TINGKAT KETERAMPILAN BERBICARA DITINJAU DARI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK USIA 5 6 TAHUN

(1)

i

TINGKAT KETERAMPILAN BERBICARA DITINJAU

DARI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK

USIA 5-6 TAHUN

SKRIPSI

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini

oleh Nur Azizah 1601409035

PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya menyatakan bahwa isi skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya yang diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dirujuk dalam skripsi ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Semarang, Agustus 2013

Nur Azizah NIM. 1601409035


(3)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang pada:

Hari :

Tanggal :

Pembimbing I Pembimbing II

Yuli Kurniawati S.P., S.Psi, M.A Drs. Khamidun, M.Pd

NIP.19810704 200501 2 003 NIP. 19671216 199903 1 002

Mengetahui,

Ketua Jurusan PG PAUD FIP Unnes

Edi Waluyo, M.Pd NIP. 19790425 200501 1


(4)

iv

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “Tingkat Keterampilan Berbicara ditinjau dari Metode Bermain Peran pada Anak Usia 5- 6 Tahun” telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang.

Hari :

Tanggal :

Panitia Ujian Skripsi,

Ketua, Sekretaris,

Drs. Hardjono, M.Pd. Yuli Kurniawati S.P., S.Psi, M.A NIP. 19510801 197903 1 007 NIP.19810704 200501 2 003

Penguji I,

Henny Puji Astuti, S.Psi., M.Si. NIP. 19771105 201012 2 002 Penguji II/ Pembimbing I,

Yuli Kurniawati S.P., S.Psi, M.A

NIP.19810704 200501 2 003

Penguji III/ Pembimbing II,

Drs. Khamidun, M.Pd


(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

1. Jalan yang benar akan menuntun kita pada kesuksesan.

2. Jika kita masih mampu untuk melakukan sesuatu, maka lakukanlah. Sesuatu yang ditunda hanya akan menimbulkan penyesalan.

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

1. Ibuku (Tiamah) dan Bapakku (Damanhuri) tersayang, terima kasih atas segala pengorbanan yang telah bapak ibu lakukan untukku. 2. Saudaraku (Ana Sufyana, Abdul Muiz, Aisyatuz Zahwa, dan

Renaldi Eka Saputra) yang tak pernah lupa memberikan doa dan dukungan.

3. Keluarga besar semua, terima kasih turut memberi doa dan dukungan kepadaku.


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah dan rahmat-Nya, sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Tingkat Keterampilan Berbicara ditinjau dari Metode Bermain Peran pada Anak Usia 5- 6 Tahun” dapat terselesaikan dengan baik.

Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat dalam menempuh studi jenjang Strata 1 untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini di Universitas Negeri Semarang. Penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini penulis selalu mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum, Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberi berbagai fasilitas dan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di Universitas Negeri Semarang.

2. Drs. Hardjono, M.Pd, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan izin dalam penyusunan skripsi ini.

3. Edi Waluyo, M.Pd, Ketua Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini UNNES yang telah memberi motivasi.

4. Yuli Kurniawati S.P, S.Psi, M.A sebagai pembimbing I dan Drs. Khamidun, M.Pd sebagai pembimbing II yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

5. Ali Formen, M.Ed sebagai dosen wali yang telah memberikan nasihat dan membimbing penulis selama studi.


(7)

vii

6. Segenap dosen Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini yang telah menyampaikan ilmunya kepada penulis.

7. Abdul Choliq, S.Pd, selaku Kepala Sekolah dan segenap guru TK Negeri Pembina Kecamatan Pekalongan Barat dan Edy Priyadi, S.Pd, selaku Kepala Sekolah dan segenap guru TK Negeri Pembina Kecamatan Pekalongan Utara yang telah memberikan izin penelitian.

8. Bapak ibuku yang telah melakukan pengorbanan dengan penuh keikhlasan untukku, serta saudaraku yang selalu mengingatku dalam setiap doa.

9. Marcilia Dwi Astuti yang selalu setia menemaniku dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, serta Clowor (Cell, Mb Nha, K-woel, Naa) yang selalu memberikan semangat.

10. Teman-teman Jurusan PG PAUD UNNES 2009 seperjuangan.

11. Teman-teman Sakura Kos yang selalu mendukungku dengan berbagi canda tawa.

12. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

13. Almamaterku tercinta, UNNES.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada semua pembaca.

Semarang, Agustus 2013


(8)

viii

ABSTRAK

Azizah, Nur. 2013. Tingkat Keterampilan Berbicara ditinjau dari Metode Bermain Peran pada Anak Usia 5- 6 Tahun. Skripsi, Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang, Pembimbing 1. Yuli Kurniawati S.P, S.Psi, M.A, Pembimbing 2. Drs. Khamidun, M.Pd.

Kata kunci: Metode Bermain Peran Makro dan Mikro, Keterampilan Berbicara, Anak Usia 5-6 Tahun.

Keterampilan berbicara selalu dibutuhkan sebagai sarana untuk berkomunikasi. Berdasarkan pengamatan di lapangan, kemampuan berkomunikasi pada anak usia 5-6 tahun masih dalam taraf rendah, sehingga masih banyak kosakata yang harus dikuasai untuk dapat berkomunikasi dengan baik. Peningkatan kemampuan komunikasi pada anak tersebut dapat dilakukan melalui metode bermain peran yang terdiri dari dua jenis yaitu metode bermain peran makro dan mikro. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.

Pendekatan dalam penelitian ini adalah eksperimen The Reversed-Treatment Nonequivalent Control Group Design with Pretest and Postest. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa TK Negeri Pembina Pekalongan. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling, terambil dua sampel yaitu Kelas B1 TK Negeri Pembina Kecamatan Pekalongan Barat dengan 30 peserta didik sebagai kelompok eksperimen, dan kelas B1 TK Negeri Pembina Kecamatan Pekalongan Utara dengan 30 peserta didik sebagai kelompok kontrol.

Analisis perhitungan t test posttest menghasilkan nilai nilai thitung sebesar 4,243 > ttabel

sebesar 2,002. Nilai sig (2-tailed) < 0,05 yaitu 0,00 < 0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa Ho

ditolak dan Ha diterima. Rata-rata atau mean keterampilan berbicara pada kelompok kontrol

mengalami peningkatan sebesar 26,03. Sedangkan pada kelompok eksperimen mengalami peningkatan sebesar 40,9. Berdasarkan perhitungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan keterampilan berbicara antara kelompok anak yang diberi perlakuan dengan metode bermain peran makro dan mikro. Peningkatan keterampilan berbicara pada anak yang diberi perlakuan dengan metode bermain peran makro lebih tinggi daripada peningkatan keterampilan berbicara pada anak yang diberi perlakuan dengan metode bermain peran mikro.


(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8


(10)

x

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 8

1.4.1.1 Bagi Penulis ... 8

1.4.1.2 Bagi Pembaca ... 8

1.4.2 Manfaat Praktis ... 9

1.4.2.1 Bagi Siswa... 9

1.4.2.2 Bagi Guru ... 9

1.4.2.3 Bagi Lembaga Taman Kanak-kanak ... 9

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Keterampilan Berbicara ... 10

2.1.1 Pengertian Keterampilan Berbicara ... 10

2.1.2 Aspek-aspek Keterampilan Berbicara ... 11

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Berbicara ... 15

2.2 Bermain ... 17

2.2.1 Pengertian Bermain ... 17

2.2.2 Teori Bermain ... 18

2.2.3 Fungsi Bermain ... 20

2.3 Metode Bermain Peran ... 23

2.3.1 Tujuan Metode Bermain Peran ... 24

2.3.2 Jenis Metode Bermain Peran ... 26

2.3.3 Perbedaan Metode Bermain Peran Makro dan Mikro ... 27

2.3.4 Fungsi Metode Bermain Peran ... 31

2.3.5 Kelebihan dan Kekurangan Metode Bermain Peran ... 33 2.3.6 Fungsi Metode Bermain Peran dalam Pengembangan


(11)

xi

Keterampilan Berbicara ... 35

2.4 Anak Taman Kanak-kanak ... 35

2.4.1 Karakteristik Anak Taman Kanak-kanak ... 37

2.4.2 Perkembangan Anak Taman Kanak-kanak ... 37

2.4.3 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Taman Kanak-kanak ... 38

2.4.4 Prinsip-prinsip Perkembangan Anak Taman Kanak-kanak ... 39

2.4.5 Aspek-aspek Perkembangan Anak Taman Kanak-kanak ... 42

2.4.5.1 Tugas-tugas Perkembangan Anak Taman Kanak-kanak ... 44

2.5 Hasil Penelitian yang Relevan ... 47

2.6 Kerangka Berpikir ... 50

2.7 Hipotesis Penelitian ... 51

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Identifikasi Variabel Penelitian ... 51

3.1.1 Variabel Bebas ... 51

3.1.2 Variabel Terikat ... 51

3.2 Definisi Operasional Penelitian ... 51

3.2.1 Keterampilan Berbicara Anak ... 52

3.2.2 Metode Bermain Peran ... 53

3.3 Subjek Penelitian ... 53

3.3.1 Populasi ... 53


(12)

xii

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 55

3.5 Pelaksaan Penelitian ... 58

3.5.1 Orientasi Kancah dan Persiapan Penelitian ... 58

3.5.1.1 Persiapan Instrumen Penelitian... 58

3.5.1.1.1 Teknik Pengukuran Validitas ... 59

3.5.1.1.2 Teknik Pengukuran reliabilitas ... 61

3.5.2.1 Penyusunan Metode Bermain Peran sebagai Perlakuan dalam Eksperimen ... 62

3.5.2 Pelaksanaan Penelitian ... 64

3.6 Metode Analisis Data ... 65

3.6.1 Uji Asumsi ... 65

3.6.1.1 Uji Normalitas ... 65

3.6.1.2 Uji Homogenitas ... 65

3.6.2 Analisis Data Deskriptif ... 66

3.6.3 Uji Hipotesis ... 67

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Subjek Penelitian ... 68

4.2 Deskripsi Data Penelitian ... 70

4.3 Analisis Data ... 73

4.3.1 Uji Asumsi... 74

4.3.1.1 Uji Normalitas Data ... 74

4.3.1.2 Uji Homogenitas Data ... 75


(13)

xiii

4.3.3 Uji Hipotesis ... 81

4.3.3.1 Perbedaan Dua Rata-rata Data Pretest ... 81

4.3.3.2 Perbedaan Dua Rata-rata Data Posttest ... 82

4.4 Pembahasan... 84

4.5 Keterbatasan Penelitian ... 94

BAB 5 PENUTUP 5.1 Simpulan ... 96

5.2 Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 98


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Kisi-kisi Instrumen Penelitian untuk Mengukur Keterampilan

