DETERMINAN LUAS PENGUNGKAPAN MODAL INTELEKTUAL PADA PERBANKAN TAHUN 2009 2011
i
DETERMINAN LUAS PENGUNGKAPAN MODAL
INTELEKTUAL PADA PERBANKAN
TAHUN 2009-2011
SKRIPSI
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Pada Universitas Negeri Semarang
Oleh
Henggar Malika Purna Cahya NIM 7211409017
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
(2)
(3)
(4)
iv
hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian
atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini
dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Apabila dikemudian hari
terbukti skripsi ini adalah hasil jiplakan dari karya tulis orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Semarang, Juni 2013
Henggar Malika Purna Cahya NIM 7211409017
(5)
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO:
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmu-lah hendaknya kamu berharap.” (QS. Al-Insyirah: 6-8)
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu ...”(QS. Al-Mu’min: 60)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
Kedua orang tuaku Bapak Eko Setyo Budi dan Ibu Eny Setyo Wati tercinta yang selalu memberi kasih sayang, semangat, doa, dan dukungan.
Kakakku Inggri Santya Dewi, dan adikku (Alm) Conie Berthiara Fatma, Monica Putri Amelia Rizky tercinta yang memberikan semangat dan doa.
Adi Hendriawan yang selalu memberikan doa serta dukungan.
Sahabat dan teman terbaikku yang menjadi penyemangatku.
Teman-teman Akuntansi A 2009.
(6)
vi
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, karena penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul: “Determinan Luas Pengungkapan Modal Intelektual pada Perbankan Tahun
2009-2011”. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini telah mendapatkan
bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka dengan rasa hormat
penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum, Rektor Universitas Negeri Semarang.
2. Dr. S. Martono, M.Si, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri
Semarang.
3. Drs. Fachrurrozie, M.Si, Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Semarang
4. Drs. Heri Yanto, MBA, Ph.D, Dosen pembimbing I yang telah berkenan
memberikan bimbingan, pengarahan, dan motivasi dalam penyelesaian skripsi
ini.
5. Nanik Sri Utaminingsih, S.E., M.Si., Akt, Dosen pembimbing II yang telah
berkenan memberikan bimbingan, pengarahan, dan motivasi dalam
penyelesaian skripsi ini.
6. Indah Anisykurlillah, S.E., M.Si., Akt, Dosen penguji skripsi yang telah
(7)
vii
7. Drs. Sukardi Ikhsan, M.Si, Dosen wali Akuntansi A 2009 yang memberikan
bimbingan, pengarahan dan motivasi selama penulis menimba ilmu di
Universitas Negeri Semarang.
8. Seluruh Bapak/ibu Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang
yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan bantuan selama penulis
menimba ilmu di Universitas Negeri Semarang.
9. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang
yang telah membantu dalam proses perkuliahan.
10. Semua pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi
ini.
Dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu
penulis mengaharapkan segala kritik dan saran. Penulis berharap semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Semarang, 3 Juni 2013
(8)
viii
Intelektual pada Perbankan Tahun 2009-2011”. Skripsi. Jurusan Akuntansi. Fakultas Ekonomi. Univesitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Heri Yanto, MBA. Ph.D., Pembimbing II: Nanik Sri Utaminingsih, S.E,M.Si, Akt.
Kata Kunci: Pengungkapan Modal Intelektual, Kinerja Modal Intelektual, Tingkat Utang, Ukuran Dewan Komisaris, Jumlah Rapat Dewan Komisaris, Ukuran Komite Audit, Konsentrasi Kepemilikan Saham, UmurListing.
Pengungkapan modal intelektual merupakan informasi yang bernilai bagi investor untuk mengurangi ketidakpastian mengenai prospek ke depan dan memfasilitasi ketepatan penilaian terhadap perusahaan. Tingginya peran modal intelektual di era ekonomi masa kini ketika sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan merupakan sumber keunggulan kompetitif perusahaan menjadi alasan atas pentingnya kepemilikan modal intelektual oleh suatu perusahaan.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh kinerja modal intelektual, tingkat utang, ukuran dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris, ukuran komite audit, konsentrasi kepemilikan saham dan umur listing terhadap luas pengungkapan modal intelektual. Variabel independen dalam penelitian ini yaitu kinerja modal intelektual, tingkat utang, ukuran dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris, konsentrasi kepemilikan saham. Umur listing merupakan variabel pengendali dalam penelitian ini, serta luas pengungkapan modal intelektual sebagai variabel dependen.
Sampel penelitian adalah perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada periode penelitian tahun 2009 sampai 2011. Sampel dipilih menggunakan metode purposive sampling dan diperoleh 75 pengamatan yang menjadi sampel. Alat analisis yang digunakan adalah regresi berganda dengan pemenuhan uji asumsi klasik.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris, dan ukuran komite audit berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan modal intelektual. Sedangkan, kinerja modal intelektual, tingkat utang, dan konsentrasi kepemilikan saham tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan modal intelektual. Saran bagi penelitian selanjutnya, supaya menggunakan jenis perusahaan lain sehingga hasilnya dapat digeneralisasi dan menggunakan pengukuran yang berbeda sepertidebt to asset ratio.
(9)
ix
ABSTRACT
Cahya, Henggar Malika Purna. 2013. “Determinants of Width of Intellectual Capital Disclosure on Banking 2009-2011”. Final Project. Accounting Department. Faculty of Economics. Semarang State University. Advisor I: Drs. Heri Yanto, MBA. Ph.D., Advisor II: Nanik Sri Utaminingsih , S.E, M.Si, Akt.
Keywords: Intellectual Capital Disclosure, Intellectual Capital Performance, Leverage, Board of Comissioners Size, Number of Board of Commissioners Meetings, Audit Committee Size, Concentrated Ownership and Listing age.
Intellectual capital disclosure is valuable information for lessening uncertainty of prospect. This information provides facilitation to decision makers in determining the price of entity. The roles of intellectual capital are very important in this economic era due to the use of human resources and knowledge as competitive advantage. In the other words, intellectual capital will be one of the main reasons for the existing of the company.
The objective of this study is to analyze the influence of intellectual capital performance, leverage, board of commissioner size, concentrated ownership and listing age on the width of intellectual capital disclosure. Independent variables in this research are performance intellectual capital, leverage, board of commissioner size, number of commissioner board meetings, audit committee size, and concentrated ownership. In addition, listing age becomes a control variable. The width of intellectual capital disclosure is a dependent variable.
The samples of this study were taken from banking companies listed on Indonesia Stock Exchange, with observation period of 2009 until 2011. By employing purposive sampling method, the study collected data from 75 companies listed in Indonesia Stock Exchange. The study uses multiple-regression analysis by testing classical assumptions.
The results show that board of commissioner size, number of commissioner meetings, audit committee size affect significantly on the width of intellectual capital disclosure. While, intellectual capital performance, leverage, and concentrated ownership do not have significant effect on the width of intellectual capital disclosure. In future research should use different type of company to understand the model. Moreover, future research should use other measurement such as debt to asset ratio.
(10)
x
HALAMAN JUDUL... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ... iii
PERNYATAAN... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...v
KATA PENGANTAR. ... vi
SARI... viii
ABSTRACT... ix
DAFTAR ISI...x
DAFTAR TABEL...xv
DAFTAR GAMBAR. ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN... xviii
BAB 1 PENDAHULUAN. ...1
1.1 Latar Belakang ...1
1.2 Rumusan Masalah ...9
1.3 Tujuan Penelitian...9
1.4 Kegunaan Penelitian... 10
BAB II TELAAH TEORI...11
2.1 Teori Legetimasi...11
2.2Stakeholder Theory...12
(11)
xi
2.4Signalling Theory...14
2.5 Modal Intellektual...16
2.5.1 Definisi Modal Intelektual. ...16
2.5.2 Komponen Modal Intelektual. ...17
2.6 Pengungkapan Sukarela Modal Intelektual. ...19
2.7 Kinerja Modal Intelektual...24
2.7.1 Model Pulic. ...25
2.7.1.1 Value Added Capital Employed (VACA). ...27
2.7.1.2 Value Added Human Capital (VAHU)...27
2.7.1.3 Structural Capital Value Added (STVA). ...28
2.8 Tingkat Utang. ...29
2.9 StrukturCorporate Governance....30
2.9.1 Ukuran Dewan Komisaris. ...32
2.9.2 Jumlah Rapat Dewan Komisaris. ...34
2.9.3 Ukuran Komite Audit...34
2.9.4 Jumlah Rapat Komite Audit...36
2.9.5 Konsentrasi Kepemilikan Saham. ...36
2.10 UmurListing. ...37
2.11 Penelitian Terdahulu. ...37
2.12 Kerangka Pemikiran Teoritis. ...40
2.13 Pengembangan Hipotesis...44
2.13.1 Pengaruh Kinerja Modal Intelektual terhadap Luas pengungkapan Modal Intelektual. ...44
(12)
xii
Luas Pengungkapan Modal Intelektual...47
2.13.3.1 Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual...47
2.13.3.2 Pengaruh Jumlah Rapat Dewan Komisaris terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual....48
2.13.3.3 Pengaruh Ukuran Komite Audit terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual...48
2.13.3.4 Pengaruh Jumlah Rapat Komite Audit terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual...49
2.13.3.5 Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan Saham terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual....50
BAB III METODE PENELITIAN...52
3.1 Jenis Dan Desain Penelitian ...52
3.2 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ...52
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ...52
3.3.1 Variabel Terikat atauDependen Variable ...53
3.3.2 Variabel Bebas atauIndependen Variable...56
3.3.3 Variabel Pengendali. ...61
3.4 Metode Pengumpulan Data ...63
(13)
xiii
3.5.1 Analisis Statistik Diskriptif ...64
3.5.2 Uji Asumsi Klasik ...64
3.5.3 Pengujian Hipotesis ...67
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ...70
