187
disertai dengan melukai orang lain atau meningkatnya curiga pasien terhadap orang lain. Indikasi penyimpangan yang ditunjukkan menimbulkan stigma negatif
pada penderita gangguan jiwa, stigma gangguan jiwa berbahaya bagi orang lain atau penyakit yang memalukan karena menyerang orang lain. Kondisi ini
menimbulkan ketakutan pada masyarakat. Rasa tidak nyaman masyarakat pada penderita gangguan jiwa membuat keluarga merasa malu memiliki anggota
keluarga yang menderita gangguan jiwa. Saat pasien kambuh maka untuk mengindari stigma negatif pada keluarga, maka keluarga akan menunda
kepulangan pasien pada saat pasien menjalani rawat inap. Keluarga akan berusaha untuk terus menunda kepulangan pasien ke rumah. Kondisi ini terjadi pada ke 4
subjek penelitian yakni SH, RG Gusmanto, UJdan MDK. SH, RG Gusmanto, UJdan MDK mengalami penundaan kepulangan yang
cukup lama. SH telah mengalami penundaan kepulangan selama 4 tahun sedangkan RG dan MDK telah 1 tahun mengalami penundaan pulang serta
UJmengalami penundaan kepulangan selama 2 bulan.
1. Kesiapan Keluarga MDK
Apabila unit tidak siap berkonduksi dipaksa untuk berkonduksi, maka konduksi itu akan menimbulkan ketidakpuasan, dan berakibat dilakukannya
tindakan-tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasan itu
Thorndhike , dalam Suryabrata : 2004:250. Bila keluarga MDK tidak siap untuk
menerima MDK kembali ke rumah akan tetapi dipaksa untuk siap menghadapi dan menerima kembali pasien ke rumah maka keluarga menjadi frustasi. Frustasi
dimanifestasikan melalui sikap dan perilaku keluarga yang negatif menanggapi
188
kepulangan pasien seperti, berusaha menunda kepulangan pasien, tidak antusias terhadap berita kepulangan pasien dan ekspresi emosi yang negatif terhadap
pasien. Kelurga MDK menunujukkan kecenderungan bersikap negatif menghadapi
kepulangan MDK. Reaksi yang dilakukan oleh keluarga MDK untuk menghadapi kepulangan MDK adalah menahan MDK agat tetap berada di rumah sakit
walaupun dokter telah mengijinkan MDK untuk kembali ke rumah.
Keluarga MDK merupakan orang terpandang di lingkungannya. Abid yang merupakan kakak MDK adalah orang bertanggung jawab terhadap proses
perawatan yang dijalani oleh MDK. Abid adalah seorang haji yang dihormati oleh masyarakat sekitar. Nama baik keluarga sangat di jaga agar nama baik Abid tidak
tercemar. Bagi keluarga MDK memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa adalah hal yang memalukan bagi keluarga dan kerabat keluarga.
Gangguan jiwa yang diderita oleh MDK dianggap memalukan. Hal ini disebabkan, gejala gangguan jiwa muncul melalui perilaku yang tidak lazim di
masyarakat, misalnya : memukul orang lain atau orang terdekat tanpa sebab dan berteriak-teriak setiap hari. Perilaku tersebut dianggap sebagi perilaku yang tidak
sesui dengan nilai yang ada di masyarakarat. Sebagai orang yang dihormati di masyarakat setempat memiliki anggota keluarga yang berperilaku tidak sesuai
dengan nilai yang berlaku di masyarakat adalah hal yang dapat merusak nama baik keluarga.
