Mie Basah Fortifikasi Spirulina dan Kerusakan Mikrobiologis pada Penyimpanan Suhu Chilling

(1)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Spirulina adalah mikroalga berukuran kecil, berwarna hijau, berbentuk spiral yang dapat hidup di perairan tawar dan laut. Mikroalga ini termasuk kelompok alga hijau biru (Cyanobacteria). Spirulina termasuk organisme multiseluler. Tubuhnya berupa filamen berwarna hijau-biru berbentuk silinder dan tidak bercabang (Richmond 1988). Spirulina memiliki zat warna hijau daun (pigmen klorofil), sehingga mampu melakukan fotosintesis dengan bantuan air (H2O), CO2 dan sinar matahari yang dapat mengubah energi kinetik menjadi energi kimiawi dalam bentuk biomassa atau yang lebih dikenal dengan karbohidrat. Ukuran Spirulina berkisar antara 3,5-10 mikron, sehingga diperlukan mikroskop untuk dapat melihatnya (Sugiyono dan Amini 2008).

Spirulina merupakan salah satu sumber protein yang terbaik di antara protein hewani dan nabati. Kandungan protein pada Spirulina lebih dari 60% (Tietze 2004), mikroalga ini juga mengandung 1,6% γ-asam linoleat (GLA) (Tanticharoen et al. 1994), asam amino esensial (Colla et al. 2004), vitamin B12 (Lorentz 1999), mineral dan tokoferol (Riyono 2008) dan klorofil sebesar 1% (Henrikson 2009). Spirulina juga terbukti mempunyai aktivitas antioksidan (Candra 2011) dan antiinflamasi (Rasool et al. 2006) yang sangat bermanfaat.

Cara yang paling efektif untuk memanfaatkan komponen yang terkandung di dalam Cyanobacteria ini adalah dengan mengkonsumsi langsung

Spirulina sebagai tambahan makanan atau dalam bentuk kapsul (Saputra 2009).

Spirulina telah lama dimanfaatkan sebagai makanan, pakan, suplemen, dan pangan fungsional (Gershwin dan Belay 2007).

Mie merupakan makanan yang sangat digemari mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Masyarakat dewasa ini banyak mengkonsumsi mie sebagai bahan pangan pengganti beras, alasannya karena rasanya yang enak, praktis dan mengenyangkan. Harganya yang relatif murah dan terjangkau menyebabkan produk ini dapat dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat.

Mie basah (fresh noodle atau wet noodle) merupakan salah satu jenis


(2)

di Indonesia. Industri mie basah tersebar luas di banyak wilayah di Indonesia dan kebanyakan diproduksi oleh industri rumah tangga, dan industri kecil/menengah. Mie basah yang dikenal masyarakat terdapat dua jenis, yaitu mie mentah

(raw noodle) dan mie rebus (cooked noodle). Kualitas, baik mutu organoleptik, fisikokimia, mikrobiologi maupun daya awet dari mie basah dapat bervariasi disebabkan oleh adanya perbedaan proses pengolahan dan penggunaan bahan tambahan. Mie basah dijual dalam bentuk segar baik dalam keadaan dikemas maupun curah, baik di pasar tradisional maupun supermarket.

Bahan-bahan utama pembuatan mie adalah terigu, air, dan garam, sehingga kandungan gizi tidak lengkap. Widaningrum et al. (2005) menyatakan mie basah yang beredar di pasaran memiliki kandungan gizi rendah dengan kadar air yang tinggi. Chamdani (2005) menyatakan bahwa mie basah dalam kondisi tidak ada penambahan bahan pengawet, umumnya memiliki umur simpan yang relatif pendek, yaitu berkisar antara 1-2 hari bila disimpan pada suhu ruang.

Spirulina dengan kandungan gizi yang sangat tinggi dan memiliki banyak manfaat merupakan salah satu bahan alami alternatif yang dapat digunakan untuk memperkaya kandungan gizi mie basah. Penambahan Spirulina ke dalam mie basah diharapkan mampu meningkatkan nilai gizinya, seperti protein, vitamin, dan serat. Spirulina juga mengandung klorofil yang dapat digunakan sebagai pewarna alami. Mie termasuk produk yang mudah rusak, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai penyimpanan mie basah dengan penambahan

Spirulina pada suhu chilling.

1.2 Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain: 1 Menentukan formulasi mie basah Spirulina terpilih

2 Mempelajari karakteristik fisik dan kimiawi mie basah Spirulina

3 Mempelajari kerusakan yang terjadi pada mie basah Spirulina selama penyimpanan suhu chilling.


(3)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Spirulina

Spirulina adalah organisme mikroskopis dan merupakan prokariot berfilamen (Gershwin dan Belay 2007). Spirulina adalah organisme yang termasuk kelompok alga hijau biru (Cyanobacteria). Organisme ini diberi nama

Spirulina karena bentuk tubuhnya yang spiral, mempunyai ukuran 100 kali lebih besar dari sel darah merah manusia. Spirulina dalam koloni yang besar berwarna hijau tua. Warna hijau tua ini berasal dari klorofil dalam jumlah tinggi. Secara alami, Spirulina mampu tumbuh di perairan danau yang bersifat alkali dan suhu hangat atau kolam dangkal di wilayah tropis (Tietze 2004).

Secara taksonomi Spirulina (Garrity et al. 2001), diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria Filum : Cyanobacteria Divisi : Cyanophyta Kelas : Cyanophyceae Ordo : Nostocales Famili : Oscillatoriaceae Genus : Spirulina

Gambar 1 Spirulina

(Henrikson 2009)

Kultur Spirulina dilakukan dengan membiakkan bibit Spirulina dalam media, kemudian dilakukan pengaturan pH hingga mencapai 8,3 dengan penambahan HCl. Kultur diletakkan dekat sumber cahaya dan diberi aerasi atau pengadukan (Diharmi 2001; Arylza 2005). Besarnya nilai pH pada media


(4)

pertumbuhan Spirulina umumnya antara 8-11, namun ada beberapa jenis

Spirulina yang dapat bertahan hidup pada lingkungan dengan pH mendekati 7 atau di atas 11 (Richmond 1988).

Kualitas Spirulina sangat dipengaruhi sinar matahari, mineral dan nutrisi dalam air. Kandungan beta karoten akan semakin tinggi apabila kuantitas sinar matahari yang diperoleh maksimum (Tietze 2004). Spirulina dapat tumbuh pada daerah tropis dan subtropis. Suhu optimum pertumbuhannya 35-38 °C, dan suhu minimum untuk mempertahankan pertumbuhan adalah 15-22 °C, serta pH dan alkalinitas yang tinggi. Media yang umum digunakan adalah Zarouk yang terdiri dari natrium karbonat/bikarbonat, sumber nitrogen, fosfor, besi, dan

trace element lainnya (Gershwin dan Belay 2007).

Ukuran Spirulina cukup besar, sehingga dapat dipisahkan dari media melalui filtrasi. Negara bagian Afrika yang sedang berkembang, yaitu Chad,

melakukan pemisahan Spirulina hanya menggunakan kain penyaring sederhana (Angka dan Suhartono 2000). Menurut Desmorieux dan Decaen (2006), Spirulina

segar dapat difiltrasi dengan filter berukuran 20 μm.

Desmorieux dan Decaen (2006), menyatakan bahwa pengeringan

Spirulina dapat dilakukan dengan pemanasan yang dirancang sedemikian rupa hingga suhu berkisar antara 40-60 °C. Suhu pengeringan diatas 60 °C akan menyebabkan degradasi fikosianin dan timbulnya reaksi Maillard. Kondisi pengeringan secara konveksi pada lapisan tipis yang paling optimum dilakukan pada kondisi suhu dibawah 40 °C. Penyimpanan Spirulina

dilakukan dalam keadaan kering karena Spirulina kering tidak mudah terfermentasi (Angka dan Suhartono 2000). Hasil penelitian Mohammad (2007) menunjukkan bahwa suhu pengeringan berpengaruh terhadap jumlah klorofil dan protein. Spirulina fusiformis yang dikeringkan pada suhu 25-30 °C memiliki kandungan klorofil dan protein terbesar, yaitu 0,063% dan 58,25%.

Kondisi kultur yang berbeda sangat berpengaruh pada komponen kimia yang terkandung dalam Spirulina. Achmadi et al. (2002) melakukan penelitian mengenai perbandingan produksi pigmen Spirulina platensis yang ditumbuhkan pada media lateks dan media sintetik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa S. platensis yang dikultivasi pada media lateks mengandung


(5)

5

klorofil a 0,61% (b/b), karotenoid 0,61% (b/b) dan fikosianin 19,85% (b/b), dengan bobot kering Spirulina yang dihasilkan sebesar 0,18 g/l, sedangkan

media sintetik mengandung klorofil a 0,54% (b/b), karotenoid 0,45% (b/b) dan fikosianin 14,17% (b/b), dengan bobot kering Spirulina yang dihasilkan

sebesar 0,28 g/l.

Olguin et al. (2001) melakukan penelitian terhadap biomassa kering yang dihasilkan dan protein yang terkandung di dalam Spirulina sp. yang dikultivasi pada media Zarouk dengan intensitas cahaya 66 µmol photon m-2s-1 dan 144 µmol photon m-2s-1 , dengan lama kultivasi 6 hari dan 12 hari. Hasilnya menunjukkan bahwa biomassa dan protein tertinggi diperoleh dari kultivasi selama 12 hari dengan intensitas cahaya sebesar 144 µmol photon m-2s-1. Biomassa kering yang diperoleh sebesar 0,67 g/l, dan protein sebesar 0,42 g/l.

Cahaya merupakan faktor pembatas yang lebih dominan pada pertumbuhan Spirulina diikuti oleh nutrien dan temperatur. Ketersediaan cahaya untuk setiap sel pada kultur fotoautotropik merupakan fungsi dari intensitas serta lama pencahayaan dengan konsentrasi sel atau kepadatan

populasi (Tamiya 1957 diacu dalam Richmond 1988).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Colla et al. (2007a) menunjukkan bahwa S. platensis yang dikultivasi dengan jumlah nitrogen dalam media dan temperatur yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap komponen fenol dan persen penghambatan terhadap pembentukan peroksidase.

S. platensis yang dikultivasi dengan penambahan 2,5 g/l sodium nitrat dan suhu 35 °C mengandung komponen fenol dan persen penghambatan pembentukan peroksidase terbesar, masing-masing 4,9 µg/g dan 35%.

Spirulina telah lama dimanfaatkan sebagai makanan, pakan, suplemen, dan pangan fungsional, bahkan masyarakat di wilayah Chad telah lama mengonsumsinya (Gershwin dan Belay 2007). Spirulina mudah dicerna karena lapisannya berupa membran tipis, bukan seperti selusosa yang sulit dicerna. Membran tersebut merupakan gugus gula yang mudah dicerna dan diserap. Oleh karena itu, Spirulina sangat bermanfaat walaupun dikonsumsi dalam jumlah yang kecil(Tietze 2004).


