Pengertian Asuransi Syariah Landasan Teori Asuransi Syariah

Unsur 2: Pihak penanggung berjanji akan membayar sejumlah uang kepada pihak tertanggung sekaligus atau berangsur-berangsur, apabila terlaksana unsur ketiga. Unsur 3: Suatu peristiwa yang semula belum jelas akan terjadi. Asuransi Syariah sebagai lembaga keuangan non-bank merupakan bentuk adanya pengembangan pada praktik muamalat. Dalam kajian fiqh muamalat, terdapat sebuah kaidah fiqh: Artinya: “Hukum asal transaksi dan muamalah adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya” 7 Kaidah fiqh diatas secara tersirat menjelaskan bahwa dalam kegiatan muamalah yang termasuk dalam ranah keduniaan, manusia diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja yang bisa memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya, selama hal tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya. 8 Dalam bahasa Arab, kata asuransi disebut at-tamin, takaful, dan at- tadhamun yang bermakna saling melindungi, saling tolong menolong dan saling menanggung. DSN-MUI memfatwakan bahwa Asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang atau pihak melaui investasi dalam bentuk aset danatau tabarru’ yang memberikan pola 7 Jalal al-Din, al-Suyuti, al-Asybah wa al-Nazhair, Beitur: Dar al-Fikr, h.64 8 Hadypradipta, Fiqh Muamalat, Artikel diakses pada 11 Februari 2010 pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah. 9 Dengan begitu, dalam menanggung kemungkinan terjadinya risiko, para peserta asuransi bersama-sama mendermakan hartanya dalam bentuk dana tabarru’ dan menggunakannya untuk membantu salah satu peserta yang tertimpa musibah atau risiko. Dengan demikian, letak perbedaan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional adalah, pada bagaimana risiko itu dikelola dan ditanggungkan serta bagaiman dana asuransi syariah dikelola. Perbedaan lain terletak pada hubungan antara operator penanggung dengan peserta tertanggung, dimana asuransi syariah pengaturan pengelolaan risikonya memenuhi ketentuan syariah, tolong menolong secara mutual yang melibatkan peserta dan operator. 10 Dalam upaya membedakan keduanya, Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ, FIIS membedakan gambaran sebagai berikut: Tabel.1 9 Fatwa DSN No.21DSN-MUIX2001, Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. 10 Muhaiman Iqbal, h.2 Perbedaan antara Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah 11 No Prinsip Asuransi Konvensional Asuransi Syariah 1 Aspek Syar’i Tidak selaras dengan syariah Islam karena adanya Maisir, Gharar dan Riba, yang merupakan suatu hal yang diharamkam dalam muamalat Bersih dari adanya praktik Gharar, Maisir dan Riba 2 Akad Akad jual beli akad mu’awadah, akad idz’aan, akad gharar, dan akad mulzim Akad tabarru’ dan akad tijarah mudharabah, mudharabah mustarakah, wakalah bil ujrah 3 Management of Risk Transfer of Risk, di mana terjadi transfer risiko dari tertanggung kepada penanggung Sharing of Risk, di mana terjadi proses saling menanggung antara satu peserta dangan peserta 11 Muhammad Syakir Sula, h.326 lainnya ta’awun 4 Dewan Pengawas Syariah DPS Tidak ada, Dewan Pengawas Syariah, sehingga dalam banyak praktiknya bertentangan dengan kaidah syar’i Mempunyai Dewan Pengawas Syariah DPS, yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktik- praktik muamalah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Berdasarkan tabel 1 di atas, perbedaan antar keduanya semakin kentara. Pertama, pada Asuransi Syariah setiap peserta sejak awal bermaksud saling tolong menolong dan melindungi satu dengan yang lain dengan menyisikan dananya sebagai iuran kebajikan yang disebut tabarru’. Sistem ini tidak menggunakan pengalihan risiko Transfer of Risk dimana tertanggung harus membayar premi, tetapi lebih merupakan pembagian risiko Sharing of Risk dengan sistem para peserta saling menanggung. Kedua, akad yang digunakan dalam Asuransi Syariah harus selaras dengan hukum Islam, artinya adalah akad yang dilakukan harus terhindar dari Riba, Gharar ketidakjelasan dana, dan Maisir judi, serta investasi dana harus pada objek yang halal thoyyibah.

2. Landasan Hukum Asuransi Syariah

Saat ini memang belum ada Undang-Undang yang mengatur secara rinci mengenai Asuransi Syariah. Payung hukum asuransi syariah masih diatur dalam UU No.2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Kemudian adapula dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan no. 18 mengenai Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah. Hal ini memang cukup mempengaruhi kinerja dari perusahaaan Asuransi Syariah yang masih terpaku pada hukum positif. 12 Kerangka acuan dalam operasional Asuransi Syariah antara lain: a Fatwa DSN-MUI no. 21DSN-MUIIX2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Operasional Asuransi Syariah. b Fatwa DSN-MUI no. 51DSN-MUIIII2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah Pada Asuransi dan Reasuransi Syariah, dimaksudkan untuk mengatur surplus yang diambil dari dana tabarru’ sementara bagi hasil bersumber dari dana tabungan. 12 Abdul Ghoni dan Erny Arianty, Akuntansi Asuransi Syariah, Antara Teori dan Praktek, Jakarta: Insco Consulting, 2007, h.13 c Fatwa DSN-MUI no. 52DSN-MUIIII2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi dan Reasuransi Syariah, mengatur tentang pembagian dana tabarru’ yang dianggap sebagai surplus dan ujrah perusahaan, serta dana tabungan dialokasikan untuk bagi hasil antara nasabah dengan entitas. d Fatwa DSN-MUI no.53DSN-MUIIV2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi dan Reasuransi Syariah. e Peraturan Menteri Keuangan PMK Nomor 18PMK.0102010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah. f Fatwa DSN-MUI no.81DSN-MUIIII2011 tentang Pengembalian Dana Tabarru’ Bagi Peserta Asuransi Yang Berhenti Sebelum Masa Perjanjian Berakhir. Peraturan-peraturan di atas selama ini menjadi acuan perusahaan Asuransi Syariah dalam menjalankan operasionalnya. Selain itu, landasan hukum normatif yang menjadi acuan dalam menjalankan usahanya secara syariah yaitu:

1. Al-Qur’an

Pada dasarnya Al- Qur’an tidak menyebutkan secara tegas praktik asuransi syariah. Terindikasikan dari tidak munculnya istilah al- ta’min secara nyata dalam Al- Qur’an. Meski demikian, Al-Qur’an mengakomodir ayat- ayat yang memiliki nilai-nilai dasar dalam praktik Asuransi Syariah, seperti nilai dasar tolong-menolong, kerja sama, atau semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian di masa mendatang. 13

1. QS. Yusuf ayat 46-49

Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru: Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir gandum yang hijau dan tujuh lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya. 13 AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta: Kencana, 2004, h.105