191
jiwa merupakan penyakit yang berkaitan dengan perilaku yang menyimpang dari norma dan nilai masyarakat, oleh karena itu keluarga merasa malu bila ada
anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Stigma ini mempengaruhi perlakuan keluarga terhadap MDK. Keluarga
menjadi mengabaikan MDK bila MDK berada di rumah. Keluarga tidak mengajarkan MDK untuk bersosilalisasi dengan Masyarakat. Kondisi ini
menimbulkan tekanan pada MDK dan mengakibatkan MDK kambuh. Pengalaman kambuh yang berkali-kali membuat keluarga MDK mengambil keputusan untuk
menunda kepulangan MDK ke rumah. Keluarga merasa rumah sakit merupakan tempat yang tepat bagi MDK. Kondisi-kondisi ini membuat keluarga cenderung
bersikap negatif dalam menghadapi kepulangan MDK.
2. Kesiapan Keluarga RG
Pengalaman yang diperoleh mengenai suatu perilaku tertentu akan mempertinggi kesiapan individu untuk melakukan tindakan selanjutnya.
Pengalaman yang diperoleh akan membantu indiividu untuk melakukan tindakan yang tepat untuk merespon stimulus yang datang Dalyono : 2001: 166. Keluarga
RG tidak mengalami kebingungan saat RG diketahui menderita gangguan jiwa. Keluarga RG telah memiliki pengalaman sebelumnya. Paman dari ayah RG
mengalami gangguan jiwa dan Kusmawarni kakak ke 3 RG bekerja dibidang kesehatan dan Kusmawarni mengetahui mengenai gangguan jiwa dan pemicunya.
RG menjalani 2 pengobatan sekaligus dalam riwayat pengobatan sakitnya. Hal ini dikarenakan dalam keluarga RG terjadi pengetahuan yang berbeda
mengenai gangguan jiwa. Ayah RG merupakan orang yang berminat dengan
192
dunia mistis, sakit RG menurut ayah RG disebabkan oleh guna-guna yang dikirimkan oleh seseorang pada RG. Bagi ibu dan saudara, RG mengalami
ganguan jiwa disebabkan oleh infrak tulang belakang yang dialami RG saat RG mengalami kecelakaan.
Dua pengobatan yang dijalani RG meyebabkan sakit yang dialami oleh RG menjadi semakin parah, karena 2 pengobatan tersebut mempunyai sistem kerja
yang berlawanan. Pengobatan alternatif yang dijalani RG melarang RG untuk minum obat yang diberikan oleh dokter sementara pengobatan dokter
menganjurkan untuk selalu teratur minum obat. Menurut Hawari 2007:3 cara non medis perdukunan perawatan dapat
berakibat buruk bagi penderita. Pengobatan altrnatif mengulur timbulnya gejala gangguan jiwa yang dialami oleh RG namun pengobatan alternatif tidak
menghilangkan gejala gangguan jiwa yang muncul. Penguluran gejala gangguan jiwa akan menyebabkan penyakit yang diderita oleh RG semakin parah, sehingga
pada saat dibawa ke rumah sakit RG selalu menjalani rawat inap. Keinginan keluarga RG untuk menyembuhkan RG mendorong keluarga RG
untuk memberikan pengobatan yang tepat bagi RG. Keluarga memilih memberikan RG pengobatan medis sebagai pilihan untuk menyembuhkan Rio.
Pengobatan medis terus diberikan untuk menyembuhkan RG, saudara RG, Kusmawarni mengantarkan RG untuk kontol di rumah sakit setiap kali obat RG
habis. Adanya harapan untuk sembuh memberikan motivasi pada keluarga untuk
terus memberikan pengobatan yang terbaik pada RG. Hal ini terbukti pada
193
perjalanan pengobatan yang telah dijalani oleh RG, RG menajalani rawat inap mulai dari RSJ Semarang, RSJP Magelang, RSJ Grogol Jakarta dan menjalani
rawat non medis di Suralaya Tasikmalaya. Motivasi untuk menyembuhkan RG tidak diiringi oleh kesadaran keluarga
sebagai bagian dari treatmen yang dijalani oleh RG. Kondisi ini dapat diketahui dari sikap keluarga yang tidak kooperatif selama RG menjalani rawat inap di
rumah sakit. Saat RG menjalani rawat inap keluarga RG jarang datang untuk menjenguk RG. Keluarga datang untuk mengetahui kondisi apakah kondisi RG
telah membaik atau belum, bila kondisi telah membaik maka hari itu RG pulang ke rumah.
RG memiliki motivasi yang rendah untuk sembuh. Motivasi RG yang rendah dapat dilihat dari tidak adanya kesadaran atau insight RG mengenai sakit yang
dialami oleh RG dan kecenderungan RG untuk menolak minum obat yang diberikan oleh dokter. Rendahnya motivasi RG untuk sembuh dapat
mempengaruhi motivasi keluarga untuk merawat RG. Menurut Kusmawarni kakak RG, pengobatan yang dijalani RG percuma, hal ini dikarenakan RG tidak
menyadari bahwa dirinya sakit sehingga RG menolak untuk minum obat yang seharusnya diminum. Kondisi ini membuat keluarga merasa pesimis dengan
kesembuhan gangguan jiwa RG. Pesimisme keluarga mendorong keluarga melakukan penundaan kepulangan RG ke rumah.
Saat RG masih memiliki istri, perawatan RG didukung langsung oleh istrinya, RG jarang kambuh namun setelah istri RG meninggal kondisi RG mengalami
penurunan yang cukup signifikan. Kondisi ini dikarenakan saudara mendapatkan
194
tangguang jawab baru setelah tangguang jawab tersebut dipikul oleh orang lain, saat tanggung jawab itu kembali pada keluarga kondisi telah berbeda. Saudara RG
telah memilki tanggung jawb sendiri dan harus mengurus RG. Kondisi RG yang telah sering kambuh membuat RG harus mendapatkan
perhatian dan dukungan yang lebih oleh keluarga. Dukungan dan perhatian ini yang tidak dapat diberikan oleh keluarga RG. Hal ini dikarenakan keluarga tidak
menyadari arti dukungan secara psikologis keluarga bagi RG meskipun keluarga mengetahui arti keluarga bagi kesembuhan RG.
Keluarga tidak menyadari peran keluarga untuk mnyembuhkan RG. Hal ini berdampak pada kondisi psikologis RG. RG jauh merasa tertekan bila berada di
rumah karena keluarga tidak memberikan dukungan psikologis. Sehingga bila RG berada di rumah RG menjadi lebih gampang kambuh.
Frekuensi pengalaman kekambuhan mempengaruhi kesiapan keluarga dan kondisi pasien. Bagi RG frekuensi kambuh akan semakin membuat gangguan jiwa
yang diderita RG menjadi semakin parah dan kemampuan yang dimilki RG menjadi semakin mundur. Kondisi ini membuat keluarga menjadi pesimis akan
masa depan RG. Sehingga keluarga merasa percuma RG berada di rumah. Bila berada di rumah RG akan kambuh dan kondisi ini akan menganggu lingkungan.
Keparahan kondisi gangguan jiwa RG berdampak pada hubungan keluarga yang terus memburuk. RG selalu curiga dengan anggota keluarga yang lain dan
RG sering menyerang saudara-saudara bila saudara RG datang ke rumah RG untuk menjenguk dan mengetahui kondisi RG. Perilaku RG yang memusuhi
195
saudara-saudara RG membuat anggota keluarga enggan untuk merawat RG bila RG berada di rumah.
3. Kesiapan keluarga SH