Berbicara Anak Usia 5-6 Tahun……….. 67

3.2 Hasil Uji Validitas Instrumen Keterampilan Berbicara... 71

3.3 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Keterampilan Berbicara ... 74

4.1 Data Hasil Pretest... 83

4.2 Data Hasil Posttest ... 84

4.3 Uji Homogenitas Data ... 87

4.4 Uji Normalitas Data... 88

4.5 T-test Data Pretest ... 96

4.6 T-test Data Posttest ... 97

4.7 Hasil PersentasePretest Keterampilan Berbicara ... 89

4.8 Hasil Persentase Postest Keterampilan Berbicara ... 91

4.9 Hasil Pretest Keterampilan Berbicara ... 92


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Kerangka Berfikir ... 59

4.1 Grafik Hasil Pretest Keterampilan Berbicara ... 90


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1. Instrumen Penelitian Uji Coba ... 102

Lampiran 2. Daftar Nama Responden Uji Coba Instrumen Keterampilan Berbicara ... 104

Lampiran 3. Tabulasi Data Validitas dan Realibilitas Instrumen Keterampilan Berbicara ... 105

Lampiran 4. Hasil uji Validitas dan reliabilitas Data ... 108

Lampiran 5. Instrumen Penelitian ... 112

Lampiran 6. Daftar Nama Responden Penelitian ... 116

Lampiran 7. Jadwal Penelitian ... 129

Lampiran 8. Rencana kegiatan Harian ... 130

Lampiran 9. Tabulasi Data Hasil Penelitian ... 132

Lampiran 10. Uji Normalitas Data ... 150

Lampiran 11. Uji Homogenitas Data ... 151


(17)

xvii

Lampiran 13. Profil Lembaga ... 155

Lampiran 14. Dokumentasi Penelitian ... 157


(18)

1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Perkembangan merupakan proses perubahan yang terjadi pada anak secara fungsional. Perkembangan anak meliputi beberapa aspek perkembangan. Salah satu aspek yang penting dalam perkembangan anak adalah perkembangan bahasa dimana perkembangan bahasa ini berkaitan dengan perkembangan lainnya (Halida, 2011:27).

Perkembangan bahasa memerlukan beberapa kemampuan, yaitu berbicara, menyimak, membaca, menulis, dan menggunakan bahasa isyarat. Keterampilan berbicara merupakan hal yang paling kodrati dilakukan oleh semua orang, termasuk anak-anak. Keterampilan berbicara selalu dibutuhkan setiap hari mulai kita bangun tidur hingga akan tidur kembali sebagai sarana untuk berkomunikasi.

Bicara adalah bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan maksud. Menurut Hurlock (1978:185) belajar berbicara mencakup tiga proses terpisah, tetapi saling berhubungan satu sama lain, yaitu mengucapkan kata, membangun kosakata, dan membentuk kalimat. Kegagalan menguasai salah satunya akan membahayakan keseluruhan pola bicara. Oleh karena itu, Peraturan Menteri No. 58 (2009:10) menyebutkan bahwa tingkat pencapaian perkembangan anak usia 5-≤6 tahun dengan lingkup perkembangan mengungkapkan bahasa meliputi menjawab pertanyaan yang lebih kompleks; menyebutkan kelompok gambar yang memiliki bunyi yang sama; berkomunikasi secara lisan, memiliki perbendaharaan kata, serta mengenal simbol-simbol untuk persiapan membaca, menulis dan berhitung; menyusun kalimat


(19)

2

sederhana dalam struktur lengkap (pokok kalimat-predikat-keterangan); memiliki lebih banyak kata-kata untuk mengekpresikan ide pada orang lain; serta melanjutkan sebagian cerita/dongeng yang telah diperdengarkan.

Kemampuan berkomunikasi pada awal masa kanak-kanak masih dalam taraf rendah, sehingga masih banyak kosakata yang harus dikuasai untuk dapat berkomunikasi dengan baik (Hurlock, 1990:109). Hal ini dapat dilihat berdasarkan pengamatan di lapangan, masih terdapat anak yang belum mampu mengekspresikan ide pada orang lain. Sebagai contoh, pada saat guru meminta anak maju untuk menceritakan pengalaman anak, anak belum mampu menceritakan secara rinci. Permasalahan ini perlu diatasi melalui peningkatan kemampuan komunikasi pada anak yang dapat dilakukan melalui metode bermain.

Bermain dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012) diartikan sebagai berbuat sesuatu untuk menyenangkan hati (dengan menggunakan alat-alat tertentu atau tidak). Bermain memiliki fungsi memberikan efek positif terhadap perkembangan anak. Hal ini sejalan dengan pendapat Montessori, sebagaimana dikutip oleh Sudono dalam buku

“Manajemen PAUD” (Suyadi, 2011) bahwa ketika anak sedang bermain, anak akan menyerap segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, anak yang bermain adalah anak yang menyerap berbagai hal baru di sekitarnya seperti kosakata. Pemilihan jenis permainan yang cocok sesuai dengan perkembangan anak menjadi penting agar pesan edukatif dari permainan dapat ditangkap anak dengan mudah dan menyenangkan. Jenis permainan yang dapat dipilih untuk mengembangkan keterampilan berbicara anak adalah bermain peran. Hal ini disebabkan pada saat anak memilih peran dan memainkan perannya, kosakata baru yang dimiliki anak bertambah (Arriyani & Wismiarti, 2010).


(20)

Metode bermain peran merupakan pembelajaran yang menyenangkan. Menurut buku Metodik di Taman Kanak-kanak (Depdiknas, 2003:41) dalam Magfiroh (2011) salah satu tujuan dari bermain peran adalah melatih anak berbicara dengan lancar. Berdasarkan pengamatan di lapangan pelaksanaan bermain peran belum maksimal. Hal ini dapat dilihat dari intensitas bermain peran yang masih rendah. Guru memberikan bermain peran hanya pada tema-tema tertentu. Salah satu tema yang biasa digunakan untuk bermain peran adalah tema profesi.

Dilihat dari jenisnya bermain peran terdiri dari bermain peran makro dan bermain peran mikro. Bermain peran makro adalah bermain yang sifatnya kerja sama lebih dari 2 orang bahkan lebih khususnya untuk anak usia taman kanak-kanak, sedangkan bermain mikro adalah awal bermain kerja sama dilakukan hanya 2 orang saja bahkan sendiri. Perbedaan konsep antara bermain peran makro dan bermain peran mikro akan memberikan perbedaan tingkat keterampilan berbicara pada anak.

Bermain peran makro dapat melatih kerja sama pada anak dalam kelompok. Dengan adanya kerja sama tersebut akan terjadi interaksi antara anak dengan teman mainnya sehingga dapat menambah kosakata yang dimiliki anak. Sedangkan pada bermain peran mikro dimana bermain peran ini merupakan awal bermain kerja sama, sehingga peluang anak untuk bekerjasama lebih sedikit. Hal ini disebabkan lawan main anak pada bermain peran mikro lebih sedikit dibandingkan pada bermain peran makro yang dilakukan secara berkelompok. Berdasarkan pertimbangan tersebut, tidak menutup kemungkinan penambahan kosakata melalui bermain peran mikro lebih sedikit.

Anak bertindak sebagai dalang dalam bermain peran mikro, sehingga anak merupakan otak penggerak yang menghidupkan alat main untuk memainkan suatu adegan, serta


(21)

peran-4

peran dalam skenario main peran (Arriyani & Wismiarti, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa pada bermain peran mikro anak dapat memainkan lebih dari satu peran. Sedangkan pada bermain peran makro anak hanya memainkan satu peran.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan jika dilihat dari kerjasama yang terjadi, bermain peran makro memiliki peran yang lebih besar dalam meningkatkan keterampilan berbicara. Sedangkan dilihat dari segi peran yang dimainkan, bermain peran mikro yang memiliki peran yang lebih besar dalam meningkatkan keterampilan berbicara. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Smilansky (1968) dalam Arriyani & Wismiarti (2010) mengungkapkan bahwa anak yang memiliki sedikit pengalaman main peran terlihat mendapatkan kesulitan dalam merangkai kegiatan dan percakapan mereka. Sejalan dengan Smilansky (1968), Levy, et.all (1992) dalam Shim (2007) mengungkapkan adanya hubungan positif antara bermain pura-pura dengan peningkatan kemampuan bahasa pada anak usia taman kanak-kanak.

Metode bermain peran makro memiliki pengaruh yang baik terhadap kualitas bermain peran. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shim (2007) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kuantitas bermain peran adalah rendahnya keterlibatan teman sebaya, kemampuan bahasa anak, serta media yang digunakan. Sejalan dengan Shim, hasil penelitian yang dilakukan Fitriani (2010: 89) di TK Lab.School UPI

bahwa “Terdapat perbedaan secara signifikan antara kosakata bahasa Indonesia pada anak

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah diterapkannya metode bermain peran (role play) makro.”


(22)

Metode bermain peran makro untuk meningkatkan keterampilan berbicara pada anak ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Halida (2011) bahwa bermain peran makro merupakan metode yang tepat dalam menjembatani anak untuk lebih leluasa dalam berbicara. Hal ini disebabkan dalam melakonkan tokoh dari sebuah cerita, anak dituntut untuk melakukan percakapan dengan lawan mainnya. Hal yang sama diungkapkan oleh Yulia Siska (2011) yang membuktikan bahwa penerapan metode bermain peran makro cukup berhasil dilaksanakan karena bagi guru dan anak metode ini belum pernah digunakan dan sangat menarik. Dalam bermain peran makro ini, anak dapat terlibat aktif untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berbicara anak melalui tokoh yang dipilih untuk diperankan.

Hasil penelitian lain diungkapkan oleh Andresen (2005) bahwa bermain peran makro sebagai bentuk tindakan pada ZPD, termasuk perkembangan bahasa dimana bahasa memegang peranan penting sebagai sarana pembentukan daya khayal anak. Dengan adanya komunikasi yang terjadi secara verbal dalam bermain, anak dapat bertukar ide mengenai maksud dari permainan.

Sejalan dengan pendapat Andresen (2005), hasil penelitian yang dilakukan oleh Bergen (2002) menunjukkan hubungan yang jelas antara keterampilan sosial dan kompetensi bahasa dengan tingginya kualitas daya khayal anak. Sehingga bermain peran makro dimana anak bermain dengan teman sebaya dapat membantu perkembangan bahasa anak. Hal yang sama diungkapkan oleh Anderson (2010) bahwa bermain peran makro dapat memperluas daya imajinasi anak dimana anak menggunakan kosakata baru untuk mengekspresikan cerita yang dimainkan. Anak dapat meningkatkan keterampilan berbicara dengan meniru anak yang lain maupun orang dewasa sebagai modelnya.