4.1 Data Penelitian. ...70
4.1.1 Deskripsi Obyek Penelitian. ...70
4.2 Hasil Penelitian. ...71
4.2.1 Analisis Statistik Deskriptif...71
4.2.2 Hasil Uji Asumsi Klasik...82
4.2.3 Analisis Regresi Berganda. ...91
4.2.4 Uji Hipotesis...93
4.3 Pembahasan...99
4.3.1 Pengaruh Kinerja Modal Intelektual terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual. ...99
4.3.2 Pengaruh Tingkat Utang terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual. ...101
4.3.3 Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual. ...103
4.3.4 Pengaruh Jumlah Rapat Dewan Komisaris terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual. ...103
4.3.5 Pengaruh Ukuran Komite Audit terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual. ...104
(14)
xiv
Luas Pengungkapan Modal Intelektual. ...106
BAB V PENUTUP...107
5.1 Simpulan...107
5.2 Saran...109
DAFTAR PUSTAKA ...111
(15)
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ...38
Tabel 3.1 Prosedur dan Hasil Pemilihan Sampel Perusahaan...53
Tabel 3.2 Indeks Pengungkapan Modal Intelektual...55
Tabel 3.3 Definisi Operasional Variabel. ...62
Tabel 3.4 Nilai Durbin Watson. ...65
Tabel 4.1 Ikhtisar Pemilihan Sampel. ...71
Tabel 4.2 Hasil Uji Statistik Deskriptif ICD...72
Tabel 4.3 Hasil Analisis Frekuensi Pengungkapan Modal Intelektual pada Perbankan Tahun 2009-2011. ...72
Tabel 4.4 Hasil Analisis Deskriptif Kinerja Modal Intelektual ...73
Tabe; 4.5 Hasil Analisis Frekuensi Kinerja Modal Intelektual pada Perbankan Tahun 2009-2011. ...73
Tabel 4.6 Hasil Analisis Tingkat Utang...74
Tabel 4.7 Hasil Analisis Frekuensi Tingkat Utang pada Perbankan Tahun 2009-2011. ...75
Tabel 4.8 Hasil Analisis Deskriptif Ukuran Dewan Komisaris ...75
Tabel 4.9 Hasil Analisis Frekuensi Ukuran Dewan Komisaris pada Perbankan Tahun 2009-2011. ...76
Tabel 4.10 Hasil Analisis Deskriptif Jumlah Rapat Dewan Komisaris. ...76
Tabel 4.11 Hasil Analisis Frekuensi Jumlah Rapat Dewan Komisaris pada Perbankan Tahun 2009-2011. ...77
Tabel 4.12 Hasil Analisis Deskriptif Ukuran Komite Audit...77
Tabel 4.13 Hasil Analisis Frekuensi Ukuran Komite Audit pada Perbankan Tahun 2009-2011. ...78
Tabel 4.14 Hasil Analisis Deskriptif Jumlah Rapat Komite Audit...78
Tabel 4.15 Hasil Analisis Frekuensi Jumlah Rapat Komite Audit pada Perbankan Tahun 2009-2011. ...79
(16)
xvi
Tabel 4.19 Hasil Analisis Frekuensi UmurListingpada Perbankan
Tahun 2009-2011. ...81
Tabel 4.20 Hasil Uji Normalitas dengan RasioSkerwnessdanKurtosis. ...84
Tabel 4.21 Hasil Uji Normalitas dengan UjiKolmogorov Smirnov(K-S). ...84
Tabel 4.22 Hasil Uji Autokolerasi. ...85
Tabel 4.23 Uji Multikolinieritas dengan Matriks Korelasi. ...87
Tabel 4.24 Uji Multikolinieritas dengan VIF. ...87
Tabel 4.25 Uji Multikolinieritas dengan Matriks Korelasi tanpa RADIT. ...88
Tabel 4.26 Uji Multikolinieritas dengan VIF tanpa RADIT...89
Tabel 4.27 Ringkasan Hasil Uji Multikolinieritas. ...89
Tabel 4.28 Hasil Persamaan Regresi Berganda. ...91
Tabel 4.29 Hasil Uji Koefisien Determinasi...94
Tabel 4.30 Hasil Uji Pengaruh Simultan. ...95
(17)
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ...43
Gambar 4.1 Uji Normalitas dengan Histogram. ...82
Gambar 4.2 Hasil Uji Normal Probability Plot. ...83
(18)
xviii
Lampiran 2 Pengungkapan Modal Intelektual. ...120
Lampiran 3 Kinerja Modal Intelektual...135
Lampiran 4 Tingkat Utang. ...138
Lampiran 5 StrukturCorporate Governance...141
Lampiran 6 UmurListing...144
(19)
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan ekonomi global ditandai dengan munculnya berbagai
industri baru berbasis pengetahuan (Salehet al., 2009). Seiring dengan perubahan ekonomi yang berkarakteristik ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dengan
penerapan manajemen pengetahuan (knowledge management), kemakmuran suatu perusahaan akan bergantung pada suatu penciptaan transformasi dan kapitalisasi
dari pengetahuan itu sendiri (Sawarjuwono, 2003). Proses menciptakan nilai
(value creation) fokusnya bergeser dari pemanfaatan aset-aset individual menjadi aset sekelompok yang sebagian utamanya adalah aktiva tidak berwujud, yaitu
modal intelektual (intellectual capital) atau modal pengetahuan (knowledge capital) yang melekat dalam keterampilan, pengetahuan, dan pengalaman, serta dalam sistem dan prosedur organisasional (Purnomosidhi, 2006).
Pengakuan terhadap kemampuan intellectual capital dalam menciptakan dan mempertahankan keuntungan kompetitif dan shareholder value, juga naik secara signifikan (Tayles et al., 2007). Intellectual capital diakui dapat meningkatkan keuntungan perusahaan yang labanya dipengaruhi oleh inovasi dan
knowledge-intensive services (Edvinsson dan Sullivan, 1996). Lebih lanjut, Mouritsen (1998) menyebutkan bahwa intellectual capital menyangkut kapasitas luas pengetahuan yang dimiliki oleh sebuah perusahaan.
(20)
Modal intelektual perusahaan dapat dianggap sebagai bentuk
unaccounted capital dalam sistem akuntansi tradisional meskipun beberapa di antaranya, misalnya goodwill, patent, copy right, dan trade mark diakui sebagai aktiva tidak berwujud (Purnomosidhi, 2006). Timbulnya unaccounted capital
tersebut dikarenakan sangat ketatnya kriteria akuntansi bagi pengakuan dan
penilaian aktiva, yaitu keteridentifikasian, adanya pengendalian sumber daya, dan
adanya manfaat ekonomis di masa depan (PSAK NO.19: 19.5). Lev dan Zarowin
(1999) menemukan banyak penelitian yang menunjukkan bahwa model akuntansi
yang ada sekarang tidak bisa menangkap faktor kunci dari company’s long term value, yaitu intangible resources. Kegagalan akuntansi untuk mengakui secara penuh atasintangible (yang meliputihuman resources, customer relationship dan sebagainya). Hal ini sebagai tanda bahwa laporan keuangan tradisional telah
kehilangan relevansinya sebagai instrumen pengambilan keputusan (Oliveira et al., 2008).
Akibat dari ketidakpuasan financial reporting tradisional karena tidak mampu menyediakan informasi yang cukup bagi investor akan menimbulkan
adanya asimetri informasi antara stakeholders dan shareholders. Canibano et al., (2000) menyebutkan bahwa pendekatan yang pantas digunakan untuk
meningkatkan kualitas laporan keuangan adalah dengan mendorong peningkatan
informasiintellectual capital disclosure.
Item-item dalam pengungkapan modal intelektual seperti deskripsi
program dan aktivitas pengembangan kompetensi karyawan (human capital), deskripsi tentang sistem teknologi informasi (structural capital), dan pernyataan
(21)
3
citra dan merek dari lingkungan luar (relational capital) dapat mengurangi asimetri informasi. Hal ini dikarenakan human capital sebagai penggerak modal intelektual, sedangkanstructural capitalmenyediakan fungsi pendukung sehingga
customer capital atau relational capital dapat menikmati benefit dari human capitaldanstructural capital.
Pengungkapan modal intelektual dalam laporan keuangan sangat penting
untuk menyediakan informasi secara lengkap dan membantu investor dalam
memprediksi kinerja suatu perusahaan. Menurut Bukh (2003), beberapa bentuk
intellectual capital disclosure merupakan informasi yang bernilai bagi investor, yang dapat membantu mengurangi ketidakpastian mengenai prospek ke depan dan
memfasilitasi ketepatan penilaian terhadap perusahaan. Intellectual capital disclosurejuga dapat menunjukkan kinerja keuangan yang lebih baik (Salehet al., 2009). Investor dapat keliru dalam pengambilan keputusan terkait alokasi modal
dimiliki tanpa adanya informasi tersebut sehingga investor tidak dapat
memperoleh return yang sepantasnya. Hal ini mengakibatkan investor tidak mengalokasikan dananya kepada perusahaan sehingga cost of equity capital
perusahaan menjadi lebih besar (Burgman & Roos, 2007). Tingginya peran
modal intelektual di era ekonomi masa kini ketika sumber daya manusia dan ilmu
pengetahuan merupakan sumber keunggulan kompetitif perusahaan juga menjadi
alasan atas pentingnya kepemilikan modal intelektual oleh suatu perusahaan
(Chen, 2005).
Salah satu masalah terkait praktik pengungkapan modal intelektual diulas
(22)
Panin Tbk yang merupakan perusahaan yang bergerak dibidang industri
perbankan. PT Bank Panin Tbk dituntut untuk membayarkan uang pesangon
kepada dua karyawan Bank Panin yang di PHK. Kasus serupa juga terjadi pada
bulan Maret 2013 yang menimpa PT BRI (Persero) Tbk. Perusahaan ini dituntut
untuk menyelesaikan kewajibannya kepada pensiunan seperti uang pesangon,
uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.
Masalah terkait demo buruh pada PT Bank Panin Tbk dan PT Bank
Rakyat Indonesia (Persero) Tbk mengindikasikan kurangnya pengungkapan
informasi tambahan yang bersifat sukarela mengenai perusahaan.
Informasi-informasi mengenai peristiwa tersebut bisa diungkapkan di luar Informasi-informasi laporan
keuangan, yaitu berupa informasi pendukung mengenai kondisi perusahaan seperti
penjelasan rincian jumlah biaya yang dibelanjakan untuk karyawan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Suhardjanto dan Wardhani
(2010), tingkat intellectual capital disclosuredi Indonesia masih rendah (rata-rata hanya sebanyak 34,5% dari total 25 item intellectual capital). Hasil survey global menunjukkan bahwaintellectual capitalmerupakan salah satu tipe informasi yang paling banyak dipertimbangkan oleh investor. Dengan demikian, masih ada
“information gap” (Bozzolanet al., 2003).
Fenomena ini menuntut untuk mencari informasi yang lebih rinci
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan modal intelektual. Mulai
dari cara pengidentifikasian, pengukuran sampai dengan pengungkapan modal
intelektual dalam laporan keuangan perusahaan. Namun, belum adanya standar
(23)
5
harus dilaporkan baik secara mandatory atau voluntary, sehingga tidak ada kewajiban bagi perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEI untuk
mengungkapkan informasi yang berkaitan dengan modal intelektual.
Semakin tinggi tingkat pengungkapan informasi yang dilakukan
perusahaan, maka cost of debt dan cost of equity yang ditanggung perusahaan tersebut akan semakin rendah (Francis & Pereira dalam Putri, 2011).
Pengungkapan informasi juga akan mengurangiagency problem yang merupakan penyebab dari kesalahan estimasi nilai perusahaan pada pasar modal, sehingga
manajer dapat memperoleh insentif atas pengungkapan sukarela yang
dilakukannya (Healy & Palepu, 2001). Pengaruh yang ditimbulkan dari
pengungkapan modal intelektual telah menarik perhatian para peneliti untuk
mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi luas pengungkapan modal
intelektual perusahaan.