(6)

Adam (2005) menyebutkan bahwa Spirulina sebagai “superfood” menunjukkan efektifitas dalam penyembuhan dan pencegahan berbagai penyakit, seperti kanker, diabetes, obesitas, asma, tekanan darah tinggi, infeksi, peradangan, dan berbagai penyakit degeneratif. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Miladius et al. (2004) kepada olahragawan menunjukkan bahwa pemberian tiga tablet Spirulina per hari selama 14 hari dapat menurunkan berat badan dan lemak, serta menaikkan massa otot.

Spirulina mengandung protein dalam jumlah yang cukup tinggi. Kandungan protein Spirulina bervariasi dari 50%, hingga 70% dari berat keringnya. Menurut Richmond (1988) hasil analisis asam amino dari

Spirulina mexican yang dikeringkan dengan spray dryer ditemukan 18 asam amino. Protein Spirulina 65% lebih tinggi dibanding makanan alami

lainnya. Kelebihan Spirulina sebagai sumber protein adalah kandungan lemaknya 5%, dan sebagian besar merupakan lemak tidak jenuh. Hewan cenderung mengandung kolesterol dan lemak yang tinggi (Tietze 2004). Protein berfungsi sebagai pemberi kalori, bila jumah karbohidrat dan lemak tidak mencukupi kebutuhan tubuh. Berdasarkan sumbernya, protein terbagi menjadi dua, yaitu protein nabati dan protein hewani. Sumber protein hewani antara lain susu, ikan, daging dan telur. Sumber protein nabati antara lain kacangan-kacangan dan olahannya seperti tahu dan tempe (Muchtadi 2008). Salah satu sumber protein yang terbaik adalah Spirulina.

Kelebihan lain dari Spirulina yaitu kaya akan fitonutrien dan nutrisi fungsional yang menunjukkan efek positif bagi kesehatan (Henrikson 2009). Tietze (2004) menyebutkan bahwa Spirulina secara alami rendah kolesterol, kalori, lemak, dan sodium. Spirulina mengandung sembilan vitamin penting dan empat belas mineral yang terikat dengan asam amino. Hal ini memudahkan dan mempercepat proses asimilasi dengan tubuh.

Food and Drug Administration (1981) menyatakan bahwa Spirulina

adalah sumber protein dan mengandung berbagai vitamin dan mineral yang telah digunakan sebagai suplemen (Henrikson 2009). Kandungan mineral Spirulina


(7)

7

Tabel 1 Kandungan mineral Spirulina

Sumber: Farms (1995) dalam Henrikson (2009)

Mikroalga seperti jenis Spirulina, Chlorella, Dunaliella, dan lainnya,

memegang peranan penting dalam dunia perairan, karena organisme air fotosintetik bersel tunggal menunjukkan kandungan protein yang tinggi.

Perbandingan kandungan protein Spirulina dengan mikroalga lain dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan protein beberapa jenis mikroalga

Jenis Mikroalga Protein

Chlorella 51-58

Dunaliella 57

Porphyridium 28-39

Scenedesmus 50-56

Spirulina 60-71

Sumber: Spolaore (2006)

Spirulina merupakan sumber terbaik vitamin B-12 (cobalamin) dibandingkan dengan hati sapi, tuna, telur, keju dan lain-lain. Kandungan vitamin B-12 besarnya lebih dari 300 µg per 100 g Spirulina. Kekurangan

vitamin B-12 dapat menyebabkan anemia pernisiosa, degenerasi saraf dan lain-lain (Tietze 2004).

Spirulina platensis merupakan salah satu alga hijau biru yang banyak

tersebar di perairan tropis dan dapat tumbuh dengan baik di perairan laut. Beberapa hasil penelitian di bidang bioteknologi saat ini menyimpulkan

bahwa Spirulina memiliki pengaruh baik terhadap sistem kekebalan tubuh. Mengacu sejumlah publikasi ilmiah, Spirulina mengandung antioksidan,

Komposisi

Mineral (per 1 gr)

Jumlah Kalsium Iron Magnesium Sodium Potasium Posfor Zinc Mangan Copper Chromium 7 mg 1 mg 4 mg 9 mg 14 mg 9 mg 0,03 mg 0,05 mg 12 mcg 2,5 mcg


(8)

antiinflamasi, serta neuroprotektif (Arlyza 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Candra (2011), aktivitas antioksidan yang terkandung pada biopigmen Spirulina mendekati aktivitas antioksidan komersial BHT. S. platensis

terbukti memiliki aktivitas sebagai antibakteri dan antikapang. Hasil penelitian Abedin dan Taha (2008) menunjukkan bahwa S. platensis mampu menghambat pertumbuhan mikroba antara lain Aspergillus flavus, Fusarium monilivorme, Candida albicans, Bacillus subtilis dan Pseudemonas aeruginosa.

2.2 Mie

Mie merupakan makanan yang sangat popular di Asia. Sekitar 40% dari konsumsi tepung terigu di Asia digunakan untuk pembuatan mie. Di Indonesia pada tahun 1990, penggunaan tepung terigu untuk pembuatan mie mencapai 60-70% (Kruger dan Matsuo 1996). Hal ini menunjukkan bahwa mie merupakan makanan yang sangat popular di Asia khususnya Indonesia.

Mie basah adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan (BSN 1992). Berdasarkan cara pembuatannya, mie dibedakan menjadi mie basah mentah (contohnya mie ayam) dan mie basah matang (contohnya mie bakso), sedangkan berdasarkan jenis produk yang dipasarkan terdapat dua jenis mie yaitu mie basah dan mie kering. Perbedaan dari kedua produk ini adalah kadar air dan tahapan proses pembuatan (Pagani 1985). Syarat mutu mie basah menurut BSN (1992) disajkan pada Tabel 3.

Berdasarkan kadar air dan tahapan pengolahannya, Winarno dan Rahayu (1994) membagi mie yang terbuat dari gandum menjadi lima golongan, yaitu: (1) mie basah mentah yang dibuat langsung dari proses pemotongan lembaran adonan dengan kadar air 35%, (2) mie basah matang, yaitu mie basah mentah yang telah mengalami perebusan dalam air mendidih sebelum dipasarkan dengan kadar air 52%, (3) mie kering, yaitu mie basah yang telah dikeringkan dengan kadar air 10%, (4) mie goreng, yaitu mie basah mentah yang lebih dahulu digoreng sebelum dipasarkan, dan (5) mie instan, yaitu mie basah mentah yang telah mengalami pengukusan dan pengeringan sehingga menjadi mie instan kering atau digoreng menjadi mie instan goreng.


(9)

9

Tabel 3 Syarat mutu mie basah berdasarkan SNI01-2987-1992.

Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1992)

Mie basah umumnya terbuat dari tepung gandum (tepung terigu), air, dan garam dengan/tanpa penambahan garam alkali. Terigu merupakan bahan utama dalam pembuatan mie basah. Fungsi terigu adalah sebagai bahan pembentuk struktur, sumber karbohidrat, sumber protein dan pembentuk sifat kenyal gluten. Garam berfungsi memberikan rasa, memperkuat tekstur dan mengikat air. Garam alkali berfungsi untuk meningkatkan pH, menyebabkan warna sedikit kuning dengan flavor yang lebih baik (Astawan 1999).

Proses pembuatan mie basah matang meliputi pencampuran semua bahan menjadi adonan lalu dibentuk menjadi lembaran-lembaran tipis dengan mesin rollpress, diistirahatkan, kemudian dipotong menjadi benang-benang mie. Proses pencampuran bahan-bahan untuk menghasilkan adonan yang homogen. Selain itu, proses ini juga memicu terjadinya hidrasi tepung yang merata dan menarik serat-serat gluten sehingga menjadi adonan yang elastis dan halus. No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan :

1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna - Normal Normal Normal

2 Air % b/b 20-35

3 Abu (dihitung atas dasar

bahan kering

% b/b Maks 3

4 Protein (Nx 6,25) dihitung

atas dasar bahan kering

% b/b Min 3

5 Bahan tambahan pangan

5.1 Boraks 5.2 Pewarna 5.3 Formalin

-

Tidak boleh ada

Sesuai SNI-0222-M dan Peraturan MenKes No.722/MenKes/Per/IX/88 Tidak boleh ada

6 Cemaran Mikroba

6.1 Angka Lempeng Total 6.2 E.coli

6.3 Kapang

Koloni/g APM/g Koloni/g

Maks 1,0 x 106

Maks 10,0

Maks 1,0 x 104

7 Cemaran Logam :

7.1 Timbal (Pb) 7.2 Tembaga (Cu) 7.3 Seng (Zn) 7.4 Raksa (Hg)

mg/kg

Maks 1,0 Maks 10,0 Maks 40,0 Maks 0,05


(10)

Pembentukan gluten sudah mulai terjadi pada proses pencampuran walaupun belum maksimal (Kruger dan Matsuo 1996).

2.3 Serat Pangan (Dietary Fiber)

Dietary fiber merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis dalam lambung dan usus kecil (Van Der Kamp 2004). Serat-serat tersebut banyak berasal dari dinding sel berbagai jenis sayuran dan buah-buahan. Secara kimia dinding sel tersebut terdiri dari beberapa jenis karbohidrat, yaitu selulosa, hemiselulosa, pektin dan non karbohidrat misalnya polimer lignin, beberapa gumi dan mucilage. Dietary fiber pada umumnya merupakan karbohidrat atau polisakarida. Berbagai jenis makanan pada umumnya mengandung dietary fiber (Winarno 2008). Istilah serat pangan berbeda dengan serat kasar yang biasa digunakan dalam analisis proksimat bahan pangan. Muchtadi (1989) menyatakan serat kasar adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang biasa digunakan untuk menentukan kadar serat kasar (asam sulfat dan natrium hidroksida), sedangkan serat pangan adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan.

Serat pangan terbagi ke dalam dua kelompok yaitu serat pangan tak larut (insoluble dietary fiber) dan serat pangan larut (soluble dietary fiber). Serat pangan tidak larut contohnya selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang ditemukan pada serealia, kacang-kacangan dan sayuran. Serat pangan larut contohnya gum, pektin dan mucilago (Muchtadi 2001).

2.4 Kerusakan Mikrobiologis

Bila dilihat dari penyebabnya, kerusakan bahan pangan dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu kerusakan mikrobiologis, fisik, biologis dan kimia. Penyebab kerusakan mikrobiologis adalah bermacam-macam mikroba seperti khamir, bakteri dan kapang yang memiliki daya perusak terhadap bahan pangan. Cara perusakannya adalah dengan menghidrolisis atau mendegradasi makromolekul penyusun bahan pangan tersebut menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil. Karbohidrat diubah menjadi gula sederhana atau pemecahan lebih lanjut dari gula menjadi asam-asam yang mempunyai atom karbon yang rendah. Protein


(11)

11

dipecah menjadi gugusan peptida serta senyawa amida dan amoniak. Lemak dipecah menjadi asam-asam lemak dan gliserol (Muchtadi 2008).