(23)

6

Berbeda dengan hasil penelitian mengenai bermain peran makro, hasil penelitian tentang pengaruh bermain peran mikro pada perkembangan bahasa sangat terbatas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Li (2012) menunjukkan bahwa perkembangan bahasa anak dapat dikembangkan melalui pendekatan bermain peran di rumah dimana daya khayal anak secara individual dapat terlihat melalui bermain peran mikro. Hasil penelitian lain dikemukakan oleh Maryatun (2010) yang membuktikan bahwa pemanfaatan wayang damen dapat meningkatkan moral behavior pada anak melalui metode bermain peran mikro. Selain hasil penelitian dari Maryatun, penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2012) membuktikan bahwa secara umum keterampilan sosial anak meningkat dengan baik melalui metode bermain peran mikro.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Lilis (2012) memperoleh hasil bahwa penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan kompetensi dasar komunikasi menggunakan telepon. Penelitian tersebut dilakukan pada siswa kelas XI AP 2 SMK N Semarang. Hal ini menunjukkan bahwa bermain peran tidak hanya dapat diterapkan pada anak usia dini, namun dapat diterapkan juga pada anak usia sekolah menengah atas. Dengan demikian bermain peran merupakan metode pembelajaran yang tepat untuk mendukung perkembangan bahasa.

Penelitian ini dilakukan di Taman Kanak-kanak Negeri Pembina Kota Pekalongan yang merupakan TK inti sebagai TK percontohan di kota Pekalongan. Dengan demikian berdasarkan hasil survey yang dilakukan pada tanggal 22 Desember 2012 ketersediaan media pembelajaran sudah mencukupi, sedangkan pada TK non Pembina ketersediaan media kurang mencukupi terutama pada area drama.


(24)

Model pembelajaran di Taman Kanak-kanak Negeri Pembina Kota Pekalongan masih menggunakan model area. Model area merupakan model pembelajaran dimana dalam satu hari membuka tiga area, sehingga intensitas bermain drama lebih rendah dibandingkan dengan intensitas bermain drama dengan menggunakan model pembelajaran sentra. Hal ini tidak seimbang dengan ketersediaan media pembelajaran pada area drama yang sudah mencukupi. Dengan demikian penerapan metode bermain drama dalam kegiatan pembelajaran belum maksimal.

Jika ditinjau dari segi keterampilan berbicara, anak TK Negeri Pembina memiliki keterampilan berbicara yang masih kurang. Hal ini dapat dilihat pada laporan perkembangan anak yang menunjukkan bahwa masih terdapat indikator-indikator pada aspek bahasa terutama pada lingkup perkembangan mengungkapkan bahasa yang belum tercapai dengan baik, diantaranya indikator menyebutkan nama orang tua, alamat rumah dengan lengkap; berkomunikasi dengan bahasanya sendiri (sesuai anak); serta bercerita tentang gambar yang disediakan dengan bahasa yang jelas. Oleh karena itu diperlukannya metode pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara anak. Hal ini dapat dilakukan karena TK Negeri Pembina terbuka dengan saran dari pihak luar sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti melakukan penelitian di Taman Kanak-kanak Negeri Pembina Kota Pekalongan.

Berdasarkan beberapa pertimbangan yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Tingkat Keterampilan Berbicara ditinjau dari Metode Bermain Peran pada Anak Usia 5-6 Tahun”. Dalam hal ini apakah ada perbedaan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.


(25)

8

1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan, maka dapat dirumuskan permasalahan adakah perbedaan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun?

1.3

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.

1.4

Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang berarti bagi perorangan/ institusi sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoritis

1.4.1.1Bagi penulis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan memberikan pengalaman serta pengetahuan yang lebih mendalam terutama pada tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.

1.4.1.2Bagi pembaca

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai penelitian yang berkaitan dengan tingkat


(26)

keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.

1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1 Bagi siswa

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada anak usia 5-6 tahun.

1.4.2.2 Bagi guru

dari hasil penelitian ini guru dapat:

1.4.2.2.1 Mengetahui pentingnya metode bermain peran untuk meningkatkan keterampilan berbicara pada anak.

1.4.2.2.2 Menciptakan proses belajar mengajar yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara melalui metode yang tepat bagi anak. 1.4.2.2.3 Meningkatkan intensitas pelaksanaan bermain peran dalam

kegiatan pembelajaran.

1.4.2.3 Bagi Lembaga Taman Kanak-kanak (TK)

Hasil penelitian ini dapat lebih meningkatkan kualitas proses belajar mengajar melalui metode yang tepat untuk anak usia 5-6 tahun.


(27)

10

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1

Keterampilan Berbicara

2.1.1 Pengertian Keterampilan Berbicara

Perkembangan bahasa merupakan aspek perkembangan yang penting untuk dikuasai. Bahasa terdiri dari bahasa lisan dan bahasa tertulis. Bahasa lisan merupakan unsur penting dalam interaksi atau sosialisasi (Dardjowidjojo, 2003:17). Menurut Djiwandono (2008) dalam Halida (2011) berbicara adalah mengungkapkan pikiran secara lisan. Sejalan dengan pendapat Djiwandono, Tarigan dalam Suhartono (2005:20) mengatakan bahwa berbicara merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi untuk mengekspresikan serta menyampaikan pikiran dan perasaan.

Keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan mereproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginan pada orang lain. Keterampilan ini juga didasari oleh kepercayaan diri untuk berbicara, sehingga dapat menghilangkan rasa malu, berat lidah, dan rendah diri (Iskandarwassid, 2008).

Tujuan berbicara adalah untuk memberitahukan, melaporkan, menghibur, membujuk, dan meyakinkan seseorang yang terdiri dari saspek kebahasaan dan nonkebahasaan (Dhieni, 2007:3.6) dalam Halida (2011). Menurut teori belajar (Rachmat 1986: 282) dalam Siska (2011), anak-anak memperoleh pengetahuan bahasa melalui tiga proses: asosiasi, imitasi dan peneguhan. Asosiasi berarti melazimkan


(28)

suatu bunyi dengan obyek tertentu. Imitasi berarti menirukan pengucapan dan struktur kalimat yang didengarnya. Peneguhan dimaksudkan sebagai ungkapan kegembiraan yang dinyatakan ketika anak mengucapkan kata-kata dengan benar.

Berdasarkan uraian mengenai keterampilan berbicara, dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara merupakan salah satu keterampilan dalam aspek bahasa yang sangat penting sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan lawan bicara. Keterampilan berbicara ini perlu distimulus melalui kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kosakata yang dimiliki anak.

2.1.2Aspek-aspek Keterampilan Berbicara

Kemampuan berbicara merupakan pengungkapan diri secara lisan. Unsur-unsur kebahasaan yang dapat menunjang keterampilan berbicara diungkapkan oleh Djiwandono (1996) dalam Halida (2011) yaitu unsur kebahasaan, unsur nonkebahasaan, dan unsur isi.

Unsur kebahasaan meliputi: (1) Pengucapan lafal yang jelas, (2) Penerapan intonasi yang wajar, (3) Pilihan kata, (4) Penerapan struktur/susunan kalimat yang jelas. Sedangkan unsur nonkebahasaan meliputi:

1) Keberanian

Keberanian yaitu keberanian dalam mengemukakan pendapat, seperti anak mampu menceritakan pengalaman yang dialami. Selain itu, keberanian untuk berpihak terhadap gagasan yang diyakini kebenarannya.


(29)

12

2) Kelancaran

Lancar dalam berbicara sangat ditunjang oleh penguasaan materi/bahan yang baik. Penguasaan kosakata akan membantu dalam penguasaan materi pembicaraan.

3) Ekspresi/Gerak-gerik Tubuh

Ekspresi tubuh sangat diperlukan dalam menunjang keefektifan berbicara. Arti pembicaraan tersebut dapat dipahami melalui ekspresi tubuh yang ditunjukkan pembicara.

Unsur isi dalam pembicaraan merupakan bagian yang lebih penting. Tanpa isi yang diidentifikasi secara jelas, pesan yang ingin disampaikan melalui kegiatan berbicara tidak akan tersampaikan secara jelas pula, dalam aspek isi dari berbicara terdiri dari kerincian dan kejelasan dalam menyampaikan isi dari pembicaraan.

Senada dengan pendapat Djiwandono (1996), Dhieni (2007) dalam Halida (2011) mengungkapkan bahwa aspek keterampilan berbicara terdiri dari aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan. Aspek kebahasaan meliputi keterampilan ucapan, penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai; pilihan kata; dan ketepatan sasaran pembicaraan. Sedangkan aspek nonkebahasaan meliputi sikap tubuh; kesediaan menghargai pembicaraan maupun gagasan orang lain; kenyaringan suara dan kelancaran dalam berbicara; relevansi, penalaran, dan penguasaan terhadap topik tertentu.


(30)

Hal serupa diungkapkan oleh Hurlock (1978:185-189) bahwa keterampilan berbicara meliputi beberapa aspek, yaitu:

1) Pengucapan

Setiap anak berbeda-beda dalam ketepatan pengucapan dan logatnya. Perbedaan ketepatan pengucapan bergantung pada tingkat perkembangan mekanisme suara, serta bimbingan yang diterima dalam mengaitkan suara ke dalam kata yang berarti. Perbedaan logat disebabkan karena meniru model yang pengucapannya berbeda dengan yang biasa digunakan anak.

2) Pengembangan Kosakata

Anak harus belajar mengaitkan arti dengan bunyi dalam mengembangkan kosakata yang dimiliki. Peningkatan jumlah kosa kata tidak hanya karena mempelajari kata baru, tetapi juga karena mempelajari arti baru bagi kata-kata lama.

3) Pembentukan Kalimat

Pada mulanya anak menggunakan kalimat satu kata yakni kata benda atau kata kerja. Kemudian kata tersebut digabungkan dengan isyarat untuk mengungkapkan suatu pikiran utuh yang dapat dipahami orang lain.

Pendapat yang berbeda diungkapkan oleh Ari (2012) bahwa keterampilan berbicara terdiri dari empat aspek, yaitu:

1) Keterampilan Sosial (Social Skill)

Keterampilan Sosial adalah kemampuan untuk berpartisipasi secara efektif dalam hubungan-hubungan masyarakat. Keterampilan sosial menuntut agar kita


(31)

14

mengetahui: apa yang harus dikatakan, bagaimana cara mengatakannya, dimana mengatakannya, kapan tidak mengatakannya.

2) Keterampilan Semantik (Semantic Skill)

Keterampilan Semantik adalah kemampuan untuk mempergunakan kata-kata dengan tepat dan penuh pengertian. Untuk memperoleh keterampilan semantik maka kita harus memiliki pengetahuan yang luas mengenai makna-makna yang terkandung dalam kata-kata serta ketepatan dan kepraktisan dalam penggunaan kata-kata.