Williams (2001) meneliti pengaruh kinerja modal intelektual yang diukur
dengan VAICTM pada 31 perusahaan yang terdaftar di Financial Times Stock Exchange (FTSE). Menggunakan variabel pengendali ukuran perusahaan, tipe industri, status listing, kinerja modal fisik (ROA), dan tingkat utang. Williams (2001) menemukan bahwa kinerja modal intelektual yang terlalu tinggi akan
mendorong perusahaan untuk mengurangi tingkat pengungkapan modal
intelektualnya untuk mempertahankan posisi kompetitifnya. Mengurangi tingkat
pengungkapan modal intelektual berarti sinyal mengenai peluang kompetisi tidak
akan ditangkap oleh kompetitor yang hendak menyaingi perusahaan yang unggul
(24)
Selain faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja finansial
perusahaan, karakteristik perusahaan juga diprediksi memiliki pengaruh terhadap
luas pengungkapan modal intelektual perusahaan. Penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Woodcock dan Whiting (2009) terhadap 70 perusahaan Australia
yang terdaftar di pasar modal telah melakukan investigasi pengaruh karakteristik
perusahaan yang terdiri dari tipe industri, konsentrasi kepemilikan, usia listing, tingkat utang, dan jenis auditor terhadap luas pengungkapan modal intelektual dan
berhasil membuktikan bahwa tipe industri dan jenis auditor berpengaruh terhadap
luas pengungkapan modal intelektual perusahaan. Penelitian sejenis juga
dilakukan oleh White et al. (2007) terhadap perusahaan-perusahaan bioteknologi di Australia dengan memperluas investigasi faktor determinan luas pengungkapan
hingga mencakup mekanisme corporate governance perusahaan. White et al. (2007) menginvestigasikan hubungan independensi dewan, usia perusahaan,
tingkat utang, dan ukuran perusahaan terhadap tingkat pengungkapan modal
intelektual.
Studi di atas menemukan bahwa independensi dewan komisaris, tingkat
utang, dan ukuran perusahaan berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat
pengungkapan modal intelektual perusahaan. Penelitian terdahulu telah
membuktikan adanya hubungan antara penerapan corporate governance dengan tingkat pengungkapan modal intelektual perusahaan. Teori corporate governance
menjelaskan bahwa perusahaan yang telah menerapkan good corporate governance akan memiliki kebijakan mengenai transparansi dan pengungkapan
(25)
7
informasi lebih optimal. Hal ini juga didukung dengan adanya prinsip transparansi
atau keterbukaan pada salah satu dari prinsipcorporate governance.
Beberapa penelitian sebelumnya terkait pengungkapan modal intelektual
telah dilakukan, namun menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Penelitian yang
dilakukan Williams (2001) yang meneliti pengungkapan modal intelektual terkait
dengan kinerja modal intelektual menghasilkan simpulan bahwa variabel kinerja
modal intelektual, yang diukur dengan VAICTM tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengungkapan, tetapi memiliki arah hubungan yang bertentangan
dengan yang diharapkan. Temuan ini menunjukkan bahwa untuk mempertahankan
keunggulan kompetitif yang dimiliki, perusahaan dapat mengurangi tingkat
pengungkapan modal intelektual sebagai usaha untuk tidak memberi sinyal bagi
pesaing dan pihak-pihak lain tentang keberadaan potensi peluang bisnis.
Perusahaan dengan tingkat utang yang tinggi menanggung monitoring cost yang tinggi juga (Jensen & Meckling, 1976) serta dituntut untuk memiliki tingkat transparansi yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan kreditur (Khanna et al., 2004). Namun, studi yang dilakukan Cormier dan Magnan (2005) menghasilkan temuan bahwa tingkat utang suatu perusahaan berbanding terbalik
dengan tingkat pengungkapan modal intelektual.
Penelitian yang dilakukan oleh White, et al. (2007) menemukan bahwa komposisi dewan komisaris independen berpengaruh terhadap pengungkapan
modal intelektual. Namun, pada penelitian yang dilakukan oleh Chandra (2010)
menemukan bahwa komposisi dewan komisaris independen berpengaruh terhadap
(26)
Penelitian ini berusaha mengukur pengaruh kinerja modal intelektual,
tingkat utang, dan struktur corporate governance terhadap luas pengungkapan modal intelektual perusahaan sektor perbankan di Indonesia. Pemilihan sektor
perbankan sebagai sampel mengacu pada penelitian Firer dan William (2003).
Sektor perbankan dipilih karena menurut Firer dan William (2003) industri
perbankan adalah salah satu sektor yang paling insentif modal intelektualnya. Hal
ini dikarenakan perbankan memiliki kekayaan modal intelektual yang tinggi
Perbankan lebih banyak menggunakan sumber daya intelektualnya dibandingkan
sektor perusahaan lainnya. Selain itu, dari aspek intelektual, secara keseluruhan
karyawan di sektor perbankan lebih homogen dibandingkan dengan sektor
ekonomi lainnya (Kubo dan Saka, 2002).
Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian kembali, dengan judul “DETERMINAN LUAS
PENGUNGKAPAN MODAL INTELEKTUAL PADA PERBANKAN
TAHUN 2009-2011”. Variabel-variabel yang akan diteliti terdiri dari kinerja
modal intelektual yang diukur dengan VAICTM, tingkat utang dan struktur
corporate governance yang diukur dari ukuran dewan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris, ukuran komite audit, jumlah rapat komite audit, dan konsentrasi
kepemilikan, dengan memasukkan variabel usia listing sebagai variabel pengendali.
Perbedaaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada
model penelitian. Sebagian besar peneliti hanya meneliti pengaruh dari struktur
(27)
9
memasukkan variabel lain seperti kinerja modal intelektual. Penelitian ini
mengkombinasikan kedua variabel tersebut (kinerja modal intelektual dan struktur
corporate governance) dengan penambahan satu variabel bebas lainnya yaitu tingkat utang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat pengaruh kinerja modal intelektual terhadap luas
pengungkapan modal intelektual perbankan di Indonesia?
2. Apakah terdapat pengaruh tingkat utang terhadap luas pengungkapan
modal intelektual perbankan di Indonesia?
3. Apakah terdapat pengaruh struktur corporate governance terhadap luas pengungkapan modal intelektual perbankan di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah, penelitian ini mempunyai tujuan
sebagai berikut:
1. Memperoleh bukti empiris tentang pengaruh kinerja modal intelektual
terhadap luas pengungkapan modal intelektual perbankan di Indonesia.
2. Memperoleh bukti empiris tentang pengaruh tingkat utang terhadap luas
(28)
3. Memperoleh bukti empiris tentang pengaruh struktur corporate governance terhadap luas pengungkapan modal intelektual perbankan di Indonesia.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontirbusi:
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat digunakan sebagai referensi khususnya untuk pengkajian
topik-topik pengungkapan modal intelektual.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pengembangan teori, terutama yang berkaitan akuntansi manajemen.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan bagi perusahaan terkait dengan modal intelektual
untuk meningkatkan pengungkapan modal intelektual, sehingga tidak
terjadi adanya asimetri informasi.
b. Memberikan informasi kepada pihak-pihak terkait yang memerlukan
(29)
11 BAB II TELAAH TEORI
2.1 Teori Legitimasi
Teori legitimasi berasal dari kontrak sosial antara perusahaan dan
masyarakat yang menyatakan bahwa perusahaan akan mencari jalan atau
melakukan suatu tindakan agar perilakunya dipandang baik oleh publik sehingga
kelangsungan perusahaan dapat terjaga. Guthrie et al. (2006) menyatakan bahwa berdasarkan teori ini, perusahaan akan mengungkapkan secara sukarela segala
pencapaiannya yang dipandang sesuai dengan ekspektasi masyarakat, baik yang
bersifat eksplisit maupun implisit, berdasarkan kontrak sosial yang terjalin antara
perusahaan dan masyarakat. Pengungkapan ini juga bertujuan untuk membentuk
citra yang baik di hadapan publik.
Menurut Guthrie et al. (2004) dalam Oliveira et al. (2008), legitimacy theory berhubungan erat dengan pelaporan intellectual capital. Perusahaan lebih mungkin untuk melaporkan intangibles yang dimiliki, jika perusahaan memiliki kebutuhan yang spesifik untuk melakukannya. Perusahaan tidak dapat
melegitimasi statusnya hanya lewat “hard” asset yang diakui sebagai simbol kesuksesan tradisional perusahaan. Pendapat lainnya diungkapkan oleh Lindblom
(1994) dalam Williams (2001) yang menyatakan bahwa pelaporan terkait
kepemilikan modal intelektual perusahaan berikut pendayagunaan modal
intelektual dalam menciptakan nilai bagi perusahaan merupakan suatu strategi
(30)
2.2 Stakeholder Theory
Stakeholder Theoryberasumsi bahwa perusahaan tidak hanya bertanggung jawab pada shareholder atau pemilik saham, tetapi juga kepada Stakeholder. Menurut Freeman (1984) dalam Oliveira et al. (2010) stakeholder adalah kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh proses
pencapaian tujuan suatu perusahaan. Pihak-pihak yang masuk ke dalam kelompok
stakeholder adalah pemegang saham, karyawan, pelanggan, pemasok, kreditor, pemerintah, dan masyarakat (Riahi-Belkaoui, 2003). Berdasarkan stakeholder theory, perusahaan memiliki insentif yang tinggi untuk meyakinkan stakeholder
bahwa aktivitasnya sesuai dengan ekspektasi stakeholder(Branco dan Rodrigues, 2006). Untuk meyakinkan para stakeholder, pengungkapan dipilih sebagai suatu strategi untuk mengelola atau bahkan memanipulasi pemenuhan tuntutan dari
berbagai kelompok (Deegan dan Blomquist, 2006).
Pengungkapan informasi pada laporan keuangan merupakan salah satu
bentuk dari tanggung jawab manajemen dalam memenuhi hak stakeholder untuk memperoleh informasi mengenai kebijakan dan kegiatan operasional perusahaan
serta dampak bagi mereka. Woodcock & Whiting (2009) menyatakan bahwa
perusahaan akan mengungkapkan informasi mengenai modal intelektual mereka
secara sukarela untuk dapat memenuhi kebutuhan informasi para stakeholder. Perusahaan yang berkomitmen untuk melaporkan aktivitasnya termasuk
intellectual capital disclosure kepada stakeholder, biasanya bertujuan untuk mempertahankan keseimbangan dan keberlanjutan pembentukan nilai untuk
(31)
13
semua stakeholder (Ernst dan Young, 1999 dalam Suhardjanto dan Wardhani 2010).
