Periode Orde Baru 1966-1998

50 hegemoni dalam kendali penguasa Orde Baru. Sebagai partai ciptaan negara, PPP terjerat kesulitan dalam membenarkan kehadirannya di hadapan para pendukungnya, bahkan di depan dirinya sendiri. Melihat fenomena demikian Kingsbury sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin, menyimpulkan bahwa negara dibawah kendali Orba pada dasarnya telah membatasi pertumbuhan politik Islam, sebagaimana pernah dipergunakan oleh Soekarno terhadap Masyumi. 71 Baik PPP maupun PDI keduanya masuk dalam jaringan korporatisme Negara, sehingga fungsinya dalam perpolitikan Negara termarjinalkan. Sebab hampir semua fungsi partai politik diambil alih oleh birokrasi dari berbagai organisasi korporatis yang merupakan perpanjangan tangan Golkar. Untuk itu baik PPP yang berbasis Islam maupun PDI yang berbasis nasionaliskerakyatan tidak pernah mampu megungguli perolehan suara Golkar pada setiap pemilu di masa Orde Baru. 72 Sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997 selama kurun waktu dua puluh enam tahun atau selama lima kali pemilihan umum, rata-rata jumlah perolehan suara PPP secara nasional tidak bisa melampaui ambang batas 20 persen. Fakta nyata ini membuktikan secara jelas bahwa aspirasi politik umat Islam tidak selalu terkonsentrasi penyalurannya ke kubu PPP. Sepanjang sejarah politik Orde Baru, bagian terbesar aspirasi politik umat Islam tersalurkan ke kubu Golkar, partai adidaya yang didukung oleh pemerintah dan militer. Selebihnya dalam jumlah kecil, umat 71 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h. 53 72 Firdaus Syam, Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern, h, 84 51 Islam menyalurkan aspirasi politiknya ke kubu PPP dan PDI yang secara politis tidak bisa secara signifikan menyaingi, apalagi menggoyahkan dan mengalahkan posisi Golkar selama kurun pemerintahan refresif Orde Baru. 73 Artinya pemerintah bersama Golkar tetap merupakan kekuatan politik yang dominan. 74 Peristiwa yang terjadi di atas bukanlah suatu kebetulan atau dianggap natural tanpa adanya rekayasa yang dilakukan rezim penguasa, pasalnya sebelum ikut dalam Pemilu tahun 1970, Golkar sudah mendapat dukungan luar biasa dari pemerintah yang memang sejak mula kelahirannya partai tersebut didesain untuk menjadi partai pemerintah yang diproyeksikan menjadi tangan sipil Angkatan Darat dalam Pemilu. Pada tahun 1969 Amir Machmud mengeluarkan Permendagri No. 121969 yang melarang warga departemen memasuki partai politik, dan selanjutnya melalui surat edaran Mendagri Amair Machmud memerintahkan kepada pegawai negeri untuk menanggalkan kenggotaannya dalam parpol maupun ormas untuk menggabungkan diri ke dalam Korp Karyawan Pemerintah Dalam Negeri Kokarmendagri yang berafiliasi ke Golkar. Selanjutnya disusul dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah PP. No. 61970 yang mewajibkan seluruh pegawai negeri harus setia kepada pemerintah dan harus memilih partai Golkar dalam pemilu. 75 Aparat dan 73 Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur, h.123 74 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2009, h. 259 75 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h. 49 52 pejabat pemerintah sejak Pemilu 1971 secara terang-terangan bekerja untuk menjamin kemenangan Golkar. 76 Peranan pemerintah berimplikasi sangat menguntungkan dan mendorong kemenangan Golkar. Disamping hal tersebut di atas, juga terdapat tindakan-tindakan aparat seperti BAKIN Badan Koordinasi Intelejen Negara , Kopkamtib Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Opsus Operasi Khusus, dan Ditjen Sospol Departemen Dalam Negeri yang melakukan tugas atas nama kemantapan Pleksosbud. Aparat resmi pemerintah secara efektif melakukan kontrol terhadap kegiatan-kegiatan partai politik dan pada saat yang sama mempromosikan Golkar sebagai mesin pemerintah dalam Pemilu. 77 Jadi tidak salah jika setiap kali meghadapi pemilu atau selama enam kali pemilu di masa Orde Baru suara Golkar selalu berada diambang batas partai-partai lainnya yakni PPP, dan PDI. Bahkan jika dalam kurun waktu tersebut suara PPP dan PDI digabungkan, suara keduanya tidak pernah melampaui 40 dari total suara pemilih, sementara Golkar selalu di atas 60. 78 Pemilu 1977 merupakan masa jaya PPP sebagai parpol Islam yang ternyata tidak mampu diraih lagi pada 4 kali pemilu berikutnya selama Orde Baru. Pada masa Orde Baru perolehan suara PPP dan PDI selalu naik dan turun, tepatnya selama pemilu 1982 hingga 1997, hal ini terjadi karena selain faktor eksternal, partai tersebut 76 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 218-219 77 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 219 78 Firdaus Syam, Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern, h. 84 53 dilanda pula konflik internal. PPP sekalipun sebagai partai Islam tidak pernah mengembangkan isu-isu agama seperti masalah syariat Islam, presiden Islam, namun PPP tetap sebagai kekuatan parpol nomor dua di Indonesia. Karena parpol nomor satunya tetap Golkar. Kondisi ini ikut memperkuat anggapan bahwa parpol nasionalisnon-agama lebih diminati rakyat dari pada parpol Islam. 79

