mendekati target losses dimana rata-rata OLWB di fiber dan broken nut adalah 3,95 dan 6,91 .
6.2. Pembahasan Hasil
Berdasarkan hasil analisis secara keseluruhan terhadap hasil pengukuran respon OLWB di fiber dan broken nut selama melakukan percobaan, maka dapat
disimpulkan bahwa penerapan EVOP yang telah dilakukan selama dua fase dan dua siklus dengan menggunakan desain 2
2
faktorial yang melibatkan faktor seperti tekanan konus dan kecepatan screw, belumlah cukup untuk menunjukkan arah
perubahan kondisi operasi di mesin screw press guna untuk menemukan kondisi optimum operasi. Oleh karena itu, perlunya dilakukan pembahasan terhadap hasil
yang sudah dicapai selama menerapkan EVOP pada proses pengepresan agar dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menerapkan EVOP di masa yang akan
datang. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan terjadinya situasi diatas
yakni pertama, dasar penentuan lokasi titik acuan di dalam merencanakan desain EVOP setiap fase tidak mencerminkan konsep EVOP. Sebagaimana telah
diketahui bahwa di dalam konsep EVOP, dalam merencanakan setiap fase baru akan memerlukan satu kondisi terbaik saat ini yang baru sampai pada fase
tertentu. Fase baru tersebut didasarkan pada hasil dari fase sebelumnya. Pergerakan kondisi terbaik dari fase ke fase akan membentuk suatu set kondisi
terbaik dan haruslah dibandingkan hasilnya. Jika menjalankan produksi dibawah
kondisi ini maka akan mengumpulkan cukup banyak informasi mengenai efek perubahan level variabel tersebut pada produk yang sedang dikerjakan sedangkan
pada pelaksanaannya konsep ini tidak dilakukan. Untuk menggambarkan ide dari alokasi titik acuan tersebut dapat dilihat Gambar 6.11.
4
1 2
Kecepatan Screw rpm Tekanan Konus bar
Fase 2
75
70
65
60
55 8
10 12
14 16
: Fase 1- Kondisi terbaik saat ini termasuk dalam sudut desain : Fase 2- Kondisi terbaik saat ini termasuk dalam sudut desain
: Dapat menjadi Fase 2- Kondisi terbaik saat ini diikutkan sebagai titik pusat desain fase baru
4
3 1
Fase 1
4 2
3 1
Dapat menjadi Fase 2
3 1
4 2
Dapat menjadi Fase 1
: Dapat menjadi Fase 1- Kondisi terbaik saat ini diikutkan sebagai titik pusat desain
: Kondisi terbaik Keterangan :
Gambar 6.11. Penentuan Alokasi Titik Acuan
Dari Gambar 6.11 dapat dilihat perbedaan penentuan alokasi titik acuan antara pelaksanaan dan konsep EVOP. Pada situasi pelaksanaan, penentuan
alokasi titik acuan dalam merencanakan desain EVOP fase 1 didasarkan pada
pemenuhan keinginan pihak manajemen untuk mendapatkan informasi mengenai efektivitas dari kebijakan operasional yang telah dilakukan selama ini dalam
meminimisasi broken nut seperti melakukan perubahan level kecepatan screw dari 11 rpm menjadi 13 rpm serta menaikkan life span dari komponen worm
screw. Hal inilah yang menetapkan bahwa informasi arah perubahan kondisi operasi telah tersedia maka kondisi terbaik saat ini diikutkan dalam sudut desain.
Akan tetapi dari hasil analisis terhadap desain EVOP fase 1 menunjukkan bahwa penetapan titik acuan ini tidak cukup banyak memberikan informasi arah
perubahan kondisi operasi dikarenakan informasi yang didapat hanyalah membuktikan bahwa perubahan level kecepatan screw dari 11 rpm menjadi 13
rpm merupakan tindakan yang tepat dalam meminimisasi broken nut. Sedangkan bila kondisi operasi terbaik saat ini diikutkan di pusat desain tentunya
akan memungkinkan untuk memperoleh informasi yang cukup banyak dalam optimisasi variabel respon. Hal yang sama juga ditemukan pada perencanaan
desain EVOP fase 2 dimana kondisi terbaik yang dihasilkan setelah menjalankan desain EVOP fase 1 tidak dijadikan titik acuan didalam desain EVOP fase 2
melainkan tetap menggunakan kondisi terbaik saat ini pada desain EVOP fase 1 sebagai titik acuan dari desain EVOP fase 2. Hal ini tidaklah mencerminkan
konsep EVOP dalam penentuan titik acuan. Kedua, ketidakkonsistenan informasi yang diperoleh berkenaan dengan
efek interaksi antar faktor dimana efek tersebut hanya signifikan saat menjalankan desain EVOP fase 1 dalam proses sehingga membuat perlunya melakukan
penelusuran terhadap potensi penyebab terjadinya hal tersebut. Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan terhadap kemungkinan yang berpotensi menyebabkan
terjadinya hal ini adalah tidak terjadinya proses pengepresan secara sempurna yang disebabkan oleh ketidakstabilan keragaman ukuran biji baik untuk varietas
tenera dan dura. Ketidakstabilan ini akan membuat volume massa pressing yang mengisi celah antara worm screw dan press cage tidak terisi secara maksimal atau
dengan kata lain tingkat kepadatan dari massa pressing berkurang saat proses pengepresan berlangsung. Kemungkinan terjadinya situasi ini akan semakin besar
bila melihat kondisi perusahaan yang mendapatkan sebagian besar pasokan bahan baku dari perkebunan rakyat dimana tidak terjadi perjanjian kontrak antara
perusahaan dan pemasok yang membuat sulitnya melakukan penyuluhan dan koordinasi dalam hal peningkatan kualitas bahan baku.
