38
5 10
15 20
25 30
35 40
1 2
3 4
5
Umur MST Juml tunas total
a b
c d
e f
1 2
3 4
5
1 2
3 4
5
Umur MST Juml tunas aksilar
a b
c d
e f
3.3.2.2. Tahap Multiplikasi
Pada tahap induksi terlihat pada umur 15 MST, hampir semua eksplan bertunas kecuali perlakuan 4,54 x 10
-1
µM TDZ cukup banyak eksplan yang tidak bertunas. Jika jumlah tunas yang dihasilkan tidak bertambah maka eksplan
dipindahkan ke media MS0 sebelum minggu ke-15. Pada percobaan ini eksplan dipindahkan ke media multiplikasi MS0 pada minggu ke-20. Pada tahap
multiplikasi, eksplan berupa tunas dan kalus nodular ditanam secara terpisah. Secara umum, terdapat dua jenis tunas yang terbentuk pada tahap
multiplikasi yaitu tunas aksilar dan tunas adventif. Tunas aksilar adalah tunas yang terbentuk pada ketiak daun, sedangkan tunas adventif adalah tunas yang
terbentuk tidak pada tempatnya. Pada pengamatan ini, tunas adventif terbentuk dari kalus nodular yang menghasilkan tunas ditandai dengan terbentuknya
1-2 daun. Jumlah tunas total adalah jumlah dari tunas aksilar dan tunas adventif.
Tunas
Eksplan tunas yang berasal dari perlakuan 4,54 x 10
-1
- 10
-2
µM TDZ dalam media MS0 dapat membentuk tunas aksilar dan kalus nodular. Nodular
tersebut selanjutnya dapat menghasilkan tunas adventif. Tunas yang berasal dari perlakuan 4,54 x 10
-2
- 10
-1
µM TDZ mampu menghasilkan 2-4 tunas aksilareksplan pada media MS0 umur 5 minggu setelah subkultur MSS
sedangkan tunas dari perlakuan lain tidak bertambah Gambar 14A. Tunas total dari perlakuan 4,54 x 10
-2
- 10
-1
µM TDZ meningkat tajam karena
A
B
Gambar 14 Pengaruh TDZ terhadap tunas aksilar A dan tunas total B pada
tahap multiplikasi dalam media MS0 a- f = konsentrasi TDZ µM
a 4,54x10
-6
b 4,54x10
-5
c 4,54x10
-4
d 4,54x10
-3
e 4,54x10
-2
f 4,54x10
-1
39 sebagian besar dari tunas tersebut berasal dari tunas adventif Gambar 14B.
Eksplan tunas yang berasal dari perlakuan TDZ lebih rendah dari 4,54 x 10
-2
µM tidak menghasilkan kalus nodular sehingga tidak terbentuk tunas adventif, sedangkan tunas aksilar yang terbentuk sedikit akibatnya tunas total yang
dihasilkan sangat rendah Gambar 14 dan 15.
A B
0,1 IAA 0,1 NAA 0 0,1 IAA 0,1 NAA
Gambar 15 Pengaruh TDZ pada tahap multiplikasi eksplan tunas dalam media MS0
Kalus Nodular
Kalus nodular hanya terbentuk pada perlakuan 4,54 x 10
-2
-10
-1
µM TDZ pada tahap induksi. Kalus nodular yang dipindahkan ke media MS0
menghasilkan nodular kembali dan tunas adventif Gambar 16. Kalus nodular yang berasal dari perlakuan TDZ baik dikombinasikan dengan auksin atau
tanpa auksin dapat
A B
0 IAA 0,01 IAA 0,1 IAA 0,1 IAA 0,01 IAA 0 IAA
0,54 x 10
-1
µM TDZ 0,54 x 10
-2
µM TDZ
Gambar 16 Pengaruh TDZ pada tahap multiplikasi dengan eksplan kalus nodular pada media MS0
0,54x 10
-5
µM TDZ 0,54x 10
-6
µM TDZ
40 dengan kombinasi perlakuan 4,54 x 10
-1
µM TDZ + 0,06 µM IAA dan tanpa auksin menghasilkan tunas adventif sebesar 83,3 dan 97 tunasg kalus nodular,
sedangkan perlakuan 4,54 x 10
-2
µM TDZ + 0,57 µM IAA menghasilkan tunas adventif sebesar 66,7 tunasg kalus nodular selama 25 minggu Tabel 8.
