Interaksi Sosial Yang Dilakukan Buruh Gendong di Pasar Giwangan
105 endong-endong sebagai berikut, seperti yang diungkapkan oleh Ibu “SMR”
selaku buruh gendong di bagian sayur sebagai berikut: “ya karena disini kita kerjanya hanya mburuh mbak, dan tujuan kita
kerja juga untuk mencari sandang dan pangan. Kita juga saling bekerjasama misal ketika ada teman yang pas gendong gak bisa
menaikkan barang dagangan ya kita bantu, kalau ada barang dagangan yang jatuh pas digendong ya kita bantu mengambilkannya
gitu mbak”
Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Ibu “JMN” selaku buruh gendong yang paling lama bekerja sebagai berikut:
“ya kita saling membantu mbak, wong kita disini juga sama-sama mburuh tau keadaane gimana jadi wong cilik. Misal ada teman yang
pas gendong gak bisa menaikkan ya kita bantu, kita juga terkadang berbagi gendongan mbak dengan teman-teman yang belum sama
sekali mendapatkan barang gendongan terutama kepada buruh gendong yang sudah sepuh kasihan mbak. Geh itung-itung juga
berbagi rezeki. Dan sudah biasa mbak kalau ada teman yang gendonganya jatuh geh kita bantu”
Selain kerjasama yang dilakukan secara personal atau individu oleh buruh gendong terhadap buruh gendong lainnya, mereka juga bekerjasama
dalam kelompok. Banyak buruh gendong terutama yang dibagian buah yang melakukan kerjanya secara berkelompok. Anggota kelompok ini
disesuaikan dengan lokasi kerja atau tempat mangkal antar endong-endong. Wilayah atau tempat mangkal biasanya dimulai dari proses awalnya seorang
memasuki wilyah tertentu dan disitulah seterusnya seorang endong-endong akan menempatinya. Apabila ada endong-endong baru yang akan bergabung
dalam wilayah yang sama, terlebih dahulu harus mendapatkan “rekomendasi” dari endong-endong lain yang sebelumnya telah menempati
wilayah tersebut. Dari proses pertemanan dengan adanya “rekomendasi”
106 atau “tarikan” dari endong-endong lama tersebut, maka sebagian besar
penghuni yang mangkal dalam satu wilayah biasanya mempunyai hubungan kekeluargaan atau hubungan keluarga ataupun hubungan sosial yang terjadi
di suatu wilayah tempat mangkal ini, maka kekompakan antar endong- endong jelas terlihat, sehingga “ngobrol” dan “guyonan” bersama di saat-
saat menunggu barang gendongan merupakan pemandangan yang selalu nampak sehari-harinya.
Biasanya mereka berkelompok sekitar dua sampai enam orang buruh dimana mereka kerjanya menggendong barang dagangan dibagian bongkar
muat dan menyortir buah-buahan secara berkelompok. Pada umumnya untuk mereka yang bekerja secara tim kelompok mereka sudah
mempunyai pelanggan. Sistem kerjanya endong-endong bersama tim kelompok nya memborong muatan, sementara upah yang akan diterima
oleh endong-endong bagiannya sama rata. Seperti yang dituturkan oleh Ibu “TMR” sebagai berikut :
“ kerjasama yang dilakukan dalam tim kelompok saat bekerja ya nanti kalau ada buruh gendong yang mendapatkan barang bongkaran
atau mengeses buah ya kita kerjakan bersama-sama tim kelompok mbak, saat bekerja biasanya ada salah satu dari endong-endong yang
masuk kedalam pick-up untuk menggeser barang-barang ke bibir pintu mobil untuk kemudian di pindahkan ke punggung endong-
endong lain” Buruh gendong di pasar Giwangan dalam aktivitasnya tidak hanya
bekerjasama dengan sesama buruh gendong di pasar, namun juga bekerjasama dengan para pedagang di pasar Giwangan. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Ibu “JMN” sebagai berikut :
107 “ya disini saya kan kerjanya hanya buruh mbak jadi hubungan sama
pedagang disini ya baik-baik, saling kerjasama mbak. Nanti kalau gak ada kerjasama, gotong royong saya gak mendapatkan
gendongan, begitu juga pedagange mbak nek gak ada kerjasama dengan buruh gendong geh kerjaannya gak akan selesai. Siapa yang
mau membantu menggendongkan dagangannya atau kulakannya”
Hubungan mutualisme juga terjadi antara endong-endong dengan pedagang di Pasar Giwangan. Buruh gendong di pasar bekerjasama dengan
para pedagang dalam hal membantu menyelesaikan pekerjaan pedagang seperti menggendongkan barang dagangan, menyortir buah-buahan,
nguntingi sayur-mayur. Sebaliknya, pedagang bekerjasama dengan endong- endong untuk memberikan mereka pekerjaan atau gendongan sehingga
endong-endong dapat menghasilkan uang. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Ibu “SNH” seperti dibawah ini :
“Pekerjaan saya dapat cepat terselesaikan karena ada buruh gendong di pasar mbak, bisa meringankan pekerjaan saya dan cukup
membantulah mbak dengan adanya buruh gendong”