Adanya potensi terjadi ketidakstabilan keragaman ukuran biji akan membuat perubahan kondisi operasi pada mesin screw press seperti tekanan
konus dan kecepatan screw tidak secara langsung mempengaruhi oil loss wet basis OLWB di fiber, oil loss di nut, dan broken nut atau dengan kata lain
keragaman ukuran biji merupakan variabel intervening. Untuk itu, melakukan pengukuran terhadap dimensi aksial biji dalam setiap pengujian sampel press cake
akan sangat membantu dalam mereduksi ataupun menghilangkan variabel yang tidak terkontrol saat menerapkan EVOP di masa yang akan datang. Pengukuran
dimensi aksial biji dapat saja meliputi panjang, lebar, tinggi, mean geometrik diameter, proporsi kebulatan, dan ketebalan cangkang. Selain itu, manfaat lain
juga diperoleh bila melakukan analisis terhadap keragaman ukuran biji dimana sangat membantu dalam memberikan informasi mengenai nilai kritis dari tekanan
konus yang dapat diterapkan pada mesin screw press dalam upaya penurunan broken nut yang terjadi di unit pengepresan. Dari hasil identifikasi di lapangan
juga diperoleh bahwa penerapan tekanan konus di mesin screw press yang terlalu tinggi akan mengakibatkan celah yang terbentuk antara adjusting cone dan press
cage akan semakin sempit. Bila celah ini lebih kecil dibandingkan dengan rata- rata diameter biji pada massa pressing maka akan sangat berpotensi memberikan
respon broken nut yang semakin tinggi lihat Gambar 6.12. Dari Gambar 6.12 dapat dijelaskan bahwa melakukan pengaturan
terhadap tekanan konus berarti melakukan pengaturan terhadap posisi dari adjusting cone. Bila tekanan konus yang diterapkan semakin rendah maka posisi
dari adjusting cone akan semakin menjauhi press cage. Bila hal ini terjadi maka celah yang terbentuk antara adjusting cone dan press cage akan semakin besar.
Hal ini telah diperlihatkan pada bagian Gambar 6.12 yang ditunjukkan dengan simbol l celah. Kelebaran celah ini juga mempengaruhi kecepatan aliran press
cake yang keluar dari mesin screw press. Bila celah yang terbentuk semakin besar maka kecepatan aliran press cake akan semakin rendah tentunya ini sangat
berpotensi memberikan respon positif oil loss di fiber maksimisasi OLWB di fiber.
l l
l
9 8
7 6
5 4
2 1
3
1. WORM SCREW 2. TIE ROD
3. PRESS CAGE 4. CAST IRON BUSH
5. WORM LENGTHENING 6. ADJUSTING CONE
7. CONE GUIDE 8. STABILISER WITH PRESSURE INDICATOR
9. LOCK NUT
SECTIONAL ELEVATION
Gambar 6.12. Perakitan Worm Screw, Press Cage, dan Lengthening Shaft
Maka dari itu, bila ingin melakukan penerapan program EVOP di masa yang akan datang sangatlah diharapkan tidak mengabaikan pengaruh keragaman ukuran biji
untuk menentukan kondisi optimum operasi mesin screw press. Disamping dari hal-hal yang telah dibahas diatas ketidakstabilan juga terjadi
pada proses pengepresan di mesin 2 dan mesin 5 selama periode Agustus dan Oktober 2010. Penyebab potensial terjadinya hal tersebut adalah keausan yang terjadi pada
komponen worm screw sudah cukup besar yang mengakibatkan proses pengepresan tidak terjadi secara sempurna, kesalahan teknisi dalam hal merakit kembali komponen
mesin screw press seperti worm screw, press cage, dan lengthening shaft pada saat kegiatan commisioning mengakibatkan terganggunya sistem interlocking pada saat
proses pengepresan berlangsung, injeksi steam dari BPV yang tidak konstan, sikronisasi antara laju Fruit Conv dan frekuensi adukan digester tidak tercapai, dan waktu
perebusan yang berubah-ubah akan mengakibatkan variasi kualitas massa digesting dan pressing menjadi tidak stabil. Untuk mengatasi permasalahan ini pihak manajemen
perlunya melakukan beberapa tindakan korektif yakni pertama, melakukan pengantian komponen worm screw secara berkala ataupun mengembangkan condition based
maintenance CBM. Kedua, melakukan pengawasan dan memberikan pelatihan kepada operatorteknisi arti pentingnya displin dan ketelitian saat bekerja. Ketiga, melakukan
koordinasi dengan pihak dept. Power Plant.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan