Brand Image Landasan Teori

Chernatony 2003 dalam Tjiptono 2011:21-23 mengidentifikasi setidaknya ada empat belas interpretasi terhadap merek, yang dikelompokkannya menjadi tiga kategori: interpretasi berbasis input branding dipandang sebagai cara para manajer mengalokasikan sumber dayanya dalam rangka meyakinkan konsumen, interpretasi berbasis output interpretasi dan pertimbangan konsumen terhadap kemampuan merek memberikan nilai tambah bagi mereka, dan interpretasi berbasis waktu menekankan branding sebagai proses yang berlangsung terus- menerus. Ketiga kategori ini kemudian dijabarkan menjadi empat belas macam interpretasi, yakni merek sebagai logo, instrumen hukum, perusahaan, shorthand, risk reducer, positioning, kepribadian, serangkaian nilai, visi, penambahan nilai, identitas, citra, relasi, dan evolving entity. Tabel 2.2 Interpretasi terhadap merek No Interpretasi Deskripsi A. Perspektif Input 1 Merek sebagai logo Merek didefinisikan sebagai “nama, istilah, tanda, simbol atau desain, atau kombinasi diantaranya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang dan jasa dari satu penjual atau sekelompok penjual dan membedakannya dari barang dan jasa para pesaingnya” definisi American Marketing Association, dikutip dalam Kotler, et al.. Definisi ini menekankan peranan merek sebagai identifier dan diferentator 2 Merek sebagai instrumen hukum Merek mencerminkan hak kepemilikan yang dilindungi secara hukum. 3 Merek sebagai perusahaan Merek merepresentasikan perusahaan, dimana nilai- nilai korporat diperluas keberbagai macam kategori produk. 4 Merek sebagai shorthand Merek memfasilitasi dan mengakselerasi pemrosesan informasi konsumen. 5 Merek sebagai penekan risiko risk reducer Merek menekan persepsi konsumen terhadap resiko misalnya risiko kinerja, risiko financial, risiko waktu, risiko sosial, dan risiko psikologis 6 Merek sebagai positioning Merek diinterpretasikan sebagai wahana yang memungkinkan pemiliknya untuk mengasosiasikan penawarannya dengan manfaat fungsional tertentu yang penting, bisa dikendalikan, dan dinilai penting oleh para konsumen. 7 Merek sebagai kepribadian Merek memiliki nilai-nilai emosional atau kepribadian yang bisa sesuai dengan citra diri konsumen baik citra actual, citra aspirasional, maupun citra situasional. Jennifer Aaker mengidentifikasikan lima kepribadian merek: sincerity, excitement, competence, sophistication, dan ruggedness. 8 Merek sebagai serangkaian nilai Merek memiliki serangkaian nilai yang mempengaruhi pilihan merek. Sebagai contoh, merek Virgin terdiri atas empat niali utama: inovasi berkualitas, fun, a sense of challenge, dan value for money. Nilai-nilai ini kemudian diterjemahkan kedalam beraneka ragam produk, mulai dari penerbangan dan kartu kredit hingga perusahaan rekaman. 9 Merek sebagai visi Merek merupakan visi bagi para manajer senior dalam rangka membuat dunia ini semakin baik. Dengan kata lain, merek mencerminkan apa yang ingin diwujudkan dan dtawarkan oleh para manajer senior kepada masyarakat luas. 10 Merek sebagai penambah nilai Merek merupakan manfaat ekstra fungsional dan emosional yang ditambahkan pada produk atau jasa inti dan dipandang bernilai oleh konsumen. 11 Merek sebagai identitas Merek memberikan makna pada produk dan menentukan identitasnya, baik dalam hal ruang maupun waktu B. Perspektif Output 12 Merek sebagai citra Merek merupakan serangkaian asosiasi yang dipersepsikan oleh individu sepanjang waktu, sebagai hasil pengalaman langsung maupun tidak langsung atas sebuah merek. 