Pertumbuhan mikroba terdiri dari beberapa fase, yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan logaritmik, fase pertumbuhan tetap, fase menuju kematian dan fase kematian. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba yang bersifat heterotrof adalah tempertur, tersedianya nutrient, air, oksigen dan adanya zat penghambat (Fardiaz 1992).

Mie yang bermutu baik pada umumnya berwarna putih atau kuning terang, tekstur agak kenyal, tidak mudah putus. Akan tetapi, jika disimpan lama, mie akan mengalami perubahan warna menjadi lebih gelap. Meunurut Hoseney (1998), jika mie basah mentah disimpan pada suhu lemari es, maka pada jam ke 50 hingga ke 60, warna mie basah mentah akan menjadi gelap.

Kerusakan mikrobiologis pada mie umumnya disebabkan oleh bakteri, kapang dan khamir. Tingginya kadar air pada mie, yaitu sekitar 20-35% pada mie basah mentah dan 52% pada mie basah matang (Sukowati 2007) menyebabkan mikroorganisme semakin mudah untuk tumbuh. Menurut Chamdani (2005), jumlah kapang pada mie basah mentah telah mencapai 3,8 x 104 koloni/g selama penyimpanan 48 jam. Jumlah maksimal kapang pada mie basah mentah adalah 1,0 x 104 koloni/g (BSN 1992).

Penggunaan bahan pengawet seperti formalin memang dapat memperpanjang umur simpan mie. Namun, menurut Peraturan Menteri Kesehatan (MenKes) Nomor 1168/MenKes/PER/X/1999, formalin merupakan bahan kimia yang penggunaannya dilarang pada produk makanan.

2.5 Angka Kecukupan Gizi (AKG)

Kecukupan gizi adalah jumlah masing-masing zat gizi yang sebaiknya dipenuhi oleh seseorang agar dapat hidup sehat (Almatsier 2003). Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal (Khomsan 2002). Widya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004), menyatakan bahwa kebutuhan minimal energi adalah 2000 kkal, karbohidrat 300 g, protein 60 g, dan lemak 62 g.


(12)

Almatsier (2003) menyebutkan bahwa perhitungan nilai energi makanan melalui perhitungan, dilakukan menggunakan faktor Atwater menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein serta nilai energi faal makanan tersebut. Faktor Atwater merupakan angka konversi karbohidrat, lemak dan protein tiap gramnya dalam menghasilkan energi. Faktor Atwater untuk karbohidrat sebesar 4 kkal/g, lemak sebesar 9 kkal/g dan protein sebesar 4 kkal/g.

Nilai energi= faktor Atwater x kadar gizi bahan pangan

Nilai energi= (4 kkal x kadar karbohidrat) + (9 kkal x kadar lemak) + (4 kkal x kadar protein)


(13)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan September-November 2011 bertempat di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Laboratorium Biokimia Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah

Spirulina platensis yang diperoleh dari perusahaan di Jepara. Bahan utama lain yaitu tepung terigu, garam, soda kue, margarin dan air. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis proksimat antara lain kertas saring, kapas bebas lemak, selenium, heksana, H2SO4, H3BO3 2%, NaOH 40%, HCl 0,1 N, akuades, bromcherosol green 0,1%, dan methyl red 0,1%. Bahan-bahan yang digunakan untuk uji mikrobiologi antara lain garam fisiologis, akuades, Nutrient Agar (NA) dan Potato Dextrose Agar (PDA). Bahan-bahan yang digunakan untuk uji serat antara lain etanol, akuades, Na2CO3 5%, reagen folin-ciocelteau 50% dan asam galat.

Alat yang digunakan untuk pembuatan mie antara lain timbangan, baskom dan rollpress. Alat-alat yang digunakan untuk analisis proksimat antara lain timbangan digital, cawan porselin, gegep, desikator, oven, kompor, tanur, pipet, bulb, labu kjeldahl, tabung sokhlet, labu lemak, desikator, buret, dan erlenmeyer. Alat-alat yang digunakan untuk analisis mikrobiologi antara lain timbangan digital, cawan petri, sudip, mortar, vortex, oven, inkubator, cawan petri, tabung reaksi, rak tabung reaksi, erlenmeyer dan pipet volumetrik.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini melalui beberapa tahapan, yaitu 1) pembuatan mie basah dengan fortifikasi Spirulina,2) pemilihan formulasi terbaik, 3) penyimpanan mie basah Spirulina terpilih. Analisis yang dilakukan antara lain analisis proksimat (kadar air, kadar abu, protein dan lemak), pengujian organoleptik, analisis serat,


(14)

perhitungan Angka Kecukupan Gizi (AKG), pengukuran aktivitas air (aw), perhitungan TPC dan total kapang-khamir. Tahapan penelitian disajikan dalam diagram alir pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir metode penelitian. Bahan baku: tepung

terigu, margarin, air,

garam, soda kue Spirulina

Pembuatan mie basah dengan fortifikasi

Spirulina (0%, 5%, 10% dan 15%)

Mie basah Spirulina

Pengujian organoleptik

Analisis proksimat: -Kadar air

-Kadar abu -Protein -Lemak

Formulasi terpilih

Penyimpanan mie basah

Spirulina terpilih dan mie kontrol

pada suhu

chilling (6-7°C) selama 8 hari

Perhitungan AKG Analisis serat

Pengukuran kadar air Pengukuran

aw

Analisis TPC dan total kapang dan khamir Pengujian organoleptik


(15)

15

3.4 Pembuatan Mie Basah Spirulina

Mie basah yang dibuat pada penelitian ini diminimalisasi penggunaan bahan tambahan pangan. Bahan-bahan yang digunakan antara lain tepung terigu, margarin, air, garam dan natrium karbonat. Adapun komposisi masing-masing bahan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi mie basah (modifikasi Bogasari 2011)

Gambar 3 Diagram alir pembuatan mie basah (Bogasari 2011).

Metode yang digunakan dalam pembuatan mie basah mengacu pada Bogasari (2011). Pembuatan mie basah dimulai dengan menimbang terigu, kemudian pencampuran semua bahan-bahan dan aduk sampai rata. Saat adonan menjadi kalis, proses dilanjutkan dengan pembentukan lembaran. Setelah terbentuk lembaran, kemudian dilakukan penipisan lembaran hingga ketebalan

Komposisi Jumlah (gram)

Tepung terigu 100

Margarin 10

Air 28

Garam 1

Natrium karbonat 1

Pencampuran bahan

Pengadukan

Pembentukan lembaran

Penipisan lembaran

Pemotongan lembaran

Mie basah Tepung Terigu


(16)

yang diinginkan dan pemotongan lembaran. Persentase fortifikasi Spirulina yang ditambahkan sebesar 0%, 5%, 10% dan 15% (dihitung dari bobot terigu). Persentase tersebut ditentukan berdasarkan penelitian pendahuluan dengan persentase fortifikasi 2,5%. Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan protein kecil, sehingga presentase dinaikkan. Penambahan Spirulina pada mie basah dilakukan saat pencampuran adonan. Sebelum dicampur, Spirulina dilarutkan dalam air terlebih dahulu agar homogen.

3.5 Penyimpanan Mie Basah Spirulina

Mie Spirulina terpilih disimpan pada suhu chilling, dalam lemari pendingin dengan suhu 6-7 °C. Kontaminasi dihindari dengan cara pengemasan mie dengan plastik mika. Penyimpanan mie dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi. Selama masa penyimpanan, dilakukan beberapa uji antara lain uji kadar air, aktifitas air, total bakteri, total kapang-khamir serta uji organoleptik. Pengujian dilakukan setiap dua hari sekali selama delapan hari penyimpanan.

3.6 Prosedur Analisis

Analisis yang dilakukan untuk mendapatkan formulasi mie Spirulina

terbaik meliputi: kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan uji organoleptik. Mie Spirulina terpilih yang disimpan dilakukan analisis meliputi: serat pangan, total plate count (TPC), total kapang-khamir, aktivitas air (aw), dan uji organoleptik.

3.6.1 Analisis kadar air (AOAC 1995)

Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 102-105 oC selama 30 menit. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30 menit) hingga dingin dan ditimbang hingga beratnya konstan. Kemudian cawan dan sampel seberat 1-2 gram ditimbang setelah terlebih dahulu dihomogenkan. Cawan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105 oC selama 6 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan hingga dingin kemudian ditimbang, penimbangan diulang sampai berat konstan.


(17)

17

Perhitungan kadar air:

% kadar air = x 100 %

Keterangan: A = Berat cawan kosong (gram) B = Berat cawan dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram) 3.6.2 Analisis kadar abu (AOAC 1995)

Cawan abu porselen dikeringkan di dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105 oC, lalu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 1-2 gram yang telah dihomomogenkan dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Cawan abu porselen dipijarkan dalam tungku pengabuan bersuhu sekitar 105 oC sampai tidak berasap. Selanjutnya cawan tersebut dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 oC selama 2-3 jam. Proses pengabuan dilakukan sampai abu berwarna putih. Setelah itu cawan abu porselen didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang beratnya.

Perhitungan kadar abu: % Kadar abu: x 100 %

Keterangan: A = Berat cawan abu porselen kosong (gram) B = Berat cawan abu porselen dengan sampel (gram)

C = Berat cawan abu porselen dengan sampel setelah dikeringkan (gram)

3.6.3 Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Prinsip dari analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.

(1) Tahap destruksi

Sampel ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung Kjeltec. Setengah butir Kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening.


(18)

(2) Tahap destilasi

Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan dengan aquades (50 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml.

Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (cairan methyl red dan brom cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer. (3)Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah (warna asam borat semula).

Perhitungan jumlah nitrogen dalam bahan:

% Nitrogen = x 100 %

% Kadar protein = % Nitrogen x faktor konversi (6,25) 3.6.4 Analisis kadar lemak (AOAC 1995)

Sampel seberat 2 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet, lalu dipanaskan pada suhu 40 oC dengan menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).

Perhitungan kadar lemak:


(19)

19

Keterangan: W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)

3.6.5 Analisis serat pangan (dietary fiber) (Asp et al. 1983)

Analisis serat pangan dilakukan mengacu pada metode multi enzim (Asp et al. 1983). Serat pangan terdiri atas serat pangan larut dan serat pangan tidak larut. Analisis serat pangan diawali dengan menghaluskan sampel kemudian dihomogenkan dan diliofilisasi. Sampel yang akan digunakan adalah sampel dalam keadaan tanpa lemak dan air. Oleh karena itu, dilakukan ekstraksi lemak dan pengeringan. Sampel tanpa lemak dan air ditimbang sebanyak 1 gram lalu ditambahkan 25 ml buffer phospat dan 0,1 ml enzim thermamil. Selanjutnya sampel dipanaskan pada suhu 80 °C selama 15 menit. Setelah dipanaskan, sampel didinginkan dan dilakukan pengaturan pH menjadi 1,5 dengan menggunakan HCl 4 N. Setelah dilakukan pengaturan pH, sampel ditambahkan suspensi pankreatin dan diinkubasi dalam suhu 37 °C selama 2 jam kemudian dilakukan pengaturan pH kembali dengan menggunakan HCl 4 N hingga diperoleh larutan sampel dengan pH 4,5.