Berdasarkan keterangan di atas jelas bahwa perilaku para endong- endong di Pasar Giwangan baik terhadap antar sesama pekerja endong-
endong maupun dengan pedagang terwujud dalam bidang sosial ekonomi yang ditunjukkan dalam sikap saling membantu, tolong menolong dalam
kegiatan atau aktivitas perekonomian di Pasar. 2
Akomodasi Dalam interaksi sosial para buruh gendong di Pasar Giwangan
Yogyakarta tentunya banyak diwarnai dengan berbagai macam interkasi yang bersifat positif dan bersifat negatif. Interaksi sosial yang positif dapat
mengarah dalam bentuk kerjasama sedangkan interaksi negatif dapat
108 mengarah pada pertentangan atau persaingan. Hidup bersama tidak selalu
lurus tanpa gangguan, tetapi juga diwarnai dengan persaingan yang pada akhirnya akan menimbulkan pertentangan atau pertikaian di masyarakat
karena pandangan hidup dan cara berpikir manusia yang berbeda-beda. Perselisihan antar endong-endong di Pasar Giwangan Yogyakarta paling
sering terjadi di bagian sayur-mayur dari pada di bagian buah-buahan. Ketika interaksi sosial menghasilkan hal yang negatif, maka perlu
melibatkan endong-endong untuk meredakan ketegangan-ketegangan yang terjadi diantara mereka dengan akomodasi.
Bentuk akomodasi yang dilakukan adalah dengan cara arbitration, yaitu dilakukan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak.
Penyelesainnya yaitu dengan cara para buruh gendong ini dikumpulkan di shelter milik Yasanti yang berada di sebelah timur pasar Giwangan untuk
dicarikan solusi atau jalan keluar dengan dibantu oleh pengurus dari Yasanti. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu “UMA”
“ya namanya juga mencari rejeki di pasar mbak sebagaimana lazimnya karakter pasar yang keras, tak banyak endong-endong
penuh dengan persaingan dalam mencari barang gendongan sehingga menimbulkan pertentangan. Jika nanti sampai pada masalah yang
besar, nanti para endong-endong ini kita kumpulkan untuk kita beri pengarahan”
Usaha selanjutnya yang di adakan oleh Yasanti adalah dengan
adanya kumpulan antar buruh gendong yang ada di Pasar Giwangan yang dinamakan dengan paguyuban “Sayuk Rukun”. Kumpulan tersebut selain
untuk mempererat tali silaturahmi sekaligus untuk penyuluhan dari pengurus Yasanti yang selama ini telah mendampingi para endong-
109 endongtentang bagaimana bekerja yang baik, serta memberikan pelbagai
aktivitas ketrampilan untuk peningkatan ekonomi serta pembinaan mental rohani anggota paguyuban ini dan penyadaran hak-hak perempuan. Hal
serupa juga dikemukakan oleh Ibu “UMA”, selaku pengurus Yasanti yang mendampingi paguyuban di Pasar Giwangan Yogyakarta :
“Dulu kami melakukan untuk mengadakan kumpulan para endong- endong di lapak pasar bagian timur yang tidak dipakai untuk
berdagang untuk memberikan penyuluhan tentang bagaimana bekerja yang baik, penyadaran hak-hak perempuan pekerja, cara
memperlakukan pengguna jasa, Jika ada konflik kami sebatas mendamaikan dan memberikan solusi saja”
Berdasarkan keterangan data diatas nampak bahwa akomodasi yang
ada dalam kehidupan interaksi sosial antar endong-endong di pasar Giwangan Yogyakarta sudah berjalan dengan baik yaitu dengan adanya
peran aktif dari para aktivis yang peduli dengan keberadaan buruh gendong untuk memberikan penyuluhan-penyuluhan dan meredakan perselisihan
yang terjadi akomodasi. Hal ini terjadi juga berkat adanya kerjasama yang sangat baik dari endong-endong dan semua pihak yang berhubungan
langsung dengan pedagang. 3
Asimilasi Asimilasi merupakan hasil dari akomodasi yang lebih lanjut yaitu
dengan adanya usaha-usaha dan kesadaran dari para endong-endong dan pedagang untuk mengurangi perbedaan-perbedaan seperti pandangan hidup,
cara berpikir dan keadaan sosial ekonomi. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara terlihat bahwa para
endong-endong dan para pedagang di pasar Giwangan Yogyakarta untuk
110 dapat mengurangi atau menghindari pertentangan yang terjadi di antara
endong-endong dan pedagang karena mereka juga menyadari bahwa mereka adalah teman seprofesi yang sama-sama bekerja menjadi buruh gendong
untuk mencari nafkah di Pasar Giwangan Yogyakarta. Dan dalam hubungannya dengan pedagang endong-endong berusaha untuk
menghindari karena mereka mengganggap bahwa hubungan dengan pedagang bersifat buruh dan juragan. Hal ini ditandai dengan seringnya
mereka yang mengungkapkan bahwa mereka bekerja pada pedagang dan yang memberi pekerjaan gendongan dari pedagang. Selain itu mereka juga
menyadari berasal dari desa yang sama dan masih mempunyai hubungan kekerabatan sehingga tidak perlu untuk saling menonjolkan, ingin menang
