1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kontribusi sektor peternakan terhadap produk domestik bruto PDB nasional antara tahun 2004-2008 rata-rata mencapai 2 persen. Data tersebut
menunjukkan peternakan memiliki kontribusi terhadap PDB nasional, walaupun angka yang ditunjukkan kecil tetapi secara umum PDB peternakan mengalami
peningkatan sebesar 20 persen pertahun antara tahun 2004-2007. BPS 2010. Selain berkontribusi terhadap PDB nasional peran strategis pembangunan
sub sektor peternakan adalah berkontribusi dalam hal peningkatan ketahanan pangan nasional guna menjamin ketersediaan pangan yang berasal dari hewani.
Peran industri perunggasan sebagai tulang punggung sangat dominan, pada aspek hulu melibatkan industri pakan, obat-obatan dan alat, pada aspek
budidaya on farm sebagai penyedia lapangan kerja dan aspek hilir mendukung pengembangan industri pemotongan, pengolahan dan kegiatan distribusi.
Industri perunggasan merupakan tulang punggung pembangunan peternakan. Kontribusi daging unggas terhadap produksi daging nasional semakin
meningkat dari 20 persen pada tahun 70-an menjadi 65 persen 1.403,6 ribu ton pada tahun 2008. Perubahan struktur tersebut disebabkan produksi daging
unggas yang semakin meningkat sejalan dengan peningkatan industri perunggasan nasional. Sementara itu, industri sapi potong yang masih mengandalkan industri
peternakan rakyat dengan dukungan pihak industri belum mampu mengimbangi permintaan daging sapi domestik, kontribusinya menurun tahun 70-an menjadi 16
persen dari 54 persen pada tahun 2008. Fenomena yang terjadi adalah laju peningkatan daging unggas lebih tinggi dibandingkan laju peningkatan produksi
daging sapi. Artinya dengan teknologi yang semakin meningkat pada industri perunggasan menyebabkan terjadi transformasi produksi dari dominasi sapi ke
dominasi unggas Ditjennak 2010. Komoditas unggas mempunyai prospek pasar yang sangat baik karena
didukung oleh karakteristik produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang sebagian besar muslim, dengan harga relatif murah dengan akses
yang mudah diperoleh. Komoditas ini merupakan pendorong utama penyediaan protein hewani nasional, sehingga prospek yang sudah bagus ini harus
2 dimanfaatkan untuk memberdayakan peternak di pedesaan melalui pemanfaatan
sumberdaya secara lebih optimal. Masalah yang dihadapi agribisnis peternakan unggas adalah penyediaan
bahan baku pakan industri, di mana sebagian besar bahan baku pakan ternak penting harus diimpor, impor jagung mencapai 45 persen, bungkil kedelai 95
persen, tepung ikan 91 persen, serta tepung tulang dan vitaminfeed additive hampir 100 persen impor. Kondisi yang ada pakan unggas 50 persen
komponennya terdiri dari jagung, dalam kurun waktu 5 tahun 2004-2009 mengalami dinamika yang cukup signifikan. Dalam perkembangannya maka
impor jagung mencapai puncaknya pada tahun 2006 yaitu sebesar 1,5 juta ton dari kebutuhan 3,7 juta ton Ditjennak 2010.
Kondisi ini yang membuat dinamika bisnis perunggasan nasional sensitif terhadap kondisi lingkungan eksternal antara lain harga bahan baku pakan yang
sebagian besar masih diimpor sehingga kondisi ini membuat fluktuasi harga DOC day old chicken dan harga ayam setiap waktu. Hal ini membuat para peternak
skala kecil tidak efisien dalam berproduksi walaupun struktur agribisnis sektor ini sudah terbentuk dengan kuat mulai dari hulu sampai ke hilir.
Secara umum unggas yang dibudidayakan di Indonesia adalah ayam buras dan ayam ras. Pengembangan ayam buras bukan ras atau yang umum dikenal
ayam kampung terkendala dengan produksi yang rendah. Ayam ras baik pedaging maupun petelur umumnya diusahakan dengan skala komersial kemitraan, skala
menengah dan skala komersial dengan mengandalkan pakan yang sebagian impor serta didukung dengan input-input produksi yang memadai untuk skala industri.
