Konsep Modal Keterkaitan Antar Variabel dan Hipotesis Penelitian

Rasio leverage merupakan rasio untuk mengukur seberapa bagus struktur permodalan perusahaan. Struktur permodalan merupakan pendanaan permanen yang terdiri dari hutang jangka panjang, saham preferen dan modal pemegang saham. 17

3. Komponen Struktur Modal

Struktur modal suatu perusahaan secara umum terdiri dari dua komponen, yakni hutang jangka panjang dan modal sendiri, yang diuraikan sebagai berikut: 18

1. Hutang Jangka Panjang Long Term Debt

Hutang jangka panjang meliputi pinjaman dari bank atau sumber lain yang meminjamkan uang untuk waktu jangka panjang lebih dari 12 bulan. Pinjaman hutang jangka panjang dapat berupa pinjaman berjangka pinjaman yang digunakan untuk membiayai kebutuhan modal kerja permanen, untuk melunasi hutang lain, atau membeli mesin dan peralatan dan penerbitan obligasi hutang yang diperoleh melalui penjualan surat-surat obligasi, dalam surat obligasi ditentukan nilai nominal, bunga per tahun, dan jangka waktu pelunasan obligasi tersebut. 19

2. Modal Sendiri Equity

Modal sendiri atau ekuitas merupakan modal jangka panjang yang diperoleh dari pemilik perusahaan atau pemegang saham. Modal sendiri diharapkan tetap berada dalam perusahaan untuk jangka waktu yang tidak terbatas 17 Hadi Wahyono, “Komperasi Kinerja Perusahaan Bank dan Asuransi Studi Empiris di Bursa Efek Jakarta, Jurnal riset ekonomi dan manajemen, vol. 2 No.2, Mei 2002, h.12 18 Warsono, Manajemen Keuangan Malang: UMM Press, 2003, h.236 19 Arthur J Keown, Manajemen Keuangan: Prinsip-Prinsip dan Aplikasi Jakarta: PT. Indeks Kelompok Gramedia, 2004, h.38 sedangkan modal pinjaman memiliki jatuh tempo. Ada 2 dua sumber utama dari modal sendiri yaitu modal saham preferen dan modal saham biasa, sebagaimana dijelaskan berikut ini: a. Modal Saham Preferen Saham preferen memberikan para pemegang sahamnya beberapa hak istimewa yang menjadikannya lebih senior atau lebih diprioritaskan daripada pemegang saham biasa. Oleh karena itu, perusahaan tidak memberikan saham preferen dalam jumlah yang banyak. b. Modal Saham Biasa Pemilik perusahaan adalah pemegang saham biasa yang menginvestasikan uangnya dengan harapan mendapat pengembalian dimasa yang akan datang. Pemegang saham biasa kadang-kadang disebut pemilik residual sebab mereka hanya menerima sisa setelah seluruh tuntutan atas pendapatan dan asset telah dipenuhi.

