Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap
yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai
sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu megambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun,
masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika mendadak maupun secara konvensional panjang, memakan waktu
lama. Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya.
Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagian masyarakat,
tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak
santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau
sedang makan dengan orang banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah. Ketiga, kesantunan
selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan
rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya. Dari penjelasan-penjelasan mengenai pengertian di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa tingkat tutur adalah tingkatan dalam suatu bahasa yang berkaitan dengan tata krama dan sopan santun. Pemakaiannya menuntut
keterampilan penggunanya, karena dalam tingkat tutur lawan bicara atau mitra tutur sangat menentukan jenis tingkat tutur mana yang dipakai. Salah dalam
menerapkannya akan berkibat anngapn dari mitra tutur bahwa pembicara kurang sopan, atau tidak menghargai mitra tutur.
b. Bahasa Jawa Ragam Krama
Prinsip berbicara berbahasa Jawa ragam krama adalah bagaimana sikap seorang penutur O1 yang menunjukkan rasa hormat kepada mitra tutur O2, O3,
commit to user
dan seterusnya. Ragam krama adalah bahasa yang memiliki rasa penghormatan, bahkan lebih tinggi. Penghormatan yang dilandasi sikap santun, perilaku terpuji,
kebaikan dan mengikuti aturan Harjawiyana, 2001: 67. Penghormatan dari perilaku bahasa ini tentunya membawa dampak sikap saling menghormati, rukun,
damai, tenggang rasa dan kehidupan harmonis dalam masyarakat. Menurut Suwadji dalam Harjodipuro 2000: 27 hubungan sopan santun
dengan BJ ragam krama yang sangat kuat, yakni 1 ajaran sopan-santun merupakan warisan budaya Jawa yang masih hidup, 2 sopan santun sebagai ciri
khas masyarakat Jawa, 3 sopan santun dalam BJ menganjurkan bahwa seseorang harus menghormati orang lain, dan 4 sopan santun dapat
memperlancar membangun hubungan harmonis dalam pergaulan. Ragam krama secara praktis dibedakan menjadi dua, yakni krama lugu dan
krama alus. Ragam inilah yang sampai sekarang dipakai oleh penutur masyarakat Jawa dan diajarkan dalam kurikulum BJ di tingkat sekolah dari pendidikan dasar
sampai menengah.
1 Krama Lugu
Krama lugu bukan diartikan sebagai kosa kata atau tuturan krama yang standar benar sesuai unggah-ungguh basa. Krama lugu juga bisa disebut krama
madya. Sasangka 2010: 112 mengatakan bahwa krama lugu digunakan untuk menandai suatu ragam yang kosa katanya terdiri atas leksikon krama, madya,
netral, dan atau ngoko serta dapat ditambah leksikon krama inggil dan krama andhap. Secara semantis ragam krama lugu madya dapat didefinisikan sebagai
bentuk ragam krama yang kehalusannya masih rendah. Meski begitu, jika dibanding ngoko lugu dan ngoko alus, krama lugu tetap menunjukkan kadar
kehalusan atau penghormatan dalam percakapan. Krama madya atau krama lugu sering dipakai pada kalangan yang kurang
mahir bahasa krama dengan baik atau orang kebanyakan. Seperti kalangan petani, pedagang di pasar, dan orang awam lain. Sayang dalam kenyataan masyarakat
dewasa ini, ragam krama lugu justru sering digunakan dalam percakapan sehari- hari, khususnya dalam forum informal. Hal ini terjadi karena satu alasannya bagi
commit to user
generasi muda Jawa adalah sulitnya belajar ragam krama alus. Contoh kosa kata madya seperti terlihat di bawah ini.
Tabel 2.1: Contoh Kosa Kata Madya Ngoko
Madya Krama Lugu Krama Inggil
Arti
kowe njenengan
panjenengan Anda
teka dugi
dumugi datang
lunga ndak
tindak pergi
marang teng
dhateng menuju
kowe samang
sampeyan kamu
Istilah madya sebenarnya hanya untuk menyebut jenis kosa kata leksikon madya yang menandai ragam tersebut, dan tidak digunakan untuk menyebut suatu
ragam. Leksikon krama, baik itu krama inggil jenengan
‘Anda’ dan krama andhap samang
‘Anda’ fungsinya sama digunakan untuk menghormati mitra tutur mitra wicara.
Dengan begitu dapat disimpulkan, bahwa ragam krama lugu madya adalah ragam bahasa yang tidak standar. Ragam ini biasanya digunakan oleh kebanyakan
orang yang belum mahir berbahasa Jawa krama alus. Kendati diakui pada kenyataannya di masyarakat, bahwa banyak penutur beranggapan bahasa krama
yang digunakan sudah benar krama alus, padahal kenyataannya bahasa yang digunakan ragam yang salah, krama lugu madya.
2 Krama Alus
Ragam krama alus merupakan ragam BJ yang standar digunakan dalam bahasa keseharian dan bernilai menghormati antara penutur dan mitra tutur.
Menurut Sasangka 2010: 119 bahwa ragam krama alus adalah bentuk unggah- ungguh BJ yang semua kosa katanya terdiri atas leksikon krama dan dapat
ditambah dengan leksikon krama inggil dan krama andhap. Meskipun begitu yang menjadi leksikon inti dalam ragam ini hanyalah leksikon yang berbentuk krama.
Sedangkan leksikon ngoko atau madya tidak ada dalam ragam ini, kecuali leksikon netral seperti kata tembok
‘dinding’, motor ‘motor’, meja ‘meja’, dan sebagainya.
commit to user
Leksikon krama inggil digunakan untuk menyebutkan pada diri orang lain, sedangkan leksikon krama andhap dikenakan untuk menyebutkan pada sikap
penutur atau orang yang kelas sosialnya lebih rendah daripada orang yang diajak berbicara. Hal ini berkaitan dengan prinsip orang Jawa yang andhap asor
‘rendah diri.’ Contoh leksikon krama andhap dan krama inggil dapat dibedakan pada data
di bawah ini.
Tabel 2.2: Contoh Kosa Kata Krama Andhap-Krama Inggil Ngoko
Krama Andhap Krama Inggil
Arti
kowe sampeyan
panjenengan kamu
mangan nedha
dhahar makan
turu tilem
sare tidur
omong matur
ngendika bicara
lunga kesah
tindak pergi
Dalam tingkat tutur krama krama alus, selain bentuk kata yang dijadikan krama kecuali leksokon netral, afiks imbuhan juga harus diubah dari ngoko
menjadi krama. Seperti imbuhan awalan di- menjadi dipun-, akhiran -e menjadi –
ipun, dan akhiran –ake menjadi –aken. Seperti dalam contoh: ditulis →
dipun serat
‘ditulis’, sikile → sukunipun
‘kakinya’, nukokake → numbasaken
‘membelikan,’ dan sebagainya. Ragam krama alus merupakan ragam bahasa yang paling sempurna standar
yang digunakan untuk menghormati mitra tutur. Penggunaan ragam krama alus selalu berpedoman kepada unggah-unggah basa penggunaan kosa kata
berdasarkan tingkat umur dan sosial, yakni menggunakan kosa kata krama inggil orang yang lebih tinggi status sosial dan umurnya dan krama andhap orang
yang lebih rendah status sosial dan umurnya. Penggunaan krama diberlakukan pada kata dasar tembung lingga dan imbuhan panambang.
c. Pembagian Tingkat Tutur Bahasa Jawa