Industri peternakan ayam ras pedaging dan petelur adalah industri yang memiliki struktur industri yang kuat, dengan didukung oleh industri pakan, bibit, sarana
kesehatan ternak dan industri budidaya yang telah mapan. Usaha
unggas di
Indonesia secara
garis besar terbagi dalam dua bagian,
usaha pembibitan dan usaha pemeliharaan. Kegiatan pemeliharaan unggas pada umumnya hanya dilakukan secara sambilan dengan cara pemeliharaan yang
sederhana, unit pemeliharaan kecil, dan tanpa program produksi yang jelas. Bagi penduduk pedesaan, unggas berfungsi untuk membantu menambah pendapatan
keluarga. Unggas dijadikan sebagai tabungan hidup yang dapat dijual dengan
3 mudah jika keluarga membutuhkan uang tunai. Klasifikasi sektor perunggasan
menurut Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian PSEKP seperti yang ditunjukan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pembagian Sektor Menurut Bentuk Usaha dan Sistem Produksi Unggas Versi PSEKP
Pembibitan Usaha Pemeliharaan
Sektor A Sektor B
Sektor C Sektor D
Sekor E
Pembibitan Komersial
Komersial Menengah
Komersial Skala Kecil
Backyard non
profit
Mandiri Bermitra
Skala Usaha Industri,
inti, komersial,
100.000 ekor
30.000 ekor
30.000 ekor
30.000 ekor
1-100 ekor
Komponen Agribisnis
Terintegrasi penuh
Terintegrasi sebagian
Tidak Tidak
Tidak Tidak
Modal Sendiri
Sendiri Sendiri
Sendiri Kerjasama Tidak
ada Pakan
Sendiri Sendiri
Beli Beli
Kerjasama Tidak ada
DOC Sendiri SendiriBeli
Beli Beli
Kerjasama Sendiri Beli
Pemasaran hasil
Sendiri Sendiri
Pedagang Sendiri
Kerjasama Sendiri Sistem
Pemeliharaan Intensif
Ya Ya
Ya Ya
Ya -
Semi Intensif -
- -
- - Ya Ekstensif -
- -
- - Ya Produksi
DOC PSFS Ya
Tidak Tidak
Tidak Tidak
Tidak DOC
komersial Ya
TidakYa Tidak
Tidak Tidak
Tidak Grower layer Ya
Ya Ya
Tidak Tidak
Ya Ternak hidup Tidak
Tidak Ya
Ya Ya
Ya Karkas
Ya Ya
Ya Tidak
Tidak Tidak
Telur konsumsi
Ya Ya
Ya Ya
Ya Ya
Telur tetas Ya
Tidak Tidak
TidakYa Tidak
Tidak
Sumber: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian 2010 Tabel 1 menunjukkan bahwa ukuran besar kecilnya usaha dalam
peternakan unggas ditentukan oleh skala usaha dan integrasi usaha antara subsistem hulu dan on farm. Skala usaha yang kecil akan sulit bertahan dalam
usaha peternakan unggas, karena harga-harga input produksi seperti pakan dalam peternakan unggas fluktuatif dari waktu ke waktu. Pakan dalam peternakan
unggas mengambil porsi 65 persen dari biaya produksi. Model yang tepat bagi usaha skala kecil adalah bermitra dengan pemilik modal. Pada umumnya
4 kemitraan yang berlaku adalah pemilik modal akan menyediakan DOC, pakan,
obat-obatan dan vaksin, sedangkan operasionalnya dilakukan oleh pemilik kandang dengan pengawasan dan pemantauan dari pemilik modal. Kendala sistem
kemitraan adalah sistem kemitraan yang terkadang tidak adil bagi pemilik kandang.
Produksi daging ayam nasional mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan Tabel 2, terhitung mulai tahun 2005-2009 mengalami
peningkatan. Jika dirinci berdasarkan jenis ayam, terjadi penurunan produksi daging ayam buras dari tahun 2007-2008 disebabkan oleh dilaksanakannya
legislasi perunggasan dengan memusnahkan unggas terutama ayam buras dan itik untuk menghindari dampak flu burung. Hasil penelitian di Wilayah Jakarta yang
dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan bahwa pelaksanaan legislasi perunggasan berdampak pada penurunan skala usaha ayam buras sebesar
60 persen dan itik sebesar 50 persen di Jakarta PSEKP 2008. Penurunan juga terjadi pada daging ayam layer pada tahun 2008. Akan tetapi, penurunan tersebut
tidak mempengaruhi produksi daging ayam nasional secara keseluruhan, karena terjadi saling substitusi antara jenis ayam. Daging ayam petelur bersubstitusi
dengan ayam buras. Jadi rendahnya produksi daging ayam petelur dapat digantikan dengan daging ayam buras. Ayam layer pedaging terdiri dari ayam
petelur betina afkir dan ayam petelur jantan. Tabel 2. Produksi Daging Ayam Nasional Tahun 2005-2009
Tahun Ayam
Buras ton Ayam Ras
Total ton
Ayam Ras Pedaging ton
Ayam Layer ton
1 2 3 1+2+3
2005 301.427 779.108 45.193 1.125.728
2006 341.254 861.263 57.631 1.260.148
2007 294.889 942.786 58.162 1.295.837
2008 273.546 1.018.734 57.274
1.349.554 2009 282.692
1.016.876 59.073 1.358.641
Sumber: Ditjennak 2010 dan PT Jafpa Comfeed Indonesia 2008 Peningkatan
produksi ayam
secara tidak langsung akibat dari peningkatan
laju pertumbuhan penduduk setiap tahun dan peningkatan pendapatan masyarakat. Pendapatan masyarakat yang meningkat kebutuhan proteinnya pun meningkat dan
5 daging ayam merupakan penyedia bahan protein yang murah dibandingkan
dengan daging sapi sehingga banyak diminati. Ayam petelur jantan memiliki prospek yang sama dengan ayam ras
lainnya seperti broiler dan ayam petelur. Pada subsistem hulu ayam petelur jantan didukung oleh ketersediaan pakan komersial dan DOC sama halnya dengan ayam
broiler, pada on farm didukung oleh ketersediaan sumber daya yang masih potensial, pada sub sistem ini usaha peternakan ayam petelur jantan diharapkan
dapat menyerap tenaga kerja, pada sub sistem hilir banyak rumah makan dan restoran yang menyediakan menu dengan bahan baku ayam.