1) Analisis serat pangan tak larut air (Insoluble Dietary Fiber)

Analisis serat pangan tak larut air dilakukan dengan menyaring larutan sampel pH 4,5 dengan kertas saring saring Whatman 40 hingga diperoleh filtrat dan residu. Residu yang diperoleh kemudian dibilas dengan akuades dan dicuci dengan 50 ml etanol 79%. Tahap selanjutnya dilakukan pencucian kembali dengan menggunakan aseton lalu dipanaskan dalam oven dengan suhu 105 °C selama 3 jam. Setelah dioven, sampel didinginkan dan ditimbang kemudian diarangkan dan ditanur dalam suhu 550 °C. Selanjutnya sampel didinginkan dan ditimbang lalu dilakukan perhitungan dengan rumus berikut.

(

) (

)

(

)

% 100 ) 100 / ( = − − − − × A blanko D E B C g g IDF Keterangan :

A = Berat sampel

B = Berat kertas saring kosong

C = Berat kertas saring + residu setelah dioven D = Berat cawan porselen kosong


(20)

2) Analisis serat pangan larut air (Soluble Dietary Fiber)

Analisis serat pangan larut air dilakukan dengan penambahan 400-500 ml etanol 95% pada filtrat yang diperoleh dari analisis serat pangan tak larut. Selanjutnya sampel dipanaskan hingga 60 °C dalam waterbath kemudian didiamkan selama 1 jam. Sampel disaring dengan kertas saring Whatman 40 hingga diperoleh residu dan filtrat. Residu yang diperoleh kemudian dibilas dengan akuades dan dicuci dengan 50 ml etanol 78% lalu dicuci kembali dengan aseton. Tahap selanjutnya sampel dipanaskan dalam oven dengan suhu 105 °C selama 3 jam. Sampel didinginkan dan ditimbang kemudian diarangkan dan ditanur dalam suhu 550 °C. Sampel yang telah dingin selanjutnya ditimbang dan dilakukan perhitungan dengan rumus berikut.

(

) (

)

(

)

% 100 ) 100 / ( = − − − − × A blanko H I F G g g SDF Keterangan :

A = Berat sampel

F = Berat kertas saring kosong

G = Berat kertas saring + residu setelah dioven H = Berat cawan porselen kosong

I = Cawan porselen + abu setelah ditanur 3.6.6 Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1992)

Prinsip kerja dari analisis TPC adalah perhitungan jumlah koloni bakteri yang ada di dalam sampel dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo dapat meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni bakteri yang dapat dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni.

Sebanyak 10 gram sampel yang dihaluskan terlebih dahulu, dilarutkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 90 ml larutan NaCl 0,85% (larutan garam fisiologis/garfis) sehingga didapatkan pengenceran 10-1. Sebanyak 1 ml dari larutan tersebut dipipet, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml larutan garam fisiologis untuk memperoleh pengenceran 10-2. Pengenceran dilakukan sampai diperoleh pengenceran 10-5. Setiap tabung reaksi pengenceran tersebut diambil dengan menggunakan pipet sebanyak 1 ml selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan petri yang sudah disterilkan. Setiap


(21)

21

pengenceran dilakukan secara duplo. Kemudian setiap cawan tersebut digerakkan secara melingkar di atas meja supaya media Nutrient Agar merata.

Setelah Nutrient Agar membeku, cawan petri diinkubasi dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 30 oC, cawan petri tersebut diletakkan secara terbalik. Setelah masa inkubasi, koloni yang tumbuh pada cawan petri dihitung dengan jumlah koloni yang dapat diterima 30-300 koloni percawan. Nilai TPC dapat dihitung dengan memakai rumus berikut:

Unit per ml atau gram = Jumlah koloni per cawan X

1

Faktor pengeceran Data yang dilaporkan sebagai Standard Plate Count (SPC) harus mengikuti syarat-syarat sebagai berikut:

1) Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama dan kedua. Jika angka ketiga sama dengan atau lebih besar dari lima, harus dibulatkan satu angka lebih tinggi dari angka kedua.

2) Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan kurang dari 30 koloni pada cawan petri, hanya koloni pada pengenceran terendah yang dihitung, hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 30 dikalikan dengan faktor pengencer, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan.

3) Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan lebih dari 300 koloni, hanya jumlah koloni pada pengenceran tertinggi yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai lebih dari 300 dikalikan dengan faktor pengencer.

4) Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni dengan jumlah antara 30-300, dimana perbandingan antara jumlah koloni tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran tersebut lebih dari satu atau sama dengan dua, maka tentukan rata-rata dari kedua nilai tersebut dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika perbandingan antara nilai tertinggi dan nilai terendah lebih besar dari dua, maka yang dilaporkan hanya hasil nilai terkecil.

5) Jika digunakan dua cawan petri (duplo) pengenceran, data yang diambil harus dari kedua cawan tersebut.


(22)

3.6.7 Total kapang-khamir (SNI 2332.7:2009)

Sebanyak 10 gram sampel yang dihaluskan terlebih dahulu, dilarutkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 90 ml larutan NaCl 0,85% (larutan garam fisiologis/garfis) sehingga didapatkan pengenceran 10-1. Sebanyak 1 ml dari larutan tersebut dipipet, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml larutan garam fisiologis untuk memperoleh pengenceran 10-2. Pengenceran dilakukan sampai didapat pengenceran 10-5. Dari setiap tabung reaksi pengenceran tersebut diambil dengan menggunakan pipet sebanyak 1 ml selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan petri yang sudah disterilkan. Setiap pengenceran dilakukan secara duplo. Kemudian setiap cawan tersebut digerakkan secara melingkar di atas meja supaya media PDA merata.

Setelah PDA membeku, cawan petri diinkubasi dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 30 oC, cawan petri tersebut diletakkan secara terbalik. Setelah masa inkubasi, koloni yang tumbuh pada cawan petri dihitung dengan jumlah koloni yang dapat diterima 10-150 koloni per cawan. Nilai total kapang dan khamir dapat dihitung dengan memakai rumus berikut:

(

) (

)

[

n n

]

d

C N × × + × =

2 1 0,1

1

Keterangan:

N : jumlah koloni produk, dinyatakan dalam koloni per ml atau koloni per g Σ C : jumlah koloni pada semua cawan yang dihitung

n1 : jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung n2 : jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung d : pengenceran pertama yang dihitung

3.6.8 Pengukuran aktivitas air (

a

w) menggunakan aw-meter Shibaura WA-360

Alat yang digunakan untuk mengukur

aw

adalah

aw

-meter Shibaura WA-360. Mie diletakkan di dalam cawan sensor, kemudian cawan sensor dimasukkan ke dalam sensor

aw

-meter dan ditekan tombol Start untuk memulai pengukuran. Nilai A dapat dibaca pada layar setelah ada tulisan complete. Sebelum digunakan untuk mengukur mie, alat dikalibrasi dengan NaCl jenuh. 3.6.9 Uji organoleptik/uji hedonik (Rahayu 2001)

Uji hedonik dilakukan untuk menilai sifat organoleptik yang spesifik. Uji hedonik dilakukan oleh 30 orang panelis semi terlatih. Skala yang digunakan


(23)

23

adalah skala numerik dengan 9 skala. Pengujian organoleptik ini dilakukan untuk mendapatkan formulasi mie terbaik dan mengetahui perubahan penilaian panelis selama penyimpanan mie. Score sheet uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.7 Rancangan Percobaan dan Analisis Data a) Analisis proksimat (Steel dan Torry 1993)

Penelitian ini dilakukan dengan model Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan model sebagai berikut :

Ŷij = µ + αi + εij

Keterangan :

Ŷij = respon pengaruh konsentrasi pada taraf i ulangan ke-j µ = efek nilai tengah/nilai rata-rata sebenarnya

αi = pengaruh konsentrasi pada taraf ke-i

εij = pengaruh acak (galat percobaan) pada konsentrasi taraf i ulangan ke-j i = 0 %, 5 %, 10 %, dan 15 % ( penentuan formula mie terpilih )

Hipotesis yang diuji pada pembuatan mie basah dengan penambahan konsentrasi Spirulina adalah sebagai berikut :

H0 = Penambahan konsentrasi Spirulina yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap karakteristik mie.

H1 =Penambahan Spirulina yang berbeda berpengaruh nyata terhadap karakteristik mie.

Data peubah yang diamati dianalisis secara statistik dengan analisis ragam. Pengujian lanjut Tukey dilakukan jika analisisnya berpengaruh nyata. b) Uji organoleptik (Steel dan Torry 1993; Daniel 1990)

Analisis non-parametrik yang dilakukan dalam pengujian adalah metode uji Kruskal-Wallis dan uji Dunn, yaitu :

a) Meranking data dari yang terkecil ke yang terbesar untuk seluruh perlakuan dalam satu parameter.


(24)

Keterangan:

n = Banyaknya pengamatan dalam perlakuan Ri = Jumlah ranking dalam perlakuan ke-i T = Banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H’ = H terkoreksi

Keterangan:

Ri = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-i Rj = Rata-rata nilai rangking perlakuan ke-j K = Banyaknya ulangan


(25)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Formulasi Mie Basah Spirulina Terpilih

Mie basah yang dibuat pada penelitian ini berbeda dengan mie basah yang telah ada di pasaran. Mie basah dibuat dengan penambahan Spirulina yang bertujuan untuk meningkatkan kandungan gizi pada mie. Penelitian ini dibuat empat jenis mie dengan perlakuan penambahan konsentrasi Spirulina yang berbeda, yaitu sebesar 0%, 5%, 10% dan 15%. Mie basah dengan penambahan

Spirulina 0%, 5%, 10% dan 15% dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Mie basah dengan penambahan Spirulina yang berbeda.

Penentuan formulasi mie basah Spirulina terpilih dilihat berdasarkan komposisi kimia dan uji organoleptik. Penambahan Spirulina ke dalam mie basah diharapkan mampu meningkatkan nilai gizi dan hasil pengujian organoleptiknya masih dapat diterima oleh panelis. Mie basah Spirulina terpilih selanjutnya dilakukan pengujian kandungan serat pangan (dietary fiber) serta pengujian mikrobiologis pada penyimpanan suhu chilling (6-7 °C).


