36
c.7. Keberadaan Perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain
Carbon Monoksida CO, Polycyclic Aromatic Hydrocarbons PAHs dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti 2003, secara keseluruhan
prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia adalah sebesar 48,9 atau 97.560.002 penduduk. Prevalensi perokok pasif pada laki-laki 32,67 atau
31.879.188 penduduk dan pada perempuan 67,33 atau 65.680.814 penduduk. Sedangkan prevalensi perokok aktif pada laki-laki umur 10 tahun ke atas adalah
sebesar 54,5, pada perempuan 1,2. Prevalensi perokok pasif pada balita sebesar 69,5, pada kelompok umur 5-9
tahun sebesar 70,6 dan kelompok umur muda 10-14 tahun sebesar 70,5. Tingginya prevalensi perokok pasif pada balita dan umur muda disebabkan karena
mereka masih tinggal serumah dengan orang tua ataupun saudaranya yang merokok dalam rumah.
34
Berdasarkan hasil penelitian Syahril 2006, dari hasil uji statistik diperoleh nilai OR = 2,7 CI 95; 1.481 – 4.751 artinya anak balita yang menderita
pneumonia risikonya 2,7 kali lebih besar pada anak balita yang terpapar asap rokok dibandingkan dengan yang tidak terpapar.
28
c.8. Status Ekonomi dan Pendidikan
Persepsi masyarakat mengenai keadaan sehat dan sakit berbeda dari satu individu dengan individu lainnya. Bagi seseorang yang sakit, persepsi terhadap
penyakitnya merupakan hal yang penting dalam menangani penyakit tersebut. Untuk
Universitas Sumatera Utara
37 bayi dan anak balita persepsi ibu sangat menentukan tindakan pengobatan yang akan
diterima oleh anaknya.
6
Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk 2001, didapatkan bahwa bila rasio pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total perbulan bertambah besar, maka
jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke dukun ketika sakit lebih banyak. Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa ibu dengan status ekonomi tinggi 1,8
kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan ibu yang status ekonominya rendah.
6
Ibu dengan pendidikan lebih tinggi, akan lebih banyak membawa anak berobat ke fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih banyak
mengobati sendiri ketika anak sakit ataupun berobat ke dukun. Ibu yang berpendidikan minimal tamat SLTP 2,2 kali lebih banyak membawa anaknya ke
pelayanan kesehatan ketika sakit dibandingkan dengan ibu yang tidak bersekolah, hal ini disebabkan karena ibu yang tamat SLTP ke atas lebih mengenal gejala penyakit
yang diderita oleh balitanya.
6
2.8. Pencegahan Penyakit ISPA
Penyelenggaraan Program P2 ISPA dititikberatkan pada penemuan dan pengobatan penderita sedini mungkin dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat
terutama kader, dengan dukungan pelayanan kesehatan dan rujukan secara terpadu di sarana kesehatan yang terkait
.
Universitas Sumatera Utara
38
2.8.1. Pencegahan Tingkat Pertama Primary Prevention
Intervensi yang ditujukan bagi pencegahan faktor risiko dapat dianggap sebagai strategi untuk mengurangi kesakitan insiden pneumonia. Termasuk disini
ialah : a. Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan
dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan faktor resiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa
penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan
rumah, penyuluhan bahaya rokok. b. Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka
kesakitan insiden pneumonia. c. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi vitamin A.
d. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah. e. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman PLP yang menangani masalah
polusi di dalam maupun di luar rumah.
35
2.8.2. Pencegahan Tingkat Kedua Secondary Prevention
Upaya penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan sedini mungkin. Upaya pengobatan yang dilakukan dibedakan atas klasifikasi ISPA yaitu :
a. Untuk kelompok umur 2 bulan, pengobatannya meliputi : a.1. Pneumonia Berat: rawat dirumah sakit, beri oksigen jika anak mengalami
sianosi sentral, tidak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada yang
Universitas Sumatera Utara
39 hebat, terapi antibiotik dengan memberikan benzilpenisilin dan gentamisin atau
kanamisin. a.2 Bukan Pneumonia: terapi antibiotik sebaiknya tidak diberikan, nasihati ibu
untuk menjaga agar bayi tetap hangat, memberi ASI secara sering, dan bersihkan sumbatan pada hidung jika sumbatan itu menggangu saat memberi
makan. b. Untuk kelompok umur 2 bulan - 5 tahun, pengobatannya meliputi :
b.1 Pneumonia Sangat Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik dengan memberikan kloramfenikol secara intramuskular setiap 6 jam.