2.3 Teori Agensi
Teori agensi menjelaskan adanya hubungan keagenan atau kontrak kerja
yang melibatkan antara dua pihak. Kontrak kerja terjalin antara pihak prinsipal
dengan pihak agen. Kontrak kerja ini berdampak pada pemisahan fungsi. Hal ini
dikarenakan investor atau prinsipal yang menanamkan modalnya dalam bentuk
saham tidak dapat berkecimpung secara aktif di dalam aktivitas operasional
perusahaan yang mereka miliki, prinsipal menunjuk manajemen perusahaan yang
bertindak sebagai agen dan mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan yang
dimilikinya sebagai pemilik perusahaan kepada manajemen.
Teori agensi berpandangan bahwa pendelegasian otoritas pengambilan
keputusan memungkinkan pihak manajemen yang bertindak sebagai agen untuk
melakukan suatu tindakan penyalahgunaan sumber daya perusahaan demi
kepentingan pribadi sehingga terjadi konflik antara pihak manajemen sebagai
pengendali dan pemegang saham sebagai pemilik perusahaan (Fama dan Jensen,
1983 dalam Abeysekera, 2010). Menurut Jensen dan Meckling (1976), dalam
suatu hubungan keagenan, investor sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen
diasumsikan sebagai dua belah pihak yang akan memaksimalkan utilitas mereka,
sehingga agen tidak selalu bertindak sesuai harapan prinsipal.
Potensi masalah yang muncul dalam teori agensi ini adalah adanya
(32)
internal suatu perusahaan dibandingkan dengan pihak prinsipal yang akan memicu
adanya kecurangan pihak agen untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Salah
satu bentuk kecurangan yang dilakukan yaitu menyajikan informasi yang tidak
sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya.
Menurut Bruggen, et al. (2009) menyatakan bahwa asimetri informasi dapat mengakibatkan misalokasi modal yang mengarah pada biaya sosial seperti
pengangguran dan penurunan produktivitas. Selain itu risiko yang akan muncul
yaitu munculnya biaya pengawasan. Untuk mengurangi risiko yang muncul, teori
agensi menempatkan pengungkapan sebagai mekanisme yang dapat mengurangi
biaya yang dihasilkan dari konflik antara manajer dengan pemegang saham
(compensation contracts) dan dari konflik antara perusahaan dan krediturnya (debt contracts). Oleh karena itu, pengungkapan merupakan mekanisme untuk mengontrol kinerja manajer. Sebagai konsekuensinya, manajer didorong untuk
mengungkapkanvoluntary informationsepertiintellectual capital disclosure.
2.4 Signalling Theory
Signalling theory menekankan kepada pentingnya informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan terhadap keputusan investasi pihak di luar
perusahaan. Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis
karena informasi menyajikan keterangan, catatan atau gambaran perusahaan baik
di masa lalu maupun di masa yang akan datang. Informasi yang lengkap, relevan,
akurat dan tepat waktu sangat diperlukan oleh investor di pasar modal sebagai alat
(33)
15
Menurut Jogiyanto (2003), informasi yang dipublikasikan sebagai suatu
pengumuman akan memberikan signal bagi investor dalam pengambilan
keputusan investasi. Jika pengumuman tersebut mengandung nilai positif, maka
diharapkan pasar akan bereaksi pada waktu pengumuman tersebut diterima oleh
pasar.
Teori ini juga menyatakan bahwa perusahaan akan selalu berusaha untuk
mengirim sinyal berupa informasi positif atau kabar baik kepada investor dan
pemegang saham dengan menggunakan mekanisme pengungkapan, salah satunya
melalui media laporan tahunan (Oliveira 2006 dalam Putri 2011). Informasi yang
diungkapkan oleh manajemen dapat meningkatkan kredibilitas manajemen di
mata publik. Insentif yang diperoleh pihak manajemen dari pengiriman sinyal
positif melalui mekanisme pelaporan tahunan perusahaan ini mendorong
manajemen untuk tetap melakukan pengungkapan informasi positif meskipun
pengungkapan tersebut tidak diwajibkan berdasarkan standar yang berlaku.
Di dalam studinya, Spence (1973) dalam Suhardjanto dan Wardhani
(2010) berhasil membuktikan bahwa biaya yang ditanggung perusahaan dengan
kinerja kurang baik akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan biaya yang
ditanggung oleh perusahaan dengan kinerja superior. Oleh karena itu, manajer
dengan kinerja superior lebih termotivasi untuk mengungkapkan informasi kepada
publik secara sukarela agar perusahaan dapat diklasifikasikan sebagai perusahaan
dengan kinerja yang baik. Hal ini disebabkan oleh ekspektasi manajer bahwa
menyediakan sinyal yang bagus mengenai kinerja perusahaan kepada pasar akan
(34)
Berdasarkan kerangka signaling theory, manajer diprediksi akan menggunakan mekanisme pengungkapan mengenai modal intelektual untuk
menyelaraskan ekspektasi pasar mengenai pendapatan perusahaan di masa yang
akan datang dengan ekspektasi manajer perusahaan tersebut. Perusahaan juga
akan menggunakan mekanisme pengungkapan tertentu untuk mengoreksi nilai
perusahaan apabila pasar menilai perusahaan terlalu rendah.
2.5 Modal Intelektual
2.5.1 Definisi Modal Intelektual
Istilah modal intelektual pertama kali dikemukakan oleh John Kenneth
Galbraith pada tahun 1969 yang menulis surat yang ditujukan kepada temannya,
Michael Kalecki. Galbraith mengemukakan: ”I wonder if you realize how much those us the world around have owed to the intellectual capital you have provided over the last decades” (Hudson, 1993 dalam Bontis, 2000). Pada tahun 1993 modal intelektual dijelaskan secara rinci oleh Peter Drucker dalam bukunya
“Post-Capitalist Society.” Akhir tahun 1990, referensi mengenai modal intelektual
dalam publikasi bisnis kontemporer menjadi hal yang lazim. Manajemen modal
intelektual menjadi wewenang Chief Knowledge Officer (CKO). Bahkan Stewart telah diakui sebagai pencetus kelahiran dunia baru intelektual kapitalis (Bontis,
2000). Definisi modal intelektual dikemukakan oleh Klein dan Prusak, yang
kemudian dipopulerkan Stewart dalam Sawarjuwono dan Kadir (2003): “. . .we can define intellectual capital operationally as intellectual material that has been formalized, captured, and leveraged to produce a higher valued asset.”
(35)
17
Sampai sekarang belum terdapat definisi modal intelektual yang konklusif
dan masih terjadi perdebatan di antara para pakar. Modal intelektual merupakan
sesuatu yang kompleks dan sulit untuk didefinisikan. Hal tersebut terbukti dari
definisi yang berbeda dari para ahli di berbagai literatur. Menurut Williams (2001)
modal intelektual adalah informasi dan pengetahuan yang diaplikasikan dalam
pekerjaan untuk menciptakan nilai. Definisi ini menekankan bahwa kemampuan
modal intelektual dalam menciptakan nilai. Hunter et al (dalam Woodcock dan Whiting, 2009) menjelaskan bahwa modal intelektual adalah perbedaan nilai pasar
dengan nilau buku perusahaan.
Menurut Mouritsen (1998) dalam Purnomosidhi (2006) berpendapat
bahwa modal intelektual merupakan masalah pengetahuan organisasi yang luas
dan bersifat unik bagi perusahaan sehingga memungkinkan perusahaan secara
terus-menerus beradaptasi dengan kondisi yang selalu berubah. Namun, dari
banyaknya definisi yang berbeda tersebut terdapat salah satu definisi yang paling
komprehensif mengenai modal intelektual (Li et al., 2008 dalam Putri 2011) adalah “…the possession of knowledge and experience, professional knowledge and skill, good relationship, and technological capacities, which when applied will give organizations competitive advantage.”
2.5.2 Komponen Modal Intelektual
Modal intelektual terdiri dari beberapa komponen yang dapat dijadikan
dasar bagi perusahaan dalam menerapkan strategi. Sebagian besar peneliti
(36)
2002 dalam Oliveira et al., 2008), yaitu: human capital, structural capital atau
organizational capital, danrelational capital. 1. Human Capital(modal manusia)
Human capital merupakan lifeblood dalam modal intelektual. Disinilah sumber innovation dan improvement, tetapi merupakan komponen yang sulit untuk diukur.Human capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki
oleh orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut. Human capital akan meningkat jika perusahaan mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki
oleh karyawannya (Sawarjuwono, 2003). Contoh dari human capital adalah kapasitas kerja kelompok, kreatifitas, fleksibilitas, toleransi terhadap
ambiguitas, motivasi, kepuasan kerja, dan kapasitas pembelajaran dari
karyawan.
2. Structural CapitalatauOrganizational Capital(modal organisasi)
Structural capital merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan dalam memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung
usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta
kinerja bisnis secara keseluruhan, misalnya: sistem operasional perusahaan,
proses manufakturing, budaya organisasi, filosofi manajemen dan semua
bentukintellectual propertyyang dimiliki perusahaan. Seorang individu dapat memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, tetapi jika organisasi memiliki
sistem dan prosedur yang buruk maka intellectual capital tidak dapat mencapai kinerja secara optimal dan potensi yang ada tidak dapat
(37)
19
dimanfaatkan secara maksimal (Sawarjuwono, 2003). Contohnya adalah
struktur, proses, rutinitas, sistem, dan kebudayaan yang terdapat di suatu
perusahaan, mencakup database, perangkat manajemen, sistem teknologi informasi, rancangan structural, mekanisme koordinasi, kebijakan, prosedur,
kapasitas pembelajran organisasional, dan sistem jaringan.
3. Relational CapitalatauCostumer Capital(modal pelanggan)
Elemen ini merupakan komponen modal intelektual yang memberikan nilai
secara nyata. Relational capital merupakan hubungan yang harmonis/association network yang dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik yang berasal dari para pemasok yang andal dan berkualitas,
berasal dari pelanggan loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan
yang bersangkutan berasal dari hubungan perusahaan dengan pemerintah
maupun dengan masyarakat sekitar. Relational capital dapat muncul dari berbagai bagian diluar lingkungan perusahaan yang dapat menambah nilai
bagi perusahaan tersebut (Sawarjuwono, 2003). Contohnya adalah citra
perusahaan, reputasi, loyalitas pelanggan, kepuasan pelanggan, jaringan
distribusi,goodwill, kontrak lisensi, dan perjanjianfranchise.
2.6 Pengungkapan Sukarela Modal Intelektual
Menurut Bruggen, et al. (2009) alasan perusahaan mengungkapkan modal intelektual yaitu mengurangi tingkat asimetri informasi sehingga biaya modal
(38)
meningkatkan nilai relevansi laporan keuangan. Peningkatan nilai relevansi
laporan keuangan dapat mencegah perusahaan pada kondisi sebagai berikut:
1. Kegagalan dalam menyampaikan informasi secara relevan sehingga
mengakibatkan kemrosotan posisi keuangan perusahaan dan dapat
menghilangkan daya saing jangka panjang.
