19 kultur pisang rata-rata 3 tetapi pada kultivar Cavendish mencapai 20. Variasi
yang muncul pada kultur in vitro pisang berupa ukuran tanaman, kelainan bentuk, ukuran dan tebal daun. Kelainan yang paling sering muncul pada pisang
Cavendish adalah kekerdilan bisa mencapai 70 disusul bentuk dan ukuran buah Marie, 1992 dalam Cote et al. 1993. Kelainan yang masih dapat ditoleransi
pada tanaman pisang 3-5 Cote et al. 1993, sedangkan pada nenas 5 Smith dan Drew, 1990.
Subkultur dilakukan untuk meningkatkan kecepatan multiplikasi, sedangkan umur kultur adalah berapa lama suatu plantlet berada dalam in vitro.
Umur kultur dan frekuensi subkultur yang berlebihan dapat menginduksi variasi Skirvin et al. 1994. Fiorino dan Loreti 1987 menyatakan jumlah mata tunas
baru yang terbentuk dari 1 eksplan meningkat sampai subkultur ketiga atau keempat kemudian stabil. Secara teori subkultur dapat dilakukan terus menerus
tetapi dengan bertambahnya umur kultur maka subkultur menjadi kurang responsif dan muncul ketidakstabilan genetik. Oleh karena itu untuk
mempertahankan tanaman true to type jumlah subkultur harus dibatasi. Pada pisang subkultur maksimal 10 kali Cote et al. 1993.
Mekanisme molekuler penyebab perubahan fenotipe adalah patahnya kromosom, perubahan basa tunggal, perubahan jumlah sekuen berulang dan
perubahan dalam pola metilasi DNA Scowcroft dan Larkin, 1988. Amplifikasi sekuen DNA berulang lebih tinggi dalam kultur sel Nicotiana glauca Durante
et al. 1983, meningkatnya metilasi DNA dan menurunnya kandungan DNA pada tanaman regeneran Pisum sativum L. Cecchini et al. 1991. Perubaha n
kromosom yang umum dijumpai pada variasi somaklonal adalah poliploidi, aneuploid dan putusnya daerah heterokromatin Al Zahim et al. 1999.
2.7. Deteksi Variasi Somaklonal
Untuk mengevaluasi variasi somaklonal dengan baik diperlukan beberapa pendekatan yaitu melalui pengamatan karakter morfologi, sitologi dan molekuler,
karena penggunaan marker molekuler saja tidak efisien. Penilaian keragaman genetik suatu spesies tanaman secara konvensional berdasarkan perbedaan
karakter morfologi dan agronomi. Ekspresi suatu karakter sering sangat
20 dipengaruhi faktor lingkungan. Jika pengaruh lingkungan sangat besar terhadap
induksi keragaman dibandingkan keragaman genetik maka penilaian keragaman berdasarkan data morfologi tidak mencerminkan tingkat keragaman genetik
diantara aksesi Yee et al. 1999. Banyak teknik molekuler telah dikembangkan untuk menilai keragaman
genetik diantaranya analisis isozim dan RAPD. Isozim adalah enzim yang merupakan produk langsung dari gen, terdiri atas berbagai molekul aktif dengan
struktur kimia berbeda tetapi mengkatalisis reaksi kimia yang sama Adam, 1983. Perbedaan suatu sistem enzim dapat dilihat melalui pola pita dengan metode
elektroforesis gel sesudah diwarnai. Perbedaan pola pita tersebut berkaitan langsung dengan perbedaan bobot dan muatan listrik asam amino penyusun enzim
yang dianalisis. Susunan asam amino yang membentuk macam- macam protein ini disandikan oleh susunan basa nukleotida dalam DNA yang khas untuk setiap
jenis enzim Ghesquiere, 1984. Isozim mempunyai kelebihan dibandingkan pengamatan karakter morfologi yaitu tidak dipengaruhi lingkungan, bersifat
kodominan, membutuhkan sampel sedikit. Kelemahan isozim adalah yang dapat dideteksi terbatas, tidak dapat mendeteksi perubahan sekuen DNA, dan tidak
merubah sekuen asam amino polipeptida Roose, 1988. Random amplified polymorphic DNA RAPD adalah amplifikasi fragmen
potongan DNA melalui PCR menggunakan primer pendek Williams et al. 1990. Polimorfisme antar genotipe dapat terdeteksi jika ada mutasi titik atau
inversi pada tempat melekatnya primer dan adanya penyisipan atau delesi dalam satu fragmen amplifikasi Debener, 2002. Kelebihan RAPD adalah tidak
dipengaruhi lingkungan, membut uhkan sedikit DNA dengan kemurnian tidak tinggi, prosedur sederhana, tanpa radioaktif, dapat mendeteksi perubahan basa
tunggal dalam DNA genom jika cukup banyak primer yang digunakan Deng et al. 1995. Sementara kelemahan RAPD adalah bersifat dominan sehingga ada
beberapa informasi yang hilang, jumlah polimorfik dan reproduksibilitasnya lebih rendah Williams et al. 1990; Koch dan Jung, 1997.
Roose 1988 tidak dapat menggunakan isozim untuk membedakan antar kultivar citrus sedangkan Deng et al. 1995 dengan menggunakan RAPD dapat
membedakan mutan dari tanaman normal dalam satu ge notipe lemon. Deng et al.
21 1995 juga menguji reproduksibilitas RAPD dengan menggunakan DNA yang
berasal dari 3 bahan yaitu kalus embrionik, tanaman di rumah kaca dan di lapangan, ternyata dari ketiganya didapatkan pola RAPD yang sama. RAPD
dapat digunakan untuk membedakan tanaman Phalaenopsis varian dan tanaman normal hasil perbanyakan in vitro. Isozim AAT juga dapat digunakan untuk
membedakan tanaman varian dan tanaman mutan sedangkan PGM menghasilkan pola pita yang sama Chen et al. 1998.
Analisis RAPD dengan 5 primer terhadap 120 tanaman regeneran dari tunas adventif in vitro dari eksplan daun genotipe tunggal bit gula didapatkan
0,05 varian, sedangkan terhadap 30 regeneran sekunder terdeteksi 0,01 varian Munthali et al. 1996. Shoyama et al. 1997 menyimpulkan bahwa
embriogenesis somatik dapat digunakan untuk perbanyakan klonal tanaman ginseng berdasarkan analisis terhadap plantlet yang berasal dari embriogenesis
somatik yang diinduksi dari jaringan kalus kuncup bunga ginseng tidak menunjukkan variasi setelah dianalisis dengan menggunakan 21 primer RAPD.
Mhatre et al. 2002 menganalisis 10 tanaman nenas berduri normal dan 10 tanaman tidak berduri dari 900 tanaman regeneran berumur 4-6 minggu dengan
58 primer RAPD. Primer RAPD OPA 02, 03, 04, 06, dan 08 memproduksi pita polimorfik pada fenotipe berduri sebaliknya OPA 01, 03, 04, 07, 08, dan 09
polimorfik pada fenotipe tidak berduri. Tanaman berduri menghasilkan 1 pita sedangkan tanaman tidak berduri menghasilkan 2 pita dengan primer OPA 04.
Jadi tanaman berduri dan tidak berduri menunjukkan perbedaan secara genetik.
22
III. PENGARUH TDZ, IAA DAN NAA TERHADAP MULTIPLIKASI DAN KESERAGAMAN KERAGAAN TANAMAN NENAS