Apabila pada anak terjadi perbaikan biasanya setelah 3-5 hari, pemberiannya diubah menjadi kloramfenikol oral, obati demam, obati mengi, perawatan
suportif, hati-hati dengan pemberian terapi cairan, nilai ulang dua kali sehari. b.2
Pneumonia Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik dengan memberikan benzilpenesilin secara intramuskular setiap 6 jam paling
sedikit selama 3 hari, obati demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati pada pemberian terapi cairan, nilai ulang setiap hari.
b.3 Pneumonia: obati di rumah, terapi antibiotik dengan memberikan kotrimoksasol, ampisilin, amoksilin oral, atau suntikan penisilin prokain
intramuskular per hari, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah, obati demam, obati mengi, nilai ulang setelah 2 hari.
b.4. Bukan Pneumonia batuk atau pilek: obati di rumah, terapi antibiotik sebaiknya tidak diberikan, terapi spesifik lain untuk batuk dan pilek, obati demam,
nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah.
Universitas Sumatera Utara
40 b.5. Pneumonia Persisten: rawat tetap opname, terapi antibiotik dengan
memberikan kotrimoksasol dosis tinggi untuk mengobati kemungkinan adanya infeksi pneumokistik, perawatan suportif, penilaian ulang.
3
2.8.3. Pencegahan Tingkat Ketiga Tertiary Prevention
Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita penderita ISPA agar tidak bertambah parah dan mengakibatkan kematian.
a. Pneumonia Sangat Berat: jika anak semakin memburuk setelah pemberian kloram fenikol selama 48 jam, periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloksasilin
ditambah gentamisin jika diduga suatu pneumonia stafilokokus. b. Pneumonia Berat: jika anak tidak membaik setelah pemberian benzilpenisilin
dalam 48 jam atau kondisinya memburuk setelah pemberian benzipenisilin kemudian periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloramfenikol. Jika anak
masih menunjukkan tanda pneumonia setelah 10 hari pengobatan antibiotik maka cari penyebab pneumonia persistensi.
c. Pneumonia: Coba untuk melihat kembali anak setelah 2 hari dan periksa adanya tanda-tanda perbaikan pernafasan lebih lambat, demam berkurang, nafsu makan
membaik. Nilai kembali dan kemudian putuskan jika anak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada atau tanda penyakit sangat berat maka lakukan kegiatan
ini yaitu rawat, obati sebagai pneumonia berat atau pneumonia sangat berat. Jika anak tidak membaik sama sekali tetapi tidak terdapat tanda pneumonia berat atau
tanda lain penyakit sangat berat, maka ganti antibiotik dan pantau secara ketat.
3
Universitas Sumatera Utara
41
2.9. Penanganan Penyakit ISPA
Hampir seluruh kematian karena ISPA pada anak kecil disebabkan oleh ISPbA, paling sering adalah pneumonia. Bayi baru lahir dan bayi berusia satu bulan
atau disebut ’bayi muda’ yang menderita pneumonia dapat tidak mengalami batuk dan frekuensi pernfasannya secara normal sering melebihi 50 kali permenit. Infeksi
bakteri pada kelompok usia ini dapat hanya menampakkan tanda klinis yang spesifik, sehingga sulit untuk membedakan pneumonia dari sepsis dan meningitis. Infeksi ini
dapat cepat fatal pada bayi muda yang telah diobati dengan sebaik-baiknya di rumah sakit dengan antibiotik parenteral.
Cara yang paling efektif untuk mengurangi angka kematian karena pneumonia adalah dengan memperbaiki manajemen kasus dan memastikan adanya penyediaan
antibiotik yang tepat secara teratur melalui fasilitas perawatan tingkat pertama dokter praktik umum. Langkah selanjutnya untuk mengurangi angka kematian karena
pneumonia dapat dicapai dengan menyediakan perawatan rujukan untuk anak yang mengalami ISPbA berat memerlukan oksigen, antibiotik lini II, serta keahlian klinis
yang lebih hebat.
3
Universitas Sumatera Utara
42
BAB 3 KERANGKA KONSEP
3.1. Kerangka Konsep
FAKTOR BALITA
1. Umur Balita 2. Jenis Kelamin Balita
3. Status Gizi Balita 4. Berat Badan Lahir
5. Status ASI Eksklusif 6. Status Imunisasi
FAKTOR IBU
1. Umur Ibu 2. Pendidikan Ibu
3. Pekerjaan Ibu 4. Pendapatan Keluarga
FAKTOR LINGKUNGAN RUMAH
1. Kelembaban Ruangan 2. Suhu Ruangan
3. Ventilasi Rumah 4. Kepadatan Hunian Rumah
5. Pemakaian Anti Nyamuk 6. Bahan Bakar Untuk Memasak
7. Keberadaan Perokok
KEJADIAN ISPA PADA
BALITA
Universitas Sumatera Utara