13 Merek sebagai relasi Oleh karena merek bisa dipersonifikasikan, maka para pelanggan bisa menjalin relasi dengannya. Merek membantu pelanggan melegitimasi pandangan atau pemikirannya terhadap dirinya sendiri. C. Perspektif Waktu 14 Merek sebagai evolving entity Merek bertumbuh seiring perubahan permntaan pelanggan dan persaingan. Akan tetapi, yang berubah adalah peripheral values, sementara core values jarang berubah. Sumber: Tjiptono 2011:22-23 Dari berbagai interpretasi terhadap merek diatas, Kotler dan Keller 2009:259 menjelaskan mengenai peranan merek. Merek mengidentifikasikan sumber atau pembuat produk dan memungkinkan konsumen unutk menuntut tanggung jawab atas kinerjanya kepada pabrikan atau distributor tertentu. Konsumen dapat mengevaluasi produk yang sama secara berbeda tergantung pada bagaimana pemerekan produk tersebut. Konsumen belajar tentang merek melalui pengalaman masa lalu dengan produk tersebut dan program pemasarannya, menemukan merek mana yang memuaskan kebutuhan mereka dan mana yang tidak. Ketika hidup konsumen menjadi rumit, terburu-buru, dan kehabisan waktu, kemampuan merek untuk menyederhanakan pengambilan keputusan dan mengurangi risiko adalah sesuatu yang berharga. Merek juga melaksanakan fungsi yang berharga bagi perusahaan. Petama, merek menyederhanakan penanganan atau penelusuran produk. Merek membantu mengatur catatan persediaan dan catatan akuntansi. Merek juga menawarkan perlindungan hukum kepada perusahaan untuk fitur-fitur atau aspek unit produk. Nama merek dapat dilindungi melalui nama barang terdaftar; proses manufaktur dapat dilindungi melalui hak paten; dan kemasan dapat dilindungi melalui hak cipta dan rancangan hak milik. Hak milik intelektual ini memastikan bahwa perusahaan dapat berinvestasi dengan aman dalam merek tersebut dan mendapatkan keuntungan dari sebuah aset yang berharga. Menurut Tjiptono 2011:128 merek dikelompokkan dalam berbagai manfaat, diantaranya: Tabel 2.3 Manfaat-Manfaat Merek No Manfaat Merek Deskripsi 1 Manfaat Ekonomik Merek merupakan sarana bagi perusahaan unutk saling bersaing memperebutkan pasar. Konsumen membeli merek berdasarkan value for money yang ditawarkan berbagai macam merek. Relasi antara merek dan konsumen dimulai dengan penjualan. Sebagain besar konsumen lebih suka memilih penyedia jasa yang lebih mahal namun diyakininya bakal memuaskan ketimbang memilih penyedia jasa lebih murah yang tidak jelas kinerjanya. 2 Manfaat Fungsional Merek memberikan peluang bagi diferensiasi. Selain memperbaiki kualitas, perusahaan- perusahaan juga memperluas mereknya dengan tipe-tipe produk baru. Merek memberikan jaminan kualitas. Apabila konsumen membeli merek yang sama lagi, maka ada jaminan bahwa kinerja merek tersebut akan konsisten dengan sebelumya. Pemasar merek berempati dengan para pemakai akhir dan masalah yang diatasi merek yang ditawarkan. Merek memfasilitasi ketersediaan produk secara luas. Merek memudahkan iklan dan sponsorship. 3 Manfaat Psikologis Merek merupakan penyederhanaan atau simplifikasi dari semua informasi produk yang perlu diketahui konsumen. Pilihan merek tidak selalu didasarkan pada pertimbangan rasional. Dalam banyak kasus, faktor emosional seperti gengsi dan citra sosial memainkan peranan dominan dalam keputusan pembelian. Merek bisa memperkuat citra diri dan persepsi orang lain terhadap pemakai atau pemiliknya. Brand Symbolism tidak berpengaruh pada persepsi orang lain, namun juga pada identifikasi diri sendiri dengan objek tertentu. Sumber: Ambler 2000 dalam Tjiptono 2011:128-129 Merek merupakan bagian penting dalam perusahaan untuk membedakan suatu produk dengan produk lainnya. Merek memiliki berbagai manfaat seperti pada tabel 2.4, selain manfaat merek juga dapat dijadikan