(26)

4.1.1 Komposisi kimia mie basah Spirulina

Bahan pangan yang baik yaitu bahan pangan yang mempunyai komposisi gizi yang lengkap meliputi air, abu, protein, lemak dan karbohidrat. Setiap komponen ini harus diketahui jumlahnya agar pemenuhan gizi dalam tubuh dapat terpenuhi secara tepat. Komposisi kimia ini dapat diketahui dengan cara analisis proksimat. Komposisi kimia Spirulina yang digunakan pada pembuatan mie

Spirulina dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi kimia Spirulina

Komposisi kimia Jumlah (%)

Kadar air 5,86

Kadar abu 8,73

Protein 66,26

Lemak 2,40

Kadar air yang terkandung dalam Spirulina hanya sebesar 5,86%. Rendahnya kadar air ini karena pengeringan yang dilakukan menggunakan

spray dryer dengan suhu 120 °C. Kadar abu dan lemak pada Spirulina masing-masing 8,73% dan 2,40%. Komposisi kimia yang terbesar dikandung oleh Spirulina adalah protein, yaitu sebesar 66,26%. Richmond (1988) menyatakan hasil analisis asam amino dari Spirulina mexican yang dikeringkan dengan spray dryer ditemukan 18 asam amino. Berdasarkan hasil penelitian Choi et al. (2003) Spirulina yang dikultivasi selama 30 hari dengan urea sebagai sumber nitrogen memiliki kandungan asam amino tertinggi yaitu sebesar 173 mg/g berat kering.

Komposisi kimia Spirulina tidak selalu sama, dipengaruhi oleh banyak faktor. Colla et al. (2007b) menyebutkan bahwa suhu dan media kultivasi berpengaruh terhadap biomassa, protein, lemak dan fenol. Suhu kultivasi sebesar 35 °C memberikan pengaruh negatif terhadap produksi biomassa dan memberikan pengaruh positif terhadap protein, lemak dan fenol. Tingginya kandungan protein dan rendahnya lemak pada Spirulina menjadi kelebihan tersendiri, sehingga para vegetarian atau konsumen yang sedang melakukan diet tidak perlu khawatir untuk mengkonsumsi Spirulina. Pengaruh penambahan


(27)

27

Tabel 6 Komposisi kimia mie basah Spirulina.

Kode Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Protein (%) Lemak (%) Mentah Matang Mentah Matang Mentah Matang Mentah Matang S0 31,04 59,82 1,38 0,50 9,53 5,74 5,67 2,17 S5 31,09 60,88 2,71 0,86 11,86 6,79 5,86 2,25 S10 29,78 60,62 2,82 0,89 12,41 7,60 6,10 2,43 S15 30,19 61,07 2,93 0,93 13,96 8,03 6,39 2,57

Keterangan:

S0 : mie dengan penambahan Spirulina 0% S5 : mie dengan penambahan Spirulina 5% S10 : mie dengan penambahan Spirulina 10% S15 : mie dengan penambahan Spirulina 15%

Komposisi kimia mie basah Spirulina diuji dalam keadaan mentah dan matang. Mie basah Spirulina matang yaitu mie setelah direbus selama 2 menit pada suhu 100 °C. Pengujian komposisi kimia mie basah Spirulina matang dilakukan untuk mengetahui besarnya perubahan komposisi kimia mie basah

Spirulina yang telah siap untuk dikonsumsi.

Penambahan Spirulina ke dalam mie basah secara umum memperlihatkan peningkatan terhadap komposisi gizi, terutama protein. Kandungan protein pada mie basah mentah meningkat cukup signifikan seiring dengan semakin banyaknya konsentrasi Spirulina yang ditambahkan yaitu sebesar 9,53% pada mie basah dengan penambahan Spirulina 0% dan 13,96% pada mie basah dengan penambahan Spirulina 15%. Hal yang sama terjadi pada mie basah yang telah matang. Semakin banyak Spirulina yang ditambahkan, semakin besar pula kandungan protein pada mie basah, yaitu sebesar 5,74% pada mie basah dengan penambahan Spirulina 0% dan 8,03% pada mie basah dengan penamban Spirulina 15%.

Besarnya peningkatan kandungan protein pada mie basah setelah penambahan Spirulina tidak sejalan peningkatan kadar air, kadar abu dan lemak. Hal ini karena kandungan air, abu dan lemak pada Spirulina yang ditambahkan tidak terlalu besar. Kadar air pada mie basah matang dengan penambahan

Spirulina 0% dan 15% berturut-turut sebesar 31,04% dan 30,19%, sedangkan pada mie basah mentah berturut-turut 59,82% dan 61,07%.

Kadar abu menyatakan jumlah mineral yang terkandung di dalamnya. Kadar abu mie basah setelah penambahan Spirulina lebih besar bila dibandingkan


(28)

dengan kadar abu mie basah tanpa penambahan Spirulina. Mie basah dengan penambahan Spirulina 15% memiliki kadar abu tertinggi, yaitu sebesar 2,93% pada kondisi mentah dan 0,86% setelah dimatangkan.

Kandungan lemak Spirulina hasil uji proksimat menunjukkan nilai yang terendah dibandingkan komposisi kimia yang lain. Hal ini menyebabkan penambahan Spirulina ke dalam mie basah tidak mengakibatkan perubahan kandungan lemak yang terlalu besar. Kadar lemak tertinggi terdapat pada mie basah dengan penambahan Spirulina 15%, yaitu sebesar 6,10% pada kondisi mentah dan 2,43% setelah dimatangkan.

1) Kadar air

Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan. Air merupakan komponen yang paling penting dalam bahan pangan, karena dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa bahan pangan. Kandungan air dalam bahan pangan juga menentukan daya terima, kesegaran, serta daya simpan bahan tersebut (Winarno 2008). Hasil analisis kadar air mie basah mentah dan matang dengan penambahan Spirulina yang berbeda disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Kadar air mie basah Spirulina

( mie basah mentah; mie basah matang).

Keterangan : Angka-angka pada histogram dengan pattern sejenis yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Data hasil analisis kadar air dilakukan uji kenormalan untuk mengetahui

sebaran data. Data hasil analisis kadar air menyebar normal karena nilai p-value lebih besar dari 0,05 (Lampiran 3), setelah diketahui bahwa data


(29)

29

(Lampiran 4) menunjukkan bahwa penambahan Spirulina tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap kadar air yang terkandung di dalam mie basah. Hal ini terjadi baik pada mie basah mentah maupun pada mie basah matang. Besarnya kadar air yang terkandung pada mie basah matang berkisar antara 59,82%-61,07%, sedangkan mie basah mentah berkisar antara 29,78%-31,09%. Nilai ini sesuai dengan persyaratan mutu SNI 01-2987-1992 bahwa kadar air mie basah sekitar 20-35%. Besarnya kadar air pada mie basah mentah ini tidak jauh berbeda dengan kandungan air mie basah yang berada di pasaran. Menurut Widaningrum et al. (2005), kadar air mie basah di pasaran yaitu sebesar 31,2%.

Besarnya kadar air pada mie basah yang telah dimasak berkisar antara 59,82-61,07%. Adanya proses perebusan menyebabkan peningkatan kadar air sekitar 50%. Peningkatan ini disebabkan oleh sifat dari pati yang cenderung suka air (hidrofil). Winarno (1992) menyatakan apabila pati mentah dimasukkan ke air panas maka pati tersebut akan menyerap air dan membengkak (gelatinisasi). Karena jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuannya untuk menyerap air sangat besar. Pemanasan menyebabkan air yang semula berada di luar granula bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, menjadi berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi. Hal itulah yang secara langsung mempengaruhi kadar air produk.

Kadar air pada masing-masing mie basah besarnya tidak jauh berbeda. Hal ini dikarenakan penambahan air pada masing-masing adonan mie basah sama. Air merupakan bahan yang penting dalam pembuatan mie. Tanpa adanya air, pembentukan protein gluten yang elastis tidak dapat terjadi (Fu 2008).

2) Kadar abu

Penentuan kadar abu merupakan cara pendugaan mineral bahan pangan secara kasar. Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air, sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Bahan-bahan organik dalam makanan akan terbakar selama proses pembakaran, sedangkan bahan anorganik tidak terbakar, karena itulah disebut kadar abu (Winarno 2008). Hasil analisis kadar abu mie basah dengan penambahan Spirulina yang berbeda disajikan pada Gambar 6.


(30)

Gambar 6 Kadar abu mie basah Spirulina

( mie basah mentah; mie basah matang).

Keterangan : Angka-angka pada histogram dengan pattern sejenis yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Data hasil analisis kadar abu dilakukan uji kenormalan untuk mengetahui sebaran data. Data hasil analisis kadar abu tidak menyebar normal karena nilai p-value lebih kecil dari 0,05 (Lampiran 3), oleh karena itu dilakukan transformasi data dengan rumus (ln x)/234. Analisis ragam kemudian dilakukan setelah diketahui bahwa data menyebar normal. Hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa penambahan Spirulina memberikan pengaruh nyata (P<0,05)

terhadap kadar abu mie basah, baik kondisi mentah maupun matang. Uji Tukey (Lampiran 5) menunjukkan bahwa penambahan Spirulina memberikan

pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar abu mie basah, baik matang maupun mentah. Semakin besar penambahan Spirulina, semakin besar pula kadar abu di dalam mie basah. Kadar abu mie basah mentah pada penelitian ini berada pada rentang 1,38-2,93%. Nilai ini telah sesuai dengan persyaratan mutu berdasarkan SNI 01-2987-1992 yang menyatakan bahwa kandungan maksimal abu pada mie basah sebesar 3%. Kadar abu mie basah mentah yang dibuat pada penelitian ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mie basah yang berada di pasaran. Menurut Widaningrum et al. (2005), kadar abu pada mie basah yang berada di pasaran hanya mencapai 0,9%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan mineral pada mie basah komersial yang berada di pasaran lebih rendah.

Poses perebusan menyebabkan penurunan kadar abu lebih dari 50% pada semua perlakuan. Kadar abu pada mie basah mentah berkisar antara 1,38-2,93%, kemudian setelah direbus turun menjadi 0,5-0,93%. Berdasarkan


(31)

31

hasil penelitian Lola (2009), perebusan menyebabkan penurunan kadar abu pada

Solanecio biafrae dan Solanum nigrum hingga lebih dari 50%. Penurunan ini disebabkan oleh terlarutnya mineral pada saat proses perebusan. Penurunan kadar abu juga disebabkan oleh meningkatnya kadar air yang terkandung di dalam mie basah, sehingga rasio kadar abu menjadi rendah.

Kadar abu merupakan jumlah mineral yang terkandung di dalamnya. Kadar abu pada mie Spirulina lebih besar dibandingkan mie basah tanpa

Spirulina. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan Spirulina dapat meningkatkan kadar abu. Henrikson (2009) menyatakan bahwa Spirulina

mengandung mineral. Mineral yang terkadung dalam Spirulina antara lain kalsium, besi, magnesium, sodium, potasium, fosfor, seng, mangan, tembaga, dan krom. Kadar abu dalam bahan pangan seperti mie tidak boleh terlalu tinggi, karena kadar abu dalam mie dapat memberikan efek negatif terhadap warna mie (Hou dan Kruk 1998).

3) Kadar protein

Protein merupakan komponen kedua yang paling banyak terdapat dalam mie setelah air. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis proksimat mie yang disajikan pada Tabel 5. Protein merupakan salah satu makronutrien yang berperan dalam pembentukan biomolekul dan juga dapat juga dipakai sebagai sumber energi. Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung C, H, O dan N (Winarno 2008). Hasil analisis kadar protein mie basah dengan penambahan Spirulina yang berbeda disajikan pada Gambar 7.


