2.3.6. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu
Pemungutan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan batasan waktu, luas danatau volume tertentu yang
tersedia secara alami. Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan produksi dapat berupa pemungutan rotan, madu, getah, buah atau biji, daun, gaharu, kulit
kayu, tanaman obat dan umbi-umbian dengan ketentuan paling banyak 20 dua puluh ton untuk setiap pemegang ijin.
2.4. Kondisi Sosial Ekonomi
Manusia mempunyai hubungan timbal balik dengan lingkungannya, hubungan timbal balik terjadi baik antara manusia sebagai individu atau kelompok
atau masyarakat Silalahi, 2001. Aktifitas manusia mempengaruhi lingkungan, begitupula sebaliknya lingkungan mempengaruhi aktifitas manusia tersebut.
Aktifitas manusia dalam mempengaruhi lingkungan bisa berakibat buruk maupun baik. Untuk menunjang keberhasilan implementasi pemanfaatan HKm
memerlukan informasi nilai dukungan sosial ekonomi yang pada dasarnya adalah gambaran dari aktifitas manusia dalam memberlakukan lingkungan sekitarnya.
Semakin tinggi dukungan sosial ekonomi, maka semakin besar pula peluang untuk keberhasilan kegiatan pemanfaatan HKm tersebut. Arah rekomendasi dari
aspek sosial ekonomi dalam rangka pemanfaatan HKm dapat dilakukan dengan menelaah kondisi dan dukungan aspek sosial ekonomi di wilayah tersebut.
Keberhasilan program HKm sangat tergantung pada partisipasi kelompok masyarakat. Menurut Munggoro 2001, ada sembilan kondisi sosial yang
dibutuhkan agar pengelolaan sumberdaya hutan dapat dilakukan sebuah kelompok masyarakat secara efektif, yakni :
Universitas Sumatera Utara
1. Batas wilayah kelola
, tata batas wilayah kelola rakyat, hak-hak yang diakui, dan mekanisme pembagian hasil hutan dirumuskan dengan jelas dan
disepakati bersama. 2.
Kapasitas melindungi sumberdaya alam, masyarakat mampu mandiri
memelihara, melindungi dan memulihkan sumberdaya alam setempat. 3.
Mekanisme pengambilan keputusan , masyarakat setempat memiliki hak
bicara, hak menentukan nasibnya sendiri, dan hak mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan kelompok.
4. Resolusi konflik
, masyarakat setempat punya cara yang efektif untuk menyelesaikan konflik, baik konflik internal maupun konflik eksternal.
5. Monitoring
, masyarakat memiliki cara untuk memperoleh informasi tentang kuantitas, kualitas dan keragaman sumberdaya alam di wilayahnya.
6. Ukuran kelompok
, ukuran kelompok sebaiknya kecil supaya komunikasi dan bertatap muka secara teratur dimungkinkan.
7. Insentif
, masyarakat setempat memperoleh manfaat nyata dari kegiatan pengelolaan hutan baik manfaat ekonomi, budaya dan spiritual.
8. Input
, masyarakat setempat memiliki kekuatan yang dapat digunakan dalam pengelolaan sumberdaya hutan seperti tenaga kerja, teknologi, informasi,
modal dan lainnya. 9.
Nilai konservasi atau komitmen terhadap keberlanjutan sistem ekologi ,
masyarakat setempat menghargai nilai konservasi hutan dan berusaha mempertahankan kualitas sumberdaya hutan.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Pemberdayaan Partisipatif