2. Investor sulit menilai secara akurat nilai perusahaan untuk alokasi sumber
daya dengan menggunakan laporan keuangan yang tidak melaporkan modal
intelektual.
3. Manajer sulit untuk menentukan relevansi aset tidak berwujud yang
diperlukan untuk operasi perusahaan.
Pengungkapan modal intelektual dapat menciptakan kepercayaan dengan
karyawan dan stakeholder, serta mencegah kerugian dan rumor gosip yang mempengaruhi reputasi perusahaan. Kepercayaan penting dalam jangka panjang
bagi perusahaan sebagai suatu strategi dalam menciptakan komitmen stakeholder
yang lebih tinggi untuk masa depan perusahaan (Bruggen, et al., 2009). Pengungkapan informasi mengenai modal intelektual dapat juga dijadikan
perusahaan sebagai alat pemasaran. Pengungkapan modal intelektual, perusahaan
dapat memberikan bukti tentang nilai-nilai sejati yang diterapkan dalam
perusahaan serta kemampuan perusahaan dalam menciptakan kekayaan sehingga
dapat meningkatkan reputasi.
Pengelolaan modal intelektual perlu diberi perhatian secara lebih.
Pengelolaan modal intelektual yang baik akan dapat membantu untuk
(39)
21
sesuai dengan perkembangan jaman, maka terjadi perubahan-perubahan yang
terjadi dalam hal penyajian dan penilaian aset tak berwujud terutama modal
intelektual. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Bruggen, et al. (2009) yang menjelaskan standar sukarela lebih tepat dan fleksibel dibandingkan dengan
standar wajib karena adanya perubahan yang cepat pada modal intelektual.
Dari literatur-literatur yang berhasilkan dikumpulkan, kebanyakan para
penulis membahas tentang pengukuran modal inetelektual. Sedangkan bagaimana
pelaporan modal intelektual dibuat masih jarang dibahas. Disamping itu publikasi
terhadap modal intelektual masih sangat jarang dilakukan. Seperti halnya dengan
pengukuran modal intelektual, pelaporan aset ini belum dibuatkan sebuah
standard tertentu. Beberapa penulis (Bontis 2000; Sveiby 1998; Mouritsen et al. 2000) menyarankan untuk melakukan pelaporan keuangan kedalam dua bentuk,
yaitu laporan keuangan yang lama dalam ukuran moneter ditambah dengan
laporan khusus tentang modal intelektual dengan ukuran non moneter, Bontis
(dalam Sawarjuwono 2003) menyatakan bahwa:
“Adding a flow perspective to the stock perspective is akin to adding a profit and loss statement to a balance sheet in accounting. The two perspectives combined (or the two reporting tools, in the case of accounting) provide much more information than any single one alone. At the same time, intellectual capital flow reporting presents some additional challenges in terms of complexity.”
Pernyataan ini juga menunjukkan pentingnya laporan tambahan yang
(40)
diterima oleh berbagai kalangan dan secara umum pelaporan terhadap modal
intelektual perusahaan biasa disebutstatement of intellectual capital.
Di Indonesia, pengungkapan modal intelektual masih bersifat voluntary. Sampai saat ini belum ada pengelompokkan komponen modal intelektual yang
dapat diterima bersama dan belum ada pola khusus pengungkapan modal
intelektual (Yunanto, 2010). Namun demikian, terdapat perkembangan konsep
modal intelektual di Indonesia dengan adanya regulasi yaitu PSAK No. 19 Revisi
2009 tentang aset tak berwujud. Menurut PSAK No. 19 Revisi 2009 aset tak
berwujud merupakan aset non moneter yang dapat diidentifikasi tanpa wujud
fisik, dimiliki dan dibawah kontrol suatu perusahaan, dapat dijual, disewakan, dan
dipertukarkan kepada pihak lainnya atau untuk tujuan administratif.
Sawarjuwono (2003) menyatakan penelitian terhadap pelaporan modal
intelektual ini juga dilakukan oleh Guthrie dan Petty (2000) yang melakukan
penelitian terhadap 20 perusahaan di Australia yang telah terdaftar pad bursa efek
(Satyo 2000; Mouritsen et al. 2000). Hasil penelitian ini menunjukkan porsi pengungkapan setiap elemen modal intelektual, dimana 30% indikator yang
digunakan mengungkapkan human capital, 30% organizational capital (internal structure) dan 40% customer capital (external structure). Disamping hal-hal di atas, riset Guthrie dan Petty (2000) menunjukkan bahwa:
1. Pengungkapan modal intelektual lebih banyak (95%) disajikan secara terpisah
dan tidak ada yang disajikan dalam angka atau kuantitatif. Hal ini mendukung
pandangan yang selama ini kuat yaitu aktiva tidak berwujud atau modal
(41)
23
2. Pengungkapan mengenai modal eksternal lebih banyak dilakukan oleh
perusahaan. Tidak terdapat pola tertentu dalam laporan-laporan tersebut.
Hal-hal yang banyak diungkapkan menyebar di antara ketiga elemen modal
intelektual.
3. Pelaporan dan pengungkapan modal intelektual dilakukan masih secara
sebagian dan belum menyeluruh.
4. Secara keseluruhan perusahaan menekankan bahwa modal intelektual
merupakan hal penting untuk menuju sukses dalam menghadapi persaingan
masa depan. Namun hal itu belum dapat diterjemahkan dalam suatu pesan
yang solid dan koheren dalam laporan tahunan.
Pengungkapan modal intelektual tidak disajikan dalam neraca. Hal
tersebut disebabkan pengungkapan modal intelektual sulit untuk diukur dan
dikuantifikasikan. Menurut Bruggen, et al. (2009) kerangka kerja akuntansi dan standar akuntansi yang berlaku tidak memungkinkan untuk melakukan pengakuan
dan pengungkapan penuh pada komponen modal intelektual. Oleh karena itu,
metode pengukuran baru dan model pelaporan IC seperti IC Index dapat membantu mengatasi masalah standar akuntansi keuangan tradisional dalam
pengukuran modal intelektual.
Pengungkapan modal intelektual dituangkan dalam informasi tambahan
melalui laporan tahunan yang dipublikasikan. Mengungkapkan modal intelektual,
perusahaan dapat mengatasi masalah yang ada dalam hubungan keagenan seperti
asimetri informasi. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa biaya agen
(42)
mengungkapkan informasi secara sukarela yaitu informasi modal intelektual
untuk mengurangi biaya agensi tersebut.
2.7 Kinerja Modal Intelektual
Pengukuran modal intelektual menjadi suatu hal yang penting seiring
dengan peningkatan peran modal intelektual dewasa ini. Terdapat empat metode
pengukuran modal intelektual. Metode yang pertama dikenal dengan pengukuran
berbasis nilai (value-based measurement) yang mengukur nilai modal intelektual diukur berdasarkan selisih antara nilai pasar dan nilai buku perusahaan (Brennan,
2001). Metode ini tergolong metode yang paling mudah untuk diterapkan karena
data yang dibutuhkan dalam kalkulasi dapat dengan mudah diakses publik.
Metode yang kedua adalah Skandia Navigator. Metode ini dikembangkan pada tahun 1994 oleh Skandia, sebuah perusahaan yang berbasis di Swedia.
Metode ini mengukur nilai modal intelektual dengan mengidentifikasi dan
mengkuantifikasi faktor kunci penentu kesuksesan dalam bisnis.
Metode yang ketiga menilai modal intelektual dengan menggunakan suatu
indeks. Indeks modal intelektual ini tidak digunakan untuk mengukur nilai modal
intelektual secara langsung, melainkan untuk mengukur efisiensi dari modal
intelektual dengan cara mengidentifikasi dan memberi bobot pada indikator kunci
kesuksesan perusahaan (Rooset al.,1997 dalam Putri 2011).
Metode yang keempat dikenal dengan VAICTM. Metode ini dikembangkan oleh Pulic pada tahun 1998. Sama dengan metode indeks, metode VAICTM tidak
(43)
25
secara langsung mengukur besar modal intelektual yang dimiliki suatu
perusahaan.
Studi yang dilakukan Chen et al. (2005) terhadap perusahaan-perusahaan publik di Taiwan menghasilkan temuan empiris bahwa investor mengevaluasi
lebih tinggi perusahaan-perusahaan dengan tingkat efisiensi modal intelektual
yang lebih tinggi. Chen et al. (2005) menyimpulkan bahwa modal intelektual merupakan suatu aset yang bersifat stratejik karena hubungannya dengan nilai
pasar perusahaan dan kinerja keuangan perusahaan. Pengukuran efisiensi modal
intelektual menggunakan metode yang dikembangkan oleh Pulic (1998), Chen et al. (2005) membuktikan bahwa perusahaan dengan tingkat profit dan pertumbuhan pendapatan yang juga lebih tinggi pada tahun berjalan dan tahun
setelahnya.
2.7.1 Model Pulic
VAICTM merupakan metode yang dikembangkan oleh Pulic (1998), didesain untuk menyajikan informasi mengenaivalue creation efficiency dari aset berwujud (tangible asset) dan aset tidak berwujud (intangible asset) yang dimiliki perusahaan. Model ini dimulai dengan kemampuan perusahaan untuk
menciptakan value added (VA). VA adalah indikator paling objektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam
penciptaan nilai (value creation) (Pulic, 1998). Selain itu VAICTM juga merupakan alat manajemen pengendalian yang memungkinkan organisasi untuk
(44)
(Kammath, 2007 dalam Saleh et al., 2008). VA dihitung sebagai selisih antara output dan input (Pulic, 1998). VA secara teknik merupakan penjumlahan,
retained profit, interest expense, salaries dan wages, depreciation, dividend, minority share, dan tax untuk pemerintah. Oleh karena itu, VA didefinisikan sebagai peningkatan pada nilai bersih perusahaan dikarenakan kegiatan operasi
perusahaan.
Menurut Tan et al., (2007) dalam Ulum dkk (2008), menyatakan bahwa
output (OUT) mempresentasikan revenue dan mencakup seluruh produk dan jasa yang dijual di pasar, sedangkan input (IN) mencakup seluruh beban yang digunakan dalam memperolehrevenue. Menurut Tanet al., (2007), hal penting di dalam model ini adalah bahwa beban karyawan (labour expense) tidak termasuk dalam IN dikarenakan peran aktifnya di dalam kegiatan value creation, sehingga tidak dihitung sebagai biaya (cost).
Komponen utama dari VAICTM yang dikembangkan Pulic (1998) tersebut dapat dilihat dari sumber daya perusahaan, yaitu physical capital (VACA-Value Added Capital Employed), human capital (VAHU – Value Added Human Capital), dan structural capital (STVA – Structural Capital Value Added). VAICTM juga dikenal sebagai Value Creation Efficiency Analysis, dimana merupakan sebuah indikator yang dapat digunakan dalam menghitung efisiensi
nilai yang dihasilkan dari perusahaan yang didapat dengan menggabungkan CEE
(Capital Employed Efficiency), HCE (Human Capital Efficiency), dan SCE (Structural Capital Efficiency) (Pulic, 1998).
