Kekuatan Partai Politik Islam di Daerah Mayoritas Muslim Dalam Perolehan Suara Pada Pemilu Tahun 2014 (STUDI KASUS KAB. PANDEGLANG)

(1)

KEKUATAN PARTAI POLITIK ISLAM DI DAERAH

MAYORITAS MUSLIM DALAM PEROLEHAN SUARA PADA PEMILU TAHUN 2014

(STUDI KASUS KAB. PANDEGLANG)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Prasyarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh: Bustomi 1111045200006

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Bustomi, 1111045200006, “Kekuatan Partai Politik Islam di Daerah Mayoritas Muslim Dalam Perolehan Suara Pada Pemilu Tahun 2014 (Studi Kasus Kab. Pandeglang)” Strata 1, Program Studi Jinayah Siyasah, Konsentrasi Siyasah Syar’iyah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015.

Penelitian ini bermaksud untuk menganalisa sejauh mana kekuatan partai Islam di daerah yang notabene penduduknya beragama Islam, yang pada setiap pelaksanaan pemilu jumlah tersebut kerap kali tidak linier dengan perolehan suara partai politik Islam.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan melakukan kajian pustaka dan dilengkapi pula dengan hasil wawancara beberapa tokoh partai Islam di daerah tersebut. Penulis juga menggunakan data tambahan guna memberikan nilai objektifitas pada penelitian yang didapat dari artikel-artikel, media masa, dan lainnya yang masih berkaitan.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, meskipun daerah kab. Pandeglang merupakan daerah yang jumlah penduduknya mayoritas beragama Islam, namun ternyata jumlah tersebut tidak bisa diandalkan bagi tumbuh suburnya kekuatan partai politik Islam di daerah tersebut. Berdasarkan temuan dilapangan bahwa melemahnya kekuatan partai politik Islam di daerah Kab. Pandeglang disebabkan oleh lemahnya partai Islam dalam menata susunan kepartaian dan pada umumnya masyarakat lebih tertarik kepada figur ketimbang partai politik. Karena partai Islam lemah dalam penempatan tokoh/figur, alhasil partai lain yang basisnya nasionalis dilirik karena figur yang ditampilkan menarik dan bisa diandalkan oleh masyarakat.

Kata Kunci : Kekuatan Partai Politik Berideologi Islam, Daerah Mayoritas

Penduduk Islam


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur ke-hadirat Allah SWT. yang telah memberikan nikmat dan kekuatan sehingga prosesi penyelesaian tugas akhir kuliah ini berjalan dengan lancar. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada baginda alam, manusia sempurna sepanjang zaman Nabi Besar Muhammad SAW. pemilik inspirasi, motivasi dan filosofi hidup untuk dijadikan pedoman bagi mahluk bumi agar hidup berjaya dan memberikan makna/manfaat bagi sesama.

Sebagai bentuk terimakasih, rasa hormat dan rasa bangga, penulis sampaikan kepada beberapa pihak yang telah memberikan konstribusi, baik dalam

bentuk jasa, bimbingan, motivasi, inspirasi dan do’a kepada penulis selama

menyelesaikan tahapan penyusunan skripsi ini. Mereka yang terhormat adalah:

1. Bapak Asep Saepuddin Jahar., MA, Ph.D, selaku Dekan beserta para

Pembantu Dekan dan segenap sifitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Ibu Dra. Hj. Maskufa., M.Ag, dan Ibu Sri Hidayati., M.Ag, selaku ketua

dan wakil ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

3. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, selaku dosen Penasehat Akademik

(Dosen PA), dan Bapak Prof. Dr. H. Yunasril Ali., M.A, selaku dosen pembimbing skripsi. Berkat kesabaran dan kepedulian beliaulah sehingga penyusunan tugas akhir ini berjalan dengan baik dan lancar;

4. Segenap pengelola Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum,


(7)

Kab. Pandeglang, Pengurus DPD Partai PKS dan DPC Partai PPP Kab. Pandeglang, yang telah memberikan data, sumber informasi maupun referensi bagi penulisan skripsi ini;

5. BIDIKMISI Kementrian Agama Republik Indonesia (KEMENAG RI),

yang telah membrikan amanah dan bantuan beastudi selama jenjang S1 di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Bidikmisi Bakti untuk Negeri”;

6. Ibunda dan Ayahanda tercinta Hj. Satirah dan H. Johani (Alm), pemilik ruh, nadi dan nyawa perjuangan penulis, serta segenap keluarga

besar Satirah Usrah Kabirah, (Eteh Rodinah, Kakanda Drs. Sutisna

(Alm), Kakanda Jazuli, Eteh Rusdiyah, Kakanda Zainal Abidin, Kakanda A. Turmudzi, Eteh Siti Fatonah, beserta pasangan dan keturunan masing-masing), yang tiada henti memberikan doa, inspirasi, motivasi dan jalan

bagi perjalanan hidup penulis, “Untuk Mereka Pencapaian ini

Diberikan”;

7. Kawan-kawan seperjuangan di kelas Hukum Tata Negara (Siyasah)

angkatan 2011, dari alfabet A-Z terimaksaih atas kebersamaan selama menempuh jenjang S1 di Universitas ini;

8. Keluarga Besar; Moot Court Community (MCC) UIN Jakarta,

DEMA-FSH priode 2014-2015, HMI Komfaksy Cabang Ciputat, Irmafa, FAMAN (Forum Alumni MAN Pandeglang ). Terimakasih melalui lembaga kajian dan organisasi tersebut, mampu mengembangkan potensi tidak hanya dibangku kuliah tapi diluar perkuliahan. Dan terimakasih kepada


(8)

aktor-aktor terhebat yang berada di dalamnya, yang selalu menginspirasi dan memberikan motivasi “bahwa hidup tidak untuk saat ini melainkan untuk kelak nanti, dan kiprah ataupun dedikasi diperlukan untuk pembangunan negeri”;

9. Dan kepada semua pihak yang sudah memberikan banyak kontribusi,

semoga kebaikan yang diberikan merupakan bagian dari amal shaleh yang Allah SWT meridhainya. dan mudah-mudahan melalui skripsi ini mampu memberikan manfaat bagi aktifitas akademis maupun aktifitas yang bermanfaat lainnya.

Jakarta, 21 September 2015

Bustomi


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI v

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Pembahasan dan Perumusan Masalah 12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 13

D. Review Kajian Terdahulu 15

E. Metode Penelitian 16

F. Sistematika Penulisan 18

BAB II TINJAUAN UMUM PARTAI POLITIK ISLAM 20

A. Pengertian Partai Politik Islam 20

B. Fungsi Partai Politik Islam 24

C. Munculnya Partai Politik di Indonesia 25

D. Sejarah Perjalanan Partai Politik Islam di Indonesia 27


(10)

2. Periode Pasca Kemerdekaan (1945-1965) 38

3. Periode Orde Baru (1966-1998) 47

4. Periode Reformasi Sampai Sekarang (1998-2014) 53

BAB III TINJAUAN UMUM KABUPATEN PANDEGLANG 61

A. Gambaran Umum Kab. Pandeglang 61

1. Sekilas Sejarah Kab. Pandeglang 61

2. Letak Geografis Kab. Pandeglang 64

3. Kependudukan Kab. Pandeglang 68

4. Arti Lambang Kab. Pandeglang 70

5. Pendidikan di Kab. Pandeglang 72

6. Keagamaan di Kab. Pandeglang 74

B. Politik dan Pemerintahan Kab. Pandeglang 75

1. Hasil Perolehan Suara Pada Pemilu tahun 2014 75

2. Angota Partai Politik di DPRD Kab. Pandeglang 77

BAB IV KEKUATAN SUARA PARTAI POLITIK ISLAM DI KAB. PANDEGLANG PADA PEMILU TAHUN 2014 80

A. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 81

1. Ideologi Partai PPP 81

2. Visi dan Misi Partai PPP 83

3. Kekuatan Partai PPP di Kab. Pandeglang 85

B. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 89


(11)

2. Visi dan Misi Partai PKS 91

3. Kekuatan Partai PKS di Kab. Pandeglang 92

C. Partai Bulan Bintang (PBB) 94

1. Ideologi Partai PBB 94

2. Visi dan Misi Partai PBB 95

3. Kekuatan Partai PBB di Kab. Pandeglang 96

D. Analisis Kekuatan Partai Islam di Kab. Pandeglang 98

BAB V PENUTUP 103

A. Kesimpulan 103

B. Saran 105

DAFTAR PUSTAKA 107


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Satu asas yang merupakan pasangan logis dari asas demokrasi adalah asas

negara hukum. Artinya bagi suatu negara demokrasi pastilah menjadikan “hukum”

sebagai salah satu asasnya yang lain. Alasannya, jika satu negara diselenggarakan dari, oleh, dan untuk rakyat, maka untuk menghindari hak rakyat dari kesewenang-wenangan dan untuk melaksanakan kehendak rakyat bagi pemegang kekuasaan negara haruslah segala tindakannya dibatasi atau dikontrol oleh hukum, pemegang kekuasaan yang sebenarnya tak lain hanyalah memegang kekuasaan rakyat, sehingga

tidak boleh sewenang-wenang.1 Disebutkan bahwa negara hukum menentukan

alat-alat perlengkapannya yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan yang ditetapkan terlebih dahulu yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan itu.

Demikian juga Indonesia yang dengan tegas telah memilih bentuk demokrasi yakni dengan ketentuan terletaknya kedaulatan di tangan rakyat, jelas tak lepas dari

konsekuensi untuk menetapkan pula “negara hukum” sebagaimana telah dituangkan

ke dalam butiran ayat UUD 1945. Dalam pasal 1 ayat (3) dengan jelas dinyatakan

bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.2

Di dalam negera hukum segala

1

Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 85.