4. Periode Reformasi Sampai Sekarang 1999-2014

Periode reformasi bermula ketika presiden Soeharto turun dari kekuasaan 21 Mei 1998. Dengan mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan telah membuka peluang yang lebih besar bagi perkembangan politik Islam di Indonesia. Peluang tersebut terbukti dengan adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus berlaku bagi pemeluk Islam dalam menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan masalah keperdataan Islam yakni di undangkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kemudian disusul dengan Inpres No.1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam, 80 sertifikasi dan labelisasi halal. Juga berdirinya Ikatan Cendikiawan Muslim ICMI tahun 1990, festival Istiqlal tahun 1991 dan 1995, dan lahirnya Bank Muamalat Indonesia BMI tahun 1991, dan lain-lain. Lengsernya Presiden Soeharto kemudian digantikan oleh Presiden Bachruddin Jusuf Habibie yang sebelumnya menjabat wakil presiden. Untuk mendapatkan 79 Ed. Haidar Ali Ahmad, Dinamika Kehidupan Keagamaan Di Era Reformasi, h. 277-278 80 Sudirman Tebba, Islam Menuju Era Reformasi Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 2001, h. 71 54 sandaran legitimasi politik, pemerintah B.J. Habibie menyelenggarakan suatu pemilihan umum pada tahun 1999. Pemilu tahun ini dinyatakan berlangsung luber langsung, umum, bebas, dan rahasia dan berjalan jurdil jujur dan adil dengan sistem multi partai. Sehingga pada pemilu 1999 ini dipenuhi oleh banyak partai politik yang terlibat, sekaligus menandakan tumbuhnya partai politik baru, terutama partai politik Islam. Dari total 48 patai peserta pemilu 19 partai adalah partai yang dapat dikategorikan sebagai partai Islam. 81 Partai-partai berbasis Islam yang bermunculan di arena politik nasional pasca runtuhnya Orde Baru diantaranya, Partai Bulan Bintang PBB, Partai Masyumi Baru, Partai Umat Islam PUI, Partai Keadilan PK [sekarang PKS], Partai Keadilan Umat PKU, dan Partai Nahdlatul Umat PNU, dan lain-lain. 82 Dari seluruh partai peserta pemilu ini, hanya 21 partai yang dapat meraih suara dan mendapat kursi di parlemen, dan menghasilkan beberapa partai besar. Yaitu, PDI-P, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB empat partai Islam terakhir berhasil mencapai electoral threshold. Partai-partai politik ini dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori: partai keagamaan; partai religius; partai demokratis; partai nasional pragmatis; dan partai nasionalis demokratis. Dan secara ideologis, partai- 81 Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru, h. xiii 82 Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur, h.124 55 partai politik tersebut dapat digolongkan menjadi dua kategori: partai Islam dan partai sekuler. 83 Partai politik Islam peserta pemilu ini dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok besar. Pertama, kelompok partai Islam tradisional, yang terdiri dari Partai Kebangkitan Bangsa PKB, Partai Suni Solidaritas Uni Nasional Indonesia, partai Kebangkitan Umat PKU, dan Partai Nahdlatul Ummah PNU. Kedua, kelomok partai Islam modernis, yang terbagi menjadi dua faksi terpisah: konservatif dan liberal. Kelompok Islam modernis konservatif bergabung dalam partai-partai politik yang menggunakan Islam sebagai dasar ideologinya. Misalnya, PPP, PBB, dan PK sekarang PKS. Sedangkan kelompok Islam modernis liberal umumnya adalah orang-orang yang berasal dari Muhammadiyah dan Himpunan Mahasiswa Islam HMI. Kelompok ini biasanya tergabung dalam partai Golkar dan PAN. 84 Banyaknya partai politik yang terlibat dalam pemilu 1999 tidak lain dari semangat demokratisasi Indonesia yang dituangkan dalam UU. No.2 tahun 1999 tentang Partai Politik, dan UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu. Sejak diberlakukannya UU No. 2 tahun 1999, jumlah partai politik tidak dibatasi lagi dan 83 Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan M. Amien Rais Bandung:Terazu, 2005, h. 202-203 84 Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan M. Amien Rais, h. 203-204 56 Indonesia kembali ke sistem multi partai. 85 Setidaknya langkah tersebut merupakan suatu kemajuan sekaligus perlawanan atas diberlakukannya UU No. 3 tahun 1973 pada masa Orde Baru memaksa dilakukannya penyederhanaan partai politik. 86 Hasil perolehan suara secara nasional dan kursi di parlemen DPR dari lima partai besar pada pemilu 1999 adalah sebagai berikut: PDIP 35, 689, 073 suara154 kursi, Golkar 23.741.749120 kursi, PPP 11.329.905 suara58 kursi, PKB 13.336.982 suara51 kursi, dan PAN 7.528.956 suara34 kursi. 87 Secara jelas fakta memperlihatkan bahwa bagian terbesar aspirasi politik umat Islam secara dominan tidak selalu tersalurkan ke kubu partai-partai yang secara resmi berbasis Islam. Partai berbasis Islam seperti PPP, PBB dan PK sekarang PKS meraih suara jauh dibawah PDIP, begitupun halnya dengan partai berbasis massa Islam PKB dan PAN tidak mampu menandingi perolehan suara PDIP. Namun disini terdapat hal menarik, PDIP yang memperoleh suara dan kursi paling banyak 35.689.073 suara dan 153 kursi ternyata tidak dapat menjadikan Megawati Soekarno putri menjadi presiden ke-empat. Dengan adanya koalisi partai-partai Islam dan beberapa partai baru menjadi kubu tersendiri di DPR, yang dikenal dengan poros tengah, sehingga menjadikan posisi PDIP kalah kuat. Sebagai akibat yang dipilih oleh 85 Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Reformasi, h. 60 86 Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Reformasi, h. 59 87 Hasil penghitungan suara KPU 1999, dikutip dalam Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur, h. 125