Periode Pra Kemerdekaan 1900-1945

30 memberikan prioritas dan perlindungan kepada usahawan Cina yang agresif dalam perdagangan dan industri. 21 Pada tahun 1912, Umar Said Tjokroaminoto, mengusulkan kepada H. Samanhudi agar perkumpulan tersebut jangan membatasi diri pada golongan pedagang saja, tetapi diperluas, khususnya kepada umat Islam. Dengan alasan tersebut maka kata-kata dagang dalam anggaran dasar perkumpulan tersebut dihapus. Sehingga nama perkumpulan dalam akte notarisnya 10 September 1912 itu menjadi Sarikat Islam SI, 22 perubahan SDI menjadi SI bukan hanya dalam perubahan nama, tapi terutama dalam perubahan orientasi, yaitu dari komersial ke politik. 23 Hal ini bukan tanpa rintangan, karena pada mulanya kolonial Belanda keberatan dan menolak kehadiran SI, tetapi kemudian diakui juga sebagai “Badan Hukum” Recht Persoon pada tanggal 10 september 1912. 24 Pengakuan sebagai Badan Hukum, belum berarti izin bagi gerakan politik SI, karena SI masih dianggap Belanda sebagai organisasi berbahaya. Tetapi karena kaum SI mendesak terus dengan keras, maka pemerintah Belanda tidak bisa menghalanginya lagi. Akhirnya pengakuan dan izin sebagai gerakan politik yang 21 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara Jakarta: LP3S, 2006, h.80 22 Triana Wulandari dan Muhtaruddin Irahim, Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di Palembang, h. 36 23 Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, h.81 24 Firdaus A.N, Syariakat Isklam Bukan Budi Utomo, Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa, h. 3 31 bernama Central Sarekat Islam CSI datang juga pada tanggal 18 Maret 1916, yaitu tiga hari sebelum Gubernur Jenderal Belanda Indenburg, mengakhiri masa jabatannya. 25 Pada waktu itu SI telah mempunyai lebih dari 50 cabang yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. 26 Sarikat Islam SI yang merupakan bentuk transformasi dari Sarikat Dagang Islam SDI, merupakan akar kesadaran politik Islam era modern, yang oleh Engleson disebut sebagai partai politik Islam yang selama beberapa tahun menjadi partai modern satu-satunya pada masa kolonial. Van Niel, sebagaimana dikutip oleh Dhurorudin Mashad, menyebutkan bahwa SI sebagai salah satu organisasi politik Indonesia abad 20 yang paling menonjol. 27 Penyebutan itu tidak berlebihan, mengingat SI bukan saja merupakan parpol pertama di Indonesia, tapi juga parpol yang terbukti mampu menyadarkan lapisan luas masyarakat dari keterbelakangan dan dari kenyataan fatalisme. SI berupaya mengubah mentalitas orang terjajah, dari sikap pasrah menjadi aktif dengan berakar pada semangat persamaan. 28 Dalam tahap awal perjalanan SI 1911-1916, sebagian besar perhatian dicurahkan pada masalah-masalah organisasi seperti mencari pemimpin, menyusun 25 Firdaus A.N, Syariakat Isklam Bukan Budi Utomo, Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa, h.3, lihat juga Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, h.119 26 Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, h. 84 27 Dhurorudin Masad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, h.53 28 Dhurorudin Msad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 53 32 anggaran dasar dan hubungan antara organisasi pusat dengan organisasi daerah. 29 Pada peiode ini, program organisasi masih bersifat umum dan luas, sehingga para pemimpinnya belum bisa memberikan arah yang lebih tegas ke mana organisasi akan dibawa. 30 Dibawah kepemimpinan Tjokroaminoto, Abdul Moeis dan Agus Salim, SI mulai memasuki periode puncak pada tahun 1916 sampai 1921. SI bukan lagi sebagai organisasi pedagang pribumi yang berdomisili di Solo, namun ia telah berhasil menyebar di seluruh Nusantara pada tahun 1919 dengan jumlah anggota hampir mencapai dua setengah juta orang dari berbagai lapisan masyarakat: pedagang, petani, buruh, dan bangsawan pribumi. 31 SI terbuka untuk setiap orang Indonesia tanpa memandang latar belakang sosioetnis mereka, untuk itu wajar jika kehadirannya mendapat sambutan positif dari masyarakat Indonesia. Beda halnya dengan Budi Utomo yang membatasi keanggotaannya bagi priyayi Jawa dan Madura. 