Perumusan Kebijakan Pendidikan Kebijakan Pendidikan

32 implementasi kebijakan. Perbaikan atas kekurangan-kekurangan atau kelemahan-kelemahan kebijakan sebelumnya dapat lebih mudah dan jelas setelah melalui tahap evaluasi kebijakan. Arif Rohman 2012: 94 terdapat beberapa komponen penting dalam suatu kebijakan pendidikan. Komponen-komponen tersebut antara lain yaitu: 1 Tujuan Goal Tujuan adalah langkah awal dalam perumusan kebijakan pendidikan. Tujuan merupakan hal yang dicapai dalam kebijakan pendidikan. Penentuan tujuan harus jelas agar dapat mewujudkan apa yang diinginkan. 2 Rencana Plan Rencana diperlukan dalam kebijakan pendidikan untuk mewujudkan tujuan yang sebelumnya telah ditentukan. Semakin jelas rencana kebijakan pendidikan dibuat, maka semakin mudah pula pencapaian tujuan diwujudkan. 3 Program Program Program merupakan upaya atau cara yang dilakukan oleh orang-orang yang terkait dengan kebijakan pendidikan untuk mencapai tujuan. Pada tahap program ini bukan lagi bersifat teoritis namun lebih bersifa teknis. 4 Keputusan Decision Komponen keempat ini merupakan upaya atau tindakan untuk menentukan tujuan, merancang rencana, merencanakan dan mengevaluasi program. 33 5 Dampak Effect Dampak adalah akibat dari pelaksanaan program. Pelaksanaan program ini memiliki banyak kemungkinan, maka dari itu diperlukan analisis yang tepat terkait dengan dampak pelaksanaan program terhadap tujuan kebijakan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya. Berbagai macam permasalahan pendidikan yang muncul tidak serta merta dapat masuk dalam penyusunan agenda kebijakan. Permasalahan tersebut akan diklasifikasi berdasarkan tingkat urgensinya. Semakin kompleks masalah pendidikan, maka akan semakin menuntut para pengambil kebijakan untuk segera memecahkan permasalahan tersebut.

3. Kebijakan Sekolah

Sekolah merupakan lembaga teknis pelaksana kebijakan pendidikan nasional. Di mana sekolah menjadi tempat berlangsung dan pemegang kunci strategis dalam mewujudkan cita-cita pendidikan nasional Indonesia. Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 merupakan bentuk kebijakan pendidikan tingkat nasional. Pemberlakuan kebijakan yang bersifat desentralisasi kemudian mengharuskan masing-masing daerah untuk membuat kebijakan pendidikan di tingkat daerah berdasarkan kebijakan pendidikan di tingkat nasional tersebut. Kebijakan pendidikan di tingkat daerah ini masih dapat dikembangkan oleh setiap sekolah berdasarkan kebutuhan dan kondisi masing- masing. Melalui kebijakan sekolah, kepala sekolah bersama dengan warga sekolah berusaha mewujudkan cita-cita sekolah demi mendukung keberhasilan sistem pendidikan nasional. 34 Duke dan Canady 1991 dalam Syafaruddin 2008: 118 mengatakan bahwa kebijakan sekolah adalah hasil musyawarah atas keinginan individu atau kelompok yang bertanggungjawab pada kontrak negosiasi. Hasil musyawarah tersebut kemudian disosialisasikan kepada warga sekolah dan sekitarnya. Hal ini bertujuan agar warga sekolah ikut mendukung penyelenggaraan kebijakan sekolah tersebut. Lebih lanjut, Duke dan Canady menyimpulkan beberapa fokus kebijakan sekolah, antara lain yaitu: a. Melibatkan staf dalam pengambilan keputusan; b. Kurikulum; c. Imbalan dan hukuman; d. Keterlibatan orang tua; e. Peluang bagi pelajar; dan f. Iklim sekolah Caldwell dan Spinks 1989 dalam Syafaruddin 2008: 123 memaparkan bahwa kebijakan sekolah dipahami sebagai rumusan suatu tujuan dari satu tata cara atau lebih tentang bagaimana cara mencapai sasaran dengan memberikan kerangka kerja bagi pelaksana program sekolah yang dilaksanakan bersama-sama. Kerangka kerja tersebut diharapkan dapat mempermudah pelaksana program agar tujuan dari kebijakan sekolah dapat tercapai. Namun, apabila kerangka kerja tersebut bersifat sangat teknis, justru akan berdampak pada kinerja pelaksana program yang kaku dan terkesan kurang kreatif. Maka dari itu, diperlukan kerangka kerja yang dapat memberikan gambaran kepada 35 pelaksana program untuk mengkreasikan idenya dalam rangka mencapai tujuan sekolah. Berdasarkan beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan sekolah merupakan hasil rumusan dari hasil musyawarah terkait dengan cara untuk mencapai tujuan pendidikan di tingkat sekolah. Kebijakan ini termasuk kebijakan pendidikan dengan cakupan di tingkat paling bawah dibanding dengan kebijakan nasional dan kebijakan daerah. Hal ini dikarenakan kebijakan sekolah bersifat lebih khusus dan lebih teknis. Misalnya kebijakan sekolah siaga bencana. Kebijakan seperti adanya sekolah siaga bencana. Kebijakan ini muncul dikarenakan banyaknya sekolah yang berada di wilayah berpotensi bencana. Sekolah Siaga Bencana menurut UNESCO adalah upaya membangun dan meningkatkan kesiapsiagaan serta kesadaran sekolah terhadap bencana dalam bidang pendidikan baik secara individual maupun kelompok di lingkungan sekolah.

