Periode Pasca Kemerdekaan 1945-1965
41
Anggota istimewa semula terdiri atas empat organisasi yakni NU, Perikatan Umat Islam, Persatuan Umat Islam, dan Muhammadiyah.
50
Sebagai partai tunggal Islam, Masyumi tidak menghadapi persaingan yang berarti dari sesama partai Islam yang ketika itu memang tidak ada selain dirinya
sendiri. Partai Itu bersaing dengan partai-partai yang berideologi bukan Islam seperti, Partai Nasional Indonesia PNI, Partai Komunis Indonesia PKI, Partai Sosialis
Indonesia PSI, dan partai-partai lain yang kecil. Termasuk dalam hal tersebut partai- partai Nasionalis, Kristen, Katolik atau pun partai-partai Marxis diluar PKI. Dalam
suasana persaingan yang sedemikian rupa itu, Masyumi ingin menunjukkan bahwa Islam yang dipegang sebagai ideologi
politiknya adalah suatu “ideologi Islam yang modern”, yaitu Islam yang di tafsirkan sedemikian rupa, sehingga diniscayakan
paling mampu menyelesaikan persoalan-persoalan Indonesia.
51
Kebesaran Masyumi pada zamannya memang tidak dapat diragukan lagi. Prestasinya paling cemerlang ditunjukkannya pada rentang 1945-1957, dalam mana
para tokohnya banyak yang mengisi posisi Menteri bahkan Perdana Menteri. Dalam rentang waktu itu tercatat tiga tokoh Masyumi memimpin kabinet. Mereka adalah
M. Natsir, Sukiman, dan Burhanudin Harahap. Ketika nama yang disebut terakhir ini menjabat sebagai Perdana Menteri, bangsa Indonesia untuk pertama kalinya
melaksanakan pemilu yang diikuti oleh banyak partai dan berlangsung secara
50
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h.37
51
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme, dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi Indonesia dan Partai Jama’at-i-Islami Pakistan, h.70
42
demokratis. Pemilu yang digelar pada tahun 1955 itu memiliki kualitas yang hanya dapat ditandingi oleh pemilu 1999, tidak oleh satupun pemilu-pemilu Orde-Baru
ORBA. Periode itu menyaksikan bahwa Masyumi mampu mendudukkan empat atau lima orang tokohnya dalam setiap kabinet, kecuali dalam Kabinet Ali
Sastroamidjojo I 1953-1955 dimana Masyumi memang tidak bersedia masuk dalam kabinet.
52
Untuk itu, jauh sebelum pemilu 1955 dilaksanakan pada tahun 1946, Sjahrir pemimpin Partai Sosialis Indonesia dan tiga kali menjabat sebagai Perdana Menteri
dalam beberapa kabinet semasa revolusi sudah memperkirakan bahwa “jika pemilihan umum diselenggarakan disekitar tahun itu, maka Masyumi yang saat itu
adalah gabungan dari kalangan Muslim modernis seperti Muhammadiyah dan ortodok seperti NU, akan memperoleh 80 suara.
53
Perkiraan Sjahrir itu bukan tanpa alasan. Besarnya jumlah pemilih Masyumi antara 1946 dan 1951 sangat nyata. Dalam hal ini Herbert Feith sebagaimana dikutip
Bahtiar Effendi memberi kesaksian, bahwa dalam pemilihan umum tingkat regional yang diselenggarakan di beberapa wilayah di Jawa pada 1946, dan dalam pemilihan
umum yang diamati secara teliti di wilayah tertentu di Daerah Istimewa Yogyakarta
52
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 38-39
53
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia,h. 99
43
pada 1951, Masyumi memperoleh mayoritas mutlak suara atau paling tidak lebih banyak dibanding kontestan manapun.
54
Untuk menggambarkan lebih jauh mengenai posisi politik kelompok Islam yang semakin kuat pada masa revolusi ini, beberapa catatan historis berikut relevan
dikemukakan di sini. Pertama, pada Agustus 1950, aktivitas partai-partai politik di Indonesia telah mengalami penyegaran kembali dan giat setelah masa adem-ayem
pada 1949. Dalam parlemen yang baru dibentuk dengan jumlah keseluruhan anggota 236 orang, Masyumi tampil sebagai partai terbesar dengan menduduki 49 kursi.
Namun demikian, karena adanya banyak partai, organisasi, dan asosiasi yang diwakili dalam parlemen tidak kurang dari 22, bersama PSII, kelompok Islam hanya
memperoleh 54 kursi 23. Kedua, dalam beberapa kesempatan, Masyumi diminta untuk membentuk dan memimpin kabinet. Dari tujuh kabinet yang berjalan di bawah
sistem demokrasi
constitutional 1950-1957,
tiga kabinet
dipercakan kepemimpinannya kepada Masyumi Kabinet Natsir pada 1950-1951; Kabinet
Sukiman pada 1951-1952; dan Kabinet Burhanuddin Harahap pada 1955-1956. Selain itu, ketika Partai Nasionalis Indonesia PNI diberi mandat untuk membentuk
pemerintahan, baik Masyumi maupun NU yang memisahkan diri dari Masyumi dan menjadi organisasi politik tersendiri pada 1952, berperan sebagai pasangan koalisi
utama. Terakhir, hasil pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada September 1955 menunjukan, kelompok Islam kali ini terdiri dari Masyumi, NU,
54
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h.99-100
44
PSII, dan Perti menguasai 114 dari 257 kursi 43,5 suara dalam parlemen. Walaupun hasil akhir tersebut jelas jauh di bawah perkiraan Sjahrir, namun itu telah
menggandakan wakil kelompok Islam dalam Parlemen.
55
Namun jika dilihat dari jumlah penduduk Indonesia yang beragamakan Islam kala itu mencapai 90 hal ini kurang begitu menggembirakan, karena disisilain
jumlah perolehan partai polititik non agama mencapai 60 perolehan suara. Hal inilah yang menurut Daniel Dhakidae sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin,
kemenangan partai-partai non-agama itu disebabkan oleh masih kentalnya semangat nasionalisme di panggung politik Indonesia sejak sebelum perang kemerdekaan
sampai dekade 1960-an.
56
Hasil pemilu 1955 ternyata tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi perjalanan politik nasional. Konflik antara golongan abangan dan santri kian
menajam, sebagaimana tercermin dari perdebatan sengit di dewan Konstituante mengenai keberadaan Piagam Jakarta dan dasar Negara. Konflik di tingkat elit itu
berakibat pula pada sulitnya memebentuk pemerintahan yang setabil. Perdebatan mengenai dasar negara dalam tubuh Konstituante antara golongan Islam dan
Nasionalis tidak membuahkan hasil bahkan cenderung berakibatkan terjadinya perpecahan yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Melihat situasi politik yang tidak lagi kondusif kemudian sebagai upaya
55
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h.100-101
56
Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca Soeharto , h. 42
45
penyelamatan Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit tanggal 5 Juli 1959, yang menyerukan untuk kembali kepada UUD 1945 dan membubarkan dewan
Konstituante.
57
Sejak saat itu secara resmi sistem Demokrasi Parlementer tidak lagi menjadi sistem pemerintahan di Indonesia dan berubah menjadi Demokrasi
Terpimpin. Dalam sistem pemerintahan yang baru ini Soekarno mengintrodusir Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong DPR-GR yang semua anggotanya diangkat oleh presiden. Tak pelak lagi sistem Demokrasi Terpimpin memperoleh kritik keras dari
tokoh-tokoh partai sebagai sistem pemerintahan anti demokrasi. Masyumi adalah satu-satunya partai Islam yang paling keras melancarkan kritik. Sementara NU, PSII
dan Perti mengambil langkah akomodatif terhadap kebijakan Soekarno dengan menyatakan dukunganya dan memberikan legitimasi keagamaan atas kiprah
politiknya.
58
Ketegangan politik antara Soekarno dan Masyumi berpuncak pada dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 2001960 yang diumumkan pada 17 Agustus
1960. Keppres ini melarang keberadaan Masyumi dan PSI di pentas politik Indonesia, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan separatis PRRI Pemerintahan
Refolusioner Republik Indonesia pada tahun 1958.
57
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 42-43
58
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, h. 43
46
Setelah melenyapkan Masyumi dan PSI pada bulan April 1961 soekarno membubarkan semua partai politik, karena banyaknya partai dianggap oleh Soekarno
sebagai salah satu penyebab tidak adanya pencapaian hasil dalam mengambil keputusan,
59
kecuali Sembilan partai politik yang lolos seleksi, diantaranya NU, PSI dan Perti. Tetapi keberadaan Sembilan partai itu nyaris tak berguna, karena sistem
kepartaian pada Demokrasi Terpimpin bersifat “No-Party System”. Pada puncak kejayaan Orde Lama, dikenal berbagai jargon perjuangan yang
membangkitkan semangat. Diantaranya yang paling popular adalah Nasakom Nasional, Agama, dan Komunis, Jas Merah Jangan Lupakan Sejarah, dan lain-
lain.
60
Dengan adanya pengertian keberadaan Nasakom maka Partai Komunis mendapat posisi dominan, karena merupakan salah satu dari tiga unsur utama
disamping partai-partai agama yang ada di Indonesia dan Partai Nasional Indonesia PNI. Begitu pentingnya Nasakom sehingga mendapat tempat dalam Peraturan
Perundang-undangan yaitu UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintah Daerah. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa bagaimanapun keadaan anggota
parlemen daerah, unsur Nasakom harus di perhatikan dalam penunjukkan unsur pimpinan DPRD. Jadi bila di suatu daerah hanya ada seorang tokoh PKI, maka ia
59
Inu Kencana Syafii dan Azhari, Sitem Politik Indonesia, Cet.VI, Bandung: PT. Refika Aditama, 2010, h. 42
60
Inu Kencana Syafii dan Azhari, Sitem Politik Indonesia, h. 42-43
47
harus diikut sertakan sebagai pimpinan DPRD apabila ia menjadi salah satu anggota DPRD tertentu.
61
Pada masa Orde Lama ini pendulum kekuasaan sepenuhnya bergerak di antara tiga kutub yang sangat kompetitif, yakni Presiden Soekarno, Angkatan Darat, dan
Partai Komunis. Tarik tambang diantara tiga kekuatan politik utama tersebut menyedot sebagian tenaga dan perhatian mereka, sehingga berbagai persoalan politik
dan ekonomi yang lebih mendasar tidak memperoleh perhatatian serius. Akibatnya Negara Demokrasi Terpimpin digerogoti oleh aneka krisis politik dan ekonomi yang
kemudian berujung pada hancurnya kekuasaan Soekarno dan Partai Komunis menyusul percobaan kudeta 30 September 1965.
62