modal atau aset bagi perusahaan. Modal atau aset yang terdapat dalam sebuah merek disebut ekuitas merek. Chang et al 2008 dalam Tamaka 2013 juga menyatakan bahwa ekuitas merek adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu merek, nama, dan simbolnya yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh suatu barang atau jasa kepada perushaan atau para pelanggan perusahaan. Menurut Aaker 1991, p.15 dalam Tjiptono 2011:128 ekuitas merek adalah “serangkaian aset dan kewajiban liabilities merek yang terkait dengan sebuah merek, nama dan simbolnya, yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan sebuah produk atau jasa kepada perusahaan dan atau pelanggan perusahaan tersebut”. Menurut Kotler dan Keller 2009:263 ekuitas merek adalah nilai tambah yang diberikan pada produk dan jasa. Ekuitas merek dapat tercermin dalam cara konsumen berfikir, merasa, dan bertindak dalam hubungannya dengan merek, dan juga harga, pangsa pasar, dan profitabilitas yang diberikan merek bagi perusahaan. Tjiptono 2011:97 menyatakan bahwa terdapat dua model brand equity mapan dalam aliran psikologi kognitif, yaitu model Aaker dan model Keller. Dalam model Akker, brand equity diformulasikan dari sudut pandang manajerial dan strategi korporat, meskipun landasan utamanya adalah perilaku konsumen. Aaker menjabarkan aset merek yang berkontribusi pada penciptaan brand equity ke dalam empat dimensi: brand awareness, perceived quality, brand associations, dan brand loyalty. 1 Brand awareness, yaitu kemampuan konsumen untuk mengenali atau mengingat bahwa sebuah merek merupakan anggota dari kategori produk tertentu. 2 Perceived quality merupakan penilaian konsumen terhadap keunggulan atau superioritas produk secara keseluruhan. Oleh sebab itu, perceived quality didasarkan pada evaluasi subyektif konsumen bukan manajer atau pakar terhadap kualitas produk. 3 Brand associations, yakni segala sesuatu yang terkait dengan memori terhadap sebuah merek. Brand associations berkaitan erat dengan brand image, yang didefinisikan sebagai serangkaian asosiasi merek dengan makna tertentu. Asosiasi merek memiliki tingkat kekuatan tertentu dan akan semakin kuat seiring dengan bertambahnya pengalaman konsumsi atau eksposur dengan merek spesifik 4 Brand loyalty, yaitu “the attachment that a costumer has to a brand”. Gambar 2.2 Elemen Brand Equity Versi David Aaker Sumber: Tjiptono 2011:98 Keller dalam Tjiptono 2011:98 lebih berfokus pada perspektif perilaku konsumen. Ia mengembangkan model ekuitas merek berbasis pelanggan CBBE = Customer-Based Brand Equity. Asumsi pokok model ini adalah bahwa kekuatan sebuah merek terletak pada apa yang dipelajari, dirasakan, dilihat dan didengarkan konsumen tentang merek tersebut sebagai hasil dari pengalamannya sepanjang waktu. Berdasarkan model ini, sebuah merek dikatakan memiliki customer-based brand equity positif Brand Awarenes s Perceived Quality Brand Equity Brand Associations Brand Loyalty apabila pelanggan bereaksi secara lebih positif terhadap sebuah produk dan cara produk tersebut dipasarkan manakala mereknya diidentifikasi, dibandingkan bila nama mereknya tidak teridentifikasi misalnya, jika nama fiktif atau versi produk tanpa merek digunakan. Menurutnya, kunci pokok penciptaan ekuitas merek adalah brand knowledge, yang terdiri atas brand awareness dan brand image. Brand equity baru terbentuk jika pelanggan mempunyai tingkat awareness dan familiaritas tinggi terhadap sebuah merek dan memiliki asosiasi merek yang kuat, positif dan unik dalam memorinya. Keller dalam Tjiptono 2011:99 mengajukan proses empat langkah dalam membangun merek : menyusun identitas