(45)
27
2.7.1.1 Value Added Capital Employed (VACA)
VACA adalah indikator atau nilai tambah yang diciptakan oleh suatu unit
dari physical capital. VACA adalah perbandingan antara value added (VA) dengan model fisik yang bekerja (Capital Employed/CA). Capital employed ini menunjukkan hubungan harmonis yang dimiliki perusahaan dengan mitranya,
baik yang berasal dari pemasok yang andal dan berkualitas, pelanggan yang loyal,
dan merasa puas dengan pelayanan perusahaan yang bersangkutan, serta
hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun dengan masyarakat sekitar
(Belkaoui, 2003). Dalam proses penciptaan nilai, intelektual potensial yang
direpresentasikan dalam biaya karyawan tidak dihitung sebagai biaya (input) (Tan
et al., 2007).
Pulic (1998) mengasumsikan bahwa jika satu unit CA menghasilkan
return yang lebih besar pada sebuah perusahaan, maka perusahaan tersebut mampu memanfaatkan CA dengan lebih baik. Pemanfaatan lebih CA adalah
bagian dari intellectual capital perusahaan. Ketika membandingkan lebih dari sebuah kelompok perusahaan VACA menjadi sebuah indikator kemampuan
intelektual perusahaan dalam memanfaatkan modal fisiknya (Tanet al., 2007).
2.7.1.2 Value Added Human Capital(VAHU)
VAHU mengindikasikan seberapa besar value added (VA) yang diciptakan oleh setiap rupiah pengeluaran untuk pegawai (Tan et al., 2007). Stewart (1997) menjelaskan bahwa human capital adalah kemampuan karyawan untuk menciptakan produk yang dapat menjaring konsumen sehingga konsumen
(46)
tidak akan berpaling pada pesaing.Human capitalmempresentasikan kemampuan perusahaan dalam mengelola sumber daya manusia dan menganggap manusia atau
karyawan sebagai aset strategic perusahaan karena pengetahuan yang mereka miliki. VAHU dihitung dengan membagivalue addedyang diciptakan perusahaan dengan total salaries dan wages. Perhitungan ini mengasumsikan bahwa HC sebagai suatu investasi daripada sebagai expense dan akan diakui sebagai aset pada neraca (Pulic, 2000 dalam Salehet al., 2008).
Hubungan antara VA dan human capital (HC) mengindikasikan bahwa kemampuan HC adalah menciptakan nilai pada sebuah perusahaan. Pulic (1998)
berpendapat bahwa biaya gaji dan upah merupakan indikator bagi HC. Ketika
VAHU dibandingkan antar perusahaan. VAHU menjadi sebuah indikator kualitas
sumber daya perusahaan. VAHU juga sebagai kemampuan perusahaan
menghasilkan nilai tambah untuk setiap rupiah yang dikeluarkan pada HC
(Kuryanto dan Syafruddin, 2008).
2.7.1.3 Structural Capital Value Added(STVA)
STVA menunjukkan kontribusi modal structural (SC) dalam
pembentukkan nilai tambah. Salah satu bagian dari structural capital adalah membangun sistem seperti data base yang memungkinkan orang-orang dihubungkan dan belajar satu sama lain, sehingga menumbuhkan sinergi karena
adanya kemudahan berbagi pengetahuan dan bekerja sama antar individu dalam
organisasi. Penciptaan dari structural capital ini berhubungan dengan pengetahuan atau nilai dari seseorang yang tidak akan begitu saja hilang kalau
(47)
29
yang bersangkutan meninggalkan perusahaan karena pengetahuannya telah
dirangkum dalamdata base, sehingga perusahaan tidak akan kehilangan nilainya. Dalam model yang dikembangkan Pulic ini, STVA dihitung dengan
membagi structural capital (SC) dengan value added (VA). Dalam model Pulic, SC diperoleh dari VA dikurangi dengan HC. STVA menunjukkan kontribusi
modal struktural dalam penciptaan nilai semakin kecil kontribusi SC (Tan et al., 2007). Pulic (1998) dalam Saleh et al., (2008) menyatakan terdapat hubungan proporsi yang berkebalikan antara HC dan SC.
2.8 Tingkat Utang
Tingkat utang merupakan perbandingan besarnya dana yang disediakan
pemiliknya dengan dana yang dipinjam dari kreditur. Rasio ini menunjukkan
kemampuan modal sendiri untuk memenuhi seluruh kewajiban perusahaan.
Jensen dan Meckling (1976) mengemukakan bahwa terdapat suatu potensi untuk
mentransfer kekayaan dari debtholders kepada pemegang saham dan manajer pada perusahaan-perusahaan yang tingkat ketergantungannya kepada utang sangat
tinggi sehingga menimbulkan biaya keagenan (agency cost) yang tinggi.
Perusahaan yang memiliki tingkat utang yang tinggi dalam struktur
modalnya akan menanggung biaya keagenan (agency cost) yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tingkat utangnya kecil. Untuk mengurangi
biaya keagenan tersebut, manajemen perusahaan dapat mengungkapkan lebih
banyak informasi secara sukarela, termasuk informasi yang berkaitan dengan
(48)
tingkat utang yang lebih tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi,
karena biaya keagenan perusahaan dengan struktur modal yang seperti itu lebih
tinggi (Jensen dan Meckling, 1976).
Fenomena tingginya tingkat utang suatu perusahaan akan meningkatkan
pengungkapan sukarela didukung oleh beberapa hasil penelitian empiris, misalnya
Williams (2001) yang menguji pengaruh tingkat utang terhadap pengungkapan
modal intelektual. Hasil-hasil penelitian tersebut belum konklusif karena ada
beberapa penelitian (misalnya Khanna et al., 2004) yang justru tidak dapat membuktikan adanya pengaruh tingkat utang terhadap luas pengungkapan.
2.9 StrukturCorporate Governance
Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (dalam Hastuti, 2011), corporate governanceadalah seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengelola perusahaan, kreditur, pemerintah, karyawan,
dan para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan
hak-hak dan kewjiban mereka. Menurut World Bank (2000) corporate governance merupakan suatu kerangka yang menekankan efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya perusahaan, serta akuntabilitas dalam pengelolaannya
yang memperhatikan seluruh kepentingan, baik individu, perusahaan, maupun
masyarakat luas.
Pengertian dan konsep corporate governance ini dilandasi dengan teori agensi. Teori agensi menjelaskan adanya konflik kepentingan antara berbagai
(49)
31
perbedaan tujuan. Untuk meminimalisasi potensi timbulnya konflik tersebut, suatu
mekanisme kontrol yang secara efektif dapat mengarahkan kegiatan operasional
perusahaan serta kemampuan untuk mengidentifikasi pihak-pihak dengan
kepentingan yang berbeda amat diperlukan (Syakhroza, 2003 dalam Putri 2011).
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perusahaan harus menerapkan
prinsip-prinsipcorporate governance. Menurut Pedoman UmumGood Corporate GovernanceIndonesia yang disusun oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) tahun 2004, prinsip-prinsip tersebut meliputi lima aspek, yaitu:
1. Transparansi (Transparancy)
Transparansi adalah adanya pengungkapan informasi yang bersifat terbuka,
jelas, tepat waktu dan dapat dibandingkan dengan keadaan yang menyangkut
tentang keuangan, pengelolaan perusahaan, dan kepemilikan perusahaan.
Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus
menyediakan informasi yang materil dan relevan dengan cara yang mudah
diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan.
2. Akuntabilitas (Accountability)
Perusahaan harus mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan
dan wajar. Perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan
kepentingan perusahaan dengan tetap memperhatikan kepentingan pemegang
saham dan pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena itu, akuntabilitas
(50)
3. Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundangan serta melaksanakan
tanggung jawab kepada masyarakat dan lingkungan sehingga terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang.
4. Independensi (Independency)
Perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ
perusahaan tidak saling mendominasi.
5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Perusahaan menjamin adanya perlakuan adil dan setara di dalam memenuhi
hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan yang berlaku. Perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang
saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan atas kewajaran dan
kesetaraan.
Untuk mewujudkan terciptanya corporate governance yang baik, prinsip-prinsip tersebut harus dicapai dengan baik. RUPS atau pemegang saham, dewan
direksi, dewan komisaris, dan karyawan merupakan kunci dalam mewujudkan
pelaksanaancorporate governance yang baik.
2.9.1 Ukuran Dewan Komisaris
Dewan komisaris adalah dewan yang bertugas melakukan pengawasan dan
memberi nasihat kepada direktur atau direksi. Di Indonesia, dewan komisaris
ditunjuk oleh RUPS dan di dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas yang dijabarkan mengenai fungsi wewenang dan tanggung jawab dari
(51)
33
Menurut Undang-undang Perseroan terbatas Nomor 40 tahun 2007 pada
pasal 108 ayat (5) perusahaan perseroan terbatas wajib memiliki paling setidaknya
dua anggota dewan komisaris. Menurut Pedoman Umum GCG Indonesia (KNKG,
2006), jumlah anggota dewan komisaris harus disesuaikan dengan kompleksitas
perusahaan dengan tetap memperhatikan efektivitas dalam pengambilan
keputusan.
Menurut Pedoman Umum GCG Indonesia (KNKG, 2006), agar
pelaksanaan tugas dewan komisaris dapat berjalan efektif, maka perlu dipenuhi
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Komposisi dewan komisaris harus memungkinkan pengambilan keputusan
secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak independen.
2. Anggota dewan komisaris harus profesional, yaitu berintegritas dan memiliki
kemampuan sehingga dapat menjalankan fungsinya dengan baik termasuk
memastikan bahwa direksi telah memperhatikan kepentingan sesama
pemangku kepentingan.
3. Fungsi pengawasan dan pemberian nasihat dewan komisaris mencakup
tindakan pencegahan, perbaikan, sampai kepada pemberhentian sementara.
Indonesia menganut sistem Dua Tingkat (Two Tier System) dalam menentukan fungsi dewan komisaris. Dalam sistem ini perusahaan mempunyai
dua badan terpisah yaitu dewan pengawas (dewan komisaris) dan dewan
manajemen (dewan direksi). Dewan komisaris bertanggung jawab atas
pelaksanaan tugas yang dilaksanakan oleh dewan direksi agar sesuai dengan
(52)
Fungsi kontrol yang dilakukan oleh dewan komisaris dapat mengurangi
biaya agensi. Dewan komisaris merupakan mekanisme pengendalian internal yang
dapat digunakan untuk menyelaraskan perbedaan kepentingan yang terjadi antara
pihak agen dengan pihak prinsipal dengan melakukan pengungkapan informasi
modal intelektual.