4. Teori Struktur Modal

Teori mengenai struktur modal modern bermula pada tahun 1958, ketika Profesor Franco Modigliani dan Profesor Merton Miller yang selanjutnya kita sebut MM, mempublikasikan apa yang disebut sebagai artikel keuangan yang paling berpengaruh yang pernah ditulis. Berdasarkan serangkaian asumsi yang sangat membatasi, MM membuktikan bahwa nilai suatu perusahaan tidak dipengaruhi oleh struktur modalnya. Dengan perkataan lain, hasil-hasil MM menyatakan bahwa tidak menjadi masalah bagaimana perusahaan membiayai operasinya, jadi struktur modal tidak relevan. Tetapi, studi MM didasarkan pada sejumlah asumsi yang tidak realistis, antara lain: 20 a. Tidak ada biayai broker pialang b. Tidak ada pajak c. Tidak ada biaya kebangkrutan d. Para investor dapat meminjam dengan tingkat suku bunga yang sama seperti manajemen mengenai peluang investasi perusahaan dimasa mendatang e. EBIT tidak dipengaruhi oleh penggunaan utang Menurut Brigham dan Houston 2001, meskipun beberapa dari asumsi- asumsi ini terlihat tidak realistis, hasil-hasil MM yang tidak relevan sangat penting artinya. Dengan menunjukkan kondisi-kondisi di mana struktur modal tidak relevan, MM juga memberikan beberapa petunjuk kepada kita tentang apa yang diperlukan bagi struktur modal agar menjadi relevan sehingga akan mempengaruhi nilai suatu perusahaan. 21 Hasil kerja MM menandai awal dari riset atas struktur modal modern, dan riset selanjutnya dipusatkan untuk melemahkan asumsi-asumsi MM dalam upaya mengembangkan teori struktur modal yang 20 Eugene F Brigham and Joel F Houston, Manajemen Keuangan Jakarta: Erlangga, 2001, h.30 21 Ibid., h.31 lebih realistis. Riset dalam bidang ini sangat luas, tetapi garis besarnya diringkaskan dalam bagian berikut: 22 1 Efek Pajak MM menerbitkan makalah lanjutan pada tahun 1963 yang melemahkan asumsi tidak ada pajak perseroan. Peraturan perpajakan memperbolehkan pengurangan pembayaran bunga sebagai beban, tetapi pembayaran dividen kepada pemegang saham tidak dapat dikurangkan. Perlakuan yang berbeda ini mendorong perusahaan untuk menggunakan utang dalam struktur modal mereka. Sebenarnya, MM memperlihatkan bahwa jika semua asumsi yang lain berlaku, perbedaan perlakuan ini menyebabkan suatu situasi yang memerlukan pembelanjaan dengan 100 persen utang. Akan tetapi, kesimpulan ini diubah beberapa tahun kemudian oleh Merton Miller kali ini tanpa Modigliani ketika ia membahas efek dari pajak perorangan. Ia menyatakan bahwa semua penghasilan dari obligasi pada umumnya adalah bunga, yang dikenakan pajak sebagai penghasilan perorangan pada tarif yang mencapai 39,6 persen, sementara penghasilan dari saham biasanya sebagian berasal dari dividen dan sebagian dari keuntungan modal. Selanjutnya, keuntungan modal dikenakan pajak dengan tarif maksimum 28 persen, dan pajak ini ditangguhkan sampai saham itu terjual dan keuangan terealisasi. Jika saham itu ditahan sampai si pemilik meninggal, tidak ada pajak keuntungan modal apapun yang harus dibayar. Jadi, bila ditimbang, pengembalian atas saham 22 Ibid., h.32 biasa dikenakan pajak dengan tarif efektif yang lebih rendah daripada pengembalian atas utang. Karena situasi pajak ini, Miller berpendapat bahwa investor bersedia menerima pengembalian atas saham sebelum pajak yang relatif rendah dibandingkan dengan pengembalian atas obligasi sebelum pajak. Jadi, seperti yang dikemukakan Miller, dapat dikurangkannya bunga untuk tujuan pajak menguntungkan penggunaan pembiayaan dengan utang, tetapi perlakuan pajak yang lebih menguntungkan atas penghasilan dari saham menurunkan tingkat pengembalian yang diisyaratkan pada saham dan dengan demikian menguntungkan penggunaan pembelanjaan dengan ekuitas. 2 Efek Biaya Kebangkrutan Menurut Brigham dan Houston 2001, masalah yang berkait kebangkrutan semakin cenderung muncul apabila suatu perusahaan menyertakan lebih banyak utang dalam struktur modalnya. Karena itu, biaya kebangkrutan menghalangi perusahaan menggunakan utang yang berlebihan. Biaya yang terkait dengan kebangkrutan mempunyai dua komponen: probabilitas terjadinya dan biaya-biaya yang akan timbul bila kesulitan keuangan telah muncul. Perusahaan yang labanya lebih labil, bila semua hal lain sama, menghadapi peluang kebangkrutan yang lebih besar sehingga harus menggunakan lebih sedikit utang daripada perusahaan yang stabil. 23 23 Ibid., h.33 3 Trade-Off Theory Argumen-argumen terdahulu mengarah pada perkembangan yang disebut dengan teori trade-off dari leverage, di mana perusahaan menyeimbangkan manfaat dari pendanaan dengan utang perlakuan pajak perseroan yang menguntungkan dengan suku bunga dan biaya kebangkrutan yang lebih tinggi. 24 4 Teori Pengisyaratan Dalam bukunya yang berjudul Manajemen Keuangan, Brigham dan Houston 2001 menyatakan bahwa MM mengasumsikan bahwa investor memiliki informasi yang sama mengenai prospek perusahaan seperti yang dimiliki para manajer, ini disebut kesamaan informasi symmetric information. Akan tetapi, dalam kenyataannya manajer mempunyai informasi yang lebih baik daripada investor luar. Hal ini disebut ketidaksamaan informasi asymmetric information dan ini sangat berpengaruh terhadap keputusan struktur modal yang optimal. 25

5. Faktor Penentu Struktur Modal

Menurut Moeljadi penentuan struktur modal perlu mempertimbangkan beberapa hal, yang dapat dijelaskan dalam uraian berikut ini: 26 24 Ibid., h.33 25 Ibid., h.35 26 Mulyadi, Manajemen Keuangan: Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif Malang: Banyumedia, 2006, h.274