32 Tuntasnya persoalan di bidang organisasional pada periode sebelumnya, menyebabkan SI mampu memperhatikan secara serius beberapa persoalan, ekonomi dan politik. Dengan Tjokroaminoto sebagai tokoh sentaral, SI membagi program 29 Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.27 30 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942 Jakarta, LP3S, 1998, h. 115- 116 31 Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.27 32 Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, h. 82 33 kerjanya menjadi delapan yaitu politik, pendidikan, agama, hukum, agrarian, pertanian, keuangan dan perpajakan. 33 Mengawali periode ketiga 1921-1927, SI memecat anggota-anggotanya yang juga berafiliasi denga Partai Komunis Indonesia PKI. Hal ini dilakukan untuk mempertegas bahwa kebijakan dan kegiatannya hanya berdasarkan Islam seperti tercantum dalam keterangan asas organisasi. SI berganti nama menjadi Partai Sarikat Islam PSI melalui kongresnya di Madiun pada tanggal 17-20 Februari 1923. 34 Dalam hal itu, yang cukup menarik adalah berubahnya arah politik partai berkenaan dengan penahanan Tjokroaminoto dalam tahun 1921-1922. Penahanannya menimbulkan protes keras dan menyingkirkan kepercayaan partai kepada pemerintah untuk bekerja sama. Hal ini diikuti oleh suara yang menghendaki kemungkinan dimunculkannya politik hijrah nonkooperasi yang kemudian semakin dipertegas oleh hasil keputusan Kongres di Surabaya pada tanggal 8-10 Agustus 1924 yang menyatakan bahwa partai tidak akan mempunyai seseorang wakil walaupun Dewan Rakyat Volksraad. 35 Menginjak periode keempat 1927-1942, SI berusaha keras mempertahankan keberadaannya dalam pentas politik waktu itu. Namun SI gagal mempertahankan 33 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942, h. 127-129 34 Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 29 35 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942, h. 150 34 posisinya sebagai pemain kunci dalam gerakan nasional, karena berbagai faktor yang menimpanya, diantaranya: 36 Pertama, konflik internal dikalangan elit partai. Kekecewaan seorang elit terhadap langkah politik yang ditempuh oleh elit lain atau karena perbedaan pandangan tentang bagaimana seharusnya partai bersikap, kerapkali harus berakhir dengan pengusiran seorang elit dari tubuh partai. Berbagai perbedaan pendapat mengenai kebijakan masalah-masalah pribadi mengakibatkan mundurnya atau dikeluarkannya beberapa pemimpin dan aktivis partai yang paling penting. Abdul Muis mengundurkan diri dari kepemimpinan organisasi itu menyusul ketidaksetujuannya dengan Tjokroaminoto dalam maslah yang berhubungan dengan Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputera PPPB, di mana ia adalah ketua pelaksananya. Perbedaan sejenis mengenai masalah moral menyebabkan Sukiman dan Surjopranoto juga mengundurkan diri dari SI. 37 Kedua, memudarnya kepercayaan kelompok Islam lain terhadap SI. Seiring dengan perjalanan SI berbagai organisasi Islam yang lain juga muncul seperti Al- Irsyad, Muhammadiyah dari sayap modernis, dan gejala semakin terorganisasinya golongan tradisionalis. Reputasi besar SI dan tokoh-tokohnya yang piawai dalam berorganisasi meyakinkan semua kelompok Islam untuk memberikan kursi 36 Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 29-30 37 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia Jakarta: Paramadina, 2009, h.71 35 kepemimpinan umat dalam bidang agama kepada SI sebagaimana tergambar dalam beberapa kali Kongres Al-Islam. Tetapi karena merasa diperlakukan tidak wajar oleh pimpinan SI, kaum tradisional menceraikannya. Sedangkan pertikaian karena persoalan pribadi dengan Muhammadiyah pada tahun 1926 berbuntut pada keluarnya anggota-anggota Muhammadiyah dari SI pada tahun berikutnya. Dan ketegangan mengenai masalah agama yang tidak tergolong fundamental furu’iyah denga pihak Persatuan Islam Persis membuat partai ini semakin menjauh dari organisasi- organisasi Islam yang besar. Dalam kondisi demikian, SI denga percaya diri masih berani mengklaim sebagai satu-satunya perwakilan umat Islam Indonesia. Ketiga, tantangan yang semakin besar terhadap kepemimpinan SI muncul dari kaum pergerakan kebangsaan yang berideologi nasionalis dan komunis. Ideologi komunisme sempat merembes ke tubuh SI melalui semaun dan Darsono. Mereka adalah tokoh SI dari cabang semarang yang kemudian terlibat konfrontasi dengan pemimpin-pemimpin SI dari aliran Islam berkaitan dengan tuntutan agar kepolitikan SI dibersihkan dari Islam baik sebagai dasar, unsur maupun tujuan. Sebagai gantinya seluruh orientasi dari kegiatan partai didasarkan pada paham Marxis yang menekankan karakter sosialistik dan revolusioner. 38 Diperkenalkannya Marxisme ke 38 Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.30 36 dalam SI memunculkan berbagai konflik dan perpecahan dikalangan para pemimpin organisasi ini. 39 Ketertarikan kepada gagasan-gagasan Marxis pada mulanya berkembang di luar gerakan-gerakan nasionalis pribumi. Di kepulauan Nusantara, gagasan-gagasan tersebut pada mulanya diasosiasikan dengan sekelompok kecil anggota Nationale Indische Partij NIP, Partai Nasional Belanda sebuah organisasi politik Eropa Indonesia yang dibentuk pada 1912 dan menyuarakan paham kesetaraan ras, keadilan sosial-ekonomi dan kemerdekaan, yang didasarkan kepada kerjasama Eropa- Indonesai. Karena ditindas oleh pemerintah kolonial, maka kelompok minoritas di dalam partai tersebut bergabung dengan partai kiri Indische Sosiaal Democratische Vereeniging ISDV, Asosiasi Demokrasi Sosial Hindia Belanda, yang didirikan oleh Hnedrik Sneevlit pada 1914. Dan ketika pada 1920 ISDV ditransformasikan menjadi Partij der Komunisten in Indie Partai Komunis Indonesia [PKI], sebuah partai komunis yang sepenuhnya beraliran komunis. 40 Kedua tokoh SI yakni Semaun dan Darso yang kelak dikeluarkan dari SI dan bergabung dengan PKI.Yang lebih memperparah konflik diatas adalah perbedaan sudut pandang mengenai landasan teologis-ideologis masing-masing faksi. Tiga serangkai Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Abdul Muis tegas menyatakan bahwa Islam adalah ideologi partai itu, dan mereka menggerakkan partai itu sejalan dengan gerakan Pan Islamisme di Timur 39 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 69 40 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 67-69 37 Tengah. Sebaliknya Semaun dan Darsono lebih menghendaki disingkirkannya agama dari politik praktis, seraya mengorientasikan diri mereka serta seluruh tindakan mereka kepada prinsip-prinsip Marxsis. 41 Upaya untuk mengompromikan dua bidang ideologi itu sempat dilakukan. Namun upaya tersebut menemui jalan buntu dan tarik tambang ideologi itu dimenangkan oleh kubu Islam. Meski demikia SI harus membayar kemenangannya itu dengan hengkangnya sejumlah besar anggotanya. 42 Kegagalan dalam menjembatani berbagai perbedaan ini, terutama dalam watak sosialistik dan revolusioner SI, mengakibatkan perpecahan dalam organisasi tersebut. Karena kalah dalam percaturan ini, maka pada kongres keenam SI yang diselenggarakan di Surabaya pada 1921, faksi Marxis dikeluarkan dari organisasi denga alasan bahwa mereka melanggar disiplin partai dengan mempertahankan keanggotaan mereka dalam sebuah partai kominis, yakni PKI. 43 Tantangan terhadap kepemimpinan SI dalam gerakan nasional ini dilanjutkan oleh kalangan lain yang netral agama, yang biasanya disebut nasionalis. Mereka umumnya bergabung dalam Perserikatan kemudian Partai Nasional Indonesia dibawah pimpinan Soekarno 1901-1979. Pada tahun 1930-an tantangan itu 41 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 70 42 Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h.30 43 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h.70 38 dilanjutkan oleh Patai indonesia Partindo, Gerakan Rakyat Indonesia Gerindo, dan Partai Indonesia Raya Perindra. Jadi berkembanglah perpecahan dalam kalangan umat Islam itu, mulanya dengan pihak komunis yang masih beragama Islam, dan kemudian dengan pihak nasionalis yang netral agama yang juga sebagian besar beragama Islam. Bila pihak komunis yang umumnya anti agama, jadi anti Islam, golongan nasionalis yang netral agama ingin membatasi agama pada bidang perseorangan. 44

2. Periode Pasca Kemerdekaan 1945-1965

Dikeluarkannya Maklumat Presiden pada tanggal 3 November 1945 merupakan langkah awal masyarakat Indonesia waktu itu untuk membentuk partai politik dan yang kemudian akan ikut menyemarakan kontestasi pemilu legislatif pada tahun 1946. Dengan adanya Maklumat tersebut, secara praktis sistem pemerintahan Indonesia bergeser dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer, tanpa mengubah apalagi mengganti UUD 1945. Hal ini disambut oleh masyarakat untuk mendirikan partai politik sebagai sarana untuk merebut kursi di legislatif dengan beragam aliran yang dimilikinya, yakni kemudian lahirlah partai politik yang berideologi Komunis, Sosialisme Demokratik, Islam, Nasionalisme Radikal, dan Tradisionalisme Jawa. Partai politik yang muncul setelah dikeluarkannya maklumat 44 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965 Jakarta: Grafiti Pers, 1987, h. 6 39 November 1945 oleh Alfian dibagi kepada lima bagian, yakni Nasionalis, Islam, Sosialis, dan KristenNasrani. 