cxxvi
Salafy mengakui pemerintahan hasil pemilu sebagai ulil amri pemimpin yang wajib ditaati selama dalam memerintah
pemimpin itu menyuruh kebaikan ma’ruf dan mencegah kerusakan munkar. Hal ini didasarkan pada pendapat ulama salaf,
Hasan Al Bashri “Mereka mengurusi lima urusan kita, shalat Jum’at, shalat
jamaah, ‘Ied, perbatasan dan hukum had. Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan mereka walaupun mereka itu
dzalim dan curang. Demi Allah, sungguh apa yang Allah perbaiki dengan mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak…”
Mu’amalatul Hukkam, hal. 7-8
67
Dengan pandangan semacam ini Salafy mengikuti pemerintah hanya dalam batas-batas ketaatan atau dalam masalah
ibadah saja, seperti yang disebutkan di atas meliputi masalah sholat jum’at, sholat jamaah, sholat Ied, perbatasan, dan hukum had.
Tetapi menolak kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan fatwa ulamanya. Contoh dalam kasus penetapan sholat hari raya,
Salafy akan mengikuti pendapat dari ulama pemerintah sedangkan pada permasalahan pemilu meskipun ulama pemerintah Majelis
Ulama Indonesia menetapkan haramnya golput mereka tidak akan mengikutinya karena hal itu merupakan maksiat kepada hukum
Allah.
68
c. Golput; Konsekuensi Anti Demokrasi dan Tawaran Alternatif
67
Dikutip dari salah satu website Salafy http:almakassari.com?p=342more-342
68
wawancara dengan Aktivis Salafy, Niela, 22 Agustus 2009
cxxvii
Meski tidak secara terang-terangan menyuarakan golput karena demi menjaga adab untuk tidak memberontak keputusan
pemerintah, Salafy tetap pada pendiriannya untuk golput atau tidak menggunakan hak pilihnya di dalam pemilu baik legislatif maupun
pemilihan presiden. Hal ini didasari atas sikapnya yang jelas-jelas menentang
demokrasi beserta sarana-sarananya yang ada termasuk pemilihan umum yang digelar untuk memilih pemimpin. Asy Syaikh
Muhammad bin Abdillah Al Imam, menuliskan dalam bukunya tentang 34 poin kerusakan pemilu dan 11 poin yang menjadi alasan
penguat akan kerusakan pemilihan pemimpin secara langsung.
69
Apabila diringkas beberapa kerusakan demokrasi dan pemilu itu seperti pendapat Muhammad Umar As Sewed, mantan ketua
Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah FKAWJ, wadah perjuangan aktivis Salafy mengulas kerusakan-kerusakan pemilu
M. Ikhsan, 2006:6 sebagai berikut: 1
Pemilu adalah sebuah upaya menyekutukan Allah syirik karena menetapkan aturan berdasarkan suara terbanyak
rakyat, padahal yang berhak untuk itu hanya Allah. 2
Apa yang disepakati suara terbanyak itulah yang dianggap sah, meskipun bertentangan dengan agama atau aturan Allah
dan Rasul-Nya.
69
Asy Syaikh Muhammad.... Op Cit. Hal 57-219
cxxviii
3 Pemilu adalah tuduhan tidak langsung kepada Islam bahwa ia
tidak mampu menciptakan masyarakat yang adil sehingga membutuhkan sistem lain.
4 Partai-partai Islam tidak punya pilihan selain mengikuti
aturan yang ada, meskipun aturan itu bertentangan dengan Islam.
5 Dalam pemilu terdapat prinsip jahannamiyah, yaitu
menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan-tujuan politis, dan sangat sedikit yang selamat dari itu.