3) Keterampilan Fonetik (Phonetic Skill)

Keterampilan Fonetik adalah kemampuan membentuk unsur-unsur fonenik bahasa kita secara tepat. Keterampilan ini perlu karena turut mengemban serta menentukan persetujuan atau penolakan sosial.

4) Keterampilan Vokal (Vocall Skill)

Keterampilan Vokal adalah kemampuan untuk menciptakan efek emosional yang diinginkan dengan suara kita.

Berdasarkan berbagai pendapat mengenai aspek-aspek keterampilan berbicara, dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara terdiri dari aspek kebahasaan, aspek nonkebahasaan, serta aspek isi yang dapat dilihat ketika anak berbicara.


(32)

2.1.3Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Berbicara

Keterampilan berbicara dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor dari dalam diri maupun dari luar. Menurut Hurlock (1978:185) keterampilan berbicara dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:

1) Persiapan Fisik untuk Berbicara

Kemampuan berbicara tergantung pada kematangan mekanisme bicara. Sebelum semua organ bicara mencapai bentuk yang lebih matang, saraf dan otot mekanisme suara tidak dapat menghasilkan bunyi yang diperlukan bagi kata-kata.

2) Kesiapan Mental untuk Berbicara

Kesiapan mental untuk berbicara tergantung pada kematangan otak, khususnya bagian-bagian asosiasi otak. Biasanya kesiapan tersebut berkembang di antara umur 12 dan 18 bulan dan dalam perkembangan bicara dipandang

sebagai “saat dapat diajar”.

3) Model yang Baik untuk ditiru

Model yang baik untuk ditiru diperlukan agar anak tahu mengucapkan kata dengan benar. Model tersebut mungkin orang di lingkungan sekitar mereka. Jika mereka kekurangan model yang baik, maka mereka akan sulit belajar berbicara dan hasil yang dicapai berada di bawah kemampuan mereka. 4) Kesempatan untuk Berpraktik

Jika anak tidak diberikan kesempatan untuk berpraktek maka mereka akan putus asa dan motivasi anak menjadi rendah. Fledman dalam Halida (2011) mengungkapkan bahwa di dalam area drama, anak-anak memiliki kesempatan


(33)

16

untuk bermain peran dalam situasi kehidupan yang sebenarnya serta mempraktikkan kemampuan berbahasa sehingga dapat membantu meningkatkan keterampilan berbicara pada anak.

5) Motivasi

Jika anak mengetahui bahwa mereka dapat memperoleh apa saja yang mereka inginkan tanpa memintanya, dan jika anak tahu bahwa pengganti bicara seperti tangis dan isyarat dapat mencapai tujuan tersebut, maka motivasi anak untuk belajar berbicara akan melemah.

6) Bimbingan

Cara yang paling baik untuk membimbing belajar berbicara adalah menyediakan model yang baik, mengadakan kata-kata dengan jelas, serta memberikan bantuan mengikuti model.

Ungkapan lain mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan berbicara dikemukakan oleh (Rahayu, 2007:216) yang terdiri dari beberapa hal, yaitu:

1) Gaya Berbicara, secara umum gaya bicara ditandai dengan tiga ciri, yaitu: a. Gaya Ekspresif, gaya bicara ekspresif ditandai dengan spontanitas, lugas,

gaya ini digunakan saat mengungkapkan perasaan, bergurau, mengeluh, atau bersosialisasi.

b. Gaya Perintah, gaya ini menunjukkan kewenangan dan bernada memberikan keputusan.

c. Gaya Pemecahan Masalah, gaya ini bernada rasional, tanpa prasangka, dan lemah lembut.


(34)

Metode penyampaian ini terdiri dari: (1) penyampaian mendadak; (2) penyampaian tanpa persiapan; (3) penyampaian dari naskah; dan (3) penyampaian dari ingatan (Rahayu, 2007:217).

Berdasarkan uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan berbicara, dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara dapat dipengaruhi oleh model yang baik untuk ditiru serta adanya kesempatan yang diberikan pada anak untuk berbicara. Hal tersebut dapat dilakukan melalui bermain peran.

2.2

Bermain

2.2.1 Pengertian Bermain

Beberapa ahli peneliti memberi batasan arti bermain dengan memisahkan aspek-aspek tingkah laku yang berbeda dalam bermain. Dikemukakan lima kriteria dalam bermain (Moeslichatoen, 1996:26) yaitu:

1) Motivasi Intrinsik: tingkah laku bermain dimotivasi dari dalam diri anak, karena itu dilakukan demi kegiatan itu sendiri dan bukan karena adanya tuntutan masyarakat atau fungsi-fungsi tubuh.

2) Pengaruh Positif: tingkah laku itu menyenangkan atau menggembirakan untuk dilakukan.

3) Bukan dikerjakan sambil lalu: tingkah laku itu bukan dilakukan sambil lalu, karena itu tidak mengikuti pola atau aturan yang sebenarnya, melainkan lebih bersifat pura-pura.

4) Cara/Tujuan: cara bermain lebih diutamakan dari pada tujuannya. Anak lebih tertarik pada tingkah laku itu sendiri dari pada keluaran yang dihasikan.


(35)

18

5) Kelenturan: bermain itu perilaku yag lentur. Kelenturan ditunjukkan baik dalam bentuk maupun dalam hubungan serta berlaku dalam setiap situasi.

Apapun batasan yang diberikan tentang pengertian bermain, bermain membawa harapan dan antisipasi tentang dunia yang memberikan kegembiraan, dan memungkinkan anak berkhayal seperti sesuatu atau seseorang, suatu dunia yang dipersiapkan untuk berpetualang dan mengadakan telaah; suatu dunia anak-anak (Moeslichatoen, 1996:26).

Bermain merupakan suatu kegiatan yang dilakukan anak dengan atau tanpa mempergunakan alat atau yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan serta mengembangkan imajinasi anak (Anggani, 1995:1) dalam Handayani (2012) . Menurut Tedjasaputra (1995:4) tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, Frobel lebih memandang bermain sebagai kegiatan yang mempunyai nilai praktis untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan tertentu pada anak termasuk keterampilan berbicara.

Berdasarkan beberapa pendapat mengenai bermain, dapat disimpulkan bahwa bermain merupakan dunia anak sebagai wadah untuk mengekspresikan rasa kegembiraan melalui aktivitas bermainnya untuk meningkatkan keterampilan tertentu.

2.2.2 Teori Bermain

Bermain diartikan oleh banyak ahli dalam teori bermain. Joan dalam Yus (2011:134-135) mengutip pendapat beberapa ahli tentang teori bermain, yaitu:

1) Anak mempunyai energi berlebih karena terbebas dari segala macam tekanan, baik tekanan ekonomis maupun sosial sehingga mengungkapkan energinya dalam bermain (Schiller & Spencer).


(36)

2) Melalui kegiatan bermain, seorang anak menyiapkan diri untuk kehidupan dewasa kelak. Misalnya, tanpa disadari dengan bermain peran anak menyiapkan diri untuk peran pekerjaan pada masa depan (Karl Groos).

3) Melalui bermain anak melewati tahap-tahap perkembangan yang sama dari perkembangan sejarah umat manusia (teori rekapitulasi). Kegiatan-kegiatan seperti lari, melempar, memanjat, dan melompat merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari dari generasi ke generasi (Stanley Hall).

4) Anak bermain untuk membangun kembali energi yang telah hilang. Bermain merupakan medium untuk menyegarkan badan kembali setelah bekerja berjam-jam (Lazarus).

5) Melalui kegiatan bermain, anak memuaskan keinginan-keinginannya yang terpendam atau tertekan. Dengan bermain anak seperti mencari kompensasi untuk apa yang tidak diperoleh dalam kehidupan nyata, untuk keinginan-keinginan yang tidak mendapatkan kepuasan (Mazhab psikoanalisis).

6) Kepribadian terus berkembang dan untuk pertumbuhan yang normal, perlu ada rangsangan (stimulus), dan bermain memberikan stimulus untuk pertumbuhan (Appleton).

Hal serupa diungkapkan oleh Depdikbud (Cahyaningsih, 2009:36) dalam Kurnia (2011) yang menyimpulkan berbagai macam teori bermain, yaitu:

1) Teori Surplus Energy dari Spenser, mengatakan bahwa bermain bermanfaat untuk mengisi kembali energi anak yang telah melemah.


(37)

20

2) Teori Practice for Adulthood dari K. Gross, mengatakan bahwa bermain merupakan peluang bagi pengembangan keterampilan dan pengetahuan anak yang sangat penting bagi mereka pada saat dewasa kelak.

3) Teori Psychoanalytic dari Freud, mengatakan bahwa bermain dapat mengurangi kecemasan anak dengan mencoba mengekspresikan berbagai dorongan infulsipnya dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan.

4) Teori Cognitif Development dari Piaget, mengemukakan bahwa bermain sangat penting bagi perkembangan kognitif seorang anak dengan melatih kemampuan adaptasi dengan lingkungannya dalam suasana yang menyenangkan.

5) Teori Neuropsychological dari Weininger dan Fitzgerald, mengemukakan peranan penting bermain untuk mengintegrasikan fungsi belahan kanan dan kiri otak anak secara seimbang.

Dari berbagai pandangan mengenai teori bermain, metode bermain peran sesuai dengan teori bermain Practice for Adulthood dan Psychoanalytic, bahwa bermain memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai stimulus. Bermain merupakan cara yang dapat digunakan dalam kegiatan belajar TK karena bermain dapat menghilangkan kecemasan pada anak..

2.2.3 Fungsi Bermain

Bermain merupakan suatu aktivitas yang sangat bermanfaat bagi anak. Vygotsky dalam Musthafa (Agustin, 2005) dalam Magfiroh (2011) mengemukakan bahwa fungsi bermain yaitu:

1) Bermain menumbuhkan motivasi diri pada anak (play effects the child’s


(38)

dalam menentukan tujuan baik jangka pendek, menengah ataupun jangka panjang.

2) Bermain memfasilitasi anak untuk mengembangkan berpikir (kognitif) secara desentralisasi (tidak terpusat) (play facilitates cognitive decentering). Dengan bermain tidak secara langsung memetakan permasalahan dengan berupaya menemukan solusi atas permasalahan tersebut.

3) Bermain meningkatkan kemampuan mental (play advances the development of mental refresentation). Perkembangan kemampuan mental dalam bermain anak pada dasarnya terbangun melalui interaksi yang harmonis dengan lingkungan tempat anak tinggal.

4) Bermain merupakan gambaran pengembangan perilaku yang disengaja (bertujuan), kegiatan fisik dan mental yang dilakukan secara sukarela (play fosters the development of deliberate behaviors-physical admental voluntary action). Dengan mengembangkan perilaku melalui bermain, akan mempengaruhi terhadap pengembangan proses mentalnya.