merek yang tepat, menciptakan makna merek yang sesuai, menstimulasi respon merek yang diharapkan, dan menjalin relasi merek yang tepat dengan pelanggan. Dengan kata lain, keempat langkah ini mencerminkan empat pelanggan fundamental: 1 who are you? identitas merek; 2 what are you? makna merek 3 what about you? What do I think or feel abaout you? respon merek; dan 4 what about you and me? What kind of association and how much of a connection would I like to have with you? relasi merek. Proses implementasi keempat tahap ini membutuhkan enam building blocks utama: brand salience, brand performance, brand imagery, brand judgments, brand feelings, dan brand resonance. 1 Brand salience, berkenaan dengan aspek-aspek awareness sebuah merek, seperti seberapa sering dan mudah sebuah merek diingat dan dikenali dalam berbagai situasi. Faktor ini menyangkut seberapa bagus elemen merek menjalankan fungsinya sebagai pengidentifikasi produk. Brand awareness berakitan dengan nama merek, logo, simbol dengan asosiasi- asosiasi tertentu dalam memori konsumen. 2 Brand performance, berkenaan dengan kemampuan produk dan jasa dalam memenuhi kebutuhan fungsional konsumen. 3 Brand imagery, menyangkut extrinsic properties produk atau jasa, yaitu kemampuan merek dalam memenuhi kebutuhan psikologis atau sosial pelanggan. Brand imagery bisa terbentuk secara langsung melalui pengalaman konsumen dan kontraknya dengan produk, merek, pasar sasaran, atau situasi pemakaian dan tidak langsung melalui iklan. 4 Brand judgments,berfokus pada pendapat dan evaluasi personal konsumen terhadap merek berdasarkan kinerja merek dan asosiasi citra yang dipersepsikannya. 5 Brand feelings, yaitu respon dan reaksi emosional konsumen terhadap merek. Reaksi semacam ini bisa berupa perasaan warmth, fun, excitement, security, social approval, dan self respect. 6 Brand resonance, mengacu pada karakteristik relasi yang dirasakan pelanggan terhadap merek spesifik. Resonansi tercermin pada intensitas atau kekuatan ikatan psikologis antara pelanggan dan merek, serta tingkat aktivitas yang ditimbulkan loyalitas tersebut misalnya, tingkat pembelian ulang, usaha dan waktu yang dicurahkan untuk mencari informasi merek. Model Aaker dan Keller memiliki kesamaan prinsip, yaitu bahwa brand equity mencerminkan nilai tambah yang didapatkan sebuah produk sebagai hasil investasi pemasaran sebelumnya pada merek yang bersangkutan. Gambar 2.3 Customer-based Brand Equity Pyramid Sumber: Tjiptono 2011:103 Judgments Feelings Performance Imagery 2. Meaning What are you? 4. Relationships What about you and me? Resonance Salience 3. Response What about you? 1. Identity Who are you b. Brand Image Setiadi 2003 dalam Amanah 2011 menyatakan brand image mempresentasikan keseluruhan persepsi terhadap merek dan dibentuk dari informasi dan pengalaman masa lalu terhadap merek itu. Citra terhadap suatu merek berhubungan dengan sikap yang berupa keyakinan dan preferensi terhadap suatu merek. Shimp 2000 dalam Amanah 2011 menyatakan brand image dapat dianggap sebagai jenis asosiasi yang muncul dibenak konsumen ketika mengingat sebuah merek tertentu. Asosiasi tersebut secara sederhana dapat muncul dalam bentuk pemikiran atau citra tertentu yang dikaitkan kepada suatu merek, sama halnya ketika kita berpikir mengenai orang lain. Dewi 2009:20, meyatakan suatu image brand dibangun dengan menciptakan image citra dari suatu produk. Konsumen bersedia membayar lebih tinggi dan menganggapnya berbeda karena brand ini dipersepsikan memancarkan asosiasi dan citra tertentu. Dewi 2009:22 pada dasarnya, image brand dapat dibangun dengan tiga cara, yaitu