6 Pemilu berpotensi besar menanamkan fanatisme jahiliah
terhadap partai-partai yang ada. Ulama
Salafy memandang
permasalahan aqidah
keyakinan menjadi dasar utama untuk menolak keterlibatan di dalam pemilu. Dengan menganggap pemilu yang dilakukan saat ini
tidak sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan menyimpang dari keyakinan aqidah. Pendapat ini didasari dari
dalil Al Qur’an yang menyebutkan wajibnya seorang muslim berhukum dengan hukum Allah, dan apabila berhukum dengan
selainnya termasuk sistem demokrasi dan pemilu maka seseorang itu telah kafir. Pendapat ini didasarkan ayat:
“..Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku Allah. Dan janganlah kamu menukar
ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir. QS. Al Maidah: 44
cxxix
Oleh karenanya, seorang muslim yang seharusnya menghidupkan sunnah Rasulullah ihyaus sunnah untuk memilih
pemimpin negara melalui ahlul halli wa aqdi yaitu lembaga yang terdiri dari cendekiawan muslim atau ulama pakar ilmu syar’i yang
dipilih sebagai perwakilan umat rakyat yang bertugas memilih kepala pemerintah melalui proses bai’at pengambilan sumpah
setia. Anggota Ahlul hall wa aqdi ditetapkan dengan syarat-syarat sebagaimana syarat bagi seorang pemimpin yang diangkat sebagai
kepala pemerintahan Muhammad Al Imam, 2009:193, syarat- syarat itu meliputi:
1 Islam. Orang kafir selain Islam tidak bisa dipilih karena
adanya pendapat bahwa kekuasaan yang diberikan kepada orang kafir akan menghasilkan kehancuran atau kerugian
bagi kalangan muslim. 2
Berakal. Seorang yang tidak sehat jiwanya tidak bisa menduduki posisi ahlul hall wa aqdi dan kepemimpinan
umat. 3
Lelaki. Hal ini didasarkan pada dalil sabda Rasulullah SAW: “Tidak akan bahagia suatu kaum yang memberikan
wewenang urusan mereka kepada orang perempuan” HR. Bukhari
4 Merdeka. Syarat ini saat ini barangkali tidak lagi relevan
karena perbudakan tidak ada lagi, hanya yang menjadi pertimbangan adanya syarat ini adalah karena seorang budak
cxxx
tidak bisa dipilih lantaran masih menjadi tanggungan tuannya.
5 Taqwa. Syarat seorang yang boleh menjadi pemimpin umat
adalah ornag yang bertaqwa yaitu seorang yang dikenal di kalangan ahlul ilmu cendekiawan dengan baiknya
ketaatannya menjalankan ibadah kepada Allah dan menjauhi laranganNya, dikenal ketsiqohannya kredibilitas dan
ketundukan kaum muslim kepadanya. 6
Ilmu. Berarti orang yang dipilih sebagai kepemimpinan umat adalah orang yang benar-benar mempunyai kemampuan ilmu
yang memadai, termasuk spesialisasi dalam perkara pemerintahan.
7 Tidak berafiliasi kepada ahlul ahwa’. Artinya seorang
anggota ahlu hall wa aqdi seharusnya ornag yang tidak mempunyai afiliasi atau keberpihakan kepada ahlu ahwa
yang akan memegang kepemimpinan atau kekhalifahan atau mampu bersikap independen dan netral.
8 Baligh. Atau dengan kata lain adalah orang yang mempunyai
usia memasuki dewasa dan mampu membedakan yang baik dan yang buruk.
Pandangan ideal yang diambil dari pengalaman empiris pemerintahan kaum muslimin di masa kekhalifahan setelah
Rasulullah ini kemudian menjadi dasar pertimbangan dan perbandingan bahwa sistem pemilu yang ada saat ini sangat jauh
cxxxi
berbeda dengan kondisi pada masa itu. Baik dari pola pemilihan maupun kriteria kepemimpinan yang diajukan. Oleh karena pilihan
golput atau tidak ikut memilih dalam pemilu merupakan pilihan politis yang diambil demi menyelamatkan aqidah keyakinan,
memurnikan ajaran Islam agar tidak tercampur dengan keyakinan agama lain.
3. Majelis Mujahidin Indonesia-Jama’ah Anshorut Tauhid MMI-