dengan cara sebagai berikut: larutan standar dengan lima titik konsentrasi 10, 20, 30, 40, 50 ppm). Sampel, spiked dan larutan standard kemudian dibaca pada panjang gelombang 253,7 nm. Kurva standar disajikan pada Lampiran 1. Kadar merkuri dapat dihitung dengan rumus sebagai:

W

ml

1000 l

1 x V x Fp x E)

-(D =

(ppm) dan Zn Cu,

Pb,

Kadar

Keterangan: D : kadar sampel dari hasil pembacaan AAS E : kadar blanko sampel dari hasil pembacaan AAS W : berat sampel

V : volume akhir larutan sampel Fp : faktor pengenceran

(k) Kadar sulfat ( Marine Colloid FMC Corp. 1978)

Sampel sebanyak 1 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer, ditambahkan 50 ml HCl 0,2 N kemudian direfluks selama 6 jam


(50)

sampai larutan menjadi jernih. Larutan dipindahkan ke dalam gelas piala dan dipanaskan sampai mendidih. Selanjutnya ditambahkan 10 ml larutan BaCl2 di

atas penangas air selama 2 jam.

Endapan yang terbentuk disaring dengan kertas saring tak berabu dan dicuci dengan akuades mendidih hingga bebas klorida. Kertas saring dikeringkan ke dalam oven pengering, kemudian diabukan pada suhu 1000 oC sampai diperoleh abu warna putih. Abu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Perhitungan kadar sulfat adalah sebagai berikut:

100% x

(g)

sampel berat

0,4116 x

P =

(%)

sulfat Kadar

Keterangan:

0,4116 = massa atom relatif SO4 dibagi dengan massa atom relatif BaSO4

P = bobot endapan BaSO4

(l) Konsentrasi 3,6-anhidro-L-galaktosa (Stanley 1966)

Sampel didinginkan dalam ice bath (± 10 oC) selama 10 menit. Kemudian ditambahkan 10 ml workiang reagent yang dibuat dari 25 mL resorcinol ditambahkan ke dalam 250 mL HCl pekat, kemudian ditambahkan 2,5 mL asetaldehid dan diaduk. Sampel kemudian didinginkan kembali dalam ice bath

selama kurang lebih 5 menit. Setelah itu dipindahkan dalam water bath selama 4 menit dengan suhu 20 oC kemudian dinaikkan menjadi 80 oC dan didiamkan selama 10 menit hingga terbentuk warna merah jingga. Sampel kemudian didinginkan kembali dalam ice bath selama 1,5 menit, dan dibiarkan dalam suhu kamar. Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam kuvet kemudian diukur absorbsinya dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 558 nm. Larutan standar dibuat dengan menggunakan akuades (0,003 M glukosa: 2, 4, 6, 8, dan 10 mL dengan 98, 96, 94, 92, dan 90 mL akuades), Kurva standar disajikan pada Lampiran 2. Perhitungan kadar 3,6-anhidro-L-gaktosa adalah sebagai berikut:


(51)

3.6 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok faktorial dengan metode penanaman sebagai kelompok dengan 2 taraf (apung dasar), dan dua faktor yaitu bobot bibit dengan 3 taraf (50, 75, dan 100 g) serta umur panen dengan 4 taraf (45, 60, 75 dan 90 hari). Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Data hasil pengamatan diolah dengan analisis ragam dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Beda Berjarak Duncan (Steel dan Torie 1993). Data diolah dengan program SPSS 13 pada tingkat kepercayaan 95%. Analisis yang digunakan untuk agar terbaik menggunakan rancangan acak lengkap dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Beda Berjarak Duncan (Steel dan Torie 1993), menggunakan program SPSS 13 pada tingkat kepercayaan 95%.

Faktor metode penanaman (A) A1 : Apung

A2 : Dasar Faktor bobot bibit (B)

B1 : 50 g B2 : 75 g B3 : 100 g Faktor umur panen

C1 : 45 hari C2 : 60 hari C3 : 70 hari C4 : 90 hari

Data hasil pengamatan diolah dengan analisis ragam. dan dilanjutkan dengan Uji Beda Jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie 1993). Data diolah dengan program SPSS 13 pada tingkat kepercayaan 95%. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yijkl = µ + Bi + Cj + BCij + Kk+ €ijlk

Dimana :