2


(13)

hak yang berhubungan dengan kebutuhan dan pemenuhan hajat warga negara diatur dan dilindungi oleh undang-undang. Begitupun halnya dengan hak memilih dan hak untuk dipilih. Sebagaimana paham demokrasi yang dianut bahwa kekuasaan ditangan rakyat. Hal ini mengindikasikan bahwa semua warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk ikut terlibat dalam pelaksanaan atau penyelenggaraan sebuah negara

dengan tujuan memajukan dan mensejahterakan warga negara,3 baik secara langsung

atau tidak langsung, yakni sebagai penentu dalam proses pemilu misalnya.

Hak politik secara eksplisit merupakan hak asasi mausia, sebagaimana diatur

dalam Pasal 23 (1),4 dan Pasal 24 (1) dan (2) UU No. 39/1999.5 Selain itu setiap

warga negara memiliki hak konstitusional untuk ikut serta di dalam penyelenggaraan

negara, sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 28.6 Setiap orang berhak

bebas memilih keyakinan politiknya, termasuk jika keyakinan politik itu dianggap merupakan ekspresi dari keagamaan (agama) yang bersangkutan, atau jika keyakinan politik itu, misalnya dalam bentuk yang ekstrem, menyatakan perlunya negara

didasarkan pada satu agama tertentu atau negara “teokrasi, atau keyakinan politik

3Pasal 28C ayat (2) “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”.

4Pasal 23 (1) UU No. 39/1999 “Setiap orang bebas untuk memilih

dan mempunyai keyakinan politiknya.”

5 Pasal 24 (1) UU No. 39/1999 “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berpendapat, dan

berserikat untuk maksud-maksud damai,” dan Pasal (2) “Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lain untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan undang-undang.”

6 Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengelua

rkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”


(14)

marxisme.” Keyakinan politik seperti itu termasuk di dalam kebebasan yang bersifat

internal (freedom to be) yang tidak bisa (boleh) dibatasi.7

Kalau demikian, bagaimana melihat dan memahami keinginan untuk mengaktualisasikan keyakinan politik berdasar atas agama (misalnya mendirikan

“negara agama”) di tingkat nasional maupun lokal? Seturut dengan nalar kebebasan

beragama, kebebasan mengekspresikan keyakinan politik itu bersifat dapat ditunda

penikmatannya, diatur, dan dibatasi (derogable, regulable, limitable) tetapi

pembatasannya haruslah dengan undang-undang [Pasal 28J (2)], dan jika sudah ditetapkan dengan undang-undang maka semua orang diwajibkan mematuhinya.

Oleh karena itu untuk mendirikan partai politik (sebagai instrument yang sah untuk ikut serta dalam pemerintahan, atau bahkan untuk mengganti pemerintah) perlu diatur dengan undang-undang kepartaian, dan untuk pemerintahan daerah diatur dengan undang-undang otonomi daerah. Pendek kata UUD 1945 menjamin kebebasan berkeyakinan politik bagi setiap warga negara, dan kebebasan untuk memperjuangkan keyakinan politiknya itu lewat lembaga-lembaga pengelolaan konflik yang ada (misalnya parlemen). Batasan lain secara eksplisit dituangkan ke

dalam Pasal 24 (1) UU No. 39/1999 bahwa “…kebebasan untuk berkumpul, berapat,

dan berserikat untuk maksud-maksud damai,” yang juga searah dengan Pasal 28J (2)8,

7

Titik-Temu Jurnal Dialog Peradaban, Diterbitkan oleh Nurcholish Madjid Society (NCMS), Volume 3, No. 2, Januari-Juni 2011, h.131.

8Pasal 28J (2) UUD 1945, “ Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, set

iap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata


(15)

atau dengan kata lain ekspresi keyakinan politik (termasuk yang berdasarkan agama, atau untuk mendirikan negara agama; atau pada ujung lain untuk mendirikan negara komunis) dibatasi yakni sepanjang tidak melawan hukum dan tidak dilakukan dengan

cara-cara kekerasan, baik fisik maupun psikologis.9

Sebagai upaya untuk mengaktualisasikan hak politik warga negara, perlu adanya perantara (sarana) untuk menjamin atau sebagai penghubung antara individu dan negara, sarana tersebut yakni partai politik , sebagaimana dikatakan Miriam Budiardjo bahwa partai politik merupaka sarana bagi warga negara untuk turut serta

atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara.10 Partai politik memiliki

kekuatan besar dan penentu terlaksananya sistem demokrasi di suatu negara, sebagaimana dikatakan Nauman yang dikutip Miriam Budiardjo, bahwasanya partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan

ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi.11

Dalam praktik politik di hampir negara-negara modern saat ini, baik yag

bercorak demokratis maupun totaliter, kehadiran partai politik tidak dapat dielakan.12

untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbnagan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyrakat demokratis.

9

Titik-Temu Jurnal Dialog Peradaban, h. 131.

10

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. gramedia Pustaka Utama, 2008), cet. Ke-10, h. 397.

11

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404.

12


(16)

Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokasi. Partai memainkan peranan penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan, banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh Schattscheider (1942) sebagaimana dikutip oleh Jimly

Asshiddiqie, bahwa “Political parties created democracy”. 13

Di negara-negara demokratis, partai politik dipakai sebagai sarana untuk mewujudkan hak rakyat dalam menentukan figur-figur yang akan menjadi pemimpinnya. Sedangkan di negara-negara totaliter, partai didirikan oleh elit politik dengan pertimbangan bahwa rakyat perlu dibina agar tercapai stabilitas yang

berkelanjutan.14 Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar yang sangat penting

untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam

setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan lebih lanjut Jimly menjelaskan bahwa

hal tersebut dikatakan oleh Schattscheider, “Modern democracy is unthinkable save

in terms of the parties”.15

Namun demikian, banyak juga pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik. Pandangan yang paling serius di antaranya menyatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih dari pada kendaraan politik bagi sekelompok elit

13

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 401.

14

Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 19.

15


(17)

yang berkuasa atau berniat memuaskan “nafsu birahi” kekuasaannya sendiri. Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk

memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu at the expense of the

general will atau kepentingan umum.

Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan setiap lembaga negara haruslah sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan checks and balances. Akan tetapi, jika lembaga-lembaga negara tersebut tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif, atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya masing-masing, yang sering terjadi adalah partai-partai politik yang rakus atau ekstrimlah yang merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan.

Oleh karena itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya

sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip checks and balances dalam arti yang luas.

Sebaliknya, efektifitas bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prisip checks and balances berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua itu tentu berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir itu pada gilirannya memengaruhi tumbuh berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan


(18)

berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang

bersangkutan.16

Dewasa ini partai politik sudah sangat akrab di lingkungan kita. Sebagai lembaga politik, partai bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada. Kelahirannya mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga belum cukup tua. Bisa dikatakan partai politik merupakan organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih

muda dibandingkan dengan organisasi negara. Dan ia baru ada di negara modern.17

Bahwa mayoritas penduduk Indonesia secara riil beragama Islam adalah merupakan suatu kenyataan historis dan fakta demografis sosiologis-teologis yang sama sekali tidak dapat dipungkiri dan sulit untuk dibantah. Berbicara Islam, berbicara segala aspek kehidupan secara utuh, Islam sebagaimana yang diketahui dan

diyakini adalah agama pemberi rahmat atau agama rahmatan lil’alamin, untuk itu

Islam tidak mengenal kompartementalisasi (red: pengkotak-kotakan) bidang kehidupan. Sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara utuh dan komprehensif, maka bidang politik juga diatur dalam Islam. Meski ada perbedaan pendapat yang kontroversial mengenai corak hubungan Islam dan politik, apakah hubungannya bersifat formalistik ataukah substantif, tetapi hampir semua ulama dan pemikir Muslim bersepakat bahwa dalam Islam pemisahan keduanya

16

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara, h. 402.

17


(19)

(Islam dan politik) adalah tidak mungkin.18 Untuk itu, sebagaimana Islam harus hadir (omnipresent) dalam setiap aspek kehidupan manusia, maka demikian pula di bidang politik. Islam pasti memberikan seperangkat doktrin atau pedoman dalam kehidupan politik.

Sebagai agama yang sempurna (Q.S. Al-Maidah/5 : 3), bahkan paling

sempurna, Islam adalah cara hidup (way of life) yang total dan padu yang

menawarkan landasan moral dan etis bagi para pemecahan semua masalah

kehidupan; Islam adalah din (agama), dunya (dunia), dan daulah; dan sebagai agama

yang sempurna yang didesain Tuhan sampai akhir zaman, maka Islam pasti relevan

bagi setiap perkembangan jaman dan tempat (shalih li-kulli zaman wa makan),

inklusif di dalamnya politik. Itulah sebabnya, mengapa kita mengatakan bahwa Islam

adalah risalah yang universal (untuk semua manusia) dan mondial (untuk seantero

dunia), dan elternal (selamanya sampai akhir zaman), inilah rupanya rumusan kita

yang tidak bisa ditawa-tawar lagi.19

Pemeluk agama Islam di seluruh Tanah Air berjumlah 87,21 persen dari seluruh penduduk Indonesia yang dewasa ini diperkirakan berjumlah sekitar 214 juta

jiwa.20 Tidak berlebihan jika negara Indonesia dikatakan sebagai ranah Muslim di

18

Nurcholish Madjid et.al, Kehampaan Spiritual Mayarakat Modern (Jakarta: PT. Mediacita, 2002), h. 236.

19

Nurcholish Madjid et.al, Kehampaan Spiritual Mayarakat Modern, h. 236.

20

Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam, Pergumulan Kultur dan Struktur (Jakarta: Departemen Agama RI, 2002), h. 115-116.