sendiri, ingin berkuasa, meremehkan endong-endong yang lainya. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Ibu “JMN” sebagai berikut :
“endong-endong disini menyikapi persaingan dan perbedaan barang gendongan ya dengan biasa saja mbak, namanya juga sama-sama
mencari nafkah dan penghasilan. Kalau ada masalah ya paling nanti sekedar adu mulut, habis itu biasa lagi, sudah ya sudah kembali ke
keadaan semula. Kalau dengan pedagang juga sudah biasa mbak kalau mendapatkan marah di bentak-bentak ya diterima aja wong
kita juga cuman mburuh”
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, terlihat bahwa proses asimilasi sebagai hasil tindak lanjut dari proses akomodasi para endong-
endong dan para pedagang di pasar Giwangan Yogyakarta sudah berjalan dengan sangat baik dengan mengurangi pertentangan yang terjadi diantara
mereka. Pola interaksi sosial yang berdasarkan pada kedekatan emosional yang saling menguntungkan antara endong-endong dengan pedagang yang
111 lainnya, keduanya sama-sama saling menjaga keharmonisan dan keselarasan
dalam hubungan sosial yang mereka bangun.
b.
Pola Disosiatif Proses disosiatif merupakan bentuk interaksi sosial yang cenderung
menimbulkan konflik. Bentuk interaksi sosial disosiatif adalah persaingan, kontravensi, dan pertentangan pertikaian atau konflik. Soerjono
Soekamto, 2010:125.Adapun bentuk interaksi sosial disosiatif yang terjadi dalam kehidupan sosial endong-endong di Pasar Giwangan Yogyakarta
yaitu berupa persaingan dan konflik. 1
Persaingan Persaingan merupakan bentuk interaksi sosial yang bersifat
disosiatif, yaitu suatu perjuangan melawan seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. Persaingan adalah suatu perjuangan
dari pihak-pihak untuk mecapai suatu tujuan tertentu. Persaingan dapat terjadi dalam segala bidang kehidupan manusia, misalnya bidang ekonomi
dalam pelayanan jasa, perdagangan, kedudukan, kekuasaan dan lain sebagainya.
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, para endong-endong di Pasar Giwangan Yogyakarta melakukan persaingan. Persaingan terjadi antar
sesama endong-endong lainnya. Para endong-endong di pasar buah dan sayur Giwangan Yogyakarta bertemu dan berinteraksi setiap hari. Karena
pada dasarnya pasar adalah tempat orang bersaing. Persaingan yang terjadi adalah persaingan untuk mendapatkan barang gendongan. Dengan
112 meningkatnya jumlah endong-endong di pasar Giwangan Yogyakarta
banyak endong-endong baru yang masih muda dan fisiknya lebih kuat, persaingan semakin ketat, hingga sering terjadi perselisihan karena
berebutan barang gendongan. Ketika pemasok supplyer barang dagangan datang, biasanya para endong-endong langsung berebutan aktif menawarkan
jasa, mengejar kendaraan yang membawa barang dagangan dan berdesak- desakan memperebutkan barang gendongan. Jika ada endong-endong yang
berhasil menarik pedagang untuk menggunakan jasanya, hal ini bisa menimbulkan sikap iri dari para endong-endong lainnya yang belum
mendapatkan gendongan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu “SMR” sebagai berikut :
“bentuk persaingan yang terjadi di pasar adalah saingan mendapatkan barang gendongan. Saya sendiri sering jengkel karena
kadang barang yang harusnya saya gendong sudah direbut sama endong-endong yang lain mbak”
Selain endong-endong bersaing dengan sesama endong-endong, tak jarang mereka juga harus bersaing dengan para manol. Manol adalah
sebutan untuk buruh gendong laki-laki yang ada di pasar Giwangan Yogyakarta. Ada kecenderungan barang-barang yang dikemas dengan
dengan ukuran besarberat, sehingga pedagang lebih banyak mengorderkan barang ke manol, misalnya bobot 150 – 250 kg. Dengan sekali angkut
manol tersebut langsung mendapatkan upah sebesar Rp. 1.500,- sampai Rp 2.000,- . Apabila dilakukan oleh endong-endong dibutuhkan 3-4 kali
angkutan, ongkosnya mungkin kurang lebih sama, tetapi dari sisi waktu
113 lebih efisien manol. Seperti yang dikemukakan oleh Ibu “JMN” sebagai
berikut : “biasanya barang yang bobotnya lebih banyak yang diatas 100 kg
diberikan sama manol itu mbak, kita tinggal mendapatkan barang yang ringan-ringan dan jumlahnya dikit. Jadinya kan pendapatan kita
juga berkurang to mbak” Dengan demikian biasanya endong-endong hanya mendapatkan
barang gendongan yang ringan-ringan atau kemasan kecil 50-100 kg dan jumlahnya sedikit. Apabila kecenderungan ini terjadi secara menyeluruh dan
terus menerus, endong-endong akan semakin kehilangan kesempatan dan rejeki.