Yijkl = Nilai pengamatan pada faktor B taraf ke-i, faktor C ke j, kelompok K

ke-k, dan ulangan ke-l = Nilai tengah umum

Bi = Pengaruh bobot bibit taraf ke-i (i = bobot bibit 50, 75 dan 100)

Cj = Pengaruh umur panen taraf ke-j (j = umur panen 45, 60, 75 dan 90)

BCij = Pengaruh interaksi antara bobot bibit taraf ke-i dengan umur panen


(52)

Kk = Pengaruh kelompok metode penanaman taraf ke-k (k = apung dan dasar)


(53)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Faktor Fisiko dan Kimia Perairan

Faktor lingkungan merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kondisi alam tempat pembudidayaan rumput laut. Faktor lingkungan yang diukur pada penelitian meliputi suhu perairan, salinitas, pH, kecerahan dan unsur hara (nitrat dan fosfat). Semua faktor lingkungan wakan berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut.

(a) Suhu perairan

Suhu perairan merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam budidaya rumput laut, karena suhu akan mempengaruhi laju fotosintesis rumput laut. Chen dan Shang (1976) dalam Sjafrie (1990) menyatakan bahwa temperatur optimum untuk budidaya Gracilaria verrucosa adalah 20-25 oC, sedangkan menurut Kadi dan Atmadja (1988) suhu air yang dipersyaratkan untuk membudidayakan Gracilaria di Indonesia, sebaiknya 20-28 oC. Hasil pengukuran suhu perairan tambak berkisar antara 25-29 oC. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi perairan Tambak Desa Selok, Adipala Cilacap, sesuai untuk pertumbuhan rumput laut G. verrucosa.

(b) Salinitas

Gracilaria mempunyai toleransi yang lebar terhadap salinitas, oleh karena itu G. verrucosa memungkinkan dibudidayakan di daerah pertambakan atau air payau. Kjeldsen dan Phinney (1972) dalam Sutresno dan Prihatini (2003), menyatakan bahwa salinitas akan mempengaruhi laju respirasi dan fotosintesis makroalga, tetapi setiap spesies makroalga mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap kisaran salinitas. G. verrucosa dapat ditanam pada kisaran salinitas antara 20-30 ppt (Sadhori 1992). Hasil pengukuran pada perairan tambak di Desa Selok, Cilacap telah sesuai dengan syarat pertumbuhan G. verrucosa yaitu 25- 28 ppt. Berdasarkan penelitian Sutresno dan Prihatini (2003), salinitas berpengaruh terhadap pertumbuhan talus G. verrucosa. Salinitas 25-29 ppt memberikan rata-rata bobot basah, panjang talus dan bobot kering tertinggi.


(1)

Lampiran 24. Rekapitulasi data kekuatan gel agar tepung

G. verrucosa

Perlakuan Kekuatan gel agar (gcm) rata-rata

Ulangan I Ulangan II Ulangan III

A1B1C1 230 240 240 236,67

A1B1C2 307 306 306 306,33

A1B1C3 295 295 296 295,33

A1B1C4 259 256 256 257,00

A1B2C1 198 210 198 202,00

A1B2C2 275 272 275 274,00

A1B2C3 264 265 266 265,00

A1B2C4 228 220 225 224,33

A1B3C1 210 209 208 209,00

A1B3C2 279 274 279 277,33

A1B3C3 273 275 274 274,00

A1B3C4 238 230 210 226,00

A2B1C1 230 240 220 230,00

A2B1C2 293 293 295 293,67

A2B1C3 285 285 286 285,33

A2B1C4 247 247 240 244,67

A2B2C1 200 190 210 200,00

A2B2C2 272 271 272 271,67

A2B2C3 265 265 265 265,00

A2B2C4 220 220 219 219,67

A2B3C1 229 209 209 212,67

A2B3C2 270 268 268 268,67

A2B3C3 250 250 257 252,33

A2B3C4 211 213 216 213,33

keterangan: A1 : Metode rakit apung

A2 : Metode rakit dasar

B1 : Bobot bibit 50 g

B2 : Bobot bibit 75 g

B3 : Bobot bibit 100 g

C1 : Umur panen 45 hari

C2 : Umur panen 60 hari

C3 : Umur panen 75 hari

C4 : Umur panen 90 hari


(2)

Lampiran 25. Hasil analisis ragam kekuatan gel agar tepung

G. verrucosa

Source Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 115226,6111 23 5009,853 1297,516 2,0056E-59 Intercept 3977140,056 1 3977140 1030051 1,258E-105

metode 0,8889 1 0,8889 0,2302 0,6335

bobot bibit 2.6944 2 1,3472 0,3489 0,7072

umur panen 115211,8333 3 38403,94 9946,345 4,8654E-67 metode * bobot

bibit 2,5278 2 1,2638 0,3274 0,7224

metode * umur

panen 3,8889 3 1,2962 0,3357 0,7995

Bobot bibit * umur

panen 1,7500 6 0,2917 0,0754 0,9981

metode * bobot

bibit * umur panen 3,0278 6 0,5046 0,1306 0,9918

Error 185,3333 48 3,8611

Total 4092552 72

Corrected Total 115411,9444 71

Lampiran 26. Hasil uji Duncan kekuatan gel agar tepung

G. verrucosa

Bobot bibit

Bobot bibit n Subset

1 2

75 12 241,3333 100 12 246,5833

50 12 273,8333

Sig. 0,678426 1

Umur panen

Umur panen n Subset

1 2 3 4

45 18 172,6667

90 18 227,8333

75 18 265,2778

60 18 274,3333


(3)

Lampiran 27. Rekapitulasi data viskositas agar tepung

G. verrucosa

Perlakuan Viskositas agar (cP) rata-rata

Ulangan I Ulangan II Ulangan III

A1B1C1 32,72 32,70 32,70 32,71

A1B1C2 38,10 38,21 38,21 38,17

A1B1C3 35,65 35,80 35,80 35,75

A1B1C4 33,33 33,00 33,00 33,11

A1B2C1 31,70 31,80 31,83 31,78

A1B2C2 36,30 36,25 36,18 36,24

A1B2C3 36,00 36,14 35,95 36,04

A1B2C4 33,04 32,97 33,81 33,27

A1B3C1 30,85 30,86 30,77 30,83

A1B3C2 36,48 36,50 35,72 36,42

A1B3C3 35,60 35,58 35,50 35,50

A1B3C4 33,58 33,64 33,64 33,62

A2B1C1 31,00 31,22 31,10 31,11

A2B1C2 37,06 37,20 37,25 37,17

A2B1C3 35,40 35,41 35,40 35,40

A2B1C4 32,10 32,00 32,22 32,11

A2B2C1 30,68 30,54 30,60 30,61

A2B2C2 35,30 35,20 35,20 35,05

A2B2C3 35,00 35,10 35,05 35,05

A2B2C4 33,21 33,31 33,30 33,27

A2B3C1 30,55 30,65 30,51 30,57

A2B3C2 34,91 34,90 34,87 34,89

A2B3C3 33,71 33,67 33,70 33,69

A2B3C4 31,36 31,55 31,50 31,47

keterangan: A1 : Metode rakit apung

A2 : Metode rakit dasar

B1 : Bobot bibit 50 g

B2 : Bobot bibit 75 g

B3 : Bobot bibit 100 g

C1 : Umur panen 45 hari

C2 : Umur panen 60 hari

C3 : Umur panen 75 hari

C4 : Umur panen 90 hari


(4)

Lampiran 28. Hasil analisis ragam viskositas agar tepung

G. verrucosa

Source

Type III Sum of Squares

Df Mean Square F Sig. Corrected Model 1259,278 23 54,75124 1537,536 3,442E-61 Intercept 92829,51 1 92829,51 2606858 2,64E-115

metode 0,0231 1 0,023113 0,64905 0,4244256

bobot bibit 6,7609 2 3,380476 94,93128 2,08E-17 umur panen 1229,859 3 409,9531 11512,39 1,463E-68 metode * bobot bibit 0,0145 2 0,007363 0,206755 0,813939 metode * umur panen 0,1693 3 0,056464 1,585644 0,2050753 bobot bibit * umur

panen 22,1430 6 3,690515 103,6379 9,477E-26 metode * bobot bibit

* umur panen 0,3077 6 0,051298 1,440553 0,2190051

Error 1,7092 48 0,03561

Total 94090,49 72

Corrected Total 1260,988 71

Lampiran 29. Hasil uji Duncan viskositas agar tepung

G. verrucosa

Bobot bibit

Bobot bibit n Subset

1 2

50 24 35,4758

75 24 36,0829

100 24 36,1616

Sig. 1 0,1547

Umur panen

Umur panen n Subset

1 2 3 4

45 18 30,7638

90 18 34,9072

75 18 35,6605

60 18 42,2956


(5)

(6)