a. Tujuan Perusahaan

Jika tujuan manajer adalah memaksimumkan kemakmurankekayaan para pemegang saham, maka struktur modal yang optimal adalah yang dapat memaksimumkan nilai pasar perusahaan. Sedangkan apabila tujuan para manajer memaksimumkan keamanan pekerjaannya, maka struktur modal yang optimal terletak pada leverage rata-rata perusahaan lain dalam satu industri. b. Tingkat leverage perusahaan dalam satu industri c. Kemampuan dana intern Penentu utama dana intern adalah tingkat pertumbuhan pendapatan. Tingkat pertumbuhan pendapatan yang tinggi memungkinkan manajemen memperoleh dana yang lebih besar daripada laba ditahan yang akan mengurangi dana pinjaman. d. Pemusatan pemilikan dan pengendalian suara Apabila saham yang ada dalam perusahaan hanya dimiliki oleh sejumlah kecil pemilik, maka manajer akan segan untuk mengeluarkan saham baru. e. Batas kredit Usaha manajemen untuk menyesuaikan leverage dengan yang lain diinginkan dipengaruhi oleh sikap kreditor terhadap perusahaan tersebut. f. Ukuran Perusahaan Suatu perusahaan yang berukuran besar lebih mudah memperoleh pinjaman jika dibandingkan dengan perusahaan kecil. g. Pertumbuhan aktiva perusahaan Pertumbuhan aktiva dapat dijadikan indikator bagi kesempatan pengembangan perusahaan pada waktu yang akan datang, sebab dapat memberikan gambaran bagi kebutuhan dana secara total dalam perusahaan tersebut. h. Stabilitas Earnings Berhubung variabilitas earnings dapat menjadi ukuran risiko bisnis suatu perusahaan, maka calon kreditor cenderung memberikan pinjaman kepada perusahaan yang mempunyai earnings yang relatif stabil. i. Biaya modal sendiri Karena biaya modal sendiri cost of equity dapat merefleksikan harga saham, maka turun naiknya harga saham akan menunjukkan harapan bagi equity financing yang murahmahal yang dapat mengakibatkan dept financing menjadi kuranglebih menarik. Perubahan harga saham akan mempunyai hubungan yang negatif dengan rasio leverage j. Biaya utang Jika biaya utang k d rentabilitas aktiva r e , maka penambahan utang akan membawa efek yang unfavourable bagi rentabilitas modal sendiri. k. Tarif pajak Karena pembayaran bunga merupakan tax-deductible bagi perusahaan, maka debt-financing akan lebih menarik daripada equity-financing. Dengan demikian, tarif pajak dan rasio leverage dihipotesiskan mempunyai hubungan yang positif. l. Perkiraan tingkat inflasi Perkiraan tingkat inflasi akan mempengaruhi permintaan dan penawaran dan. Dalam keadaan inflasi yang tinggi, perusahaan lebih menyukai debt- financiing. m. Kemapuan dana sumber utang Penawaran dana secara agregat terutama dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Berkurangnya ketersediaan dana ekstern mengakibatkan debt- financing menjadi lebih mahal. n. Kebiasaan umum di pasar modal Kebiasaan yang kaku di pasar modal, misalnya investor yang hanya menyenangi surat-surat berharga yang dikeluarkan oleh bank, perusahaan asuransi, dan public utility, akan menyulitkan perusahaan untuk segera mengubah struktur modalnya. o. Struktur aktiva Apabila komposisi aktiva suatu perusahaan bersifat capital-intensive, maka yang diutamakan adalah equity-financing. Artinya, modal pinjaman hanya merupakan pelengkap, terutama untuk memenuhi kebutuhan dana bagi modal kerja.

D. Manajemen Laba 1. Pengertian Manajemen Laba

Menurut Sri Sulistyanto secara umum manajemen laba didefinisikan sebagai upaya menajer perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi- informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Istilah intervensi dipakai sebagai dasar sebagian pihak untuk menilai manajemen laba sebagai kecurangan. Sementara pihak lain tetap menganggap aktivitas rekayasa manajerial ini bukan sebagai kecurangan. Alasannya, intervensi itu dilakukan manajer perusahaan dalam kerangka standar akuntansi, yaitu masih menggunakan metode dan prosedur akuntansi yang diterima dan diakui secara umum. 27 Menurut Healy and Wahlen, manajemen laba terjadi ketika para manajer menggunakan keputusan tertentu dalam laporan keuangan dan mengubah transaksi untuk mengubah laporan keuangan sehingga menyesatkan stakeholder yang ingin mengetahui kinerja ekonomi yang diperoleh perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontrak yang menggunakan angka-angka akuntansi yang dilaporakan dalam laporan keuangan. 28 27 Sri Sulistyanto, Manajemen Laba: Teori dan Model Empiris Jakarta: Grasindo, 2008, h.6 28 P.M. Healy and J.M. Wahlen, “A Review of The Earnings Management Literature and its implication for standard setters”, Accounting Horizons Vol. 13 No. 4 Dec 1999, h.368

2. Motivasi Manajemen Laba.

Secara umum terdapat beberapa hal yang memotivasi individu atau badan usaha melakukan tindakan creative accounting atau manajemen laba, yaitu: 29 a. Motivasi Bonus. Dalam sebuah perjanjian bisnis, pemegang saham akan memberikan sejumlah insentif dan bonus sebagai feedback atau evaluasi atas kinerja manajer dalam menjalankan operasional perusahaan. Insentif ini diberikan dalam jumlah relatif tetap dan rutin. Sementara, bonus yang relatif lebih besar nilainya hanya akan diberikan ketika kinerja manajer berada di area pencapaian bonus yang telah ditetapkan oleh pemegang saham. Kinerja manajer salah satunya diukur dari pencapaian laba usaha. Pengukuran kinerja berdasarkan laba dan skema bonus tersebut memotivasi para manajer untuk memberikan performa terbaiknya sehingga tidak menutup peluang mereka melakukan tindakan manajemen laba agar dapat menampilkan kinerja yang baik demi mendapatkan bonus yang maksimal. b. Motivasi Utang. Selain melakukan kontrak bisnis dengan pemegang saham, untuk kepentingan ekspansi perusahaan, manajer seringkali melakukan beberapa kontrak bisnis dengan pihak ketiga, dalam hal ini adalah kreditor. Agar kreditor mau menginvestasikan dananya di perusahaan, tentunya manajer harus 29 Dedhy Sulistiawan, Yeni Januarsi dan Liza Alvia, Creative Accounting–Mengungkap Manajemen Laba dan Skandal Akuntansi Jakarta: Salemba Empat, 2011, h.31 menunjukkan performa yang baik dari perusahaannya. Untuk memperoleh hasil maksimal, yaitu pinjaman dalam jumlah besar, perilaku kreatif dari manajer untuk menampilkan performa yang baik dari laporan keuangannya pun seringkali muncul. c. Motivasi Pajak. Tindakan manajemen laba tidak hanya terjadi pada perusahaan go public dan selalu untuk kepentingan harga saham, tetapi juga untuk kepentingan perpajakan. Kepentingan ini didominasi oleh perusahaan yang belum go public. Perusahaan yang belum go public cenderung melaporkan dan menginginkan untuk menyajikan laporan laba fiskal yang lebih rendah dari nilai yang sebenarnya. Kecenderungan ini memotivasi manajer untuk bertindak kreatif melakukan tindakan manajemen laba agar seolah-olah laba fiskal yang dilaporkan memang lebih rendah tanpa melanggar aturan dan kebijakan akuntansi perpajakan. d. Motivasi Initial Public Offering IPO. Motivasi ini banyak digunakan oleh perusahaan yang akan go public ataupun sudah go public. Perusahaan yang akan go public akan melakukan penawaran saham perdananya ke publik atau lebih dikenal dengan istilah Initial Public Offering IPO untuk memperoleh tambahan modal usaha dari calon investor. Begitupun dengan perusahaan yang sudah go public untuk kelanjutan dan ekspansi usahanya. e. Motivasi Pergantian Direksi. Praktik manajemen laba biasanya terjadi pada sekitar periode pergantian direksi atau chief executive officer CEO. Menjelang berakhirnya masa jabatan, direksi cenderung bertindak kreatif dengan memaksimalkan laba agar performa kerjanya tetap terlihat baik pada tahun terakhir ia menjabat. Motivasi utama yang mendorong hal tersebut adalah untuk memperoleh bonus yang maksimal pada akhir masa jabatannya. f. Motivasi Politis. Motivasi ini biasanya terjadi pada perusahaan besar yang bidang usahanya banyak menyentuh masyarakat luas, seperti perusahaan-perusahaan strategis semisal perminyakan, gas, listrik, dan air. Demi menjaga tetap mendapatkan subsidi, perusahaan-perusahaan tersebut cenderung menjaga posisi keuangannya dalam keadaan tertentu sehingga prestasi atau kinerjanya tidak terlalu baik karena jika sudah baik, kemungkinan besar subsidi tidak lagi diberikan. Dari penjelasan di atas terdapat beberapa motivasi yang mendorong terjadinya manajemen laba, namun yang sejalan dengan penelitian ini yaitu ditinjau dari motivasi perpajakan taxation motivations. Scott mengemukakan bahwa motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Namun demikian, kewenangan pajak cenderung untuk memaksakan aturan akuntansi pajak sendiri untuk menghitung pendapatan kena pajak. Seharusnya secara umum perpajakan tidak mempunyai peran besar dalam keputusan manajemen laba. Intinya manajer termotivasi melakukan manajemen laba untuk menurunkan laba demi mengurangi beban pajak yang harus dibayar. 30

3. Pola Manajemen Laba

Menurut Scott ada empat pola manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan yaitu: 31 1. Taking a bath Manajemen laba dengan pola taking a bath biasanya dilakukan ketika perusahaan melakukan reorganisasi termasuk saat pergantian CEO. Taking a bath dilakukan dengan melaporkan rugi yang besar pada periode sekarang. 2. Income Minimization Income minimization adalah pola manajemen laba yang serupa dengan taking a bath namun dalam bentuk yang tidak terlalu ekstrim. Income minimization dilakukan dengan memilih kebijakan yang dapat meminimalkan laba seperti penghapusan beberapa aset dan intangible asset, beban pemasaran, dan beban RD. 3. Income Maximization Manajer melakukan income maximization dengan tujuan untuk meningkatkan laba perusahaan agar bisa mencapai bogey dalam skema bonus. Namun 30 William R. Scott, Financial Accounting Theory Toronto Ontaria: Pearson, 2012, h.432-435 31 William R. Scott, Financial Accounting Theory, 3 rd edition Prentice Hall: United States of America, 2003, h.383 income maximization yang dilakukan akan berhenti ketika sudah mencapai cap yang ada dalam skema bonus. 4. Income Smoothing Income smoothing mungkin adalah pola yang paling menarik dalam manajemen laba. Manajer akan melakukan income smoothing diantara bogey dan cap. Skema bonus memberikan insentif bagi manajemen untuk mempertahankan laba di antara bogey dan cap.