45 Maklumat yang dikeluarkan November 1945 disambut dengan baik oleh kalangan umat Islam, hal itu terbukti dengan langsung digelarnya Kongres Umat Islam Indonesia selama dua hari di Yogyakarta. Hasil dari kongres tersebut adalah disepakatinya pembentukan partai Islam yang secara resmi dinamakan Partai Politik Islam Indonesia Masyumi. Partai Masyumi Majelis Syura Muslim Indonesia di dirikan pada 07 November 1945, merupakan satu-satunya partai politik bagi umat Islam Indonesia. Dalam anggaran dasar Masyumi dinyatakan bahwa partai baru itu bertujuan menegakkan kedaulatan rakyat Indonesia dan agama Islam, dan melaksanakan cita- cita Islam dalam urusan kenegaraan. 46 Gagasan pembentukannya berasal dari sejumlah politisi dan pergerakan sosial keagamaan Islam Indonesia yang telah aktif sejak zaman penjajahan Belanda, diantaranya Agus Salim, Abdul Kahar Mudzakir, Abdul Wahid Hasyim, Mohammd 45 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h.35 46 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran Jakarta: UII Press, 1990, h. 190 40 Natsir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Sukiman Wirjosandjojo, Ki Bagus Hadikusumo, Muhammad Mawardi, dan Abu Hanifah. 47 Partai Masyumi dicanangkan sebagai satu-satunya partai Islam yang akan menyalurkan dan mengartikulasikan kepentingan umat Islam. 48 Menurut beberapa tokoh yang mengambil inisiatif pembentukan Masyumi, ada beberapa pertimbangan yang mendorong mereka untuk membentuk partai itu menjadi “partai tunggal” Islam Indonesia. Dari segi doktrin, sebagaimana dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra tokoh-tokoh itu merujuk kepada al- Qur’an yang memerintahkan agar umat Islam bersatu dan jangan berpecah belah Qs, Ali-Imran03:103. 49 Tekad menjadikan Masyumi sebagai partai tunggal Islam diwujudkan dengan cara membentuk dua jenis keanggotaan yang diharapkan dapat menampung semua elemen umat Islam di masyarakat. Dua jenis keanggotaan Masyumi adalah perseorangan biasa dan organisasi istimewa. Anggota perseorangan disyaratkan minimal usia 18 tahun atau sudah kawin dan tidak menjadi anggota partai politik lain. 47 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme, dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masy umi Indonesia dan Partai Jama’at-i-Islami Pakistan Jakarta: Paramadina, 1999, h. 62-63 48 Zainal Abisin,Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 37 49 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme, dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi Indonesia dan Partai Jama’at-i-Islami Pakistan, h.65 41 Anggota istimewa semula terdiri atas empat organisasi yakni NU, Perikatan Umat Islam, Persatuan Umat Islam, dan Muhammadiyah. 50 Sebagai partai tunggal Islam, Masyumi tidak menghadapi persaingan yang berarti dari sesama partai Islam yang ketika itu memang tidak ada selain dirinya sendiri. Partai Itu bersaing dengan partai-partai yang berideologi bukan Islam seperti, Partai Nasional Indonesia PNI, Partai Komunis Indonesia PKI, Partai Sosialis Indonesia PSI, dan partai-partai lain yang kecil. Termasuk dalam hal tersebut partai- partai Nasionalis, Kristen, Katolik atau pun partai-partai Marxis diluar PKI. Dalam suasana persaingan yang sedemikian rupa itu, Masyumi ingin menunjukkan bahwa Islam yang dipegang sebagai ideologi politiknya adalah suatu “ideologi Islam yang modern”, yaitu Islam yang di tafsirkan sedemikian rupa, sehingga diniscayakan paling mampu menyelesaikan persoalan-persoalan Indonesia. 51 Kebesaran Masyumi pada zamannya memang tidak dapat diragukan lagi. Prestasinya paling cemerlang ditunjukkannya pada rentang 1945-1957, dalam mana para tokohnya banyak yang mengisi posisi Menteri bahkan Perdana Menteri. Dalam rentang waktu itu tercatat tiga tokoh Masyumi memimpin kabinet. Mereka adalah M. Natsir, Sukiman, dan Burhanudin Harahap. Ketika nama yang disebut terakhir ini menjabat sebagai Perdana Menteri, bangsa Indonesia untuk pertama kalinya melaksanakan pemilu yang diikuti oleh banyak partai dan berlangsung secara 50 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h.37 51 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme, dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi Indonesia dan Partai Jama’at-i-Islami Pakistan, h.70