(32)

Gambar 7 Kadar protein mie basah Spirulina

( mie basah mentah; mie basah matang).

Keterangan : Angka-angka pada histogram dengan pattern sejenis yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Data hasil analisis kadar protein dilakukan uji kenormalan untuk sebaran data. Data hasil analisis kadar protein menyebar normal karena nilai p-value lebih besar dari 0,05 (Lampiran 3), setelah diketahui bahwa data menyebar normal, kemudian dilakukan analisis ragam. Hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa penambahan Spirulina memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar protein mie basah, baik kondisi mentah maupun matang. Uji Tukey (Lampiran 5) menunjukkan bahwa penambahan Spirulina memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar protein mie basah. Semakin banyak

Spirulina yang ditambahkan semakin besar pula protein yang terkandung di dalam mie basah.

Penambahan 15% Spirulina pada mie basah mentah menyebabkan kenaikan kandungan protein yang cukup besar hingga mencapai 13,96%. Kandungan protein pada mie yang dibuat jauh di atas batas minimal yang ditentukan pada SNI 01-2987-1992 yaitu sebesar 3%. Nilai ini sangat jauh berbeda dengan kandungan protein pada mie basah komersial yang ada di pasaran. Widaningrum et al. (2005) melaporkan bahwa kandungan protein mie basah komersial hanya mencapai 6,7%. Rendahnya kandungan protein pada mie basah komersial dapat disebabkan oleh bermacam-macam faktor, antara lain kualitas tepung terigu serta bahan-bahan campuran yang digunakan dalam pembuatan mie basah.


(33)

33

Kandungan protein mie basah mentah lebih besar bila dibandingkan mie basah matang (Gambar 7). Hal ini menunjukkan bahwa perebusan menyebabkan penurunan kandungan protein. Proses termal yang terjadi selama perebusan dapat menyebabkan protein terdenaturasi. Denaturasi merupakan proses terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam dan terbentuknya lipatan molekul (Winarno 1992). Menurut hasil penelitian Ju et al. (2001) suhu di atas 70 °C mengakibatkan denaturasi albumin, globulin, glutein, dan pati tepung beras. Kandungan protein di dalam mie basah selain meningkatkan mutu mie basah, juga akan menciptakan adonan yang liat sehingga tidak mudah putus (Fu 2008).

Banyak usaha yang telah dilakukan untuk meningkatkan kandungan gizi pada mie basah, salah satunya penambahan wortel ke dalam mie basah. Menurut Nasution et al. (2006) penambahan 50 g wortel (33,33% dari bobot terigu) hanya meningkatkan kandungan protein dari 23 g menjadi 23,5 g (2,17%). Penambahan 15% Spirulina mampu meningkatkan protein sebesar 4,43%, sehingga dapat disimpulkan bahwa penambahan Spirulina jauh lebih efektif dalam meningkatkan kandungan protein mie basah dibandingkan dengan wortel.

Spirulina yang digunakan pada penelitian ini mengandung protein sebesar 66,26%. Protein pada Spirulina tersusun dari beberapa asam amino. Hasil penelitian Choi et al. (2003) menunjukkan bahwa Spirulina yang dikultivasi selama 30 hari dengan urea sebagai sumber nitrogen mengandung asam amino yang terdiri dari leusin (15,6 mg), valin (13,2 mg), fenilalanin (8,7 mg), treonin (8,4 mg), lisin (7,0 mg), metionin (2,5 mg), dan triptofan (1,1 mg) yang dihitung per gram berat kering Spirulina. Protein memiliki fungsi penting di dalam tubuh antara lain berperan dalam pergantian sel-sel tua dengan sel-sel baru dan membantu mengatur tekanan osmosis dan keseimbangan pH pada cairan biologis (Hammond 2008). Protein juga berfungsi sebagai pemberi kalori, bila jumlah karbohidrat dan lemak tidak mencukupi kebutuhan tubuh (Muchtadi 2008).

4) Kadar lemak

Lemak didefinisikan sebagai bahan-bahan yang larut dalam eter, kloroform dan tidak dapat larut dalam air. Lemak merupakan sumber energi yang


(34)

lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Satu gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal/g, sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal/g. Hasil analisis kadar lemak mie basah matang dan mentah dengan perlakuan penambahan Spirulina disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Kadar lemak mie basah Spirulina

( mie basah mentah; mie basah matang).

Keterangan : Angka-angka pada histogram dengan pattern sejenis yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Data hasil analisis kadar lemak dilakukan uji kenormalan untuk sebaran data. Data hasil analisis kadar lemak menyebar normal karena nilai p-value lebih besar dari 0,05 (Lampiran 3), setelah diketahui bahwa data menyebar normal, kemudian dilakukan analisis ragam. Hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa penambahan Spirulina memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar lemak, baik kondisi mentah maupun matang. Uji Tukey (Lampiran 5) menunjukkan bahwa penambahan Spirulina memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar lemak. Penambahan Spirulina menyebabkan kenaikan kadar lemak yang berbeda nyata kecuali pada mie basah dengan penambahan Spirulina 5% yang telah dimatangkan tidak berbeda nyata dengan mie basah tanpa penambahan Spirulina (0%).

Perubahan kandungan lemak pada mie basah Spirulina tidak terlalu besar. Hal ini terjadi karena kandungan lemak pada Spirulina kecil, yaitu sebesar 2,40%. Kadar lemak mie basah mentah yang dibuat pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lemak pada mie basah komersial. Hasil


(35)

35

penelitian Widaningrum et al. (2005) menunjukkan bahwa kadar lemak mie basah komersial yang berada di pasaran hanya mencapai 3,6%.

Spirulina mengandung asam lemak esensial (EFA) yang bermanfaat bagi tubuh. Asam lemak esensial (EFA) yang terkandung dalam setiap gram Spirulina

sebesar 54,6 mg yang terdiri dari miristik (1 mg), palmatik (244 mg), palmitoleik (33 mg), heptadekanoik (2 mg), strearik (8 mg), oleik (12 mg), linoleik (97 mg),

gamma-linolenic/GLA (135 mg) dan asam lemak lain (14 mg) (Henrikson 2009). Kandungan lemak mie basah mentah lebih besar bila dibandingkan mie basah matang (Gambar 8). Perebusan mie basah menyebabkan turunnya kandungan lemak yang cukup besar. Menurut Winarno (2008) air merupakan salah satu penyebab turunnya kandungan lemak dari suatu bahan pangan. Air dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis lemak menjadi gliserol dan asam lemak. Hasil penelitian Domiszewski et al. (2011) menunjukkan bahwa kandungan lemak fillet ikan lele rebus (10,44%) lebih rendah di bandingkan filet ikan lele segar (12,14%). Jumlah lemak yang lebih rendah pada sampel yang direbus diduga sebagai akibat penyebaran lemak dalam air rebusan.

4.1.2 Penilaian organoleptik

Uji organoleptik pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah suatu produk atau komoditi tertentu dapat diterima oleh konsumen. Oleh karena itu diperlukan panelis sebagai wakil dari konsumen.

Uji organoleptik dilakukan dengan cara memberikan penilaian menggunakan panca indra. Panca indra yang sering digunakan untuk menilai adalah panca indra penglihatan, penciuman, indra pengecap dan indra peraba. Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah penampakan, aroma, tekstur dan warna.

1) Penampakan

Penampakan merupakan daya tarik awal suatu produk. Penilaian organoleptik penampakan merupakan penilaian secara keseluruhan konsumen terhadap suatu produk, dan umumnya konsumen cenderung memilih makanan yang memiliki penampakan yang menarik.

Nilai penerimaan panelis terhadap penampakan mie basah berkisar antara 5,27 (netral) sampai 6,83 (agak suka). Nilai penerimaan panelis tertinggi pada


(36)

perlakuan penambahan Spirulina 0% sebesar 6,83 (agak suka), sedangkan nilai terendah pada perlakuan penambahan Spirulina 10% sebesar 5,27 (netral). Hasil pengujian penambahan Spirulina terhadap penilaian penampakan oleh panelis disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Nilai penerimaan panelis terhadap penampakan mie basah. Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 7) menunjukkan bahwa penambahan

Spirulina memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap penampakan mie basah. Perlakuan yang memberikan pengaruh nyata terhadap penampakan adalah penambahan 0% Spirulina dengan 5%, 10% dan 15%. Penampakan mie basah dengan penambahan Spirulina 5% tidak berbeda nyata dengan penambahan 10% dan 15% (Lampiran 6). Semakin banyak Spirulina yang ditambahkan, nilai penerimaan konsumen cenderung menurun. Hal ini dikarenakan makin banyak

Spirulina yang ditambahkan, mie terlihat lebih gelap dibandingkan mie basah tanpa penambahan Spirulina.

2) Aroma

Aroma merupakan salah satu parameter yang menentukan rasa enak dari suatu makanan. Aroma menjadi daya tarik tersendiri untuk menentukan rasa enak dari produk makanan itu sendiri. Uji terhadap aroma dalam industri pangan dianggap penting karena dengan cepat dapat memberikan penilaian terhadap hasil produksinya, apakah produksinya disukai atau tidak oleh konsumen (Soekarto 1985). Hasil pengujian penambahan Spirulina terhadap penilaian aroma oleh panelis disajikan pada Gambar 10.


(37)

37

Gambar 10 Nilai penerimaan panelis terhadap aroma mie basah. Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Berdasarkan uji Kruskal-Wallis yang dilakukan (Lampiran 7), aroma mie pada semua mie basah dengan penambahan Spirulina yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata pada taraf kepercayaan 95% (P>0,05) dengan skor kesukaan berada pada selang 5,73 (netral) hingga 6,07 (agak suka). Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian panelis, penambahan Spirulina pada mie basah tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aroma.

Aroma yang mendominasi mie basah tanpa penambahan Spirulina adalah aroma dari mentega. Hal ini berbeda dengan aroma pada mie basah dengan penambahan Spirulina, aroma Spirulina lebih dominan sehingga menutupi aroma mentega. Spirulina memiliki aroma khas karena kandungan proteinnya yang tinggi, menurut hasil penelitian Spolaore (2006) kandungan protein pada yaitu 60-71%. Namun perbedaan aroma ini ternyata tidak berpengaruh nyata pada nilai kesukaan panelis terhadap aroma mie.

3) Tekstur

Tekstur mempunyai peranan penting pada daya terima suatu produk makanan. Uji tekstur adalah pengindraan yang dihubungkan dengan indra rabaan atau sentuhan. Tekstur yang dimaksud adalah tingkat kekenyalan dari mie. Tingkat kekenyalan adalah gaya tekan yang mula-mula menyebabkan deformasi produk baru kemudian memecahkan produk setelah produk tersebut mengalami deformasi bentuk (Soekarto 1990). Hasil pengujian penambahan Spirulina


(38)

Gambar 11 Nilai penerimaan panelis terhadap tekstur mie basah. Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Berdasarkan uji Kruskal-Wallis (Lampiran 7), tekstur mie basah dengan penambahan Spirulina tidak memberikan pengaruh nyata pada taraf kepercayaan 95% (P>0,05) dengan skor kesukaan berada pada selang 6,20 (agak suka) hingga 6,40 (agak suka). Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian panelis, penambahan Spirulina pada mie basah tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap tekstur.

