Upaya Mitigasi Bencana Mitigasi Bencana Gunung Api

58 sesungguhnya, hal ini merupakan salah satu kearifan lingkungan. Hal ini senada dengan pendapat Sasongko dalam Lasiyo 2002: 80 yang menyatakan bahwa jalan utama desa membujur ke arah utara-selatan atau selatan-utara. Sehingga ketika terjadi bencana erupsi mereka dapat segera menyelamatkan diri menuju jalan utama. 2 Larangan memindahkan batu dan menebang pohon Larangan penebangan pohon dan pemindahan batu ini ditemukan di Dusun Kaliadem. Di dusun tersebut terdapat sebuah pohon beringin yang menurut masyarakat sangat aneh. Karena pohon beringin hanya hidup di daerah yang suhunya cukup tinggi dan berada di dataran luas. Sedangkan Dusun Kaliadem merupakan dusun yang berada di pegunungan. Selain itu, ketika terjadi erupsi, pohon ini masih tetap bertahan hidup. Masyarakat mengenalnya dengan sebutan Beringin Putih. Sekitar 20 meter dari pohon tersebut terdapat Batu Gajah. Begitu sebutan yang umum digunakan masyarakat mengenai batu tersebut dikarenakan posisi dan bentuk batu yang menyerupai Gajah yang tergeletak mengingat ukuran batunya yang cukup besar. Elisabeth dalam Lasiyo 2002:81, berdasarkan cerita masyarakat, menyatakan Batu Gajah ini berasal dari adanya pasukan yang akan menyerang masyarakat untuk menguasai daerah tersebut dengan menunggangi gajah dan mencapai puncak gunung, namun masyarakat melawan dan berhasil menjatukan musuh ke Gunung Kidul di laut dengan memantrai mereka. Tetapi ada seekor gajah yang melarikan diri, tetapi ketika ditemukan ia telah berubah menjadi 59 batu. Hingga saat ini tidak ada yang berani mengusik bahkan merusak kedua hal tersebut. Baik pohon beringin maupun batu tersebut telah dipasang pagar disekelilingnya atas perintah dari Sri Sultan hamengku Buwono X. Hal ini sebenarnya merupakan bentuk kearifan lingkungan yang menyampaikan pesan kepada masyarakat agar tidak menebang pohon sembarangan. Batu besar ini tidak perlu dipindah dengan tujuan untuk menghambat dan mengalihkan aliran lahar ketika terjadi letusan Merapi. 3 Perlindungan terhadap binatang buas dan larangan merumput Masyarakat diimbau agar tidak merumput di tempat-tempat yang dianggap angker seperti gunung-gunung kecil yang dianggap sebagai makam leluhur, lereng-lereng, dan di tempat aliran lahar dingin. Lasiyo 2002: 82 berpendapat bahwa tempat-tempat yang dianggap angker tersebut merupakan jalur yang biasanya dilewati oleh awan panas dan lahar dingin. selain untuk menjaga diri dari bencana tersebut, rumput- rumput di tempat-tempat tersebut juga berfungsi sebagai penahan erosi tanah. Adanya penyakralan terhadap binatang buas ini berfungsi untuk meramalkan letusan Gunung Merapi. Karena hewan-hewan dari gunung akan berbondong-bondong turun ketika suhu mulai meningkat pertanda Merapi akan meletus. Maka dari itu, kedua hal tersebut juga termasuk dalam kearifan lingkungan. 4 Upacara-upacara ritual dan selamatan 60 Tujuan dari diadakannya upacara-upacara ritual dan selamatan oleh masyarakat ini yaitu untuk memberi sedekah kepada roh leluhur dan makhluk halus yang dianggap sebagai penghuni Merapi. Bisa dibilang, kegiatan ini merupakan ajang tukar menukar jasa antara masyarakat dengan makhluk halus. Sasongko dalam Lusiyo 2002: 83 mengatakan upacara dan selamatan ini juga berarti permintaan keselamatan dan kesejahteraan agar selalu menyertai negara, pemerintahan beserta rakyatnya. Banyaknya persepsi masyarakat tentang Gunung Merapi sangat dipengaruhi oleh mitos yang dipercayai secara turun temurun. Hubungan terus menerus dan telah berlangsung secara turun temurun melahirkan hubungan emosional dan psikologis yang erat antara masyarakat dengan Gunung Merapi Heru Hermawan, 2010: 55. Masyarakat Lereng Merapi sangat meyakini bahwa Gunung Merapi bukanlah merupakan suatu ancaman. Berikut ini ada beberapa pola etika masyarakat dalam menjaga keseimbangan kosmos menurut Moch. Fathkan 2006: 114. 1 Etika dalam Bertani Sebelum dan sesudah ladang ditanami, masyarakat Lereng Merapi akan terlebih dahulu mengadakan selamatan, memohon dan berterimakasih kepada dewa pangan yang disebut Mbok Sri Dewi Sri. Jika terjadi hujan abu, di mana ditemukan banyak tanaman mati, masyarakat tetap bersyukur. Hal ini sesuai dengan kepercayaan masyarakat, bahwa tanaman yang mati tersebut sementara dipinjam oleh Eyang Merapi dan