4. Bencana Gunung Merapi

a. Pengertian Bencana

Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki berbagai macam keragaman alam, begitu pula keragaman ancaman bencananya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebakan, baik faktor alam danatau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa 36 manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. S. Arie Priambodo 2009: 22 berpendapat bahwa bencana adalah suatu kejadian alam, buatan manusia, atau perpaduan keduanya yang terjadi secara tiba-tiba sehingga menimbulkan dampak negatif yang dahsyat bagi kelangsungan kehidupan. Terjadinya bencana memang tidak semuanya berasal dari fenomena alam. Beberapa bencana yang terjadi jufa tidak sedikit yang justru disebabkan oleh manusia. Hal inilah yang dimaksud oleh Priambodo terdapat bencana buatan manusia. Berdasarkan beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa bencana dapat dimaknai sebagai suatu kejadian yang mengganggu keberlangsungan kehidupan baik yang disebabkan oleh fenomena alam, ulah manusia, atau keduanya yang menimbulkan kerugian. Kerugian tersebut dapat berupa materi, ekonomi, atau lingkungan bahkan nyawa.

b. Sudut Pandang Masyarakat Indonesia tentang Bencana

Berbagai potensi bencana yang telah melanda Indonesia kemudian memunculkan berbagai pandangan mengenai bencana itu sendiri. Berikut ini merupakan sudut pandang masyarakat Indonesia mengenai bencana. 1 Fatalisme Sudut pandang ini mempercayai bahwa adanya bencana merupakan kemurkaan Tuhan akibat ulah manusia yang menyalahi perintah-Nya sehingga bencana yang datang tidak dapat dihentikan atau ditanggulangi. 2 Antroposentrisme 37 Antroposentrisme adalah sudut pandang yang menganggap bencana merupakan fenomena alam yang disebabkan oleh manusia yang tidak dapat hidup berdampingan dengan alam sehingga terjadi ketidakseimbangan antarunsur semesta yang kemudian mengakibatkan terjadinya bencana. 3 Kosmosentrisme Adanya fenomena alam yang terjadi secara alamiah merupakan hal yang wajar. Pandangan ini berbeda dengan pandangan antroposentrisme yang menganggap manusia menjadi penyebab terjadinya bencana. Kosmosentrisme mengabaikan ulah manusia ketika terjadi bencana. Adanya campur tangan manusia dalam mengeksploitasi alam tidak berpengaruh secara signifikan pada bencana. 4 Inklusivisme Pandangan inklusivisme adalah pandangan yang menggabungkan penyebab bencana dari antroposentrisme dengan kosmosentrisme. Artinya, baik unsur fenomena alam dengan ulah manusia merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dan menjadi penyebab terjadinya bencana alam. Tanudirdjo, 2010: 154

c. Penanggulangan Bencana

Dalam UU No. 24 Tahun 2007, bencana alam dibedakan menjadi tiga, yaitu: