BAB II KERANGKA TEORI
2.1 Pendahuluan
Pendahuluan Translation Studies merupakan sebuah disiplin ilmu yang multidisipliner. Penerjemahan berkaitan dengandan memrlukan kontribusi
berbagai subdisiplin ilmu linguistik seperti semantik, sosiolinguistik, pragmatik, analisis wacana, kontrastif linguistik, kognitif linguistik, dan dengan disiplin lain
seperti filsafat, rekayasa bahasa language engineering, studi kebudayaan dan kesusasteraan Hatim dan Munday, 2004:8. Oleh karena itu penelitian ini tidak
dapat didasarkan pada satu teori saja akan tetapi pada sejumlah teori eclectic yang saling terkait dan mendukung.
Bahasa adalah bagian dari budaya. Ketika seorang penutur menggunakan bahasa sebagai sarana interaksi dengan penutur lain, sebagai sarana penyampai
pikiran, gagasan, dan perasaan, ciri-ciri budaya penutur selalu terrefleksi dalam bahasanya. Oleh karena itu penelaahan bahasa apapun tidak akan memadai tanpa
melihat budaya yang melatarbelakangi bahasa tersebut. Bahasa digunakan dalam konteks. Bentuk dan makna bahasa yang sedang
digunakan ditentukan oleh konteks. Sebagai contoh, dalam konteks yang tidak formal bahasa yang dipakai pun bahasa tidak resmi dan sebaliknya bila
konteksnya formal pentur akan menggunakan bahasa resmi atau formal. Kajian
Universitas Sumatera Utara
tentang relevansi bahasa dengan konteks: konteks situasi, konteks budaya dan konteks ideologi juga perlu dilakukan untuk membantu upaya penerjemahan.
Penerjemahan sebagai sebuah disiplin, yang merupakan sub-disiplin linguistik terapan applied linguistic tentu saja memiliki teori, metode, dan
teknik. Teori, metode dan teknik apa yang akan diterapkan penerjemah dalam menerjemahkan sebuah teks ditentukan oleh tujuan penerjemahan yang telah
ditetapkan perlu pula dilakukan sebelum penerjemahan dimulai.
2.2 Teori Linguistik Systemic Fungsional LSF
Teori – teori yang dipilih sebagai pemandu dalam pengkajian ini meliputi teori konsep penerjemahan, penerjemahan teks Mangupa, ekuivalensi dalam
penerjemahan, konseptual translastic, tiga metafungsi Halliday, makna pengalaman dan sekilas tentang klausa. Setiap teori tersebut akan disajikan pada
bagian – bagian berikut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah LSF yang dikemukakan
oleh Halliday. Penggunaan LSF dalam bahasa Indonesia didasarkan pada rujukan teks berbahasa Indonesia Sinar 2003, 2008, 2010 dalam bukunya” Teori dan
Analisis Wacana: Pendekatan Sistemik Fungsional” dan Saragih 2006; 2007 dalam bukunya “Bahasa dalam konteks Sosial : Pendekatan Linguistik
Fungsional Sistemik terhadap Tata Bahasa dan Wacana”.
Universitas Sumatera Utara
LSF dikembangkan oleh M.A.K. Halliday, pakar linguistik dunia dari Inggris yang kini tinggal di Australia, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa
kajian. J.R. Martin, pakar linguistik dari Kanada mengembangkan dan memperkaya teori LSF dengan teori lanjutan, seperti teori genre dengan bahasa
kajian bahasa Inggris. Selain bahasa Inggris, teori LSF telah diterapkan ke berbagai bahasa dalam mengkaji suatu aspek kebahasaan dalam berbagai
bentuk, seperti maklah, tesis, dan disertasi. Aplikasi seperti itu telah dilakukan dalam bahasa Arab, Hindi, Jepang, Latin, Mandarin, Persia, Portugis , Prancis,
Rusia, Spanyol, Swedia, Tagalog, dan Yunani. Sejumlah penelitian mengenai bahasa Indonesia berdasarkan teori LSF juga telah dilakukan. Namun, buku
mengenai teori LSF secara utuh atau keseluruhan dalam dan dengan bahasa percontohan bahasa Indonesia belum dilakukan.