feature-based, user-imagery, atau melalui iklan. Suatu brand dapat dinilai lebih tinggi dengan menambahkan fitur produk yang bisa menjadi pembangkit citra atau asosiasi atau degnan cara membangkitkan dan menjalin ikatan emosional dengan konsumen. User-imagery digunakan jika sebuah brand menciptakan citra dengan memfokuskan pada siapa yang menggunakan brand tersebut. Karakteristik pengguna brand tersebut menjadi nilai dari brand itu di mata konsumen. Citra produk dan makna asosiatif brand tersebut dikomunikasikan oleh iklan dan media promosi lainnya, termasuk public relations dan event sponsorships. Keller 2003 dalam Evelina, Handoyo, dan Listyorini 2012 menyatakan pengertian brand image : a anggapan tentang merek yang direfleksikan konsumen yang berpegang pada ingatan konsumen. Menurut Kotler 2009 dalam Calvin dan Semuel 2014, Citra merek adalah pengelihatan dan kepercayaan yang terpendam di benak konsumen, sebagai cerminan asosiasi yang tertahan di ingatan konsumen. b cara orang berpikir tentang sebuah merek secara abstrak dalam pemikiran mereka, sekalipun pada saat mereka memikirkannya, mereika tidak berhadapan langsung dengan produk membangun brand image yang positif dapat dicapai dengan program marketing yang kuat terhadap produk tersebut, yang unik dan memiliki kelebihan yang ditonjolkan, yang membedakannya dengan produk lain. Kombinasi yang baik dari elemen-elemen yang mendukung dapat menciptakan brand image yang kuat bagi konsumen. Aaker 1996 dalam Calvin dan Semuel 2014,menyatakan citra merek merupakan sekumpulan asosiasi merek yang terbentuk dan melekat di benak konsumen. Faktor – faktor pendukung terbentuknya brand image dalam keterkaitannya dengan asosiasi merek: Keller, 2003:347 dalam Evelina, Handoyo dan Lisyorini 2012, menyatakan a keunggulan asosiasi merek, salah satu faktor pembentuk brand image adalah keunggulan produk, dimana produk tersebut unggul dalam persaingan. b kekuatan asosiasi merek, setiap merek yang berharga mempunyai jiwa, suatu kepribadian khusus adalah kewajiban mendasar bagi pemilik merek untuk dapat mengungkapkan, mensosialisasikan jiwa kepribadian tersebut dalam satu bentuk iklan, ataupun bentuk kegiatan promosi dan pemasaran lainnya. Hal itulah yang akan terus menerus menjadi penghubung antara produkmerek dengan konsumen. Dengan demikian merek tersebut akan cepat dikenal dan akan tetap terjaga ditengah –tengah maraknya persaingan. Membangun popularitas sebuah merek menjadi merek yang terkenal tidaklah mudah. Namun demikian, popularitas adalah salah satu kunci yang dapat membentuk brand image konsumen. c keunikan asosiasi merek, merupakan keunikan –keunikan yang di miliki oleh produk tersebut. c. Indikator-indikator yang membentuk citra merek Menurut Biel dalam Pradini 2012, indikator-indikator yang membentuk citra merek adalah: 1 Citra Korporat Citra yang ada dalam perusahaan itu sendiri. Perusahaan sebagai organisasi berusaha membangun imagenya dengan tujuan tak lain ingin agar nama perusahaan bagus, sehingga akan memperngaruhi segala hal mengenai apa yang dilakukan oleh prusahaan tersebut. 2 Citra Produk atau konsumen Citra konsumen terhadap suatu produk yang dapat berdampak positif maupun negatif yang berkaitan dengan kebutuhan, keinginan, dan harapan konsumen. Image dari produk dapat mendukung terciptanya sebuah brand image atau citra dari merek tersebut 3 Citra Pemakai Dapat dibentuk langsung dari pengalaman dan kontak dengan pengguna merek tersebut. Manfaat adalah nilai pribadi konsumen yang diletakkan terhadap atribut dari produk atau layanan yaitu apa yang konsumen pikir akan mereka dapatkan dari produk atau layanan tersebut.