Selain fungsi bermain yang dikemukakan oleh Vygotsky (Agustin, 2005) dalam Magfiroh (2011) di atas, bermain memiliki fungsi pada semua aspek perkembangan. Hal ini sejalan dengan pendapat Moeslichatoen (1996:27) yang menyatakan bahwa bermain memiliki fungsi sebagai berikut:

1) Aspek Psikomotor, melalui kegiatan bermain anak dapat melakukan koordinasi otot kasar. Bermacam cara dan teknik dapat dipergunakan dalam kegiatan ini seperti merayap, merangkak, berjalan, berlari, meloncat, melompat, menendang, melempar, dan lain sebagainya.


(39)

22

2) Aspek Kognitif, melalui kegiatan bermain anak dapat berlatih menggunakan kemampuan kognitifnya untuk memecahkan berbagai masalah seperti kegiatan mengukur isi, mengukur berat, membandingkan, mencari jawaban yang berbeda dan sebagainya.

3) Aspek Bahasa, melalui kegiatan bermain anak juga dapat melatih kemampuan bahasanya dengan cara: mendengarkan beraneka bunyi, mengucapkan suku kata atau kata, memperluas kosa kata, berbicara sesuai dengan tata bahasa Indonesia, dan sebagainya.

4) Aspek Sosial Emosional, melalui bermain anak dapat mengembangkan kemampuan sosialnya, seperti membina hubungan dengan anak lain, bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat, menyesuaikan diri dengan teman sebaya, dapat memahami tingkah lakunya sendiri, dan paham bahwa setiap perbuatan ada konsekuensinya. Melalui bermain anak dapat meningkatkan kepekaan emosinya dengan cara mengenalkan bermacam perasaan, mengenalkan perubahan perasaan, membuat pertimbangan, menumbuhkan kepercayaan diri.

Fungsi bermain sebagaimana yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa kegiatan bermain merupakan kegiatan yang bermanfaat pada anak. Bermain memberikan pengaruh positif pada kemampuan mental serta perilaku anak. Kegiatan bermain sangat penting untuk mendukung perkembangan anak pada semua aspek perkembangan, yang meliputi aspek psikomotor, kognitif, bahasa, serta sosial emosional.


(40)

2.3

Metode Bermain Peran

Pengertian metode bermain peran diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Shim (2007) mengemukakan:

“Pretend play is generally defined in the research literature as an activity that involves role play, object substitution, and imaginary situations.” Dengan maksud, bermain pura-pura adalah aktivitas yang bersangkutan dengan bermain peran, objek pengganti, dan situasi imajiner yang biasanya didefinisikan dalam kajian pustaka riset.

Bermain peran dikenal juga dengan sebutan bermain pura-pura, khayalan, fantasi,

make believe, atau simbolik. Menurut Piaget, awal main peran dapat menjadi bukti perilaku anak. Ia menyatakan bahwa bermain peran ditandai oleh penerapan cerita pada objek dan mengulang perilaku menyenangkan yang diingatnya. Piaget menyatakan bahwa keterlibatan anak dalam bermain peran dan upaya anak mencapai tahap yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak lainnya disebut sebagai collective symbolism. Ia juga menerangkan percakapan lisan yang anak lakukan dengan diri sendiri sebagai idiosyncratic soliloquies. Selanjutnya sependapat dengan Shim, Tarigan (1996:243) dalam Halida (2011) mengatakan dalam bermain peran, anak bertindak, berlaku, dan berbahasa seperti orang yang diperankannya. Dari segi bahasa, berarti anak harus mengenal dan dapat menggunakan ragam-ragam bahasa.

Definisi metode bermain peran yang lebih luas dikemukakan oleh Supriyati dalam Winda Gunarti, dkk, (2008:10.10) bahwa metode bermain peran adalah permainan yang memerankan tokoh-tokoh atau benda sekitar anak sehingga dapat mengembangkan daya khayal (imajinasi) dan penghayatan terhadap bahan kegiatan yang dilaksanakan. Tedjasaputra (1995:43) memiliki pendapat yang sejalan dengan Supriyati bahwa bermain peran merupakan salah satu jenis bermain aktif, diartikan sebagai pemberian atribut tertentu terhadap benda, situasi, dan anak memerankan tokoh yang ia pilih. Apa yang


(41)

24

dilakukan anak melibatkan penggunaan bahasa yang dapat diamati dalam tingkah laku yang nyata.

Ungkapan serupa dikemukakan Suparman (1997:91), bermain peran berarti memainkan satu peran tertentu sehingga yang bermain tersebut mampu berbuat (bertindak dan berbicara) seperti peran yang dimainkannya. Jadi, melalui bermain peran anak dapat berbicara secara spontan dan dapat meniru bahasa seperti tokoh yang diperankannya. Pada umumnya anak-anak menyukai bermain peran (dramatik) (Garvey, 1997 dalam Berger, 1983 dan dalam Tedjasaputra, 1995:25). Hal ini dikarenakan melalui bermain dramatik membantu anak mencobakan berbagai peran sosial yang diamati, melepaskan ketakutan, mewujudkan khayalan, serta belajar bekerja sama (Garvey, 1990; Singer dan Singer, 1990 dalam Berk, 1994) dalam Tedjasaputra: 1995:25).

Berdasarkan beberapa uraian mengenai metode bermain peran, dapat ditarik kesimpulan bahwa bermain peran merupakan permainan dimana anak memainkan peran dari tokoh yang dimainkannya untuk mengembangkan daya imajinasi anak serta keterampilan berbicara pada anak.

2.3.1Tujuan Metode Bermain Peran

Metode bermain peran memiliki tujuan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Tujuan bermain peran di Taman Kanak-kanak (TK) menurut Djahri (1980:2) yang utama adalah:

1) Mendorong Motivasi dan Minat Anak terhadap Sesuatu.

Motivasi dan minat anak untuk belajar dapat meningkat melalui peran yang dimainkannya. Hal ini dikarenakan melalui bermain peran anak belajar dengan cara yang menyenangkan.


(42)

2) Melatih Sejumlah Keterampilan.

Bermain peran dapat melatih keterampilan terutama keterampilan berbicara. Ketika anak bermain peran, anak membutuhkan kosakata untuk berkomunikasi dengan teman mainnya.

3) Memberikan Kesempatan untuk Menerapkan Pengetahuan Anak.

Pengetahuan yang didapat anak melalui berbagai informasi dapat diaplikasikan ketika anak bermain peran melalui peran yang dimainkannya. 4) Melatih Mempertajam Seluruh Komponen Afektif.

Komponen afektif meliputi perasaan-emosi-cinta-kemauan-sikap-nilai-keinginan. Komponen-komponen tersebut dapat dilatih melalui bermain peran. 5) Menciptakan Suasana Belajar secara Aktif.

Anak terlibat secara langsung ketika bermain peran sehingga pembelajaran yang berlangsung adalah pembelajaran aktif. Pembelajaran aktif akan menyenangkan bagi anak karena pembelajaran yang berlangsung tidak membosankan.

Sejalan dengan pendapat Djahri, dalam buku Didaktik Metodik di Taman Kanak-kanak (Depdiknas, 2003:41) disebutkan bahwa tujuan bermain peran yaitu: (1) melatih daya tangkap; (2) melatih anak berbicara lancar; (3) melatih daya konsentrasi; (4) melatih membuat kesimpulan; (5) membantu perkembangan intelegensi; (6) Membantu perkembangan fantasi; dan (7) menciptakan suasana yang menyenangkan.

Dari pendapat dua orang tokoh mengenai tujuan bermain peran, dapat disimpulkan bahwa bermain peran memiliki tujuan melatih keterampilan terutama


(43)

26

keterampilan berbicara. Selain itu, dengan bermian peran pembelajaran berlangsung secara aktif sehingga anak dapat belajar dengan suasana yang menyenangkan.

2.3.2Jenis Metode Bermain Peran

Metode Bermain peran dilihat dari jenisnya terdiri dari dua jenis yang berbeda. Hal ini sejalan dengan pendapat oleh Erikson (1963) dalam Magfiroh (2011)bahwa metode bermain peran terdiri dari:

1) Metode Bermain Peran Mikro

Anak memainkan peran melalui tokoh yang diwakili oleh benda-benda berukuran kecil, contoh kandang dengan binatang-binatangan dan orang-orangan kecil.

2) Metode Bermain Peran Makro

Anak bermain menjadi tokoh menggunakan alat berukuran besar yang digunakan anak untuk menciptakan dan memainkan peran-peran, contoh memakai baju dan menggunakan kotak kardus yang dibuat menjadi mobil-mobilan.

PAUD YARSI dalam http://paud.metodologi.com mengemukakan bahwa metode bermain peran terdiri dari dua jenis, yaitu sebagai berikut :

1) Metode bermain peran makro adalah bermain yang sifatnya kerja sama lebih dari 2 orang bahkan lebih khususnya untuk anak usia taman kanak-kanak.

2) Metode bermain mikro adalah awal bermain kerja sama dilakukan hanya 2 orang saja bahkan sendiri.


(44)

Hal serupa dikemukakan oleh Khoiruddin (2010) bahwa terdapat dua jenis metode bermain peran, yaitu:

1) Metode Bermain Peran Makro

Metode bermain peran makro yaitu bermain peran yang sesungguhnya dengan alat-alat main berukuran sesungguhnya. Anak dapat menggunakannya untuk menciptakan dan memainkan peran-peran, misalnya bermain peran profesi dokter, maka alat yang digunakan stetoskop, replika jarum suntik, buku resep dan bolpoin.

2) Metode Bermain Peran Mikro

Metode bermain peran mikro yaitu kegiatan bermain peran dengan menggunakan bahan-bahan main berukuran kecil seperti rumah boneka lengkap dengan perabotannya dan orang-orangannya sehingga anak daapt memainkannya. Berdasarkan pendapat mengenai jenis metode bermain peran, dapat disimpulkan bahwa metode bermain peran terdiri dari dua jenis yang berbeda dalam pelaksanaannya. Kedua jenis tersebut adalah metode bermain peran makro dan mikro. Metode bermain peran makro adalah bermain yang sifatnya kerjasama lebih dari dua orang dengan menggunakan alat-alat main berukuran sesungguhnya. Sedangkan dalam bermain peran mikro, anak menggunakan alat-alat main yang berukuran kecil yang dilakukan oleh dua orang bahkan sendiri.

2.3.3Perbedaan Metode Bermain Peran Makro dan Mikro

Metode bermain peran makro dan mikro memiliki definisi yang berbeda sehingga terdapat perbedaan antara metode bermain peran makro dan mikro. Perbedaan tersebut terletak pada objek pemain dan peran anak. Dalam metode


(45)

28

bermain peran mikro, anak menjadi sutradara/dalang dan benda-benda menjadi pemainnya, seperti boneka tangan, boneka jari, wayang, tanpa skenario. Sedangkan dalam metode bermain peran makro, anak menjadi pemain yang memerankan karakter/tokoh yang diperankan, dan guru sebagai sutradaranya.