Penambahan Spirulina meningkatkan penilaian panelis terhadap tekstur, namun kembali menurun pada penambahan sebanyak 15%. Tekstur mie basah tanpa penambahan Spirulina cenderung lebih lembek dibandingkan dengan mie basah yang ditambahkan Spirulina. Tekstur mie yang ditambahkan Spirulina

lebih kenyal dan kompak. Spirulina yang ditambahkan memiliki kadar air yang sangat rendah karena dikeringkan dengan menggunakan spray dryer. Hal ini menyebabkan air yang terdapat di dalam mie tertarik oleh Spirulina sehingga tekstur mie menjadi lebih kenyal. Namun, penambahan Spirulina yang terlalu banyak menyebabkan tekstur mie menjadi lebih keras dan rapuh.

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi tekstur adalah air. Tanpa adanya air, pembentukan glutein tidak akan terjadi (Fu 2008). Apabila glutein tidak terbentuk, maka tekstur mie tidak akan kaku dan tidak elastis. Namun selain air, garam juga berpengaruh pada tesktur mie.

4) Warna

Warna memiliki arti dan peranan penting pada komoditas pangan. Peranan ini sangat nyata pada tiga hal yaitu daya tarik, tanda pengenal dan atribut


(39)

39

mutu. Di antara produk-produk pangan, warna merupakan faktor yang paling cepat dan mudah memberikan kesan, tetapi sulit untuk diberi deskripsi dan sulit cara pengukurannya, sehingga penilaian secara subjektif masih sangat menentukan (Soekarto 1985).

Nilai penerimaan panelis terhadap warna mie berkisar antara 4,77 (agak tidak suka) sampai 6,93 (agak suka). Nilai penerimaan panelis tertinggi pada perlakuan penambahan Spirulina 0% sebesar 6,93 (agak suka), sedangkan nilai terendah pada perlakuan penambahan Spirulina 15% sebesar 4,77 (agak tidak suka). Hasil pengujian penambahan Spirulina terhadap penilaian warna oleh panelis disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Nilai penerimaan panelis terhadap warna mie basah. Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 7) menunjukkan bahwa penambahan

Spirulina memberikan pengaruh nyata (P<0,05) pada penilaian panelis terhadap warna. Hasil uji Dunn (Lampiran 8) menunjukkan bahwa penambahan Spirulina

memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna. Mie basah tanpa penambahan Spirulina (0%) berbeda nyata dengan penambahan 5%, 10% dan 15%.

Mie basah yang umumnya berada di pasaran berwarna kuning, sedangkan mie basah dengan penambahan Spirulina berwarna hijau. Warna yang belum umum ini turut mempengaruhi penilaian panelis. Semakin banyak

Spirulina yang ditambahkan, nilai penerimaan panelis cenderung menurun. Hal ini dikarenakan semakin banyak penambahan Spirulina mie berwarna hijau tua.


(40)

Namun, panelis masih menyukai warna mie basah dengan penambahan Spirulina

sebersar 5% yang terlihat dari nilai yang diberikan tidak berbeda nyata dengan mie basah tanpa penambahan Spirulina. Spirulina mengandung protein tinggi, hal ini dapat mengganggu tingkat kecerahan mie. Penambahan Spirulina lebih dari

5% menyebabkan warna mie menjadi hijau pekat (tidak cerah). Menurut Fu (2008) peningkatan kandungan protein dapat menurunkan nilai kecerahan mie. Warna yang semakin gelap dan tidak cerah ini menyebabkan penilaian panelis terhadap mie menjadi rendah.

Warna kuning pada mie basah tanpa Spirulina berasal dari pigmen alami yang berada pada gandum, yaitu xanthophylls. Tinggi rendahnya kandungan pigmen ini bergantung pada jenis gandum yang digunakan (Fu 2008). Warna hijau pada mie basah dengan fortifikasi Spirulina berasal dari pigmen alami Spirulina. Pigmen hijau alami tersebut adalah klorofil. Menurut

Bhattacharya dan Shivaprakash (2005) kandungan klorofil pada

Spirulina platensis sebesar 12,7 mg/g, Spirulina laxissima sebesar 8,22 mg/g,

Spirulina lonar sebesar 11,73 mg/g. Kandungan klorofil pada Spirulina tidak selalu sama. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Chauhan dan Pathak (2010) dalam penelitiannya melaporkan S. platensis yang dikultivasi pada media Zarouk dengan suhu 28 °C dan intensitas cahaya 3,5 klux menunjukkan produksi biomassa dan klorofil terbaik bila dibandingkan dengan hasil pada media RM-6. Selain klorofil, Spirulina juga memiliki pigmen lain, yaitu karotenoid dan fikosianin yang potensial dijadikan sebagai pewarna alami.

Klorofil di dalam tubuh manusia memiliki peranan yang sama seperti hemoglobin yang berperan penting pada proses penyediaan oksigen ke seluruh sel dan jaringan tubuh (Astawan dan Kasih 2008).

4.2 Karakteristik Mie Spirulina Terpilih Dibandingkan dengan Mie Hijau Bayam Komersial

Berdasarkan hasil analisis proksimat dan uji organoleptik, formula mie basah dengan fortifikasi Spirulina 5% menjadi formula terpilih. Formulasi ini dipilih karena penilaian panelis terhadap mie ini secara keseluruhan paling tinggi dan mendekati penilaian terhadap mie tanpa penambahan Spirulina. Penambahan


(41)

41

nyata dengan mie tanpa penambahan Spirulina. Selanjutnya mie basah dengan penambahan Spirulina 0% disebut sebagai mie kontrol. Mie basah mentah dengan penambahan Spirulina 5% mengadung kadar air sebesar 31,09%, kadar abu 2,71%, kadar protein 11,86% dan lemak sebesar 6,39%.

4.2.1 Komposisi kimia mie bayam

Mie hijau yang telah dipasarkan yaitu mie dengan penambahan bayam. Harganya yang relatif mahal dan penjualannya yang masih terbatas membuat mie ini hanya mampu dijangkau oleh kalangan tertentu saja. Karakter fisik mie bayam yaitu berwarna hijau pucat dengan tekstur kenyal. Aroma mie tidak tercium aroma bayam. Adapun komposisi kimia bayam disajikan pada Tabel 7 dan komposisi kimia mie bayam disajikan pada Tabel 8.

Tabel 7 Komposisi kimia bayam

Komposisi Jumlah (%)

Protein a) Lemak a) Karbohidrat a) Air a)

Serat pangan tidak larut b) Serat pangan larut b) Serat pangan total b)

3,50 0,50 6,50 86,90 5,68 0,56 6,24 Sumber: a) Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981)

b) Muchtadi (2000)

Tabel 8 Komposisi kimia mie bayam

Komposisi Kimia Mentah (%) Matang (%)

Kadar air 29,13 59,29

Kadar abu 2,06 0,62

Lemak 1,33 0,42

Protein 10,37 5,06

Jika dibandingkan antara komposisi kimia mie bayam dengan mie basah

Spirulina (5%), secara keseluruhan komposisi kimia mie basah Spirulina lebih tinggi baik mentah maupun matang. Mie bayam komersil yang diuji dapat dilihat pada Gambar 13.


(42)

Gambar 13 Mie bayam komersil dan mie basah Spirulina terpilih.

Kandungan gizi mie basah Spirulina lebih besar dibandingkan dengan mie bayam karena kandungan gizi Spirulina jauh tebih tinggi dari bayam, khususnya protein. Besarnya penambahan bayam ke dalam mie bayam komersil yang telah diuji tidak diketahui jumlahnya, demikian juga komposisi bahan pembuatan mie bayam pun tidak diketahui. Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan mie basah Spirulina hanya terdiri dari tepung terigu, mentega,

Spirulina, air, garam dan soda kue, sehingga dapat dipastikan bahwa kandungan protein pada mie basah Spirulina hanya berasal dari Spirulina dan tepung terigu saja. Mie bayam komersial yang diuji memiliki warna hijau muda. Hal ini diduga bahwa penambahan bayam ke dalamnya hanya dalam jumlah sedikit. Kandungan protein mie bayam cukup tinggi, sedangkan kandungan protein pada bayam rendah, diduga protein pada mie bayam sebagian besar berasal dari telur yang digunakan sebagai bahan pembuat mie bayam.

4.2.2 Kadar serat pangan (dietary fiber)

Serat pangan (dietary fiber) merupakan salah satu bagian yang dapat dikonsumsi dari tumbuhan atau dapat disebut karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan diserap oleh usus halus manusia namun akan difermentasikan secara sempurna maupun parsial dalam usus besar (Kamp el at. 2004). Winarno (2008) menyebutkan bahwa serat-serat tersebut banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buah-buahan. Secara kimia dinding sel tersebut terdiri dari beberapa jenis karbohidrat seperti selulosa, hemiseluosa, pektin dan non karbohidrat seperti polimer lignin, beberapa gum dan mucilago. Dietary fiber pada umumnya merupakan karbohidrat atau polisakarida. Berbagai jenis makanan pada umumnya mengandung dietary fiber.


(43)

43

Pengujian serat pangan dalam penelitian ini menggunakan metode multi enzim. Serat pangan yang diuji dalam penelitian ini meliputi serat pangan tak larut atau insoluble dietary fiber (IDF), serat pangan larut atau soluble dietary fiber (SDF) dan serat pangan total atau total dietary fiber (TDF). Kandungan serat pangan pada mie dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Kandungan serat pangan mie basah

Jenis mie IDF (%) SDF (%) TDF (%)

Mie kontrol

Mie Spirulina terpilih Mie bayam komersil

0,93 1,50 0,65

0,89 2,56 1,00

1,82 4,04 1,65

Mie basah Spirulina terpilih mengandung serat pangan larut, serat pangan tak larut dan total serat pangan yang tertinggi dibandingkan mie bayam komersil dan mie kontrol. Perbedaan kandungan serat ini cukup besar. Penambahan Spirulina 5% mampu meningkatkan serat pangan tak larut sebesar 0,57%, serat pangan larut sebesar 1,67% dan total serat pangan sebesar 2,22%.

Total serat pangan yang terkandung pada bayam lebih tinggi bila dibandingkan dengan total serat pada Spirulina. Total serat pangan pada bayam sebesar 6,24% (Muchtadi 2000), sedangkan pada Spirulina sebesar 3,60% (Astawan dan Kasih 2008). Namun berdasarkan hasil uji total

serat pangan pada mie Spirulina terpilih lebih tinggi dibandingkan dengan mie bayam komersial. Hal ini diduga penambahan bayam pada mie bayam komersial hanya dalam jumlah sedikit.