5. Segmentasi Pasar

Bennett 1995 dalam Keegan 2007:197 menyatakan segmentasi pasar adalah proses membagi pasar kedalam subset pelanggan yang mempunyai persamaan perilaku atau persamaan kebutuhan. Masing – masing subset mungkin akan dipilih sebagai pasar sasaran yang akan dicapai dengan strategi pemasaran yang berbeda. Proses tersebut dimulai dengan suatu basis segmentasi – faktor spesifik produk yang mencerminkan perbedaan-perbedaan dalam kebutuhan dan respons pelanggan terhadap variabel –variabel pemasaran kemungkinan –kemungkinan tersebut adalah perilaku pembelian, cara pemakaian, manfaat yang dicari, tujuan, preferensi, atau loyalitas. Adisaputro 2010:101 menyatakan segmentasi pasar adalah mengelompokan pasar suatu produk dengan cara tertentu yang bermanfaat bagi kepentingan pelaksanaan kegiatan pemasaran. Suatu segmen pasar terdiri dari suatu kelompok konsumen yang memiliki satu set kebutuhan dan keinginan yang kurang lebih sama atau mirip satu sama lain. Kotler dan Keller 2009:228 menyatakan segmen pasar terdiri dari sekelompok pelanggan yang memiliki sekumpulan kebutuhan dan keinginan yang serupa. Menciptakan segmen, tugas pemasar adalah mengidentifikasi segmen dan memutuskan segmen mana yang akan dibidik. Variabel segmentasi utama terdiri dari segmentasi geografis, demografis, psikografis, dan perilaku. a. Segmentasi Geografis Segmentasi geografis memerlukan pembagian pasar menjadi berbagai unit geografis seperti negara, negara bagian, wilayah, kabupaten, kota, atau lingkungan sekitar. b. Segmentasi Demografis Dalam segmentasi demografis, membagi pasar menjadi kelompok – kelompok berdasarkan variabel usia, ukuran keluarga, siklus hidup keluarga, jenis kelamin, penghasilan, pekerjaan, pendidikan, agama, ras, generasi, kebangsaan, dan kelas sosisal. c. Segmentasi Psikografis Psikografi adalah ilmu untuk menggunakan psikologi dan demografi guna lebih memahami konsumen. Dalam segmentasi psikografis, pembeli dibagi menjadi berbagai kelompok berdasarkan sifat psikologis atau kepribadian, gaya hidup, atau nilai. Orang – orang di dalam kelompok demografi yang sama bisa memiliki profil psikografis yang sangat berbeda. d. Segmentasi Perilaku Dalam segmentasi perilaku, pemasar membagi pembeli menjadi beberapa kelompok berdasarkan pengetahuan, sikap, pengguna, atau respons terhadap sebuah produk.

6. Persepsi Konsumen

Purwanto 2011:19 menyatakan bahwa persepsi seorang komunikator yang cerdas harus dapat memprediksi apakah pesan- pesan yang akan disampaikan dapat diterima oleh komunikan atau tidak. Bila prediksinya tepat, audiences akan dapat membaca dan menerima tanggapannya dengan benar. Kemudian audiens sebagai penerima pesan akan mengantisipasi bagaimana reaksi komunikator