(20)

antara sekian banyak “negara Muslim” di berbagai penjuru dunia. Jumlah penduduk

Indonesia yang sebagaian besar memeluk agama Islam setidaknya memperkokoh hal itu. Ironisnya, di dalam percaturan ekonomi dan politik, sebagaimana dikatakan Zainal Abidin Amir, nasib umat Islam Indonesia berlawanan dengan jumlahnya yang

menempati urutan teratas di tengah-tengah penduduk Indonesia yang melimpah.21

Dilihat dari perspektif politik praktis, sebagaimana dikatakan oleh Faisal Ismail, alur realitas aspirasi politik umat Islam pada dataran empirik di pentas politik nasional tidak selamanya terkonsentrasi dan menyatu padu dalam satu wadah tunggal partai Islam atau partai yang berbasis Islam, barangkali hal ini menjadi alasan mengapa antara jumlah penduduk dan aspirasi politik masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam tidak linier sebagaimana pendapat yang diutarakan Zainal Abidin di atas.22

Dengan kata lain, realitas aktualisasi aspirasi politik umat Islam Indonesia pada tataran empirik memperlihatkan sosok fenomena keberagaman kultur dan keberbagaian struktur kepartaian dipentas nasional. Sepanjang perjalanan sejarah perkembangan partai-partai politik dan pengalaman pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) di Tanah Air, realitas ekspresi penyaluran aspirasi politik umat Islam tidak terkonsentrasi ke dalam suatu wadah tunggal partai Islam atau berbasis Isalam, akan

21

Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 16.

22


(21)

tetapi menyebar secara berpariasi ke berbagai saluran politik yang ada di panggung

arena politik nasional.23

Pakar politik Islam dari UCLA (University California Of Los Angels), Steven

Fish, sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra menilai kebanyakan partai Islam di Indonesia memiliki tujuan serupa. Namun, mereka belum mampu menunjukan keistimewan masing-masing. Inilah penyebab mengapa partai Islam tidak pernah menang dalam pemilu. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama muslim, menurut Fish, partai Islam terganjal beberapa kendala. Pertama, antara partai satu dan yang lainnya malah sibuk bersaing meraih posisi. Padahal menurutnya, jika partai-partai Islam ini bersatu, bukan tidak mungkin suatu hari partai Islam akan

berjaya.24

Dalam masa satu setengah dasawarsa pasca Soeharto, politik Islam terlihat jelas berada dalam posisi kian tidak menguntungkan. Untuk pemilu 2014, hanya terdapat tiga parpol yang berasaskan Islam, yaitu: PKS, PBB, dan PPP, dua partai lainnya, PKB dan PAN yang logonya sering digandengkan sejajar dengan logo ketiga parpol berasaskan Islam tadi, nyatanya tidak berasaskan Islam, tetapi berdasarkan Pancasila.

23

Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam, Pergumulan Kultur dan Struktur, h. 116.

24

Azyumardi Azra, “Partai Politik Islam Kenapa Kalah”, Republika (Jakarta), 5 Desember 2013, h. 8.


(22)

Dengan demikian, secara definisi keduanya bukanlah parpol Islam. Paling

banter keduanya dapat disebut sebagai parpol berbasis Muslim (Muslim-based party)

karena PKB dan PAN berbasis masing-masing warga Nahdliyyin dan Muhammadiyah. Hal ini banyak benarnya pada masa Pemilu 1999 dan 2004, tetapi lagi demikian pada Pemilu 2009, apalagi Pemilu 2014.

Alasannya jelas, kian sedikit warga NU yang memberikan suara kepada PKB yang sebagian juga memberikan suaranya kepada PPP dan parpol-parpol lain. Begitu juga dengan warga Muhammadiyah yang kian merasa tidak ada lagi hubungan emosional dengan PAN. Mereka melihat tidak lagi ada tokoh atau figur terkemuka Muhammadiyah menjadi pemimpin PAN.

Dalam pada itu belum terlihat tanda-tanda bahwa parpol berasas Islam mengalami peningkatan popularitas. PPP dan PBB tampak stagnan. Tidak terlihat langkah dan manuver untuk menarik para pemilih. Juga tidak terlihat peningkatan popularitas kepemimpinannya yang dapat menimbulkan ketertarikan para pemilih.

Sedangkan partai PKS, sedikit banyak terimbas kasus korupsi dan pencucian uang yang melibatkan presiden yang diamanatkan, Luthfi Hasan Ishaq. Dengan demikian sulit kiranya perjuangan mereka untuk dapat mengangkat nama baiknya kembali dan terpilih sebagai anggota legislatif. Karena itu ada pesimisme cukup luas,


(23)

PKS dalam pemilu 2014 tak bakal mampu mencapai perolehan suara pada Pemilu

2009 sekitar hampir delapan persen.25

Melihat fenomena demikian, maka dari itu hati penulis terketuk untuk meneliti lebih jauh kenapa hal demikian bisa terjadi, terlebih kajian yang akan diangkat oleh penulis berkenaan dengan suatu daerah yang konon daerah tersebut sampai sekarang masih kental dengan sebutan kota santri, namun seperti halnya penjelasan diatas di daerah inipun eksistensi partai politik yang berideologi Islam tidak begitu diminati sebagai sasaran uatama kala menentukan keterwakilannya melalui pemilu. Dengan maksud demikian maka judul yang akan menajadi fokus penulis dalam menyusun dan menjawab permasalahan yang ada di dalamnya, penulis

sajikan dengan judul “Kekuatan Partai Politik Islam di Daerah Mayoritas Muslim Dalam Perolehan Suara Pada Pemilu Tahun 2014 (Studi Kasus Kab. Pandeglang)”

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas perlu dibatasi masalah yang akan diteliti. Sehingga bahasan yang dikaji tidak keluar dan terfokuskan kedalam satu arah busur yang tepat.

25

Azyumardi Azra, “Partai Politik Islam Kenapa Kalah”, dalam Republika (Jakarta), 5 Desember 2013, h. 8.


(24)

Dalam menulis sekripsi ini objek terfokuskan pada Pemilu yang diselenggarakan pada tahun 2014.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latarbelakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana kekuatan suara partai politik Islam di Kab. Pandeglang Pada Pemilu

2014?

b. Faktor apa yang mempengaruhi kekuatan/melemahnya parpol Islam pada masa

tersebut ?

c. Apakah ada hubungan yang linier antara penduduk mayoritas beragama Islam

dengan perolehan partai politik Islam di Kab. Pandeglang ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dalam Penelitian ini terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis diantaranya:

a. Untuk mengetahui sebebarapa besar kekuatan dan eksistensi partai politik Islam

di Kab. Pandeglang.

b. Untuk mengetahui beberapa faktor yang memberikan pengaruh terhadap


(25)

c. Untuk mengetahui adakah hubungan liner antara penduduk mayoritas beragama Islam dengan perolehan sura parpol Islam.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah, sebagai berikuta:

a. Penulis

Bertambahnya wawasan dan pengetahuan dalam bidang Politik Islam (Siyasah Syar’iah), khususnya mengenai kajian ini, terlebih penulis adalah kelahiran Pandeglang, jadi bisa mengetahui Pandeglang tidak sebatas wilayah dan daerah yang agung melintang nan kaya keindahan serta kedamaian saja, (Sosial dan Budaya) melainkan dari segi lain pula yakni segi politik.

b. Jurusan, Fakultas, dan Universitas

Memberikan sumbangan pemikiran dan menambah literatur perpustakaan, dengan kajian dan penyajian baru, karena dirasa baru kali ini ada penelitian dengann objek kajian kedaerahan yakni mngengkat daerah Kab. Pandeglang sebagai fokus utama.

c. Masyarakat Umum (akademisi, praktisi, pelajar dan lainnya)

Sebagai bahan kajian keilmuan, dan penambah wawasan berkaitan dengan isu tema Islam politik dan bagaimana eksistensinya ketika dilebur ke dalam partai politik. Barangkali menjadi pertanyaan besar ketika secara persentasi penduduk Indonesia


(26)

mayoritas Islam, tapi nyatanya partai politik yang berideologi Islam kurang diseganai.

D. Review Kajian Terdahulu

Dari beberapa penelitian skripsi yang dilakukan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengenai tema partai politik Islam perlu kiranya dikedepankan sebagai bahan perbandingan dengan hasil penelitian penulis, diantaranya:

1. Yeby Ma’asan Masyrudin, “Transisi Demokrasi Dan Perilaku Partai Islam (Studi

Tentang Kemerosotan Perolehan Suara Partai PPP Pasca Orde Baru),” Skripsi S1

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Skripsi ini berisi tentang problematika partai PPP yang mengalami kemerosotan suara pada setiap Pemilu dilaksanakan khusunya setelah runtuhnya rezim Orde Baru yakni dalam kurun waktu 1999, 2004 dan 2009. Penulis skripsi dalam kajian ini mencoba mencari akar permasalahan yang menyebabkan melemahnya suara partai PPP pasca runtuhnya rezim Orde Baru.

2. Indah Permatasari, “Kemunculan Dan Menurunnya Partai Islam Ideologis, Studi

Kasus: Partai Bulan Bintang (PBB) 1999-2009,” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi yang ditulis oleh Indah Permatasari ini membahas tentang permasalahan yang terjadi pada partai Idelogis yakni PBB dalam perolehan suara pada pemilu 1999-2009.


(27)

Dari kedua skripsi yang ditulis di atas baik yang ditulis oleh Yeby Ma’asan Masyrudin dengan tema utama partai PPP, maupun yang ditulis oleh Indah Permata Sari dengan tema utamanya partai PBB, dapat di simpulkan bahwa meskipun kedua skripsi diatas membahas tentang permasalahan suara partai politik Islam, tetapi topik yang diangkat merupakan partai politik Islam secara nasioanal. Beda halnya dengan skripsi yang penulis bahas, meskipun tema utamanya adalah partai politik Islam, tetapi cakupan yang coba penulis analisisa adalah daerah bukan nasional. Dengan demikian jelas terdapat perbedaan antara topik yang penulis bahas dengan kedua penulis diatas.