4. Teknik Manajemen Laba

Manajemen laba dapat dilakukan dengan tiga teknik yaitu: 32 1 Perubahan metode akuntansi Manajemen mengubah metode akuntansi yang berbeda dengan metode sebelumnya sehingga dapat menaikkan atau menurunkan angka laba. Metode akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk mencatat suatu fakta tertentu dengan cara yang berbeda, misalnya: a Mengubah metode depresiasi aktiva tetap dari metode jumlah angka tahun sum of the year digit ke metode depresiasi garis lurus straight line b Mengubah periode depresiasi 2. Memainkan kebijakan perkiraaan akuntansi 32 Asyik dan Soelistyo, “Kemampuan Rasio Keuangan Dalam Memprediksi Laba: Penetapan Rasio Keuangan Sebagai Discriminator”, Jurnal riset akuntansi Indonesia. Vol.15 No. 33 Juli, 2000, h.23. Manajemen mempengaruhi laporan keuangan dengan cara memainkan kebijakan perkiraan akuntansi. Hal tersebut memberikan peluang bagi manajemen untuk melibatkan subyektifitas dalam menyusun estimasi, misalnya: a Kebijakan mengenai perkiraan jumlah piutang tidak tertagih b Kebijakan mengenai perkiraan biaya garansi c Kebijakan mengenai perkiraan terhadap proses pengadilan yang belum terputuskan. 3. Menggeser periode biaya atau pendapatan Manajemen menggeser periode biaya atau pendapatan atau sering disebut manipulasi keputusan operasional, misalnya: a Mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai periode akuntansi berikutnya. b Mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya. c Kerjasama dengan vendor untuk mempercepat atau menunda pengiriman tagihan sampai periode akuntansi berikutnya. d Menjual investasi sekuritas untuk memanipulasi tingkat laba. e Mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak terpakai.

5. Teknik Pendeteksian Manajemen Laba

Pada penelitian skripsi ini, manajemen laba dideteksi dengan menggunakan discretionary accrual yang diukur menggunakan model yang dikembangkan oleh Friedlan 1994. 33 Secara umum penelitian tentang manajemen laba menggunakan pengukuran berbasis akrual dalam mendeteksi ada tidaknya manipulasi. Salah satu kelebihan dalam pendekatan total accrual adalah pendekatan tersebut berpotensi untuk dapat mengungkapkan cara-cara untuk menurunkan atau menaikkan laba, karena cara-cara tersebut kurang mendapat perhatian untuk diketahui pihak luar. Total Accrual dalam perhitungan laba terdiri atas nondiscetionary dan discretionary accrual, nondiscretionary accrual merupakan komponen akrual yang terjadi secara alami atau wajar seiring dengan perubahan aktivitas perusahaan. Sedangkan discretionary accrual merupakan komponen akrual yang berasal dari rekayasa manajemen earnings management. 34 Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Gumanti 2000, 35 umumnya poin awal dalam pengukuran discretionary accruals adalah total accruals, dimana total accruals tersebut terdiri dari komponen non discretionary accruals dan discretionary accruals. Selanjutnya model yang dikembangkan Friedlan 1994 digunakan untuk mengukur discretionary accruals. 33 Freidlan J. M. 1994. Accounting Choice of Issuers of Initial Public Offerings. Contempo- rary Accounting Research 11 1 1994: 1-31. 34 Veronica dan Bachtiar, Y. S. Good Corporate Governance Information Asymetry and Earnings Management. Simposium Nasional Akuntansi VII. Denpasar, 2004 35 Tatang Ari Gumanti. Earnings Management: Suatu Telaah Pustaka, Jurnal Akuntansi dan Keuangan. 2 2 2000: 104-115 Model pengukuran atas discretionary accruals pada penelitian ini dijelaskan dengan formula sebagai berikut: Keterangan :  TA = Total Accruals  NOI = Net Operating Income  CFO = Cash Flow Operting Activities. Kemudian akan diukur nilai discretionary accruals dengan menggunakan persamaan : Keterangan :  DACpt = discretionary accrual periode tes  TApt = total accruals periode tes  SALEpt = penjualan periode tes  TApd = total accruals periode dasar  SALEpd = penjualan periode dasar Didalam melakukan pendeteksian adanya manipulasi laba, pada umumnya akan ditemukan dua jenis discretionary accruals, yaitu discretionary accruals negatif TA = NOI - CFO DACpt = TAptSALEpt – TApdSALEpd dan positif. 36 discretionary accruals positif mencerminkan manipulasi yang dilakukan manajer dengan pola income increasing, sedangkan negatif akan menunjukkan manipulasi income decreasing, bentuk-bentuk discretionary accruals tersebut disesuaikan dengan motivasi yang dilakukan oleh manajer.

E. Pajak Penghasilan 1. Pengertian Pajak Penghasilan

Pengertian Pajak penghasilan adalah, pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban pajak subyektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. 37 Dasar hukum pajak penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tanggal 23 September 2008 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 4893, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985 yang merupakan perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tanggal 31 Desember 1983 Tentang PPh, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263. 38 36 Saiful, “Hubungan manajemen laba earnings management dengan kinerja operasi dan return saham di sekitar IPO”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia 7 3, 2004. h.316-332. 37 Erly Suandy, Perpajakan, edisi kedua, cetakan kedua Jakarta: Salemba Empat, 2010, h.81 38 Diaz Priantara, Perpajakan Indonesia, Edisi kedua Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013, h.171