2.9.2 Jumlah Rapat Dewan Komisaris
Menurut Waryanto (2010), rapat dewan komisaris merupakan suatu proses
yang dilakukan dewan komisaris dalam pengambilan suatu keputusan mengenai
kebijakan perusahaan. Proses pengambilan keputusan penting dalam menentukan
efektivitas dewan komisaris dalam melakukan mekanisme pengawasan dan
pengendalian.
2.9.3 Ukuran Komite Audit
Komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris dalam
rangka membantu melaksanakan tugas dan fungsinya. Menurut peraturan
BAPEPAM Kep 29/PM/2004 tentang peraturan nomor IX.1.5 menyatakan bahwa
komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya satu orang komisaris independen dan
2 (dua) anggota lainnya berasal dari luar perusahaan.
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2006) jumlah anggota komite audit harus disesuaikan dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap
(53)
35
harus ditentukan oleh perusahaan. Jumlah anggota komite audit harus disesuaikan
dengan perusahaan dan peraturan yang berlaku.
Komite audit harus terdiri dari individu-individu yang mandiri agar
terpelihara integritas dan pandangan obyektif dalam penyusunan rekomendasi.
Oleh karena itu, individu yang mandiri akan lebih adil dalam menangani suatu
masalah.
Struktur komite audit telah diatur oleh peraturan BAPEPAM Kep
29/PM/2004 tentang peraturan nomor IX.1.5 mengenai pembentukan dan
pedoman pelaksanaan kerja komite audit sebagai berikut:
1. Anggota Komite Audit diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Komisaris
dan dilaporkan kepada Rapat Umum Pemegang Saham.
2. Anggota Komite Audit yang merupakan Komisaris Independen bertindak
sebagai Ketua Komite Audit. Dalam hal ini Komisaris Independen yang
menjadi anggota Komite Audit lebih dari satu orang maka salah satunya
bertindak sebagai Ketua Komite Audit.
Dalam pedoman GCG Indonesia (KNKG, 2006) dijelaskan bahwa komite
audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memastikan bahwa:
1. Laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi
yang berlaku umum.
2. Struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik.
3. Pelaksanaan audit internal perusahaan dilaksanakan dengan baik.
4. Pelaksanakan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan
(54)
5. Tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen.
Kewenangan komite audit sebagai alat bantu dewan komisaris. Komite
audit tidak memiliki otoritas apapun dan hanya bertindak sebagai rekomendasi
dewan komisaris, kecuali untuk hal spesifik yang memperoleh hak kuasa eksplisit
dari dewan komisaris. Hak kuasa tersebut yaitu menentukan dan mengevaluasi
komposisi auditor eksternal, memimpin suatu investigasi, dan sebagainya.
2.9.4 Jumlah Rapat Komite Audit
Berdasarkan keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-24/PM/2004 dalam
peraturan Nomor IX.1.5 menjelaskan bahwa komite audit mengadakan pertemuan
sekurang-kurangnya sama dengan ketentuan minimal rapat dewan komisaris yang
ditetapkan dalam anggaran dasar perusahaan. Menurut pernyataan Ikatan Komite
Audit Indonesia (IKAI) menyatakan bahwa frekuensi rapat komite audit dilakukan
minimal 2 kali dalam 1 bulan sehingga minimal diperlukan 24 kali pertemuan
dalam setahun. Rapat komite audit digunakan sebagai media dalam melakukan
koordinasi dengan komite audit untuk melakukan tugas pelaksanaan dalam
membantu dewan komisaris melakukan pengawasan yang meliputi laporan
keuangan, tata kelola perusahaan, dan pengendalian internal.
2.9.5 Konsentrasi Kepemilikan Saham
Struktur kepemilikan perusahaan terdiri dari struktur kepemilikan
manajerial, struktur kepemilikan institusional, struktur kepemilikan asing, dan
(55)
37
tentu memiliki proporsi yang berbeda-beda. Kondisi tersebut akan menunjukkan
pemilik saham mana yang memiliki jumlah saham terbesar di antara struktur
kepemilikan saham yang lain hal ini dapat dikatakan konsentrasi kepemilikan
saham.
Teori agensi telah menjadi landasan pemikiran dalam menjelaskan
konsentrasi kepemilikan saham. Struktur kepemilikan saham yang terkonsentrasi
akan menyebabkan adanya kekuasaan dan memberikan pengaruh bagi operasi
perusahaan. Adanya tekanan dari konsentrasi kepemilikan saham tersebut akan
dapat menghindari tindakan pihak agen untuk melakukan kecurangan. Kondisi
tersebut merupakan tindakan pengawasan yang dapat digunakan untuk
mengurangi biaya agensi.
2.10 UmurListing
Umur listingperusahaan menunjukkan perusahaan tetap eksis dan mampu bersaing dan memanfaatkan peluang bisnis dalam suatu perekonomian (Istanti,
2009). Dengan mengetahui umur listingperusahaan, maka akan diketahui sejauh mana perusahaan tersebut dapat survive. Semakin panjang umur listing
perusahaan akan memberikan pengungkapan informasi keuangan yang lebih luas
dibanding perusahaan lain yang umur listingnya lebih pendek dengan alasan perusahaan tersebut memiliki pengalaman lebih dalam pengungkapan laporan
tahunan.
2.11 Penelitian Terdahulu
(56)
Tabel 2.1 Penelitian terdahulu
Penelitian Variabel Obyek Penelitian Metode Analisis Hasil Williams (2001) Is Intellectual Capital Performance and Disclosure Practices Related? Tingkat pengungkapan modal intelektual, kinerja modal intelektual, tipe industri, status listing, kinerja modal fisik (ROA), dan tingkat utang. 31 Perusahaan yang terdaftar pada FTSE 100 tahun 1996-2000 Analisis regresi berganda
a. status listing, jenis industri, dan tingkat utang berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual.
b. Tidak terdapat hubungan sistematis antara kinerja modal intelektual dan pengungkapan modal intelektual. Purnomosidhi (2006) Praktik pengungkapan Modal Intelektual pada Perusahaan Publik di BEJ
Pengungkapan modal intelektual, ukuran perusahaan, leverage, kinerja modal intelektual Perusahaan publik di BEJ tahun 2001-2003 Content analysis, Analisis regresi berganda a.Ukuran perusahaan, leverage, kinerja modal intelektual berpengaruh terhadap pengungkapan modal intelektual.
White,et al. (2007) Drivers of Voluntary Intellectual Capital Disclosure in Listed Biotechnology Companies Pengungkapan sukarela modal intelektual (ICD), ukuran perusahaan, umur perusahaan, leverage, konsentrasi kepemilikan dan komisaris independen. Perusahaan Bioteknologi di Australia tahun 2005 Analisis regresi berganda a. ukuran perusahaan, leverage, dan komisaris independen berpengaruh terhadap pengungkapan modal intelektual.
b. umur perusahaan dan konsentrasi kepemilikan saham tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan modal intelektual.
(57)
39
Penelitian Variabel Obyek
Penelitian Metode Analisis Hasil Ulum (2008) Intellectual Capital Performance Sektor Perbankan di Indonesia Financial return (ROE, EPS dan ASR), Intellectual Capital (VAICTM)
Perusahaan perbankan di Indonesia sampai dengan 2006 dan melaporkan posisi keuangannya pada Bank Indonesia Partial Least Square a. Intellectual Capital yang diukur dengan VAICTM mampu menciptakan nilai bagi perusahaan. Woodcock dan Whiting (2009) Intellectual Capital Disclosures by Australian Companies Pengungkapan modal intelektual, jenis dan tipe auditor, umur perusahaan, leverage, dan konsentrasi kepemilikan. Perusahaan publik di Australia Analisis regresi berganda
a. Jenis dan tipe auditor berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan modal intelektual. b. Umur perusahaan, leverage dan kosnesntrasi kepemilikan saham tidak berpengaruh terhadap pengungkapan modal intelektual.
Bruggen,et al. (2009) Determinants of Intellectual Capital Disclosure: Evidence from Australia Pengungkapan modal intelektual, jenis industri, ukuran perusahaan, dan asimetri informasi. Perusahaan publik di Australia Analisis regresi OLS
a. jenis industri dan ukuran perusahaan berhubungan positif dengan pengungkapan modal intelektual. b. asimetri informasi tidak memiliki hubungan dengan pengungkapan modal intelektual.
(58)
Penelitian Variabel Obyek Penelitian Metode Analisis Hasil Suhardjanto dan Wardhani (2010) Praktik Intellectual Capital Disclosure Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Intellectual capital disclosure, ukuran perusahan, profitabilitas, leverage, umur listing, dan tata kelola perusahaan. Perusahaan publik pada tahun 2007 Analisis Regresi berganda a. Ukuran perusahaan dan profitabilitas berpengaruh terhadap Intellectual capital disclosure.
b. Leverage, umur listing dan tata kelola perusahaan tidak berpengaruh terhadap intellectual capital disclosure Sumber: Data sekunder yang diolah, 2013
2.12 Kerangka Pemikiran Teoritis
Dalam penelitian ini Luas Pengungkapan Modal Intelektual (ICD)
diperlakukan sebagai variabel dependen yaitu variabel yang menjadi pusat
perhatian peneliti, yang keragamannya dijelaskan oleh variabel-variabel
independen yaitu Kinerja Modal Intelektual (KMI), Tingkat Utang (LEV), dan
StrukturCorporate Governance(SCG).
Laporan tahunan merupakan salah satu proxy yang menggambarkan mengenai kebijakan perusahaan terkait pengungkapan. Laporan tahunan yang
didalamnya mencakup pengungkapan modal intelektual, digunakan perusahaan
untuk membuktikan kredibilitasnya dalam menyusun strategi penciptaan nilai dan
keunggulan kompetitif dengan melibatkan modal intelektual yang dimilikinya
(Steenkamp, 2007 dalam Putri 2011).
Perusahaan yang memiliki kinerja modal intelektual yang tinggi memberi
isyarat tentang kemampuannya dalam value creation di masa datang yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang kinerja modal intelektual lebih
(59)
41
rendah. Kemampuan dalam value creation yang tinggi, dapat menurunkan risiko bisnis dan biaya modal suatu perusahaan. Dengan demikian, semakin tinggi
kinerja modal intelektual, semakin besar pula tuntutan untuk mengungkapkan
informasi yang lebih luas karena perusahaan dipandang mampu menanggung
“biaya” pengungkapan informasi.
Karakteristik perusahaan, selain dari kinerja modal intelektual juga
diprediksi memiliki pengaruh terhadap pengaruh terhadap luas pengungkapan.
Salah satunya adalah tingkat utang. Biaya keagenan dapat diminimalisasi dengan
cara meningkatkan tingkat utang. Oleh karena itu, semakin besar perusahaan,
semakin tinggi tingkat utang, semakin tinggi pula tuntutan pada perusahaan untuk
mengungkapkan informasi yang lebih luas dibandingkan dengan perusahaan yang
tingkat utangnya lebih rendah.