E. Metode Penelitian

Untuk mengkaji permasalahan-permasalahan dalam peneitian ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah metode

penelitian kualitatif atau jenis penelitian normatif, yang dilakukan dengan cara

Library Researh (kepustakaan). Teknik pengumpulan data ini menggunakan studi dokumenter.

2. Sumber Data

Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:


(28)

a. Data Primer

Sumber data primer meliputi hasil rekapitulasi perolehan suara pada pemilu tahun 2014, yang mana dari hasil rekapitulasi perolehan suara ini akan terlihat seberapa signifikan perolehan suara partai politik islam.

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder merupakan data-data yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan primer yang diambil dari sumber-sumber tambahan yang memuat segala keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian, antara lain informasi yang relevan, seperti buku-buku tentang partai politik, buku-buku tentang ketatanegaraan Indonesia, wawancara pengurus partai politik Islam di Kab. Pandeglang, Pemerintahan setempat baik dalam lingkup kekuasaan legislatif ataupun eksekutif, serta KPUD sebagai penyelenggara pemilu tingkat daerah yang lebih berhadapan langsung dengan soal yang dibahas. Sumber lain pula tidak lepas dari literatur yang berhubungan dengan tema yang dibahas.

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset pustaka (Library Research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan masalah penelitian. Pengumpulan data informasi diperoleh berdasarkan bahan-bahan yang ada diperpustakaan, arsip-arsip daerah, dokumen, majalah maupun lainnya.


(29)

4. Teknik Analisis Data

Analisa data merupakan langkah paling penting dalam sebuah penelitian, terutama dalam tahap ini, seorang peneliti telah memasuki tahap penetapan hasil temuannya. Oleh sebab itu, dalam menganalisa data penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara memaparkan dan menguraikan pokok-pokok permasalahan secara menyeluruh dan komparatif, yakni sebuah metode perbandingan dengan cara menganalisa data-data yang ada, kemudian penulis kombinasikan untuk menghasilkan sebuah pemikiran yang padu.

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memperoleh gambaran yang jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini, maka penulis menjelaskan dalam sistematika penulisan secara garis besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab yang dibagi dalam sub bab dan setiap bab mempunyai batasan masing-masing yang akan saling berkaitan satu dengan yang lainnya, yaitu sebagai berikut:

Bab I, Dalam permulaan bab ini penulis mengetengahkan gambaran pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II, Dalam bab ini penulis menguraikan teori tentang partai politik berupa: pengertian partai politik, ideologi partai politik yang dianut di Indonesia dan partai politik apa saja yang menganut ideologi Islam maupun Pancasila.


(30)

Bab III, Dalam bab ini penulis menguraikan gambaran umum seputar Kab. Pandeglang baik dari segi demografis, keagamaan, pendidikan, sosial, ekonomi dan kondisi politik di daerah tersebut.

Bab IV, Pada bab ini pembahasan mengenai duduk perkara permasalahan yang dikaji yakni kekuatan partai politik Islam di Kab. Pandeglang berikut analisisnya.

Bab V, Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi, meliputi kesimpulan dari pembahasan, serta beberapa saran bekaitan dengan penulisan skripsi dari awal sampai pembahasan ini diselesaikan.


(31)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PARTAI POLITIK ISLAM A. Pengertian Partai Politik Islam

Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Dewasa ini partai politik sudah sangat akrab di lingkungan kita. Sebagai lembaga politik, partai bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada. Kelahirannya mempuyai sejarah cukup panjang, meskipun juga belum cukup tua. Bisa dikatakan partai politik merupakan organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi negara. Dan ia baru ada di negara modern. Secara akumulatif studi mengenai partai politik

baru ada pada awal abad ke-201

Dalam literatur politik ditemukan beberapa definisi partai politik, secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok terorganisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik, dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya.

Carl J. Friedrich, mengemukakan bahwa partai politik:

Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap

1

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. IV, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008), cet. 4, h.397


(32)

pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil dan

materiil.2

Sigmund Neuman dalam bukunya Modern Political Parties sebagaimana dikutip oleh

Miriam Budiardjo mengemukakan definisi partai politik sebagai berikut:

Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatau golongan atau golongan-golongan lain yang

mempunyai pandangan yang berbeda (A political party is the articulate

organization of society’s active political agents; those who are concerned with the control of governmental polity power, and who compete for popular support with other group or groups holding divergent views).3

Menurut Sartori Partai politik adalah:

Suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan malalui pemilihan itu mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki

jabatan-jabatan publik (A party is any political group that present at election,

and is capable of placing through elections candidates for public office).4 Pengertian partai politik telah dijelaskan secara gamblang diatas. Sekarang jika dikaitkan dengan Islam, apa yang dimaksud dengan partai politik Islam? Islam dalam konteks ini dipahami sebagai doktrin agama yang harus diimplementasikan dalam masyarakat serta mengatur seluruh aktivitas dan prilaku manusia di dalamnya.

Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an bahwa Islam merupakan agama

komprehensif yang sudah mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Dengan demikian, partai politik Islam dapat dipahami sebagai sebuah organisasi

2

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404

3

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 404

4


(33)

publik yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam konteks yang berbeda-beda melalui penguasaan struktur kelembagaan pemerintah, baik pada level legislatif maupun eksekutif. Proses mendapatkan kekuasaan itu diperoleh melalui keikutsertaan dalam pemilu serta melakukan kampanye dengan menjual isu dan program-program

yang tidak lepas dari nilai-nilai ideologi Islam.5

Dalam kajian ilmu politik, penggunaan “partai Islam” setidaknya memiliki dua konotasi. Pertama, ideologi organisasi, yaitu merujuk kepada partai politik yang menjadikan Islam sebagai dasar ideologinya. Ideologi organisasi dianggap penting karena ia merupakan tujuan dan orientasi. Ideologi menjadi alat pembeda antara satu

partai dengan partai yang lain.6

Dalam pembahasan selanjutnya mengenai partai politik Islam, Menurut Sudirman Tebba, untuk menyebut suatu partai politik itu partai Islam dia harus memiliki ciri Islam pada salah satu dari tiga unsur, yakni; nama, asas, dan lambang. Suatu partai disebut partai Islam apabila namanya mengandung unsur Islam atau

asasnya Islam atau lambangnya mengandung ciri Islam.7Selain itu, dikategorikannya

partai tersebut sebagai partai Islam ditandai oleh adanya personalia kepemimpinan partai yang didominasi oleh orang-orang yang berlatar belakang Islam yang kuat

5

Ridho Al-Hamdi, Partai Politik Isla, Teori dan Praktek di Indonesia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h.9

6

Ridho Al-Hamdi, Partai Politik Isla, Teori dan Praktek di Indonesia, h. 9

7


(34)

(santri) serta pengambilan keputusan yang cenderung berpihak kepada kepentingan unsur Islam.

Jika dilihat dalam konteks sekarang partai politik di Indonesia yang masih konsisten menerapkan Islam sebagai asas atau ideologi politiknya hanyalah tiga partai

politik, yaitu ; Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB)8,

dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Adapun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), jika dilihat dari perspektif konstitusi partai, adalah bukan partai politik Islam yang sebenarnya, paling tidak dapat dikatakan sebagai

partai berbasis massa Islam.9 Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa secara umum

partai politik Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah partai politik yang berazazkan Islam, Parpol yang berplatform Islam, Parpol yang menggunakan simbol-simbol penganut Islam maupun substansi Islam yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara

konstitusional, serta menumbuhkan partisipasi masyarakat.10

8

Pasal 3 Anggaran Dasar Partai Bulan Bintang, dinyatakan; Partai ini berasaskan Islam. Lihat juga Hasil Muktamar II Partai Bulan Bintang (Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang Periode 2005-2010), h. 25

9

Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002), h.124

10

Ed.Haidar Ali Ahmad, Dinamika Kehidupan Keagamaan Di Era Reformasi (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Pusitbang Kehidupan Keagamaan, 2010), h.289


(35)

B. Fungsi Dan Tujuan Partai Politik Islam

Pada umumnya, para ilmuan politik biasanya menggambarkan adanya 4 empat fungsi partai politik. Sebagaimana dikatakan Miriam Budiardjo fungsi tersebut

meliputi sarana: (i) komunikasi politik; (ii) sosialisasi politik (political socialization);

(iii) rekrutmen politik (political recruitment); dan (iv) pengatur konflik (conflic

management).11 Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp sebagaimana dikutup oleh Jimly Ashiddiqie, fungsi partai politik itu mecakup fungsi (i) mobilisasi dan

integrasi; (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting

ptterns); (iii) sarana rekrutmen politik; dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan

kebijakan.12

Sementara itu tujuan dari partai politik Islam tidak terlepas dari sebuah institusi negara sebagai media bagi partai politik Islam untuk mewujudkan cita-cita besar Islam. Adapun tujuan partai Islam dapat dirumuskan dalam salah satu ayat

Al-Qur’an yang berbunyi: Baldatun thayyibun warabbun ghafur yang artinya terwujudnya sebuah negara yang terdiri atas masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera yang diridhai oleh Allah SWT. Dari tujuan itu dapat dirumuskan tiga tujuan utama partai Islam.

11

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,h. 405-409

12

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 2009), h.406-407


(36)

1. Masyarakat yang adil. Keadaan dimana seluruh masyarakat di suatu negara tidak ada yang merasa terintimidasi maupun terpinggirkan dari kehidupan masyarakat yang luas serta mendapatkan hak-haknya sebagai salah seorang warga yang mendiami suatu daerah tertentu. Keadilan meliputi segala hal yang melekat pada mereka seperti, hak hidup, hak mendapatkan keamanan, hak berbicara, dan lain sebagainya.

2. Masyarakat yang makmur dan sejahter. Setiap manusia menginginkan hidup

bahagia, dan salah satu indikator hidup bahagia adalah memperoleh kemakmuran dan kesejahteraan hidup.