Aliran LSF yang diperkenalkan oleh Prof. M.A.K. Halliday dari Universitas Sydney, Australia, teorinya ini muncul dari gabungan teori
antropologi Malinowski dan linguist J.R. Firth di Eropa yang sekaligus merupakan dosen Halliday di Universitas London. Halliday mengembangkan dua
teori tersebut dengan menghubungkan bahasa dan konteks. Menurut Halliday 1978, bahasa adalah sistem arti, sistem bentuk, dan ekspresi. Hubungan arti dan
ekspresinya adalah semantik yang direalisasikan dengan tata bahasa, Selanjutnya, tata bahasa diekspresikan fonologi dalam bahasa lisan atau grafologi dalam
bahasa tulisan. Hubungan antara arti dan bentuk adalah alamiah dan berkonstrual dengan konteks sosial. Dengan kata lain, konteks sosial menentukan dan
ditentukan oleh teks. Dalam hal ini, teks dibatasi sebagai unit bahasa, unit arti atau
Universitas Sumatera Utara
unit semantik yang fungsional dalam konteks sosial. Jadi teks bukanlah merupakan unit tata bahasa seperti kata, frasa, klausa, paragraf, dan naskah.
Dengan demikian, dalam satu konteks soal tertentu hanya teks tertentu saja yang dapat dihasilkan. Sebaliknya, dalam teks tertentu hanya konteks sosial tertentu
yang dapat dirujuk. Konteks pemakaian bahasa dibatasi sebagai sesuatu yang berada di luar teks atau pemakaian bahasa.
Dengan pengertian fungsional, konteks linguistik mengacu pada unit linguistik yang mendampingi satu unit yang sedang dibicarakan. Contoh pada
klausa: Carrisa ingin . berangkat nanti malam. Unit Carissa ingin....nanti malam merupakan konteks bagi unit berangkat ketika seseorang membicarakan kata
berangkat itu. Konteks linguistik adalah konteks internal karena berada di dalam dan merupakan bagian dari teks yang dibicarakan.
Sedangkan konteks sosial adalah pemakaian bahasa dinterpretasikan berdasarkan konteks atau segala unsur yang terjadi di luar teks. Dengan kata lain,
konteks sosial memotivasi pengguna atau pemakaian bahasa menggunakan struktur tertentu. Konteks sosial yang mempengaruhi bahasa terdiri dari atas
situasi register, budaya culture, dan ideologi ideology Martin, 1985. Konteks situasi mengacu pada kondisi dan lingkungan yang mendampingi
atau sedang berlangsung ketika penggunaan bahasa berlangsung atau ketika interaksi antar pemakai bahasa terjadi. Menurut Halliday dan Hasan 1985
konteks situasi terdiri dari tiga unsur, yaitu medan field, pelibat tenor, dan sarana mode of discourse. Ketiga unsur tersebut mengandung arti 1 medan,
Universitas Sumatera Utara
yakni apa---what yang dibicarakan dalam interaksi, 2 pelibat, yakni siapa----who yang terkait atau terlibat dalam interaksi, dan 3 sarana, yakni bagaimana----how
interkasi dilakukan. Konteks budaya dibatasi sebagai aktivias sosial bertahap untuk mencapai
suatu tujuan. Konteks budaya meliputi tiga hal yaitu 1 batasan kemungkinan tiga unsur konteks situasi, 2 tahap yang harus dilalui dalam satu interaksi sosial, dan
3 tujuan yang akan dicapai dalam interaksi sosial. Konteks ideologi mengacu kepada konstruksi atau konsep sosial yang
menetapkan apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang dala satu interkasi sosial. Dengan batasan ini, ideologi merupakan konsep atau
gambar ideal yang diinginkan dan diidamkan oleh anggota masyarakat dalam satu komunitas yang terdiri atas apa yang diinginkan atau yang tidak diinginkan terjadi
Saragih, 2006:6. Bila melihat dari segi relevansinya dengan penelitian ini adalah bahwa
teori fungsional ini berpijak pada konteks sosial dalam penganalisaan bahasa, tata bahasa yang berdasarkan LSF relevan untuk semua bidang yang terkait dengan
pemakaian bahasa. Dalam berbagai bidang kegiatan, bidang, dan disiplin ilmu, bahasa memegang peran penting. Karena tujuan pemakaian bahasa menentukan
tata bahasa tertentu. Peran LSF adalah mengeksplorasi dan mendeskripsi tata bahasa itu. Walaupun pemakaian bahasa sangat luas, kerelevanan tata bahasa
berdasarkan LSF secara spesifik menurut Halliday 1994:xxix mencakup beberapa hal, seperti : a memahami hakiki dan fungsi bahasa, b memahami
Universitas Sumatera Utara
hakiki persamaan atau perbedaan sejumlah bahasa, c Memahami perubahan bahasa dalam kurun tertentu, d memahami perkembangan bahasa dan
perkembangan bahasa manusia umunya, dsb.
2.3 Translasi