Keluarga memilih pengobatan non medis untuk mengobati MDK hal ini dilakukan agar keluarga tidak merasa malu dengan Masyarakat. Keluarga MDK
189
menganggap sakit yang dialami oleh MDK itu adalah sakit yang disebabkan oleh kesurupan makhluk halus. Keluarga MDK membawa MDK berobat pada ”orang
pintar” untuk menyembuhkan MDK. Setelah dibawa berobat pada “orang pintar” tersebut gejala gangguan jiwa MDK tidak timbul lagi sampai MDK dapat
menyelesaikan sekolahnya di bangku SMA. Gangguan jiwa kembali muncul, keluarga segera membawa pada “orang
pintar” kembali. Setiap MDK kambuh keluarga membawa pada “orang pintar.” Motivasi keluarga untuk menyembuhkan MDK mendorong keluarga MDK
mencari pengobatan alternatif yang terbaik. Keberhasilan pengobatan pada saat keluarga membawa pengobatan
paranormal membuat keluarga MDK selalu membawa MDK pada pengobatan alternatif. Keluarga akan membawa pada pengobatan alternatif lain bila
pengobatan alternatif sebelumnya tidak berhasil menyembuhkan MDK. Keluarga MDK terus mencari informasi pengobatan alternatif terbaik yang ada di Kota
Jepara. Saat MDK menikah istri MDK menganggap pengobatan yang diberikan
kepada MDK tidaklah tepat. Pengobatan non medis hanya memperparah kondisi MDK maka istri MDK membawa MDK berobat pada pengobatan medis. Setelah
menjalani oengobatan non medis MDK mengalami peribahan yang positif. Perubahan kondisi positif MDK tidak diiringi oleh kesadaran keluarga
sebagai bagian dari treatmen. Keluarga tidak berperan aktif pada perencanaan perawatan. Keluarga cenderung apatis bila MDK berada di rumah sakit. Perilaku
190
keluarga tersebut dapat terlihat dari catatan medis perawat yang tidak pernah mencatat keluarga MDK menjenguk MDK saat MDK berada di rumah.
Kegagalan keluarga untuk memahami bahwa keluarga merupakan bagian dari treatmen dapat memicu kekambuhan pasien dan kekambuhan pasien dapat
mengurangi kesiapan keluarga untuk menerima pasien kembali ke rumah. Dampak dari kegagalan keluarga sebagai bagian dari treatmen menyebabkan
frekuensi kekambuhan gangguan jiwa yang dialami oleh penderita gangguan jiwa meningkat. Peningkatan frekuensi mengakibatkan kemunduran kemampuan pada
MDK dan keparahan gejala gangguan jiwa yang meningkat. Keparahan gangguan jiwa yang meningkat mengakibatkan perilaku MDK semakin menyimpang dari
norma dan nilai yang berlaku di masyarakat, misalnya MDK pada kambuh sebelumnya tidak pernah menyerang orang tua namun pada kambuh berikutnya
MDK tiba-tiba memukul orang tuanya sendiri. Peristiwa membuat masyarakat menilai bahwa gangguan jiwa yang dialami oleh MDK merupakan penyakit yang
memalukan dan berbahaya. Stigma yang berkembang di masyarakat menyebabakan penderita mengalami
perlakuan yang diskriminatif oleh keluarga dan masyarakat serta tidak mendapatkan perlakuan yang memadai Hawari :2007:1
Stigma bahwa gangguan jiwa merupakan yang memalukan dan membahayakan masyarakat ini membuat keluarga MDK sebagai keluarga
terpandang semakin merasa malu karena annggota keluarganya memiliki penyakit yang berkaitan dengan perilaku yang semakin menyimpang dari norma dan nilai
masyarakat. Menurut psikolog rumah sakit dr. Amino Gondhohutomo gangguan
191
jiwa merupakan penyakit yang berkaitan dengan perilaku yang menyimpang dari norma dan nilai masyarakat, oleh karena itu keluarga merasa malu bila ada
anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Stigma ini mempengaruhi perlakuan keluarga terhadap MDK. Keluarga
menjadi mengabaikan MDK bila MDK berada di rumah. Keluarga tidak mengajarkan MDK untuk bersosilalisasi dengan Masyarakat. Kondisi ini
menimbulkan tekanan pada MDK dan mengakibatkan MDK kambuh. Pengalaman kambuh yang berkali-kali membuat keluarga MDK mengambil keputusan untuk
menunda kepulangan MDK ke rumah. Keluarga merasa rumah sakit merupakan tempat yang tepat bagi MDK. Kondisi-kondisi ini membuat keluarga cenderung
bersikap negatif dalam menghadapi kepulangan MDK.
2. Kesiapan Keluarga RG