3. Masyarakat yang aman dan nyaman. Salah satu fungsi negara adalah membuat

warganya merasa aman dari berbagai bentuk kejahatan maupun tindakan kriminal lainnya. Sedangkan nyaman adalah rasa bahagia dari segi psikologis seseorang yang hidup dalam lingkungan tertentu. Tujuan ini merupakan tujuan dari partai politik Islam untuk menjadikan masyarakat tidak merasa terganggu dari segala

bentuk kejahatan maupun gangguan masyarakat sekitar.13

C. Munculnya Partai Politik di Indonesia

Motivasi kedatangan Belanda pertama kali ke Indonesia tahun 1577 adalah berdagang. Untuk memperlancar arus perdagangan dan meluaskan pengaruh, pada

tahun 1602 Belanda mendirikan Varenigde Oot-Indische Compagnie (VOC) sebagai

instrumen utama yang melibatkan para Bupati dalam administrasi mereka dengan

13


(37)

fungsi utamanya memobilisasi masyarakat untuk melaksanakan program pemerintah,

dalam hal ini VOC.14

Peperangan yang terjadi antara Belanda dan Belgia pada tahun 1820 memaksa

Belanda menerapkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) guna menyokong biaya

perang. Keberhasilan sistem ini diikuti oleh pemberlakuan Constitutional Ordinance

tahun 1854 yang memberikan hak politik absolut kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mengawasi kegiatan politik rakyat demi tercapainya keamanan. Akibatnya muncul dua tendensi yang berbeda. Kehidupan politik cenderung ke otoritarianisme, sementara liberalisme mewarnai bidang ekonomi.

Desakan kaum liberal di Belanda menyebabkan Cultuurstelsel segera

digantikan oleh Politik Etika yang mengajukan ide tentang “the Honor of Debt” atau Politik Utang Belanda. Politik ini mendorong pemerintah Hindia menerapkan modernisasi sektor ekonomi dan pendidikan bagi golongan pribumi. Gelombang balik dari modernisasi ini adalah munculnya keinginan untuk mendirikan partai politik.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Desentralisasi tahun 1903, pemerintah Belanda memberikan hak kepada pemerintahan lokal di Hindia Belanda untuk membentuk suatu Dewan Perwakilan. Wakil-wakil rakyat yang duduk di

dewan ditunjuk oleh Gubernur Jenderal sebagai wakil-wakil dari “the Color Caste

System”, satu model yang sama dengan Constitutional Democracy. Protes terhadap ide ini mengawali perubahan pada tahun 1916 ketika Gubernur Jenderal menyatakan

14


(38)

bahwa sebagian anggota Volksraad tetap ditunjuk, dan sebagaia lain dipilih. Untuk mengisi kursi yang dipilih, maka pada tahun 1917 pemerintah Hindia Belanda

mengumumkan dibolehkannya pembentukan partai politik pada tingkat nasional.15

Mosi Tjokroaminoto dan mosi Djajadiningrat pada bulan November 1918 yang menuntut agar seluruh anggota Volksraad dipilih oleh rakyat membuahkan reformasi politik. Rakyat dibolehkan secara bebas berserikat dan berkumpul, meskipun pada kenyataannya polisi rahasia tetap mengawasi kegiatan politik mereka. Dampak paling penting dari kedua mosi itu adalah diubahnya penunjukan

representatif di Volksraad dari Color Caste System ke basis assosiational group.

Setelah dipicu oleh politik etika dan Volksraad, di Indonesia tumbuh berbagai partai yang secara garis besar dapat dipilah menurut kategori: (i) partainya keturunan

Belanda; (ii) partainya keturunan Cina; (iii) partainya orang Indonesia.16

D. Sejarah Perjalanan Partai Politik Islam di Indonesia 1. Periode Pra Kemerdekaan (1900-1945)

Jika bentuk ideal umat Islam itu beserta tugas kewajibannya untuk kemanusiaan harus diungkapkan dalam kalimat singkat, maka yang paling baik ialah

mengutip al-Qur’an tentang gambaran yang diberikan untuk umat Rasulullah saw.:

“Kamu adalah sebaik-baik umat yang diketengahkan untuk manusia, karena kamu menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan, lagipula kamu percaya kepada

15

Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.26

16


(39)

Tuhan.” Perjuangan Islam sepanjang sejarahnya dapat dilihat sebagai usaha kaum

Muslim memenuhi gambaran al-Qur’an itu, khususnya berkenaan dengan tugas

kewajibannya bagi kemanusiaan. Tugas itu juga sering diungkapkan dalam kalimat

aslinya dalam bahasa Arab, yaitu “Amr ma’ruf nahi munkar”. Karena tugas amr ma’ruf nahi munkar itu umat Islam selalau terlibat dalam perjuangan melawan setiap

bentuk kezaliman. Maka wajar sekali bahwa umat Islam Indonesia sepanjang sejarahnya juga dikenal sebagai penentang-penentang gigih imperialism. Juga bukanlah suatu kebetulan bahwa gerakan kebangsaan Indonesia yang mula-mula tumbuh secara sebenarnya berbentuk organisasi massa dalam arti modern muncul dari

kalangan Muslim melalui Sarekat Islam.17

Pada tahun 1911 di Surakarta berdiri sebuah perkumpulan yang diberi nama Kong Sing. Anggota perkumpulan tersebut terdiri atas dua golongan, yaitu golongan orang-orang jawa dan orang-orang Cina. Perkumplan ini merupakan organisasi, koperasi, dengan tujuan untuk menjalin kerjasama diantara anggotanya dalam bidang usaha, terutama untuk melakukan pembelian dan penjualan batik, serta kerjasama

dalam urusan kematian.18

Pada mulanya perkumpulan ini dapat berjalan dengan baik, tetapi kemudian terjadi perpecahan, sebab anggota golongan Cina yang semula hanya 50 persen

17

Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999), h.43-44

18

Triana Wulandari dan Muhtaruddin Irahim, Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di Palembang (Jakarta: Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional, 2001), h.34


(40)

berkembang menjadi 60 persen. Akibatnya lebih jauh, mereka tampak berambisi hendak menguasai perkumpulan tersebut dan mereka ingin menyingkirkan para anggota dari bumi putra. Selain itu, sikap orang-orang Cina menjadi lebih sombong dengan berhasilnya revolusi Cina yang dipelopori oleh Dr. Sun Yat Sen.

Melihat sikap Cina yang makain menjadi sombong itu, para anggota orang Jawa beranggapan, bahwa keluar dari Kong Sing adalah langkah yang tepat. Berangkat dari masalah itu maka mereka keluar dari organisasi tersebut, yang kemudian mereka membentuk perkumpulan baru dengan nama Sarekat Dagang

Islam.19

Serikat Dagang Islam didirikan pada 1911 di Solo,20 oleh seorang pengusaha

batik di Laweyan yang bernama H. Samanhudi. Dasar organisasi ini adalah agama, yaitu Islam dan dasar ekonomi. SDI mula-mula diarahkan melawan kegiatan kegiatan Cina itu yang menguasai dunia perdagangan dengan mengorbankan pribumi, sisi lain dari perlawanan itu, sekalipun tidak langsung, ditunjukan kepada Belanda yang

19

Triana Wulandari dan Muhtaruddin Irahim, Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di Palembang,h.35

20

Mengenai tahun kelahiran atau berdirinya SDI/SI ada sebagian tokoh yang menyatakan bahwasanya tahun berdirinya SDI/SI adalah pada tahun 1905 atau lebih awal dari berdirinya Budi Utomo 1908, seperti K.H. Firdaus A.N. dalam karyanya Syarikat Islam Bukan Budi Utomo,


(41)

memberikan prioritas dan perlindungan kepada usahawan Cina yang agresif dalam

perdagangan dan industri.21

Pada tahun 1912, Umar Said Tjokroaminoto, mengusulkan kepada H. Samanhudi agar perkumpulan tersebut jangan membatasi diri pada golongan pedagang saja, tetapi diperluas, khususnya kepada umat Islam. Dengan alasan tersebut maka kata-kata dagang dalam anggaran dasar perkumpulan tersebut dihapus. Sehingga nama perkumpulan dalam akte notarisnya 10 September 1912 itu menjadi

Sarikat Islam (SI),22 perubahan SDI menjadi SI bukan hanya dalam perubahan nama,

tapi terutama dalam perubahan orientasi, yaitu dari komersial ke politik.23

Hal ini bukan tanpa rintangan, karena pada mulanya kolonial Belanda

keberatan dan menolak kehadiran SI, tetapi kemudian diakui juga sebagai “Badan Hukum” (Recht Persoon) pada tanggal 10 september 1912.24

Pengakuan sebagai Badan Hukum, belum berarti izin bagi gerakan politik SI, karena SI masih dianggap Belanda sebagai organisasi berbahaya. Tetapi karena kaum SI mendesak terus dengan keras, maka pemerintah Belanda tidak bisa menghalanginya lagi. Akhirnya pengakuan dan izin sebagai gerakan politik yang

21

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara (Jakarta: LP3S, 2006), h.80

22

Triana Wulandari dan Muhtaruddin Irahim, Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di Palembang, h. 36

23

Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, h.81

24

Firdaus A.N, Syariakat Isklam Bukan Budi Utomo, Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa, h. 3


(42)

bernama Central Sarekat Islam (CSI) datang juga pada tanggal 18 Maret 1916, yaitu tiga hari sebelum Gubernur Jenderal Belanda Indenburg, mengakhiri masa

jabatannya.25Pada waktu itu SI telah mempunyai lebih dari 50 cabang yang tersebar

di seluruh kepulauan Indonesia.26

Sarikat Islam (SI) yang merupakan bentuk transformasi dari Sarikat Dagang Islam (SDI), merupakan akar kesadaran politik Islam era modern, yang oleh Engleson disebut sebagai partai politik Islam yang selama beberapa tahun menjadi partai modern satu-satunya pada masa kolonial. Van Niel, sebagaimana dikutip oleh Dhurorudin Mashad, menyebutkan bahwa SI sebagai salah satu organisasi politik