Menurut Saragih et al. (2007) kandungan serat pada bahan pangan bersinergi dengan kadar air. Makin tinggi kandungan serat, makin tinggi pula kadar air yang terkandung di dalam mie. Hal ini dikarenakan serat mampu mengikat air sehingga kadar air yang terkandung di dalam mie meningkat.

Berdasarkan jumlahnya, bahan pangan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: sumber serat, sedikitnya mengandung 3 gram DF/100 gram; sumber serat tinggi, mengandung DF sebesar 4-6 gram DF/ 100 gram; dan sumber serat sangat tinggi, mengandung lebih dari 6 gram DF/ 100 gram (IFST 2007). Berdasarkan penggolongan tersebut, mie Spirulina terpilih termasuk ke dalam sumber serat tinggi karena mengandung total serat sebesar 4,04%.


(44)

Serat pangan banyak memberikan manfaat bagi tubuh. Banyak penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya keterkaitan antara konsumsi serat dengan resiko penyakit jantung koroner dan beberapa jenis kanker. Serat juga mampu menurunkan resiko diabetes dan obesitas (Lattimer dan Haub 2010; Burkitt dan Trowell 1977). Studi yang

dilakukan oleh Kendall et al. (2010) menunjukkan bahwa mengonsumsi makanan tinggi serat dan rendah gliceamic index (GI) tidak hanya dapat meningkatkan kontrol terhadap nilai gliceamic tetapi juga mampu menurunkan berat badan. Hasil penelitian Ou et al. (2001) menunjukkan bahwa SDF mampu menghambat difusi glukosa dan memperlambat penyerapan dan proses pencernaan karbohidrat, sehingga mampu menurunkan kadar glukosa dalam darah. IDF mampu menurunkan waktu transit pada usus dan meningkatkan massa feses (Schneeman, 1990)

4.2.3 Angka kecukupan gizi (AKG) mie Spirulina terpilih

Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal (Khomsan 2002). Widya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004), menyatakan bahwa kebutuhan minimal energi adalah 2000 kkal, karbohidrat 300 g, protein 60 g, dan lemak 62 g. Angka kecukupan gizi mie

Spirulina disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Angka kecukupan gizi (AKG) mie basah Spirulina

Takaran saji Per sajian kemasan

45 g Energi total 149,24 kkal

Nutrisi Total nilai gizi % AKG

Protein Lemak Karbohidrat

4,33 g 0,97 g 23,22 g

4,33 1,45 9,29 * Persen AKG berdasarkan kebutuhan energi 2000 kkal.

Suatu produk makanan memiliki zat gizi makro dan zat gizi mikro. Karbohidrat, lemak dan protein disebut zat gizi makro karena merupakan sumber utama kalori yang digunakan oleh tubuh dalam menjalankan aktivitas


(1)

d. Aroma mie Spirulina

Panelis Lama penyimpanan (hari)

0 2 4 6 8

1 6 6 4 4 6

2 6 6 4 4 6

3 5 5 4 3 1

4 5 5 4 3 1

5 5 4 4 3 1

6 5 4 4 3 1

7 5 4 4 3 3

8 5 4 4 3 3

9 5 4 4 4 4

10 5 4 4 4 3

11 7 7 7 7 7

12 7 7 7 7 7

13 7 7 6 5 5

14 7 7 6 5 5

15 6 4 4 3 2

16 6 4 4 3 2

17 6 6 6 6 5

18 6 6 6 6 5

19 7 7 7 6 6

20 7 7 7 6 6

21 6 6 7 5 4

22 6 6 7 5 4

23 7 6 6 4 4

24 7 6 6 4 4

25 5 5 4 4 3

26 5 5 4 4 3

27 6 6 6 5 5

28 6 6 6 5 5

29 5 4 4 6 5

30 5 4 4 6 5

Jumlah 178 165 157 136 120


(2)

e. Tekstur miekontrol

Panelis Lama penyimpanan (hari)

0 2 4 6 8

1 7 7 4 4 2

2 7 7 4 4 2

3 5 5 4 4 1

4 7 6 4 4 1

5 6 5 4 3 1

6 5 5 4 3 1

7 7 6 3 3 3

8 7 5 3 3 3

9 6 5 3 4 3

10 6 5 3 4 3

11 5 4 6 3 3

12 5 4 6 3 4

13 7 6 4 3 3

14 7 6 4 3 3

15 6 5 4 3 2

16 6 5 4 3 2

17 7 5 5 4 2

18 7 5 5 4 2

19 5 5 5 5 4

20 5 5 5 5 4

21 7 5 5 5 4

22 7 5 5 5 4

23 6 5 5 5 3

24 6 5 5 5 3

25 6 4 4 4 4

26 6 4 4 4 4

27 5 4 4 4 3

28 5 4 4 4 3

29 6 5 5 5 5

30 6 5 5 5 5

Jumlah 183 152 130 118 87


(3)

f. Tekstur mie Spirulina

Panelis Lama penyimpanan (hari)

0 2 4 6 8

1 6 6 5 3 1

2 6 6 5 3 1

3 8 7 5 4 1

4 7 6 5 4 1

5 6 6 4 3 1

6 6 6 4 3 1

7 8 6 3 3 3

8 5 4 3 3 3

9 7 6 5 4 4

10 7 6 5 4 4

11 6 6 6 6 3

12 7 6 5 5 3

13 6 5 5 3 3

14 6 5 5 3 3

15 6 4 4 3 1

16 6 5 4 3 1

17 7 7 6 6 3

18 7 6 6 6 2

19 6 6 6 3 3

20 6 6 6 3 3

21 8 5 4 4 4

22 8 5 4 4 4

23 7 7 7 5 5

24 7 5 7 5 5

25 5 4 3 4 4

26 5 5 3 4 4

27 6 5 3 3 3

28 6 4 3 3 3

29 5 4 4 4 4

30 5 4 4 4 4

Jumlah 191 163 139 115 85


(4)

g. Warna miekontrol

Panelis Lama penyimpanan (hari)

0 2 4 6 8

1 7 6 4 4 3

2 7 6 4 4 3

3 6 6 5 4 2

4 7 7 5 4 2

5 5 7 4 3 1

6 5 7 4 3 1

7 6 6 7 7 5

8 6 6 7 7 5

9 7 7 5 5 5

10 7 7 5 5 4

11 6 6 6 4 2

12 7 6 6 4 4

13 7 6 6 3 3

14 7 6 6 3 3

15 4 4 4 3 1

16 4 4 4 3 1

17 7 6 6 6 3

18 7 6 6 6 3

19 5 7 5 4 2

20 5 7 5 4 2

21 7 7 6 6 4

22 7 7 6 6 4

23 7 6 6 7 4

24 7 6 6 7 4

25 6 6 5 4 3

26 6 6 5 4 3

27 6 5 5 5 5

28 6 5 5 5 5

29 6 6 5 4 3

30 6 6 5 4 3

Jumlah 186 183 158 138 93


(5)

h. Warna mie Spirulina

Panelis Lama penyimpanan (hari)

0 2 4 6 8

1 6 6 7 6 3

2 6 6 7 6 3

3 5 5 4 3 1

4 5 5 4 3 1

5 4 5 4 3 1

6 4 5 4 3 1

7 5 5 4 4 3

8 5 5 4 4 3

9 5 4 4 4 4

10 5 4 4 4 4

11 5 4 4 4 6

12 5 4 4 4 6

13 6 6 5 5 4

14 6 6 5 5 4

15 6 5 4 3 2

16 6 5 4 3 2

17 6 6 6 6 6

18 6 6 6 6 6

19 7 7 7 6 6

20 7 7 7 6 6

21 5 5 6 6 4

22 5 5 6 6 4

23 7 6 6 5 4

24 7 6 6 5 4

25 5 5 5 4 4

26 5 5 5 4 4

27 5 5 5 4 4

28 5 5 5 4 4

29 5 5 5 6 5

30 5 5 5 6 5

Jumlah 164 158 152 138 114


(6)

TRI UTAMI RATNA PURI. C34070061. Mie Basah Fortifikasi Spirulina dan

Kerusakan Mikrobiologis pada Penyimpanan Suhu Chilling. Dibimbing oleh

IRIANI SETYANINGSIH dan PIPIH SUPTIJAH.

Mie merupakan makanan yang sangat digemari mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Dewasa ini, masyarakat banyak mengkonsumsi mie sebagai bahan pangan pengganti beras, alasannya karena rasanya yang enak, praktis dan mengenyangkan. Salah satu jenis mie yang sudah dikenal luas dan menjadi makanan yang disukai masyarakat di Indonesia adalah mie basah (fresh noodle atau wet noodle). Mie basah yang beredar di pasaran memiliki kandungan gizi rendah dengan kadar air yang tinggi. Bahan-bahan utama pembuatan mie basah adalah terigu, air, dan garam, sehingga kandungan gizi tidak lengkap. Spirulina dengan kandungan gizi yang sangat tinggi dan memiliki banyak manfaat merupakan salah satu bahan alami alternatif yang dapat digunakan untuk memperkaya kandungan gizi mie basah.

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan formulasi mie basah Spirulina terpilih, mempelajari karakteristik fisik dan kimiawi mie basah Spirulina serta mempelajari kerusakan yang terjadi pada mie basah Spirulina selama penyimpanan suhu chilling.

Tahapan penelitian yang dilakukan antara lain pembuatan mie basah dengan fortifikasi Spirulina (0%, 5%, 10% dan 15%), pemilihan formulasi terbaik dan penyimpanan mie basah pada suhu chilling. Formulasi mie basah terpilih dinilai berdasarkan komposisi kimia dan uji organoleptik. Mie basah Spirulina

terpilih kemudian dianalisis kandungan serat dan perhitungan AKG (Angka Kecukupan Gizi). Mie basah Spirulina terpilih kemudian disimpan pada suhu chilling (6-7 °C) selama 8 hari. Analisis yang dilakukan selama penyimpanan antara lain kadar air,

a

w, total bakteri, total kapang-khamir dan uji organoleptik.

Formulasi mie basah Spirulina terpilih yaitu mie basah dengan penambahan Spirulina 5% yang memiliki nilai penerimaan tertinggi dari panelis, kecuali pada parameter tekstur. Komposisi kimia mie basah Spirulina terpilih memiliki kadar air 31,09%, kadar abu 2,71%, protein 11,86%, lemak 5,86% dan serat pangan 4,04%, AKG mie berupa protein 4,33%, dan lemak 1,45% dengan energi total sebesar 149,24 kkal per 45 g takaran saji. Selama penyimpanan pada suhu chilling (6-7 °C) mie basah Spirulina mengalami kerusakan mikrobiologis. Kerusakan ditandai dengan peningkatan jumlah total bakteri (6x103 CFU/g menjadi 20x103 CFU/g), kapang dan khamir (1,15x103 CFU/g menjadi 1,66x104CFU/g) serta penurunan aktivitas air (

a

w) (0,95 menjadi 0,85) yang terjadi seiring lamanya waktu simpan. Panelis masih dapat menerima parameter penampakan, aroma dan warna mie hingga hari ke-4 sedangkan tekstur hingga hari ke-2.