Metode bermain peran makro dan mikro sama-sama menempatkan anak sebagai pemain, namun apabila tema atau jalan cerita pada metode bermain peran mikro dapat bersifat umum, atau imajinatif, sedangkan pada metode bermain peran makro jalan cerita mengandung konflik sosial yang terselesaikan di akhir cerita. Menurut Feindan Smilansky dalam Gunarti, dkk (2010:10.21-10.22), dalam metode bermain peran mikro anak menggunakan simbol, seperti kata-kata, gerakan, dan mainan untuk mewakili dunia yang sesungguhnya. Dalam metode bermain peran makro, anak mengembangkan permainan simbolik itu agar bisa bekerja sama dengan anak/pemeran lainnya.

Menurut Gunarti, dkk (2010:10.18-10.19) perbedaan antara metode bermain peran makro dan mikro dapat ditinjau dari beberapa sudut, yaitu sebagai berikut:

1) Dari keluasan tema

Dalam metode bermain peran makro tema berkaitan dengan kehidupan nyata, kehidupan sosial dan masalah yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan, tema pada metode bermain peran mikro bersifat luas, imajinatif, berkaitan dengan kehidupan nyata maupun fiktif.


(46)

2) Dari sudut kesinambungan jalan cerita

Metode bermain peran makro mengembangkan adanya jalinan cerita dan kesinambungan peran antara semua tokoh yang terlibat. Selain itu, dalam metode bermain peran makro ini terdapat masalah sosial yang harus dipecahkan sehingga menuntut adanya kerja sama yang sinergis untuk menemukan solusi.

Sedangkan metode bermain peran mikro, anak menekankan pada penampilan yang menunjukkan peran yang dibawakan dalam perilaku dan pembicaraan, namun tidak menekankan pada ada atau tidaknya jalan cerita. 3) Dari sudut permasalahan yang ditampilkan

Dalam metode bermain peran makro terdapat masalah sosial yang harus dipecahkan bersama. Sedangkan pada metode bermain peran mikro tidak ada masalah sosial yang harus dipecahkan.

4) Dari sudut waktu

Dalam metode bermain peran makro, jalan cerita berlangsung cukup lama sampai pada segmen selesainya suatu masalah. Sedangkan dalam metode bermain peran mikro, jalan cerita berlangsung singkat, namun anak suka berganti-ganti peran sehingga dari segi waktu, kegiatan anak dalam bermain peran dapat berlangsung lama. Akan tetapi jalan cerita berlangsung singkat dalam setiap segmen.

5) Dari sudut tingkat kesulitan

Metode bermain peran makro memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan dalam metode bermain peran makro mempersyaratkan adanya kerja sama yang sinergis.


(47)

30

Metode bermain peran mikro lebih bersifat spontan, imajinatif, dan singkat sehingga memiliki tingkat kesulitan yang rendah.

6) Dari sudut inisiatif

Metode bermain peran makro lebih mengutamakan inisiatif guru dalam membuat cerita, merencanakan kegiatan langkah demi langkah, mengarahkan peran, serta dialog para pemainnya.

Sedangkan metode bermain peran mikro lebih membuka ruang kepada anak untuk membentuk jalan cerita sendiri sesuai dengan imajinasi dan kreativitasnya.

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan metode bermain peran makro dan mikro dapat terlihat pada alur cerita. Alur cerita pada metode bermain peran makro telah ditentukan oleh guru dimana jalan cerita mengandung konflik yang terselesaikan di akhir cerita. Sedangkan alur cerita pada metode bermain peran mikro diciptakan oleh anak sendiri. Hal ini menunjukkan dalam metode bermain peran mikro anak berperan sebagai sutradara. Peran anak dalam metode bermain peran makro berbeda dengan peran anak dalam metode bermain peran mikro. Dalam metode bermain peran makro anak berperan sebagai tokoh dari cerita.

Dari perbedaan-perbedaan jenis metode bermain peran, dapat disimpulkan, metode bermain peran makro dan mikro akan memberikan pengaruh yang berbeda dalam meningkatkan keterampilan berbicara pada anak usia 5-6 tahun.


(48)

2.3.4Fungsi Metode Bermain Peran

Bermain peran bukan kegiatan yang tidak bermanfaat. Bermain peran memiliki banyak fungsi, sebagaimana disebutkan oleh Fledman dalam Gunarti, dkk (2010:10.10) mengungkapkan:

In the dramatic play area children have an opportunity to role play real life situations, release emotions, practice language, develop social skills, express

themselves creatively.”

Fledman berpendapat bahwa di dalam area drama anak memiliki kesempatan untuk bermain peran dalam situasi kehidupan yang sebenarnya, melepaskan emosi, mempraktikkan kemampuan berbahasa, membangun keterampilan sosial dan mengekspresikan diri dengan kreatif.

Sejalan dengan pendapat Fledman, Gunarti, dkk (2010:10.11-10.12) secara eksplisit bila ditinjau dari tujuan pendidikan, melalui metode bermain peran diharapkan anak dapat: (1) mengeksplorasi perasaan-perasaan; (2) memperoleh wawasan; (3) mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah yang dihadapi; (4) mengembangkan kreativitas dengan membuat jalan cerita atas inisiatif anak; (5) melatih daya tangkap; (6) melatih daya konsentrasi; (7) melatih membuat kesimpulan; (8) membantu perkembangan kognitif; (9) membantu perkembangan fantasi; (10) menciptakan suasana yang menyenangkan; (11) mencapai kemampuan komunikasi secara spontan/berbicara lancar; (12) membangun pemikiran yang analitis dan kritis; (13) membangun sikap positif dalam diri anak; (14) menumbuhkan aspek afektif melalui penghayatan isi cerita; (15) untuk membawa situasi yang sebenarnya ke dalam bentuk simulasi miniatur


(49)

32

kehidupan; (16) untuk membuat variasi yang menarik dalam kegiatan pengembangan.

Pendapat-pendapat mengenai fungsi metode bermain peran, dapat disimpulkan bahwa bermain peran bukan kegiatan bermain yang sia-sia karena bermain peran memiliki fungsi untuk membantu anak mempraktekkan peran dalam kehidupan yang sebenarnya, melatih anak berbicara lancar, serta membantu perkembangan kognitif anak melalui pengalaman bermain.

2.3.5Kelebihan dan Kekurangan Metode Bermain Peran

Fungsi metode bermain peran yang berpengaruh positif terhadap perkembangan anak menjadi nilai lebih dari metode bermain peran. Namun, disamping kelebihannya, metode bermain peran juga memiliki kekurangan.

Sudjana (1989:79) dalam Kurnia (2011) mengemukakan keunggulan metode bermain peran, yaitu:

1) Peran yang ditampilkan dengan menarik akan mendapatkan perhatian dari anak, sehingga perhatian anak dapat terfokus pada pembelajaran.

2) Bermain peran ini dapat ditampilkan dalam kelompok besar maupun kelompok kecil. Hal ini sesuai dengan jenis metode bermain peran yang terdiri dari metode bermain peran makro dan mikro.

3) Dapat membantu anak dalam memahami pengalaman orang lain yang melakukan peran. Melalui bermain peran, anak dapat memahami mengenai tokoh yang dimainkan.

4) Dapat membantu untuk menganalisis. Kemampuan anak dalam menganalisis permasalahan dapat dilatih melalui metode bermain peran.


(50)

5) Menumbuhkan kemampuan dan rasa kepercayaan diri anak dalam menghadapi masalah.

Kelebihan dari metode bermain peran juga dikemukakan oleh Suparman (2006:93) dalam Halida (2011), yaitu:

1) Bermain peran merupakan bentuk kreativitas setiap anak melalui daya imajinasi dan fantasi, memungkinkan anak mengeksplorasi dunianya sendiri sehingga akan terbangun kreativitas untuk mempergunakan pikiran dan logika. 2) Dengan bermain peran, anak melakukan eksperimen dan menemukan bahwa

merancang sesuatu yang baru akan menimbulkan kepuasan sehingga mereka dapat mengalihkan minat kreatifnya ke situasi di luar dunia bermain.

Sedangkan kekurangan dalam metode bermain peran yang dikemukakan Suparman (2006:93) Halida (2011) yaitu kecenderungan tidak bersungguh-sungguh, serta memerlukan waktu yang cukup banyak.

Berdasarkan pendapat mengenai kelebihan metode bermain peran, dapat dilihat bahwa metode bermain peran memiliki banyak kelebihan, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa bermain peran dapat menjadi metode pembelajaran di taman kanak-kanak yang dapat mendukung perkembangan anak.

2.3.6Fungsi Metode Bermain peran dalam pengembangan keterampilan berbicara

Anak berlatih menggunakan bahasa ekspresif (berbicara) dan reseptif (mendengarkan) melalui bermain peran. Menurut Gunarti dkk, (2008:10.11) bermain peran bertujuan untuk memecahkan masalah melalui serangkaian tindakan pemeranan. Sebagaimana yang telah disebutkan pada faktor-faktor yang


(51)

34

mempengaruhi keterampilan berbicara bahwa di dalam area drama, anak-anak memiliki kesempatan untuk bermain peran dalam situasi kehidupan yang sebenarnya serta mempraktikkan kemampuan berbahasa.

Pelaksanaan metode bermain peran dalam pengembangan bahasa pada anak usia dini menurut Dhieni (2007:7.33) dalam Halida (2011) bertujuan:

1) Melatih Daya Tangkap

Metode bermain peran dapat melatih anak untuk menangkap banyak hal melalui interaksi yang terjadi dengan lawan main ketika permainan berlangsung.

2) Melatih Anak Berbicara Lancar

Keterampilan berbicara anak dapat meningkat dengan metode bermain peran. Hal ini disebabkan ketika anak bermain peran terjadi interaksi baik interaksi dengan permainannya maupun interaksi yang terjadi dengan lawan mainnya.

3) Melatih Daya Konsentrasi.

Jenis permainan drama merupakan jenis permainan yang membutuhkan konsentrasi sehingga bermain drama dapat melatih daya konsentrasi anak. 4) Melatih Membuat Kesimpulan.

Cerita dari peran yang dimainkan anak dapat melatih anak menyimpulkan banyak hal mengenai tokoh yang dimainkannya.

5) Membantu Perkembangan Intelegensi

Aspek kognitif dapat dikembangkan melalui bermain drama karena dalam bermain drama dibutuhkan ide-ide yang kreatif.