2. Subjek Pajak Penghasilan

Secara umum pengertian subjek adalah siapa yang dikenakan pajak. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan, yang menjadi subjek pajak penghasilan adalah orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan dan bentuk usaha tetap BUT. Penjelasan dari masing-masing subjek pajak penghasilan adalah sebagai berikut: 39 a. Orang pribadi Kedudukan orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak Dalam hal ini, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukkan warisan tersebut dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan, demikian juga dengan tindakan penagihan selanjutnya. 39 Endah Nilam Rahmadani, “Analisis Pengaruh Struktur Modal Terhadap Pajak Penghasilan Badan Terutang,” Skripsi.Fakultas Ekonomi dan Bisnis: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010, h.15-18 c. Badan Pengertian Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi, Perseroan Terbatas PT, Perseroan Komanditer CV, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, firma, kongsi, koperasi, yayasan, lembaga, dana pensiun, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya. d. Bentuk Usaha Tetap BUT Yang dimaksud dengan BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 seratus delapan puluh tiga hari dalam jangka waktu 12 dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang berupa: 1 Tempat kedudukan manajemen 2 Cabang perusahaan 3 Kantor perwakilan 4 Gedung kantor 5 Pabrik 6 Bengkel 7 Pertambangan dan penggalian sumber alam wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan. 8 Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan dan kehutanan 9 Proyeksi konstruksi instalasi atau proyek perakitan 10 Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas 11 Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia. Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-undang PPh, subjek pajak dalam PPh terdiri dari subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Kedua jenis subjek pajak tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: a. Subjek pajak dalam negeri Yang dimaksud subjek pajak dalam negeri adalah subjek pajak yang secara fisik memang berada atau bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan berikut: 1 Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. 2 Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. 3 Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. b. Subjek pajak luar negeri sedangkan yang menjadi subjek pajak luar negeri adalah: 1 Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, ataupun berada di Indonesia namun tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. 2 Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, ataupun berada di Indonesia namun tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

3. Objek Pajak Penghasilan

Dalam peraturan perpajakan yang dimaksud dengan objek pajak yaitu sesuatu yang dapa dikenakan pajak. Objek PPh adalah penghasilan. Pengertian penghasilan menurut undang-undang PPh adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. 40 Dari mekanisme aliran pertambahan kemampuan ekonomis, penghasilan yang diterima oleh wajib pajak dapat dikategorikan atas empat sumber, yaitu: a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pekerjaan berdasarkan hubungan kerja dan pekerjaan bebas. b. Penghasilan dari usaha dan kegiatan c. Penghasilan dari modal d. Penghasilan lain-lain, seperti hadiah, pembebasan hutang dan lain sebagainya. Berdasarkan empat kategori di atas, sesuai dengan pasal 4 ayat 1 Undang- undang PPh telah diberikan uraian mengenai objek PPh antara lain: a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang PPh. b. Hadiah dari undian, pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan. c. Laba usaha. d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 40 Ibid., h.19 1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. 2. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota. 3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha. 4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh menteri keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. f. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian hutang. g. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. h. Royalti. i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. k. Keuntungan karena pembebasan hutang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. m. Selisish lebih karena penilaian kembali aktiva. n. Premi asuransi. o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, sepanjang iuran tersebut ditentukan berdasarkan volume kegiatan usaha atau pekerjaan bebas anggotanya. p. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

4. Tarif Wajib Pajak Badan

Sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2008, tarif PPh untuk WP Badan terdiri dari 3 tiga tarif, yaitu tarif sesuai Pasal 17 ayat 2a UU PPh, tarif sesuai Pasal 17 ayat 2b UU PPh, dan tarif sesuai Pasal 31E UU PPh. 41 a. Tarif Pasal 17 Ayat 2a UU PPh Besarnya tarif PPh adalah 25 dua puluh lima persen dan sudah diberlakukan sejak Tahun Pajak 2010. Tarif PPh ini adalah tarif umum yang berlaku 41 Ferry Aditama dan Anna Purwaningsh, “Pengaruh Perencanaan Pajak Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Non Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia” Jurnal, Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, h.7-8 bagi semua WP Badan, khususnya WP Badan yang tidak memenuhi syarat Pasal 17 ayat 2b maupun Pasal 31E UU PPh. b. Tarif Pasal 17 Ayat 2b UU PPh Bagi WP Badan berbentuk Perseroan Terbuka Tbk atau go public, mendapat pengurangan tarif sebesar 5 lima persen dari tarif normal atau dengan kata lain mulai Tahun Pajak 2010, tarif untuk WP Badan yang sudah go public adalah 20 dua puluh persen. WP Badan yang berhak mendapat penurunan atau pengurangan tarif PPh ini adalah WP Badan yang sudah go public dengan kriteria sebagai berikut: 1 Saham diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. 2 Jumlah saham yang dilempar ke publik minimal 40 empat puluh persen dari keseluruhan saham yang disetor dan saham tersebut dimiliki oleh minimal 300 pihak pemegang saham baik orang pribadi ataupun badan. 3 Masing-masing pihak pemegang saham hanya boleh memiliki saham kurang dari 5 lima persen dari keseluruhan saham yang disetor. Kondisi yang disebutkan pada kedua poin terakhir tersebut harus dipenuhi dalam jangka waktu paling singkat 6 enam bulan dalam jangka waktu 1 satu tahun pajak. Jika salah satu dari ketiga kriteria tersebut di atas tidak terpenuhi, maka WP Badan tersebut harus menggunakan tarif PPh yang ditetapkan dalam Pasal 17 ayat 2a UU PPh, yaitu sebesar 25 dua puluh lima persen. c. Tarif Pasal 31E UU PPh. Besarnya tarif PPh menurut pasal ini adalah 50 lima puluh persen dari tarif umum yang disebutkan pada Pasal 17 ayat 1 huruf b atau Pasal 17 ayat 2b UU PPh. Dengan kata lain, ada diskon tarif PPh sehingga tarif yang dikenakan kepada WP Badan yang memenuhi syarat hanya sebesar 14 untuk tahun pajak 2009 atau 12,5 mulai tahun pajak 2010. WP Badan yang berhak mendapatkan fasilitas ini adalah WP Badan yang jumlah peredaran brutonya dalam satu Tahun Pajak tidak lebih dari Rp 50 milyar. Cara penghitungannya dapat dilihat pada memori penjelasan Pasal 31E UU PPh. Menurut penegasan dalam poin 2.c. Surat Edaran SE Dirjen Pajak Nomor SE 66PJ.2010 tanggal 24 Mei 2010, yang dimaksud dengan ‘peredaran bruto’ adalah penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sebelum dikurangi dengan biaya fiskal.