Tidak semua para endong-endong melakukan persaingan, karena bagi mereka yang tidak bersaing mburuh gendong itu adalah pekerjaan yang
ikhlas mereka jalani dari hati, jadi tidak perlu ada persaingan karena setiap orang sudah mempunyai rejeki masing-masing. Dan ada sebagian endong-
endong yang ikut dengan juragan, sehingga mereka tidak perlu untuk aktif menawarkan jasa gendongan. Sehingga keberadaan juragan sudah membuat
seorang endong-endong merasa aman terlebih dulu dari sisi penghasilan. 2
Konflik Berdasarkan hasil wawancara, konflik yang terjadi antar endong-
endong di pasar Giwangan Yogyakarta adalah konflik antara endong- endong dengan endong-endong di pasar Giwangan, antara endong-endong
dengan pedagang atau pengguna jasa gendongan di pasar Giwangan Yogyakarta.
114 Konflik yang terjadi antar sesama buruh gendong di pasar Giwangan
Yogyakarta merupakan kelanjutan dari persaingan dalam perebutan barang gendongan. Konflik yang terjadi masih dalam taraf kecil, tidak sampai pada
konflik yang besar. Cara endong-endong yang berbeda-beda dalam menarik pedagang atau pembeli untuk menggunakan jasa gendongan sering
menimbulkan rasa iri kepada mereka yang sudah berhasil mendapatkan barang gendongan. Rasa iri ini diungkapkan melalui adu mulut. Namun
endong-endong menganggap hal ini merupakan hal yang sudah biasa yang wajar terjadi di antara mereka karena sama-sama mencari nafkah. Selama
adu mulut dan menggendong barang dagangan itu selesai mereka menganggap masalah selesai, jadi konflik tersebut hanya bersifat sementara
tidak berkepanjangan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu “JMN” sebagai berikut :
“......Kalau konflik dengan teman gendong pernah mbak, ya kalau bertengkar cuman marah-marah adu mulut terus udah nanti ya akur
lagi mbak”
Begitu juga dengan konflik yang terjadi dengan pengguna jasa, endong-endong sering mendapatkan cacian, marah dari pengguna jasa
gendongan. Namun hal itu juga tidak menimbulkan konflik yang besar karena mereka memandang bahwa pedagang merupakan juragan mereka
yang memberi pekerjaan atau gendongan. Endong-endong merasa dirinya orang kecil, dalam perkembangannya kemudian memandang dirinya seperti
pesuruh yang harus menerima apapun perintah juragan, yang dalam hal ini
115 para pengguna jasa gendongan mereka. Hal ini seperti yang diungkapkan
oleh Ibu “ TMR” sebagai berikut : “konfliknya ya masalah gendongan sama masalah upah mbak,
seperti saya pernah dimarah-marahi karena salah meletakkan barang dagangan, dan pas saya minta ditambahi uang upah gendongan mbak
karena barang yang saya gendong kan banyak dan berat-berat mbak. Dulu juga saya pernah dimarahi karena pas gendong hujan jadi saya
gak bisa cepet jalannya. ya kalau dimarahi saya kadang diam saja mbak,kadang ya adu mulut tapi sudah ya sudah nanti balik lagi gak
ada apa-apa, saya gak suka berlarut-larut nanti kalau berlarut-larut ndak saya gak dapat gedongan”