(52)

6) Membantu Perkembangan Fantasi

Daya khayal anak sangat dibutuhkan ketika bermain peran. Hal ini dapat membantu perkembangan fantasi anak.

Uraian mengenai fungsi metode bermain peran dalam pengembangan keterampilan berbicara menekankan bahwa metode bermain drama dapat mengembangkan keterampilan berbicara. Metode bermain drama dapat menjadi media untuk memberikan kesempatan pada anak mengekspresikan imajinasinya.

2.4

Anak Taman Kanak-kanak

2.4.1Karakteristik Anak Taman Kanak-kanak

Anak Taman Kanak-kanak merupakan anak yang berusia 4 sampai 6 tahun yang berada dalam proses perkembangan, baik perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, maupun bahasa. Perkembangan anak bersifat progresif, sistematis, dan berkesinambungan. Setiap aspek perkembangan saling berkaitan satu sama lain, terhambatnya satu aspek perkembangan tertentu akan mempengaruhi aspek perkembangan yang lainnya.

Montessori dalam Syaodih (2005:8) berpendapat bahwa usia 3-6 tahun merupakan periode sensitif atau masa peka pada anak, yaitu suatu periode dimana suatu fungsi tertentu perlu dirangsang, diarahkan sehingga tidak terhambat perkembangannya. Misalnya masa peka untuk berbicara pada periode ini tidak terpenuhi maka anak akan mengalami kesukaran dalam berbahasa untuk periode selanjutnya.


(53)

36

Setiap anak memiliki karakteristik tersendiri dan perkembangan setiap anak berbeda-beda baik dalam kualitas maupun tempo perkembangannya. Kartono (1986:113) dalam Syaodih (2005:13-16) mengungkapkan ciri khas anak masa kanak-kanak sebagai berikut:

a) Bersifat Egosentris Naif

Seorang anak yang egosentris naif memandang dunia luar dari pandangannya sendiri, sesuai dengan pengetahuan dan pemahamannya sendiri, dibatasi oleh perasaan dan pikirannya yang masih sempit.

b) Relasi Sosial yang Primitif

Relasi sosial yang primitif merupakan akibat dari sifat egosentris yang naif. Ciri ini ditandai oleh kehidupan anak yang belum dapat memisahkan antara keadaan dirinya dengan keadaan lingkungan sosial sekitarnya.

c) Kesatuan Jasmani dan Rohani yang Hampir tidak Terpisahkan

Dunia lahiriah dan batiniah anak belum dapat dipisahkan, anak belum dapat membedakan keduanya. Isi lahiriah dan batiniah masih merupakan satu kesatuan yang utuh. Penghayatan anak terhadap sesuatu dikeluarkan atau diekspresikan secara bebas, spontan, dan jujur baik dalam mimik, tingkah laku, maupun bahasanya.

d) Sikap Hidup yang Fisiognomis

Anak bersikap fisiognomis terhadap dunianya, artinya secara langsung anak memberikan atribut/sifat lahiriah atau sifat konkrit, nyata terhadap apa yang dihayatinya. Anak belum dapat membedakan benda hidup dan benda


(54)

mati. Segala sesuatu dianggap memiliki jiwa sehingga anak pada usia ini sering bercakap-cakap dengan binatang, boneka, dan sebagainya.

Berdasarkan uraian mengenai karakteristik anak taman kanak-kanak, dapat disimpulkan bahwa setiap anak memiliki karakteristik dan pola perkembangan yang berbeda-beda. Ciri khas pada anak usia kanak-kanak diantaranya anak bersifat egosentris, kemampuan sosial yang masih rendah, serta belum dapat membedakan benda hidup dan benda mati.

2.4.2Perkembangan Anak Taman Kanak-kanak

2.4.2.1Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Taman Kanak-kanak

Istilah pertumbuhan dan perkembangan mempunyai pengertian yang berbeda. Menurut Syaodih (2005:20) pertumbuhan dapat diartikan sebagai perubahan yang bersifat kuantitatif, sebagai akibat dari adanya pengaruh luar atau lingkungan. Pertumbuhan mengandung arti adanya perubahan dalam ukuran dan struktur tubuh sehingga lebih banyak menyangkut perubahan fisik.

Berbeda dengan pertumbuhan, perkembangan adalah suatu perubahan fungsional yang bersifat kualitatif, baik dari fungsi-fungsi fisik maupun mental sebagai hasil keterkaitannya dengan pengaruh lingkungan.

Kedua paragraf mengenai definisi pertumbuhan dan perkembangan menunjukkan perbedaan definisi pertumbuhan dan perkembangan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan merupakan perubahan yang bersifat kuantitatif, sedangkan perkembangan merupakan perubahan yang bersifat kualitatif.


(55)

38

2.4.2.2Prinsip-prinsip Perkembangan Anak Taman Kanak-kanak

Dalam perkembangan individu dikenal prinsip-prinsip perkembangan. Menurut Syaodih (2005:22-24) prinsip-prinsip perkembangan adalah sebagai berikut:

a) Perkembangan berlangsung seumur hidup dan meliputi semua aspek. Perkembangan bukan hanya berkenan dengan aspek-aspek tertentu tetapi menyangkut semua aspek perkembangan.

b) Setiap individu memiliki irama dan kualitas perkembangan yang berbeda. Seorang individu mungkin mempunyai kemampuan berpikir dan membina hubungan sosial yang sangat tinggi, sedang dalam aspek perkembangan lainnya cenderung kurang.

c) Perkembangan secara relatif beraturan, mengikuti pola-pola tertentu. Perkembangan suatu segi didahului atau mendahului segi lainnya.

d) Perkembangan berlangsung secara berangsur-angsur sedikit demi sedikit. e) Perkembangan berlangsung dari kemampuan yang bersifat umum menuju pada

yang lebih khusus, mengikuti proses diferensiasi dan integrasi.

f) Secara normal, perkembangan individu mengikuti seluruh fase, tetapi karena faktor-faktor khusus, fase tertentu dapat dilewati secara cepat, sehingga nampak seperti tidak melewati fase tersebut.

g) Sampai batas-batas tertentu, perkembangan sesuatu aspek dapat dipercepat atau diperlambat.


(56)

h) Perkembangan aspek-aspek tertentu berjalan sejajar atau berkorelasi dengan aspek lainnya. Perkembangan kemampuan sosial sejajar dengan kemampuan berbahasa.

Dari uraian mengenai prinsip-prinsip perkembangan anak taman kanak-kanak, dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip perkembangan diantaranya perkembangan berlangsung seumur hidup dan meliputi semua aspek, perkembangan berlangsung secara berangsur-angsur sedikit demi sedikit, dan setiap individu memiliki irama dan kualitas perkembangan yang berbeda.

2.4.2.3Aspek-aspek Perkembangan Anak Taman Kanak-kanak

Perkembangan berkenaan dengan keseluruhan kepribadian anak, karena kepribadian membentuk satu kesatuan yang terintegrasi. Secara umum, dapat dibedakan beberapa aspek utama kepribadian anak, yaitu aspek intelektual, fisik-motorik, sosial, emosional, bahasa, moral dan keagamaan.

Menurut Syaodih (2005:24-26) aspek-aspek perkembangan adalah sebagai berikut:

a) Perkembangan Aspek Fisik dan Motorik

Pada awal kehidupan anak, yaitu pada saat dalam kandungan dan tahun-tahun pertama kehidupan, perkembangan aspek fisik motorik sangat menonjol. Setelah dua tahun pertama, anak dapat duduk, merangkak, berdiri, bahkan berjalan dan berlari.

b) Perkembangan Aspek Intelektual

Perkembangan aspek intelektual diawali dengan perkembangan kemampuan mengamati, melihat hubungan dan memecahkan masalah


(57)

40

sederhana. Kemudian berkembang ke arah pemahaman dan pemecahan masalah yang lebih rumit.

c) Perkembangan Aspek Sosial

Perkembangan aspek sosial diawali pada masa kanak-kanak. Anak senang bermain dengan teman sebayanya.

d) Perkembangan Aspek Bahasa

Aspek bahasa berkembang dimulai dengan peniruan bunyi dan suara, berlanjut dengan meraban. Bahasa merupakan salah satu elemen yang terpenting dalam perkembangan berpikir sebagai sarana yang utama untuk mengekspresikan pikiran.

Anak adalah makhluk peniru (imitator) dengan mencontoh orang lain di sepanjang kehidupannya. Hal ini disebabkan anak memiliki dorongan yang kuat untuk meniru orang lain. Kemampuan imitasi anak menjadi modal penting dalam perkembangan bahasanya.

Menurut Syaodih (2005:49) perkembangan berbicara anak usia 5-6 tahun adalah anak sudah dapat mengucapkan kata dengan jelas dan lancar, dapat menyusun kalimat yang terdiri dari enam sampai delapan kata, dapat menjelaskan arti kata-kata yang sederhana, dapat menggunakan kata hubung, kata depan dan kata sandang. Pada masa akhir usia taman kanak-kanak umumnya anak sudah mampu berkata-kata sederhana serta dapat berbicara dengan lancar.

Pendapat yang lain dikemukakan oleh Jamaris dalam Susanto (2011:78-79) bahwa karakteristik kemampuan bahasa anak usia 5-6 tahun adalah sebagai berikut:


(58)

1. Sudah dapat mengucapkan lebih dari 2.500 kosakata.

2. Lingkup kosakata yang dapat diucapkan anak menyangkut warna, ukuran, bentuk, rasa, bau, keindahan, kecepatan, suhu, perbedaan, perbandingan, jarak, dan permukaan (kasar-halus).

3. Anak usia 5-6 tahun sudah dapat melakukan peran sebagai pendengar yang baik.

4. Dapat berpartisipasi dalam percakapan. Anak dapat mendengarkan orang lain berbicara dan menanggapi pembicaraan.

5. Percakapan yang dilakukan anak 5-6 tahun menyangkut berbagai komentarnya terhadap apa yang dilakukan oleh dirinya sendiri dan orang lain, serta apa yang dilihatnya.

e) Perkembangan Aspek Emosional

Perkembangan emosi atau perasaan berjalan konstan, kecuali pada masa remaja awal (13-14 tahun) dan remaja tengah (15-16 tahun).

f) Perkembangan Aspek Moral dan Keagamaan

Aspek moral dan keagamaan berkembang sejak anak masih kecil. Peranan lingkungan terutama lingkungan keluarga sangat dominan bagi perkembangan aspek ini. Pada mulanya anak melakukan perbuatan bermoral, atau keagamaan karena meniru, kemudian menjadi perbuatan atas prakarsa sendiri.

Berdasarkan uraian mengenai aspek-aspek perkembangan anak taman kanak-kanak, dapat disimpulkan bahwa aspek perkembangan yang utama meliputi aspek intelektual, fisik-motorik, sosial, emosional, bahasa, moral dan keagamaan yang dapat membentuk satu kesatuan yang disebut kepribadian. Dalam aspek


(59)

42

perkembangan bahasa, anak usia 5-6 tahun memiliki kemampuan berpartisipasi dalam percakapan dimana isi percakapan tersebut berupa komentarnya terhadap apa yang dilihatnya.

2.4.2.4Tugas-tugas Perkembangan Masa Kanak-kanak

Tugas perkembangan merupakan suatu tugas yang muncul dalam suatu periode tertentu dalam kehidupan individu. Tugas tersebut harus dikuasai dan diselesaikan oleh individu, karena tugas ini akan mempengaruhi pencapaian perkembangan berikutnya.

Tugas perkembangan masa kanak-kanak menurut Triyon dan Lilienthal (Hildebrand, 1986:45) dalam Syaodih (2005:27-28) adalah sebagai berikut:

a) Berkembang menjadi pribadi yang mandiri.

Anak belajar untuk berkembang menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan memenuhi kebutuhannya sendiri.

b) Belajar memberi, berbagi, dan memperoleh kasih sayang.

Anak belajar untuk dapat saling memberi dan berbagi. Anak juga belajar memperoleh kasih sayang dari sesama dalam lingkungannya.

c) Belajar bergaul dengan anak lain.

Anak belajar mengembangkan kemampuannya untuk dapat bergaul, dan berinteraksi dengan anak lain dalam lingkungan di luar lingkungan keluarga. d) Mengembangkan pengendalian diri.

Pada masa ini anak belajar untuk bertingkah laku sesuai dengan tuntutan lingkungannya.


(60)

Anak belajar bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada berbagai jenis pekerjaan yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan.

f) Belajar untuk mengenal tubuh masing-masing.

Pada masa ini anak perlu mengetahui berbagai anggota tubuhnya, apa fungsinya, dan bagaimana penggunaannya.

g) Belajar menguasai keterampilan motorik halus dan kasar.

Anak belajar mengkoordinasikan otot-otot yang ada pada tubuhnya baik otot kasar maupun otot halus.

h) Belajar mengenal lingkungan fisik dan mengendalikan.

Pada masa ini diharapkan anak dapat mengenal benda-benda yang ada di lingkungan.

i) Belajar menguasai kata-kata baru untuk memahami orang lain.

Anak belajar menguasai kata-kata baru baik yang berkaitan dengan benda-benda di sekitarnya, maupun yang berinteraksi dengan lingkungannya. j) Mengembangkan perasaan positif dalam berhubungan dengan lingkungan.

Pada masa ini anak belajar mengembangkan perasaan kasih sayang terhadap segala sesuatu yang ada dalam lingkungannya.

Sejalan dengan pendapat Triyon dan Lilienthal (Hildebrand, 1986), Havighurst (Monks, 2001) dalam Soetjiningsih (2012, 182) mengungkapkan bahwa tugas-tugas perkembangan pada masa kanak-kanak awal yaitu: (a) mencapai stabilitas fisiologis; (b) belajar berbicara/berbahasa; (c) belajar mengatur dan mengurangi gerak-gerik tubuh yang tidak perlu; (d) belajar mengenal perbedaan dan aturan-aturan jenis kelamin; (e) membentuk


(61)

konsep-44

konsep sederhana mengenai realitas sosial dan realitas fisik; dan (f) belajar tentang benar-salah.

Berdasarkan kedua pendapat mengenai tugas-tugas perkembangan, maka dapat disimpulkan bahwa anak usia kanak-kanak memiliki tugas perkembangan diantaranya belajar berbicara/berbahasa dengan menguasai kata-kata baru untuk memahami orang lain, belajar bersosialisasi, serta belajar mengendalikan diri.

2.5

Hasil Penelitian yang Relevan

Hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa:

a. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Halida dalam Jurnal Cakrawala Kependidikan . Vol. 9 , No. 1 (2011) mengenai metode bermain peran dalam mengoptimalkan kemampuan berbicara anak usia dini menyebutkan bahwa bermain peran makro merupakan metode yang tepat dalam menjembatani anak untuk lebih leluasa dalam berbicara. Hal ini disebabkan dalam melakonkan tokoh dari sebuah cerita, anak dituntut untuk melakukan percakapan dengan lawan mainnya.

b. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siska dalam Jurnal ISSN 1412-565X . No. 2 (2011) mengenai penerapan metode bermain peran (Role Playing) dalam meningkatkan keterampilan sosial dan keterampilan berbicara anak usia dini membuktikan bahwa penerapan metode bermain peran makro cukup berhasil dilaksanakan karena bagi guru dan anak metode ini belum pernah digunakan dan sangat menarik. Dalam bermain peran makro ini, anak dapat terlibat aktif untuk


(62)

mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berbicara anak melalui tokoh yang dipilih untuk diperankan.

c. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Andresen dalam Journal Culture Psychology. Vol. 11, No. 4 384-414 (2005) mengenai role play and language development in the preschool years mengungkapkan bahwa bermain peran makro sebagai bentuk tindakan pada ZPD, termasuk perkembangan bahasa dimana bahasa memegang peranan penting sebagai sarana pembentukan daya khayal anak.

d. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bergen dalam Journal of Early Childhood Research and Practice. Vol. 4, No. 1 (2002) mengenai the role of pretend play in childrens cognitive development menunjukkan hubungan yang jelas antara keterampilan sosial dan kompetensi bahasa dengan tingginya kualitas daya khayal anak. Sehingga bermain peran makro dimana anak bermain dengan teman sebaya dapat membantu perkembangan bahasa anak.

e. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anderson, dkk dalam Journal of Family and Human Development. Vol. 4, No. 10 (2010) mengenaiThe Importance of Play in Early Childhood Development bahwa bermain peran makro dapat memperluas daya imajinasi anak dimana anak menggunakan kosakata baru untuk mengekspresikan cerita yang dimainkan. Anak dapat meningkatkan keterampilan berbicara dengan meniru anak yang lain maupun orang dewasa sebagai modelnya. f. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Li dalam Australasian Journal of Early Childhood. Vol. 37, No. 1 (2012) mengenai how do immigrant parents support


(63)

46

menunjukkan bahwa perkembangan bahasa anak dapat dikembangkan melalui pendekatan bermain peran di rumah dimana daya khayal anak secara individual dapat terlihat melalui bermain peran mikro.

g. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hanapiah dan Suwadi dalam Jurnal TEQIP. No. 1 (2010) mengenai peningkatan keterampilan berbicara dengan teknik bermain peran bagi siswa kelas V SDN 2 Ngali menunjukkan bahwa penggunaan teknik bermain peran makro dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas V SDN 2 Ngali, Kecamatan Belo, Kabupaten Bima.

h. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hewes dalam Journal Of Early Childhood Learning Knowledge Centre mengenai Let The Children Play: Nature’s Answer

to Early Learning mengungkapkan bahwa bermain peran makro dapat meningkatkan kemampuan bahasa anak yaitu kemampuan anak dalam berkomunikasi dengan temannya.

i. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Somantri dalam Tesis PENDAS (2010) mengenai pengaruh pembelajaran dengan menggunakan metode bermain peran (Role Playing) makro terhadap keterampilan sosial dan berbicara anak usia dini mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan signifikan dalam peningkatan keterampilan berbicara anak pada kelas kontrol dan kelas ekeperimen. Hal ini dikarenakan pembelajaran dengan menggunakan metode bermain peran sesuai dengan dunia anak yang menekankan pada eksplorasi permainan dan eksplorasi gerak tubuh serta bahasa anak.

j. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shim dalam Disertasi (2007) mengenai


(64)

Contextual Factors mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kuantitas bermain peran adalah rendahnya keterlibatan teman sebaya, kemampuan bahasa anak, serta media yang digunakan.

k. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pane dalam UNIMED-Master-130074

(2013) mengenai pengaruh metode bermain peran dan konsep diri terhadap keterampilan berbicara anak usia dini di kelompok bermain kota Medan menunjukkan bahwa kemampuan berbicara anak yang mengikuti pembelajaran bermain peran makro lebih tinggi daripada anak yang mengikuti pembelajaran bermain peran mikro.

2.6

Kerangka Berpikir

Metode bermain peran merupakan jenis permainan yang dapat meningkatkan aspek bahasa terutama keterampilan berbicara. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada tanggal 15 Desember 2012, pelaksanaan bermain peran di TK Negeri Pembina Pekalongan belum maksimal. Hal ini terlihat dengan sudah tersedianya media pembelajaran yang mendukung bermain peran seperti tempat tidur, meja, serta kursi, namun intensitas pelaksanaan bermain peran masih rendah.

Bermain peran terdiri dari dua jenis yaitu bermain peran makro dan bermain peran mikro. Kedua jenis bermain peran tersebut akan memiliki pengaruh yang berbeda terhadap keterampilan berbicara anak usia taman kanak-kanak. Banyak ditemukan hasil penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa metode bermain peran makro dapat meningkatkan keterampilan berbicara, namun masih sedikit ditemukan hasil penelitian


(65)

48

yang menunjukkan bahwa metode bermain peran mikro dapat meningkatkan keterampilan berbicara.

Keterampilan berbicara anak dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan indikator pada teori Hurlock (1978) mengenai tugas utama dalam belajar berbicara, tingkat pencapaian perkembangan anak usia 5-≤6 tahun yang terdapat dalam Permen 58 tahun 2009 dan kurikulum berbasis kompetensi pendidikan anak usia dini (2002) serta perkembangan bahasa anak yang diungkapkan oleh para ahli seperti Yus (2011), dan Djiwandono (1996) dalam Halida (2011). Pada bermain peran makro terjadi interaksi antara anak dengan lawan mainnya sehingga dapat mengembangkan semua indikator keterampilan berbicara yang terdapat pada teori yang telah disebutkan di atas.

Bermain peran mikro hanya terjadi interaksi antara anak dengan mainannya yang merupakan benda mati sehingga tidak terjadi komunikasi dua arah. Berdasarkan pertimbangan tersebut bermain peran mikro hanya dapat mengembangkan indikator berkomunikasi secara lisan, Panjang kalimat yang diucapkan anak terdiri dari 6-8 kata perkalimat, isi pembicaraan berpusat pada diri sendiri (Egosentrik), serta melanjutkan sebagian cerita/dongeng yang telah diperdengarkan.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.

Dari berbagai uraian di atas, maka kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Kerangka berpikir “Tingkat Keterampilan Berbicara ditinjau dari Metode Bermain Peran pada Anak Usia 5-6 tahun”.


(1)

Gb. Bermain Peran Kedai Es Krim

Rina sedang memainkan wayang tukang es krim yang sedang melakukan transaksi jual beli.

Gb. Posttest Kelompok Kontrol


(2)

166


(3)

(4)

(5)

(6)