Indonesia abad 20 yang paling menonjol.27 Penyebutan itu tidak berlebihan,

mengingat SI bukan saja merupakan parpol pertama di Indonesia, tapi juga parpol yang terbukti mampu menyadarkan lapisan luas masyarakat dari keterbelakangan dan dari kenyataan fatalisme. SI berupaya mengubah mentalitas orang terjajah, dari sikap

pasrah menjadi aktif dengan berakar pada semangat persamaan.28

Dalam tahap awal perjalanan SI (1911-1916), sebagian besar perhatian dicurahkan pada masalah-masalah organisasi seperti mencari pemimpin, menyusun

25

Firdaus A.N, Syariakat Isklam Bukan Budi Utomo, Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa, h.3, lihat juga Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, h.119

26

Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, h. 84

27

Dhurorudin Masad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h.53

28


(43)

anggaran dasar dan hubungan antara organisasi pusat dengan organisasi daerah.29 Pada peiode ini, program organisasi masih bersifat umum dan luas, sehingga para pemimpinnya belum bisa memberikan arah yang lebih tegas ke mana organisasi akan

dibawa.30

Dibawah kepemimpinan Tjokroaminoto, Abdul Moeis dan Agus Salim, SI mulai memasuki periode puncak pada tahun 1916 sampai 1921. SI bukan lagi sebagai organisasi pedagang pribumi yang berdomisili di Solo, namun ia telah berhasil menyebar di seluruh Nusantara pada tahun 1919 dengan jumlah anggota hampir mencapai dua setengah juta orang dari berbagai lapisan masyarakat: pedagang,

petani, buruh, dan bangsawan pribumi.31SI terbuka untuk setiap orang Indonesia

tanpa memandang latar belakang sosioetnis mereka, untuk itu wajar jika kehadirannya mendapat sambutan positif dari masyarakat Indonesia. Beda halnya dengan Budi Utomo yang membatasi keanggotaannya bagi priyayi Jawa dan

Madura.32

Tuntasnya persoalan di bidang organisasional pada periode sebelumnya, menyebabkan SI mampu memperhatikan secara serius beberapa persoalan, ekonomi dan politik. Dengan Tjokroaminoto sebagai tokoh sentaral, SI membagi program

29

Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.27

30

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942 (Jakarta, LP3S, 1998), h. 115-116

31

Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.27

32


(44)

kerjanya menjadi delapan yaitu politik, pendidikan, agama, hukum, agrarian,

pertanian, keuangan dan perpajakan.33

Mengawali periode ketiga (1921-1927), SI memecat anggota-anggotanya yang juga berafiliasi denga Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini dilakukan untuk mempertegas bahwa kebijakan dan kegiatannya hanya berdasarkan Islam seperti tercantum dalam keterangan asas organisasi. SI berganti nama menjadi Partai Sarikat

Islam (PSI) melalui kongresnya di Madiun pada tanggal 17-20 Februari 1923.34

Dalam hal itu, yang cukup menarik adalah berubahnya arah politik partai berkenaan dengan penahanan Tjokroaminoto dalam tahun 1921-1922. Penahanannya menimbulkan protes keras dan menyingkirkan kepercayaan partai kepada pemerintah untuk bekerja sama. Hal ini diikuti oleh suara yang menghendaki kemungkinan dimunculkannya politik hijrah (nonkooperasi) yang kemudian semakin dipertegas oleh hasil keputusan Kongres di Surabaya pada tanggal 8-10 Agustus 1924 yang menyatakan bahwa partai tidak akan mempunyai seseorang wakil walaupun Dewan

Rakyat (Volksraad).35

Menginjak periode keempat (1927-1942), SI berusaha keras mempertahankan keberadaannya dalam pentas politik waktu itu. Namun SI gagal mempertahankan

33

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942, h. 127-129

34

Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 29

35


(45)

posisinya sebagai pemain kunci dalam gerakan nasional, karena berbagai faktor yang

menimpanya, diantaranya:36

Pertama, konflik internal dikalangan elit partai. Kekecewaan seorang elit terhadap langkah politik yang ditempuh oleh elit lain atau karena perbedaan pandangan tentang bagaimana seharusnya partai bersikap, kerapkali harus berakhir dengan pengusiran seorang elit dari tubuh partai.

Berbagai perbedaan pendapat mengenai kebijakan masalah-masalah pribadi mengakibatkan mundurnya atau dikeluarkannya beberapa pemimpin dan aktivis partai yang paling penting. Abdul Muis mengundurkan diri dari kepemimpinan organisasi itu menyusul ketidaksetujuannya dengan Tjokroaminoto dalam maslah yang berhubungan dengan Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB), di mana ia adalah ketua pelaksananya. Perbedaan sejenis mengenai masalah moral

menyebabkan Sukiman dan Surjopranoto juga mengundurkan diri dari SI.37

Kedua, memudarnya kepercayaan kelompok Islam lain terhadap SI. Seiring dengan perjalanan SI berbagai organisasi Islam yang lain juga muncul seperti Al-Irsyad, Muhammadiyah dari sayap modernis, dan gejala semakin terorganisasinya golongan tradisionalis. Reputasi besar SI dan tokoh-tokohnya yang piawai dalam berorganisasi meyakinkan semua kelompok Islam untuk memberikan kursi

36

Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 29-30

37

Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 2009), h.71


(46)

kepemimpinan umat dalam bidang agama kepada SI sebagaimana tergambar dalam beberapa kali Kongres Al-Islam. Tetapi karena merasa diperlakukan tidak wajar oleh pimpinan SI, kaum tradisional menceraikannya. Sedangkan pertikaian karena persoalan pribadi dengan Muhammadiyah pada tahun 1926 berbuntut pada keluarnya anggota-anggota Muhammadiyah dari SI pada tahun berikutnya. Dan ketegangan

mengenai masalah agama yang tidak tergolong fundamental (furu’iyah) denga pihak

Persatuan Islam (Persis) membuat partai ini semakin menjauh dari organisasi-organisasi Islam yang besar. Dalam kondisi demikian, SI denga percaya diri masih berani mengklaim sebagai satu-satunya perwakilan umat Islam Indonesia.

Ketiga, tantangan yang semakin besar terhadap kepemimpinan SI muncul dari kaum pergerakan kebangsaan yang berideologi nasionalis dan komunis. Ideologi komunisme sempat merembes ke tubuh SI melalui semaun dan Darsono. Mereka adalah tokoh SI dari cabang semarang yang kemudian terlibat konfrontasi dengan pemimpin-pemimpin SI dari aliran Islam berkaitan dengan tuntutan agar kepolitikan SI dibersihkan dari Islam baik sebagai dasar, unsur maupun tujuan. Sebagai gantinya seluruh orientasi dari kegiatan partai didasarkan pada paham Marxis yang

menekankan karakter sosialistik dan revolusioner.38 Diperkenalkannya Marxisme ke

38


(47)

dalam SI memunculkan berbagai konflik dan perpecahan dikalangan para pemimpin

organisasi ini.39

Ketertarikan kepada gagasan-gagasan Marxis pada mulanya berkembang di luar gerakan-gerakan nasionalis pribumi. Di kepulauan Nusantara, gagasan-gagasan

tersebut pada mulanya diasosiasikan dengan sekelompok kecil anggota Nationale

Indische Partij (NIP, Partai Nasional Belanda ) sebuah organisasi politik Eropa Indonesia yang dibentuk pada 1912 dan menyuarakan paham kesetaraan ras, keadilan sosial-ekonomi dan kemerdekaan, yang didasarkan kepada kerjasama Eropa-Indonesai. Karena ditindas oleh pemerintah kolonial, maka kelompok minoritas di

dalam partai tersebut bergabung dengan partai kiri Indische Sosiaal Democratische

Vereeniging (ISDV, Asosiasi Demokrasi Sosial Hindia Belanda), yang didirikan oleh Hnedrik Sneevlit pada 1914. Dan ketika pada 1920 ISDV ditransformasikan menjadi Partij der Komunisten in Indie (Partai Komunis Indonesia [PKI]), sebuah partai

komunis yang sepenuhnya beraliran komunis.40 Kedua tokoh SI yakni Semaun dan

Darso yang kelak dikeluarkan dari SI dan bergabung dengan PKI.Yang lebih memperparah konflik diatas adalah perbedaan sudut pandang mengenai landasan teologis-ideologis masing-masing faksi. Tiga serangkai Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Abdul Muis tegas menyatakan bahwa Islam adalah ideologi partai itu, dan mereka menggerakkan partai itu sejalan dengan gerakan Pan Islamisme di Timur

39

Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 69

40

Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 67-69


(48)

Tengah. Sebaliknya Semaun dan Darsono lebih menghendaki disingkirkannya agama dari politik praktis, seraya mengorientasikan diri mereka serta seluruh tindakan

mereka kepada prinsip-prinsip Marxsis.41

Upaya untuk mengompromikan dua bidang ideologi itu sempat dilakukan. Namun upaya tersebut menemui jalan buntu dan tarik tambang ideologi itu dimenangkan oleh kubu Islam. Meski demikia SI harus membayar kemenangannya

itu dengan hengkangnya sejumlah besar anggotanya.42

Kegagalan dalam menjembatani berbagai perbedaan ini, terutama dalam watak sosialistik dan revolusioner SI, mengakibatkan perpecahan dalam organisasi tersebut. Karena kalah dalam percaturan ini, maka pada kongres keenam SI yang diselenggarakan di Surabaya pada 1921, faksi Marxis dikeluarkan dari organisasi denga alasan bahwa mereka melanggar disiplin partai dengan mempertahankan

keanggotaan mereka dalam sebuah partai kominis, yakni PKI.43

Tantangan terhadap kepemimpinan SI dalam gerakan nasional ini dilanjutkan oleh kalangan lain yang netral agama, yang biasanya disebut nasionalis. Mereka umumnya bergabung dalam Perserikatan kemudian Partai Nasional Indonesia dibawah pimpinan Soekarno (1901-1979). Pada tahun 1930-an tantangan itu

41

Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 70

42

Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.30

43

Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h.70


(49)

dilanjutkan oleh Patai indonesia (Partindo), Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), dan Partai Indonesia Raya (Perindra). Jadi berkembanglah perpecahan dalam kalangan umat Islam itu, mulanya dengan pihak komunis (yang masih beragama Islam), dan kemudian dengan pihak nasionalis yang netral agama (yang juga sebagian besar beragama Islam). Bila pihak komunis yang umumnya anti agama, jadi anti Islam, golongan nasionalis yang netral agama ingin membatasi agama pada bidang

perseorangan.44

2. Periode Pasca Kemerdekaan (1945-1965)

Dikeluarkannya Maklumat Presiden pada tanggal 3 November 1945 merupakan langkah awal masyarakat Indonesia waktu itu untuk membentuk partai politik dan yang kemudian akan ikut menyemarakan kontestasi pemilu legislatif pada tahun 1946. Dengan adanya Maklumat tersebut, secara praktis sistem pemerintahan Indonesia bergeser dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer, tanpa mengubah apalagi mengganti UUD 1945. Hal ini disambut oleh masyarakat untuk mendirikan partai politik sebagai sarana untuk merebut kursi di legislatif dengan beragam aliran yang dimilikinya, yakni kemudian lahirlah partai politik yang berideologi Komunis, Sosialisme Demokratik, Islam, Nasionalisme Radikal, dan Tradisionalisme Jawa. Partai politik yang muncul setelah dikeluarkannya maklumat

44


(50)

November 1945 oleh Alfian dibagi kepada lima bagian, yakni Nasionalis, Islam,

Sosialis, dan Kristen/Nasrani.45

Maklumat yang dikeluarkan November 1945 disambut dengan baik oleh kalangan umat Islam, hal itu terbukti dengan langsung digelarnya Kongres Umat Islam Indonesia selama dua hari di Yogyakarta. Hasil dari kongres tersebut adalah disepakatinya pembentukan partai Islam yang secara resmi dinamakan Partai Politik Islam Indonesia Masyumi.

Partai Masyumi (Majelis Syura Muslim Indonesia) di dirikan pada 07 November 1945, merupakan satu-satunya partai politik bagi umat Islam Indonesia. Dalam anggaran dasar Masyumi dinyatakan bahwa partai baru itu bertujuan menegakkan kedaulatan rakyat Indonesia dan agama Islam, dan melaksanakan

cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.46

Gagasan pembentukannya berasal dari sejumlah politisi dan pergerakan sosial keagamaan Islam Indonesia yang telah aktif sejak zaman penjajahan Belanda, diantaranya Agus Salim, Abdul Kahar Mudzakir, Abdul Wahid Hasyim, Mohammd

45

Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h.35

46

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UII Press, 1990), h. 190


(51)

Natsir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Sukiman Wirjosandjojo, Ki

Bagus Hadikusumo, Muhammad Mawardi, dan Abu Hanifah.47

Partai Masyumi dicanangkan sebagai satu-satunya partai Islam yang akan

menyalurkan dan mengartikulasikan kepentingan umat Islam.48 Menurut beberapa

tokoh yang mengambil inisiatif pembentukan Masyumi, ada beberapa pertimbangan

yang mendorong mereka untuk membentuk partai itu menjadi “partai tunggal” Islam

Indonesia. Dari segi doktrin, sebagaimana dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra

tokoh-tokoh itu merujuk kepada al-Qur’an yang memerintahkan agar umat Islam

bersatu dan jangan berpecah belah (Qs, Ali-Imran/03:103).49

Tekad menjadikan Masyumi sebagai partai tunggal Islam diwujudkan dengan cara membentuk dua jenis keanggotaan yang diharapkan dapat menampung semua elemen umat Islam di masyarakat. Dua jenis keanggotaan Masyumi adalah perseorangan (biasa) dan organisasi (istimewa). Anggota perseorangan disyaratkan minimal usia 18 tahun atau sudah kawin dan tidak menjadi anggota partai politik lain.

47

Yusril Ihza Mahendra, Modernisme, dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:

Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan) (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 62-63

48

Zainal Abisin,Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 37

49

Yusril Ihza Mahendra, Modernisme, dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), h.65


(52)

Anggota istimewa semula terdiri atas empat organisasi yakni NU, Perikatan Umat

Islam, Persatuan Umat Islam, dan Muhammadiyah.50

Sebagai partai tunggal Islam, Masyumi tidak menghadapi persaingan yang berarti dari sesama partai Islam yang ketika itu memang tidak ada selain dirinya sendiri. Partai Itu bersaing dengan partai-partai yang berideologi bukan Islam seperti, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan partai lain yang kecil. Termasuk dalam hal tersebut partai-partai Nasionalis, Kristen, Katolik atau pun partai-partai-partai-partai Marxis diluar PKI. Dalam suasana persaingan yang sedemikian rupa itu, Masyumi ingin menunjukkan bahwa

Islam yang dipegang sebagai ideologi politiknya adalah suatu “ideologi Islam yang

modern”, yaitu Islam yang di tafsirkan sedemikian rupa, sehingga diniscayakan

paling mampu menyelesaikan persoalan-persoalan Indonesia.51

Kebesaran Masyumi pada zamannya memang tidak dapat diragukan lagi. Prestasinya paling cemerlang ditunjukkannya pada rentang 1945-1957, dalam mana para tokohnya banyak yang mengisi posisi Menteri bahkan Perdana Menteri. Dalam rentang waktu itu tercatat tiga tokoh Masyumi memimpin kabinet. Mereka adalah M. Natsir, Sukiman, dan Burhanudin Harahap. Ketika nama yang disebut terakhir ini menjabat sebagai Perdana Menteri, bangsa Indonesia untuk pertama kalinya melaksanakan pemilu yang diikuti oleh banyak partai dan berlangsung secara

50

Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h.37

51

Yusril Ihza Mahendra, Modernisme, dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:


(53)

demokratis. Pemilu yang digelar pada tahun 1955 itu memiliki kualitas yang hanya dapat ditandingi oleh pemilu 1999, tidak oleh satupun pemilu-pemilu Orde-Baru (ORBA). Periode itu menyaksikan bahwa Masyumi mampu mendudukkan empat atau lima orang tokohnya dalam setiap kabinet, kecuali dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955) dimana Masyumi memang tidak bersedia masuk dalam

kabinet.52

Untuk itu, jauh sebelum pemilu 1955 dilaksanakan pada tahun 1946, Sjahrir (pemimpin Partai Sosialis Indonesia dan tiga kali menjabat sebagai Perdana Menteri

dalam beberapa kabinet semasa revolusi) sudah memperkirakan bahwa “jika

pemilihan umum diselenggarakan disekitar tahun itu, maka Masyumi yang saat itu adalah gabungan dari kalangan Muslim modernis seperti Muhammadiyah dan

ortodok seperti NU, akan memperoleh 80% suara.53

Perkiraan Sjahrir itu bukan tanpa alasan. Besarnya jumlah pemilih Masyumi antara 1946 dan 1951 sangat nyata. Dalam hal ini Herbert Feith sebagaimana dikutip Bahtiar Effendi memberi kesaksian, bahwa dalam pemilihan umum tingkat regional yang diselenggarakan di beberapa wilayah di Jawa pada 1946, dan dalam pemilihan umum yang diamati secara teliti di wilayah tertentu di Daerah Istimewa Yogyakarta

52

Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 38-39

53

Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia,h. 99


(54)

pada 1951, Masyumi memperoleh mayoritas mutlak suara atau paling tidak lebih

banyak dibanding kontestan manapun.54

Untuk menggambarkan lebih jauh mengenai posisi politik kelompok Islam yang semakin kuat pada masa revolusi ini, beberapa catatan historis berikut relevan dikemukakan di sini. Pertama, pada Agustus 1950, aktivitas partai-partai politik di Indonesia telah mengalami penyegaran kembali dan giat setelah masa adem-ayem pada 1949. Dalam parlemen yang baru dibentuk dengan jumlah keseluruhan anggota 236 orang, Masyumi tampil sebagai partai terbesar dengan menduduki 49 kursi. Namun demikian, karena adanya banyak partai, organisasi, dan asosiasi yang diwakili dalam parlemen (tidak kurang dari 22), bersama PSII, kelompok Islam hanya memperoleh 54 kursi (23%). Kedua, dalam beberapa kesempatan, Masyumi diminta untuk membentuk dan memimpin kabinet. Dari tujuh kabinet yang berjalan di bawah

sistem demokrasi constitutional (1950-1957), tiga kabinet dipercakan

kepemimpinannya kepada Masyumi (Kabinet Natsir pada 1950-1951; Kabinet Sukiman pada 1951-1952; dan Kabinet Burhanuddin Harahap pada 1955-1956). Selain itu, ketika Partai Nasionalis Indonesia (PNI) diberi mandat untuk membentuk pemerintahan, baik Masyumi maupun NU (yang memisahkan diri dari Masyumi dan menjadi organisasi politik tersendiri pada 1952), berperan sebagai pasangan koalisi utama. Terakhir, hasil pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada September 1955 menunjukan, kelompok Islam (kali ini terdiri dari Masyumi, NU,

54

Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h.99-100


(55)

PSII, dan Perti) menguasai 114 dari 257 kursi (43,5% suara) dalam parlemen. Walaupun hasil akhir tersebut jelas jauh di bawah perkiraan Sjahrir, namun itu telah

menggandakan wakil kelompok Islam dalam Parlemen.55

Namun jika dilihat dari jumlah penduduk Indonesia yang beragamakan Islam kala itu mencapai 90% hal ini kurang begitu menggembirakan, karena disisilain jumlah perolehan partai polititik non agama mencapai 60% perolehan suara. Hal inilah yang menurut Daniel Dhakidae sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin, kemenangan partai-partai non-agama itu disebabkan oleh masih kentalnya semangat nasionalisme di panggung politik Indonesia sejak sebelum perang kemerdekaan

sampai dekade 1960-an.56

Hasil pemilu 1955 ternyata tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi perjalanan politik nasional. Konflik antara golongan abangan dan santri kian menajam, sebagaimana tercermin dari perdebatan sengit di dewan Konstituante mengenai keberadaan Piagam Jakarta dan dasar Negara. Konflik di tingkat elit itu berakibat pula pada sulitnya memebentuk pemerintahan yang setabil. Perdebatan mengenai dasar negara dalam tubuh Konstituante antara golongan Islam dan Nasionalis tidak membuahkan hasil bahkan cenderung berakibatkan terjadinya perpecahan yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melihat situasi politik yang tidak lagi kondusif kemudian sebagai upaya

55

Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h.100-101

56


(56)

penyelamatan Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit tanggal 5 Juli 1959, yang menyerukan untuk kembali kepada UUD 1945 dan membubarkan dewan

Konstituante.57Sejak saat itu secara resmi sistem Demokrasi Parlementer tidak lagi

menjadi sistem pemerintahan di Indonesia dan berubah menjadi Demokrasi Terpimpin.