Selain tingkat utang, mekanisme tata kelola perusahaan juga berperan
dalam menurunkan biaya keagenan yang harus ditanggung perusahaan. Adanya
mekanismecorporate governancedi suatu perusahaan akan meningkatkan tingkat pengungkapan mengenai penciptaan dan pengelolaan modal intelektual yang
mencakup informasi yang relevan dengan nilai perusahan. Oleh karena itu,
variabel independen tingkat utang dan struktur corporate governance juga akan diteliti pengaruhnya terhadap luas pengungkapan modal intelektual pada
penelitian ini.
Dalam penelitian ini peneliti juga memasukkan variabel pengendali ke
dalam model penelitian yang akan diuji, yaitu umur listing. Umur listing
(60)
perusahaan dengan umurlistingyang lebih tua akan lebih banyak mengungkapkan informasi mengenai modal intelektual, karena perusahaan yang lebih lama
beroperasi pada umumnya memiliki lebih banyak pengalaman, keahlian, dan
sumber daya untuk memproduksi laporan yang lebih kompleks sehingga tingkat
pengungkapannya menjadi lebih tinggi (Hossain dan Hammami dalam Putri,
2011).
Hubungan antara beberapa karakteristik perusahaan sebagai variabel
independen dengan luas pengungkapan modal intelektual sebagai variabel
dependen secara sistematis dapat digambarkan dalam kerangka teoritis yang
(61)
43
Variabel Independen
Variabel Dependen
Variabel Pengendali
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
Kinerja Modal Intelektual
Tingkat Utang
Luas
Pengungkapan Modal Intelektual
UmurListing
Ukuran Dewan Komisaris
Ukuran Komite Audit
Jumlah Rapat Komite Audit
Konsentrasi Kepemilikan Saham Jumlah Rapat Dewan
(62)
2.13 Pengembangan Hipotesis
2.13.1 Pengaruh Kinerja Modal Intelektual terhadap Luas Pengungkapan Modal Intelektual.
Investasi perusahaan dalam bentuk modal intelektual, terutama pada
perusahaan yang berbasis pengetahuan seperti bank, dipercaya dapat
memaksimalkan penciptaan nilai perusahaan. Kepemilikan modal intelektual akan
menciptakan keunggulan kompetitif perusahaan yang dipercaya akan
mendatangkan imbal hasil yang tinggi di masa yang akan datang. Berdasarkan
stakeholder theory, suatu perusahaan akan mengungkapkan informasi mengenai kinerja intelektual, sosial, dan lingkungan secara sukarela atau melebihi ketentuan
yang dimandatkan agar dapat memenuhi ekspektasi stakeholder (Guthrie et al., 2006).
Dalam konteks modal intelektual, pengungkapan yang dilakukan
perusahaan secara sukarela akan membantu investor, calon investor, dan
stakeholders lainnya dalam proses penilaian kemampuan perusahaan terkait dengan kemampuannya dalam menciptakan kemakmuran di masa depan
(Williams, 2001). Informasi modal intelektual ini digunakan untuk investor dalam
menganalisis risiko investasi yang akan dilakukan pada suatu perusahaan,
sehingga biaya modal yang ditanggung perusahaan akan berkurang.
Ditinjau dari signaling perpectives, perusahaan yang memiliki kinerja modal intelektual yang lebih tinggi akan mengungkapkan secara terbuka kepada
pasar yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai saham atau menurunkan biaya
(1)
Tabel 4.21 Hasil Uji Normalitas dengan Uji
Kolmogorov Smirnov
(K-S)
Unstandardized
Residual
N
75
Normal Parameters
aMean
.0000000
Std. Deviation
6.32576014
Most Extreme Differences
Absolute
.060
Positive
.056
Negative
-.060
Kolmogorov-Smirnov Z
.516
Asymp. Sig. (2-tailed)
.953
a. Test distribution is Normal.
Sumber: Data sekunder yang diolah, 2013
2.2 Uji Autokorelasi
Tabel 4.22 Hasil Uji Autokorelasi
Model
R
Std. Error of the
Estimate
Durbin-Watson
1
.730
a6.64800
1.861
a. Predictors: (Constant), SQRAGE, SQRTLEV, KONST, SQRRAKOM, SQRUDIT, KMI,
SQRUKOM
b. Dependent Variable: ICD
(2)
2.3 Uji Multikolinieritas
Tabel 4.23 Uji Multikolinieritas dengan Matriks Korelasi
Coefficient Correlationsa
Model SQRAGE SQRTLEV KONST SQRRADIT KMI SQRUDIT SQRRAKOM SQRUKOM
1 Correlations SQRAGE 1.000 .173 .236 -.081 -.217 -.088 .149 -.199
SQRTLEV .173 1.000 .176 .015 -.343 -.139 .259 -.139
KONST .236 .176 1.000 -.225 -.001 -.187 .362 -.023
SQRRADIT -.081 .015 -.225 1.000 .245 -.070 -.603 -.609
KMI -.217 -.343 -.001 .245 1.000 -.122 -.409 .015
SQRUDIT -.088 -.139 -.187 -.070 -.122 1.000 -.047 -.250
SQRRAKOM .149 .259 .362 -.603 -.409 -.047 1.000 .238
SQRUKOM -.199 -.139 -.023 -.609 .015 -.250 .238 1.000
Covariances SQRAGE .596 .206 .008 -.070 -.106 -.261 .093 -.431
SQRTLEV .206 2.368 .012 .026 -.333 -.820 .323 -.599
KONST .008 .012 .002 -.011 -4.246E-5 -.032 .013 -.003
SQRRADIT -.070 .026 -.011 1.237 .172 -.296 -.544 -1.895
KMI -.106 -.333 -4.246E-5 .172 .398 -.294 -.209 .026
SQRUDIT -.261 -.820 -.032 -.296 -.294 14.701 -.145 -2.683
SQRRAKOM .093 .323 .013 -.544 -.209 -.145 .657 .540
SQRUKOM -.431 -.599 -.003 -1.895 .026 -2.683 .540 7.826
a. Dependent Variable: ICD
Sumber: Data sekunder yang diolah, 2013
Tabel 4.24 Uji Multikolinieritas dengan VIF
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients
t Sig.
Collinearity Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) -17.542 7.729 -2.270 .026
KMI -.788 .631 -.124 -1.250 .216 .688 1.454
SQRTLEV .212 1.539 .013 .138 .891 .776 1.289
SQRUKOM 8.489 2.797 .389 3.035 .003 .413 2.422
SQRRAKOM 3.747 .811 .553 4.623 .000 .473 2.114
SQRUDIT 10.048 3.834 .256 2.621 .011 .707 1.415
SQRRADIT -1.914 1.112 -.250 -1.721 .090 .322 3.106
KONST .063 .045 .134 1.395 .168 .737 1.357
SQRAGE 2.084 .772 .247 2.698 .009 .805 1.242
(3)
Tabel 4.25 Uji Multikolinieritas dengan Matriks Korelasi tanpa RADIT
Coefficient Correlationsa
Model SQRAGE SQRTLEV KONST SQRRAKOM SQRUDIT KMI SQRUKOM
1 Correlations SQRAGE 1.000 .175 .224 .126 -.094 -.204 -.315
SQRTLEV .175 1.000 .185 .336 -.138 -.358 -.164
KONST .224 .185 1.000 .292 -.208 .057 -.207
SQRRAKOM .126 .336 .292 1.000 -.111 -.338 -.205
SQRUDIT -.094 -.138 -.208 -.111 1.000 -.108 -.370
KMI -.204 -.358 .057 -.338 -.108 1.000 .213
SQRUKOM -.315 -.164 -.207 -.205 -.370 .213 1.000
Covariances SQRAGE .610 .213 .008 .064 -.286 -.099 -.553
SQRTLEV .213 2.436 .013 .344 -.837 -.346 -.575
KONST .008 .013 .002 .009 -.036 .002 -.021
SQRRAKOM .064 .344 .009 .430 -.283 -.137 -.302
SQRUDIT -.286 -.837 -.036 -.283 15.058 -.261 -3.229
KMI -.099 -.346 .002 -.137 -.261 .385 .297
SQRUKOM -.553 -.575 -.021 -.302 -3.229 .297 5.065
a. Dependent Variable: ICD
Sumber: Data sekunder yang diolah, 2013
Tabel 4.26 Uji Multikolinieritas dengan VIF tanpa RADIT
Coefficientsa Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. Collinearity Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) -13.088 7.388 -1.772 .081
KMI -.523 .620 -.082 -.843 .402 .732 1.367
SQRTLEV .252 1.561 .015 .161 .872 .776 1.288
SQRUKOM 5.556 2.251 .254 2.469 .016 .657 1.523
SQRRAKOM 2.905 .656 .429 4.430 .000 .744 1.344
SQRUDIT 9.589 3.880 .245 2.471 .016 .710 1.408
KONST .045 .044 .097 1.020 .311 .776 1.288
SQRAGE 1.975 .781 .235 2.530 .014 .810 1.234
(4)
Tabel 4.27 Ringkasan Hasil Uji Multikolinieritas
Variabel Independen
Tolerance
VIF
Kesimpulan
Kinerja Modal Intelektual
0,732
1,367
Tidak ada multikolinieritas
Tingkat Utang
0,776
1,288
Tidak ada multikolinieritas
Ukuran Dewan Komisaris
0,657
1,523
Tidak ada multikolinieritas
Jumlah Rapat Dewan Komisaris
0,744
1,344
Tidak ada multikolinieritas
Ukuran Komite Audit
0,710
1,408
Tidak ada multikolinieritas
Konsentrasi Kepemilikan Saham
0,776
1,288
Tidak ada multikolinieritas
Umur
Listing
0,810
1,234
Tidak ada multikolinieritas
Sumber: Data sekunder yang diolah, 2013
2.4 Uji Heteroskedastisitas
Gambar 4.3 Hasil Uji Heteroskedastisitas
Sumber: Data sekunder yang diolah, 2013
(5)
3. Analisis Regresi Berganda
Tabel 4.28 Hasil Persamaan Regresi Berganda
Model
Unstandardized Coefficients
t
Sig.
B
Std. Error
1
(Constant)
-13.088
7.388
-1.772
.081
KMI
-.523
.620
-.843
.402
SQRTLEV
.252
1.561
.161
.872
SQRUKOM
5.556
2.251
2.469
.016
SQRRAKOM
2.905
.656
4.430
.000
SQRUDIT
9.589
3.880
2.471
.016
KONST
.045
.044
1.020
.311
SQRAGE
1.975
.781
2.530
.014
a. Dependent Variable: ICD
Sumber: Data sekunder yang diolah, 2013
3.1 Uji Koefisien Determinasi
Tabel 4.29 Hasil Uji Koefisien Determinasi
Model
R
R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1
.730
a.533
.484
6.64800
a. Predictors: (Constant), SQRAGE, SQRTLEV, KONST, SQRRAKOM, SQRUDIT, KMI,
SQRUKOM
b. Dependent Variable: ICD
(6)