Kecilnya jumlah produksi ayam layer pedaging nasional disebabkan oleh peternak lebih menyukai memelihara ayam dengan masa panen yang lebih
singkat, masa panen ayam petelur jantan lebih panjang dibandingkan dengan ayam broiler. Masa panen ayam broiler untuk kebutuhan konsumsi antara 30-40
hari, sedangkan masa panen ayam petelur jantan antara 40-60 hari. Masa panen yang singkat lebih disukai oleh peternak karena perputaran uang lebih cepat,
peternak lebih cepat menikmati hasil usahanya untuk kebutuhan dan kelangsungan hidup keluarganya.
Ayam petelur jantan saat ini dijadikan produk substitusi untuk ayam kampung karena tekstur dan rasa yang menyerupai ayam kampung. Ayam ini
memiliki keunggulan tahan terhadap penyakit, secara relatif harga jual yang lebih tinggi dari ayam broiler, dan bobot panen dapat diatur dengan pengaturan protein
pakan untuk menyesuaikan dengan keadaan pasar. Ayam petelur jantan umumnya dipasok ke rumah makan atau restoran. Berdasarkan penjelasan di atas industri
peternakan masih memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan. Terdapat beberapa peluang bagi terciptanya pasar yang lebih luas untuk produk-produk
peternakan. Uniknya, peluang-peluang tersebut masih sangat potensial meskipun pendapatan dan jumlah penduduk perkotaan Indonesia konstan
1
. Kontribusi DI Yogyakarta terhadap produksi daging ayam layer 5 persen
dari produksi daging ayam layer nasional. DI Yogyakarta rata-rata menghasilkan 2.815,1 ton daging pada tahun 2004-2008. Kabupaten Bantul rata-rata
1
Wiyono IE. 1 Oktober 2007. Peluang dan Tantangan Industri Peternakan. Charoen Pokphand: 1-4
6 berkontribusi 1 persen dari produksi daging nasional dengan menghasilkan rata-
rata 718,2 ton pada tahun 2004-2008 KPP Bantul 2009. Pembangunan ekonomi nasional sedang dan akan menghadapi berbagai
perubahan fundamental yang berlangsung dengan cepat dan perlu kesiapan dari para pelakunya. Perubahan fundamental yang pertama terjadi di tingkat
internasional yaitu proses globalisasi dengan perdagangan bebas dunia sebagai salah satu motor penggeraknya. Perubahan fundamental kedua terjadi di dalam
negeri, yaitu berlangsung transformasi struktur perekonomian nasional dan peningkatan pendapatan masyarakat yang diikuti oleh perubahan pola konsumsi
masyarakat Kartasasmita 1996. Struktur ekonomi yang sedang mengalami transisi ke arah industrial
memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan PDB nasional, rentang waktu 2004-2008 terjadi peningkatan PDB nasional dari tahun ke tahun dengan rata-rata
peningkatan sebesar 20 persen. Peningkatan tersebut memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, tahun 2008-2010 rata-rata
pendapatan masyarakat DI Yogyakarta meningkat sebesar 3 persen BPS 2010. Peningkatan pendapatan secara langsung akan mempengaruhi pola konsumsi,
produk-produk unggas terutama telur dan daging ayam masih merupakan sumber protein hewani daging yang utama, dan terlihat adanya tren kenaikan konsumsi
daging dan telur ayam seiring terjadinya perbaikan pendapatan. Walaupun rata- rata konsumsi daging ayam nasional tahun 2005-2009 masih kecil yakni 0,3 kg
per bulan tetapi kontribusi daging unggas terhadap produksi daging nasional semakin meningkat dari 20 persen pada tahun 70-an menjadi 65 persen 1.403,6
ribu ton pada tahun 2008 Ditjenak 2010. Mangestoni Putri Poultry Shop PS adalah usaha peternakan ayam
petelur jantan yang berlokasi di Desa Gadingsari Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul. Usaha ini berdiri pada September 2007, saat ini memiliki produksi 6.000
ekor setiap dua minggu dan termasuk dalam usaha skala kecil komersial yang melaksanakan kemitraan. Usaha yang dilakukan Mangestoni merupakan satu-
satunya peternakan yang memelihara ayam petelur jantan di Kecamatan Sanden dan memiliki tujuan jangka pendek, menengah dan panjang untuk
mengembangkan usahanya.
7
1.2 Perumusan Masalah