Dalam sistem pemerintahan yang baru ini Soekarno mengintrodusir Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang semua anggotanya diangkat oleh presiden. Tak pelak lagi sistem Demokrasi Terpimpin memperoleh kritik keras dari tokoh-tokoh partai sebagai sistem pemerintahan anti demokrasi. Masyumi adalah satu-satunya partai Islam yang paling keras melancarkan kritik. Sementara NU, PSII dan Perti mengambil langkah akomodatif terhadap kebijakan Soekarno dengan menyatakan dukunganya dan memberikan legitimasi keagamaan atas kiprah

politiknya.58

Ketegangan politik antara Soekarno dan Masyumi berpuncak pada dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 200/1960 yang diumumkan pada 17 Agustus 1960. Keppres ini melarang keberadaan Masyumi dan PSI di pentas politik Indonesia, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan separatis PRRI (Pemerintahan Refolusioner Republik Indonesia) pada tahun 1958.

57

Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 42-43

58


(57)

Setelah melenyapkan Masyumi dan PSI pada bulan April 1961 soekarno membubarkan semua partai politik, karena banyaknya partai dianggap oleh Soekarno sebagai salah satu penyebab tidak adanya pencapaian hasil dalam mengambil

keputusan,59kecuali Sembilan partai politik yang lolos seleksi, diantaranya NU, PSI

dan Perti. Tetapi keberadaan Sembilan partai itu nyaris tak berguna, karena sistem

kepartaian pada Demokrasi Terpimpin bersifat “No-Party System”.

Pada puncak kejayaan Orde Lama, dikenal berbagai jargon perjuangan yang membangkitkan semangat. Diantaranya yang paling popular adalah Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis), Jas Merah (Jangan Lupakan Sejarah), dan lain-lain.60

Dengan adanya pengertian keberadaan Nasakom maka Partai Komunis mendapat posisi dominan, karena merupakan salah satu dari tiga unsur utama disamping partai-partai agama yang ada di Indonesia dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Begitu pentingnya Nasakom sehingga mendapat tempat dalam Peraturan Perundang-undangan yaitu UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintah Daerah. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa bagaimanapun keadaan anggota parlemen daerah, unsur Nasakom harus di perhatikan dalam penunjukkan unsur pimpinan DPRD. Jadi bila di suatu daerah hanya ada seorang tokoh PKI, maka ia

59

Inu Kencana Syafii dan Azhari, Sitem Politik Indonesia, Cet.VI, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), h. 42

60


(58)

harus diikut sertakan sebagai pimpinan DPRD apabila ia menjadi salah satu anggota

DPRD tertentu.61

Pada masa Orde Lama ini pendulum kekuasaan sepenuhnya bergerak di antara tiga kutub yang sangat kompetitif, yakni Presiden Soekarno, Angkatan Darat, dan Partai Komunis. Tarik tambang diantara tiga kekuatan politik utama tersebut menyedot sebagian tenaga dan perhatian mereka, sehingga berbagai persoalan politik dan ekonomi yang lebih mendasar tidak memperoleh perhatatian serius. Akibatnya Negara Demokrasi Terpimpin digerogoti oleh aneka krisis politik dan ekonomi yang kemudian berujung pada hancurnya kekuasaan Soekarno dan Partai Komunis

menyusul percobaan kudeta 30 September 1965.62

3. Periode Orde Baru (1966-1998)

Orde Baru adalah suatu masa atau era pemerintahan nasional yang dimulai dengan kepemimpinan Soeharto, melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tahun 1966. Soeharto sang Jenderal Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) memiliki mandat kepemimpinan untuk mengendalikan situasi politik kenegaraan melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966,

dari Presiden Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno.63 Proses politik dibawah

Negara Orba berlangsung di luar aturan main demokrasi. Akibatnya Semua tindakan

61

Inu Kencana Syafii dan Azhari, Sitem Politik Indonesia, h. 43

62

Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h.45

63

Firdaus Syam, Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern


(59)

yang penting diarahkan untuk mengamankan stabilitas termasuk mengganjar para pendukung dan memberantas para pembangkang.

Pemilu pertama Orde Baru dilaksanakan pada tangal 13 Juli 1971, dengan Golkar yang keluar sebagai partai pemenang pemilu dengan perolehan suara 62,8 % suara. Dari tiga partai Islam yang pernah terlibat dalam pemilu 1955, hanya NU yang berhasil meningkatkan perolehan suaranya dalam pemilu kali ini, dari 18,4 % suara menjadi 18,67 % suara. PSII dan Perti yang pada pemilu 1955 meraup 2,9 % dan 1,3 % suara, persentase suaranya melorot menjadi 2,39 % 0,70 persen suara, jauh dibawah persentasi Masyumi yang dapat mendulang suara 43% suara pada pemilu 1955. Kemenangan Golkar dalam pemilu 1971 memberikan legitimasi konstitusional

akan pemerintahan militer di Indonesia.64

Pada masa Orde Baru tepatnya pada tahun 1973 partai-partai Islam (NU, Partai Syarikat Islam Indonesia [PSII], Persatuan Tarbiyah Islamiyah [Perti] dan Partai Muslimin Indonesia [Parmusi] yang kemudian mengubah nama menjadi M.I

[Muslimin indonesia]) lebur menjadi satu partai yakni dalam PPP.65 Langkah ini

dilakukan karena adanya tekanan dari rezim penguasa yang tidak dapat ditolak.66Pada

masa ini sejak pertengahan 1970-an, bersama dengan berlangsungnya proses

64

Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h. 50

65

Firdaus Syam, Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern, h. 83

66

Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 20


(60)

restrukturisasi rezim Orde Baru (1973), jumlah partai politik mengalami pembatasan, yakni hanya ada tiga partai politik yang hidup di masa rezim Orde Baru diantaranya; PPP, Golkar dan PDI (yang merupakan fusi dari partai Kristen dan nasionalis sekuler;

PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba) .67Fenomena ini tidak lain

merupakan buah hasil dari produk hukum yang dikeluarkan pemerintah Soeharto dengan produk hukumnya yakni UU No. 3 tahun 1973 tentang partai politik, yang menyederhanakan sejumlah partai politik. Untuk itulah kemudian terjadi fusi ditubuh

partai politik.68

Meskipun Partai Politik Islam yang telah memfusikan kegiatan politiknya ke dalam PPP, secara kehidupan sosial kemasyarakatan program-program utamanya tetap berjalan sebagaimana halnya sebelum meleburkan diri ke dalam PPP, misalnya PSII yang tetap fokus melaksanakan tugas dan fungsinya dalam bidang dakwah,

sosial dan ekonomi.69 Perampingan jumlah parpol dianggap sebagai strategi paling

kuat untuk melanggengkan kekuatan Orde Baru.70

Berdasarkan sejarahnya, PPP dibentuk sebagai hasil dari rekayasa pemerintah

Orde Baru, untuk membentuk hegemonic partysystem, yaitu sistem partai yang

67

Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 234

68

Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Reformasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 59

69

M.A. Gani, Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), h. 8

70


(61)

hegemoni dalam kendali penguasa Orde Baru. Sebagai partai ciptaan negara, PPP terjerat kesulitan dalam membenarkan kehadirannya di hadapan para pendukungnya, bahkan di depan dirinya sendiri. Melihat fenomena demikian Kingsbury sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin, menyimpulkan bahwa negara dibawah kendali Orba pada dasarnya telah membatasi pertumbuhan politik Islam, sebagaimana pernah

dipergunakan oleh Soekarno terhadap Masyumi.71 Baik PPP maupun PDI keduanya

masuk dalam jaringan korporatisme Negara, sehingga fungsinya dalam perpolitikan Negara termarjinalkan. Sebab hampir semua fungsi partai politik diambil alih oleh birokrasi dari berbagai organisasi korporatis yang merupakan perpanjangan tangan Golkar. Untuk itu baik PPP yang berbasis Islam maupun PDI yang berbasis nasionalis/kerakyatan tidak pernah mampu megungguli perolehan suara Golkar pada

setiap pemilu di masa Orde Baru.72

Sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997 (selama kurun waktu dua puluh enam tahun atau selama lima kali pemilihan umum), rata-rata jumlah perolehan suara PPP secara nasional tidak bisa melampaui ambang batas 20 persen. Fakta nyata ini membuktikan secara jelas bahwa aspirasi politik umat Islam tidak selalu terkonsentrasi penyalurannya ke kubu PPP. Sepanjang sejarah politik Orde Baru, bagian terbesar aspirasi politik umat Islam tersalurkan ke kubu Golkar, partai adidaya yang didukung oleh pemerintah dan militer. Selebihnya dalam jumlah kecil, umat

71

Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h. 53

72

Firdaus Syam, Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra di Pentas Politik Indonesia Modern, h, 84


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)