F. Keterkaitan Antar Variabel dan Hipotesis Penelitian

1. Long Term Debt to Asset Ratio terhadap Pajak Penghasilan Badan Terutang Long Term Debt to Asset Ratio adalah rasio yang mengukur seberapa besar jumlah aktiva perusahaan dibiayai oleh hutang jangka panjang. Aktiva didanai dari dua sumber, yaitu dari investor dan kreditor. Penggunaan hutang oleh perusahaan akan menimbulkan biaya bunga yang harus dibayarkan secara periodik kepada kreditur atau investor obligasi. Peraturan perpajakan memperlakukan biaya bunga sebagai bagian dari biaya usaha. Oleh karena itu, semakin besar bunga hutang perusahaan maka pajak yang terutangnya akan menjadi lebih kecil karena bertambahnya unsur biaya usaha. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 6 ayat 1 a UU Nomor 17 tahun 2000 yang menyatakan bahwa biaya bunga dapat menjadi unsur pengurang penghasilan kena pajak. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Endah Nilam Rahmadani 2010 tentang pengaruh Long Term Debt to Asset Ratio terhadap Pajak Penghasilan Badan Terutang, menunjukkan semakin besar rasio Long Term Debt to Asset Ratio maka akan menurunkan jumlah Pajak Penghasilan Badan Terutang. Berdasarkan keterkaitan antar variabel Long Term Debt to Asset Ratio terhadap Pajak Penghasilan Badan Terutang maka hipotesis yang akan diajukan yaitu: H a1 : Long Term Debt to Asset Ratio berpengaruh signifikan terhadap Pajak Penghasilan Badan Terutang. 2. Debt to Equity Ratio terhadap Pajak Penghasilan Badan Terutang Debt to Equity Ratio adalah perbandingan rasio total hutang dengan ekuitas yang didefinisikan sebagai proporsi penggunaan total hutang dengan modal sendiri ekuitas dalam kebijakan struktur modal perusahaan. Semakin tinggi rasio berarti semakin rendah pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham. Peraturan Pajak Penghasilan PPh di Indonesia membedakan perlakuan biaya bunga pinjaman dengan pengeluaran deviden, bahwa bunga pinjaman dapat dikurangkan sebagai biaya Tax deductible sesuai Pasal 6 ayat 1 huruf a UU Nomor 17 tahun 2000 sedangkan pengeluaran deviden tidak dapat dikurangkan sebagai biaya Non-Tax deductible sesuai Pasal 9 ayat 1 huruf a UU Nomor 17 tahun 2000. Pendanaan yang dominan berasal dari hutang akan menimbulkan biaya berupa bunga hutang yang tinggi, yang tentunya hal ini akan berdampak pula pada besaran pajak perusahaan. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Endah Nilam Rahmadani 2010 tentang pengaruh Debt to Equity Ratio terhadap Pajak Penghasilan Badan Terutang yang menunjukkan hasil bahwa Debt to Equity Ratio berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan positif terhadap Pajak Penghasilan Badan Terutang. Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulianti tentang pengaruh Debt to Equity Ratio terhadap Pajak Penghasilan Badan Terutang yang menunjukkan bahwa Debt to Equity Ratio berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan negatif terhadap Pajak Penghasilan Badan Terutang, yang berarti semakin besar Debt to Equity Ratio maka akan menurunkan jumlah Pajak Penghasilan Badan Terutang. Berdasarkan keterkaitan antar variabel Debt to Equity Ratio terhadap Pajak Penghasilan Badan Terutang maka hipotesis yang akan diajukan yaitu: H a2 : Debt to Equity Ratio berpengaruh signifikan terhadap Pajak Penghasilan Badan Terutang. 3. Manajemen Laba terhadap Pajak Penghasilan Badan Terutang Manajemen laba adalah upaya untuk mengubah, menyembunyikan dan merekayasa angka-angka dalam laporan keuangan dengan memainkan metode dan prosedur akuntansi yang digunakan perusahaan. 42 . Perpajakan dapat menjadi motivasi bagi manajer untuk melakukan manajemen laba, yaitu dengan cara memperkecil taxable income dalam rangka mengurangi pajak. 43 Berbagai metode akuntansi digunakan pihak manajemen dalam rangka penghematan pajak. 44 Penelitian yang dilakukan oleh Chandra Yuliana 2011 menunjukkan hasil bahwa motivasi pajak mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba. Berdasarkan keterkaitan antar variabel Manajemen Laba terhadap Pajak Penghasilan Badan Terutang maka hipotesis yang akan diajukan yaitu: H a3 : Manajemen Laba berpengaruh signifikan terhadap Pajak Penghasilan Badan Terutang. 42 Sri Sulistyanto, Manajemen Laba - Teori dan Model Empiris Jakarta: PT. Grasindo, 2008, h.15 43 William R Scoot, Financial Accounting Theory 2nd Edition. Scarrborough Ontario: Prentice Hall Canada Inc, 2000, h.361 44 Ibid., h.359 55

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-analitis dengan pendekatan kuantitatif. Deskristif-analitis adalah analisis yang ditujukan untuk menguji hipotesis-hipotesis dan mengadakan interpretasi yang lebih dalam tentang hubungan-hubungan, sedangkan jenis penelitiannya adalah deskriptif dan verifikatif. 1 Penelitian deskriptif dilakukan untuk mengetahui variasi besaran tingkat struktur modal, manajemen laba dan pajak penghasilan badan terutang pada perusahaan yang bergerak di sektor property dan real estate yang tergolong sebagai emiten yang mengeluarkan Daftar Efek Syariah DES periode pelaporan keuangan tahun 2013-2014. Sedangkan penelitian verifikatif dilakukan untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah, yaitu bagaimana pengaruh struktur modal Long Term Debt to Assets Ratio Debt to Equity Ratio dan manajemen laba secara parsial maupun secara simultan terhadap pajak penghasilan badan terutang perusahaan yang tergolong emiten syariah sektor properti dan real estate periode 2013-2014 berturut-turut. 1 Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Cetakan Kelima Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999, h.105

B. Metode Penentuan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan penerbit saham syariah pada sektor property dan real estate yang termasuk dalam Indeks Saham Syariah Indonesia ISSI di Bursa Efek Indonesia BEI periode tahun 2013-2014. Sampel penelitian ditarik menggunakan teknik non-probability sampling atau penarikan sampel secara tak acak dengan prosedur judgment purposive sampling. Kriteria penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Perusahaan penerbit Daftar Efek Syariah pada sektor property dan real estate di Bursa Efek Indonesia Periode 2013-2014. 2. Perusahaan konsisten termasuk dalam kategori penerbit Daftar Efek Syariah selama periode penelitian tahun 2013-2014 sesuai surat keputusan yang diterbitkan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan tentang Daftar Efek syariah. 3. Perusahan sampel menerbitkan laporan keuangannya secara lengkap beserta data yang dibutuhkan penulis selama periode penelitian tahun 2013-2014 dan bisa diakses melalui website www.idx.co.id Bursa Efek Indonesia. Tabel 3.1 Kriteria Pemilihan Sampel Keterangan Jumlah Perusahaan penerbit Daftar Efek Syariah DES sektor property dan real estate di Bursa Efek Indonesia BEI tahun 2013-2014. 45  Pelanggaran Kriteria 1 Perusahaan tidak konsisten termasuk dalam kategori penerbit Daftar Efek Syariah selama periode penelitian tahun 2013-2014 sesuai surat keputusan yang diterbitkan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan tentang Daftar Efek syariah. 7  Pelanggaran Kriteria 2 Perusahan sampel menerbitkan laporan keuangannya secara lengkap beserta data yang dibutuhkan penulis selama periode penelitian tahun 2013-2014 dan bisa diakses melalui website www.idx.co.id Bursa Efek Indonesia. 6 Jumlah Sampel Terseleksi yang Digunakan 32 Sumber: Data diolah penulis, 2015. Berdasarkan kriteria penentuan sampel tersebut, diperoleh data sebagai berikut:

Dokumen yang terkait

Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Real Estate Dan Properti Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

4 102 103

Analisis Pengaruh Kinerja Perusahaan Dan Kinerja Pasar Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Real Estate Dan Property Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 35 89

Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Fundamental Terhadap Harga Saham Perusahaan Real Estate Dan Property Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

3 50 111

Pengaruh Karakteristik Spesifik Perusahaan Terhadap Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan Perusahaan Real Estate Dan Properti Di Bursa Efek Indonesia

0 30 88

Pengaruh Rasio Keuangan Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Real Estate Dan Properti Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia 2008-2011

0 43 88

PENGARUH KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, STRUKTUR MODAL, DAN UKURAN PERUSAHAAN TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi pada Sektor Property dan Real Estate yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)

1 25 1

Fakto-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal Pada Perusahaan Sektor Property, Real Estate, dan Konstruksi di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2013

8 88 134

PENGARUH STRUKTUR AKTIVA DAN PROFITABILITAS TERHADAP STRUKTUR MODAL Pengaruh Struktur Aktiva dan Profitabilitas terhadap Struktur Modal (Studi pada Perusahaan Real Estate dan Property di Bursa Efek Indonesia Tahun 2013).

0 2 16

PENGARUH STRUKTUR AKTIVA DAN PROFITABILITAS TERHADAP STRUKTUR MODAL Pengaruh Struktur Aktiva dan Profitabilitas terhadap Struktur Modal (Studi pada Perusahaan Real Estate dan Property di Bursa Efek Indonesia Tahun 2013).

1 3 15

PENDAHULUAN Pengaruh Struktur Aktiva dan Profitabilitas terhadap Struktur Modal (Studi pada Perusahaan Real Estate dan Property di Bursa Efek Indonesia Tahun 2013).

1 5 7