Tabel 8 Pengaruh interaksi TDZ dan IAA, NAA terhadap bobot kalus nodular dan jumlah tunas pada tahap multiplikasi dalam media MS0
Perlakuan 0 MST
5 MST TDZµM
AuksinµM Bobot kalus
nodular g Bobot kalus
nodular g Jumlah tunasg
kalus nodular 4,54 x 10
-2
IAA 0 0,06
0,57 NAA 0,06
0,54 0,39
0,06 0,07
0,30 0,76
1,70 435 0,46 767
0,20 286 0,91 303
2,41 317 39,31
36,67 66,71
45,83 30,53
4,54 x 10
-1
IAA 0 0,06
0,57 NAA 0,05
0,54 0,19
0,18 1,06
1,32 0,86
0,23 433 1,07 594
4,91 463 2,88 218
2,83 329 96,95
83,33 27,04
24,15 45,93
Keterangan: Nilai = bobot kalus nodular 5 MSS X 100 bobot kalus nodular 0 MSS
3.4. Pembahasan
Eksplan dalam media mengandung 0,23-4,54 µM TDZ mengalami morfogenesis yang diawali dengan pembengkakan dan akhirnya terbentuk massa
kompak. Massa yang kompak selanjutnya mengalami diferenesiasi dan dihasilkan tunas multiple berukuran kecil dan kalus nodular yang kompak dan untuk
selanjutnya tidak terjadi regenerasi tunas dan akar Gambar 7. TDZ menginduksi tunas tanpa meristem apikal dan jaringan vaskular tidak terorganisir sehingga
menghasilkan tunas multiple yang kompak selanjutnya sulit terjadi regenerasi tunas dan akar Akasaka et al. 2000. Studi anatomi kalus nodular menunjukkan
nodular mempunyai titik-titik zona meristematik protuberance yang lebih dari satu dengan sel-sel berukuran kecil, sitoplasma padat dan inti yang menonjol
Gambar 8. Hal yang sama juga terjadi pada kacang tanah Victor et al. 1999. Hasil penelitian menunjukkan TDZ dengan konsentrasi lebih tinggi dari
4,54 x 10
-2
µM akan menghambat pembentukan akar, tunas dan menginduksi munculnya kalus nodular. TDZ dengan konsentrasi 0,23-4,54 µM terlalu
41 tinggi sehingga tidak terbentuk tunas dan akar. Dengan mengurangi
konsentrasi TDZ menjadi 4,54 x 10
-3
-10
-6
µM dapat menginduksi tunas dan akar Tabel 6, 7. Sementara pada tanaman anggrek Cymbidium sinensi TDZ dengan
konsentrasi 0,1-1 mgl menghambat perpanjangan tunas dan inisiasi akar Chang dan Chang, 2000. Penggunaan sitokinin dengan konsentrasi tinggi akan
mengurangi panjang tunas, menghambat pengakaran, menginduksi tunas tanpa meristem apikal sehingga menghasilkan tunas menyatu dengan saluran vaskuler
tidak terorganisir akibatnya tidak terjadi regenerasi tunas Akasaka et al. 2000. Tunas hasil perlakuan dengan TDZ sulit berakar karena TDZ dapat menstimulasi
biosintesis etilen yang dapat menghambat pengakaran Mok et al. 1987; Khadafalla dan Hattori, 2000 dan akibat akmumulasi sitokinin, karena TDZ
dapat meningkatkan sitokinin endogen Thomas dan Katterman, 1986. Yang 1985 dalam Khadafalla dan Hattori, 2000 menyatakan dengan menambahkan
ACC 3-10 mgl prekursor etilen menurunkan efisiensi pengakaran, sebaliknya dengan menambahkan AgNO
3
inhibitor etilen meningkatkan efisiensi pengakaran. AgNO
3
menghambat etilen melalui ion Ag
2+
yang akan mengurangi kapasitas reseptor untuk berikatan dengan etilen.
Kalus nodular yang terbentuk dalam media mengandung 0,26-4,54 µM TDZ lebih dari 16 MST akan mengalami pencoklatan dan bila dibiarkan lebih
lama maka nodular akan mati. Pencoklatan tersebut diduga disebabkan oleh akumulasi etilen yang dihasilkan TDZ, oleh karena itu sebaiknya induksi dalam
media TDZ jangan terlalu lama dan selanjutnya dipindahkan ke media tanpa ZPT. Kalus nodular akan segera mengalami pencoklatan dan akhirnya mati bila
disubkultur ke media mengandung TDZ yang sama data tidak ditampilkan. Dengan memindahkan ke MS0 dua kali maka akan dihasilkan tunas dan terbentuk
akar serta nodular baru Tabel 3. Hal yang sama juga terjadi pada tanaman teh subkultur berulang pada media mengandung TDZ tidak akan menginduksi tunas
tetapi bila disubkultur ke media MS0 akan dihasilkan banyak tunas Mondal et al. 1998.
Sumber eksplan dan konsentrasi TDZ yang digunakan pada tahap induksi sangat berpengaruh terhadap proses regenerasi dan multiplikasi tunas setelah
disubkultur dalam media tanpa ZPT. Eksplan mata tunas aksilar mahkota buah
42 lebih responsif dibandingkan dengan eksplan berupa plantlet subkultur 3. Hal ini
terlihat, eksplan mata tunas aksilar dengan konsentrasi TDZ 0,46 µM pada tahap induksi memerlukan subkultur lebih dari 2 kali agar dihasilkan tunas berukuran
besar sedangkan pada eksplan berupa plantlet cukup sekali subkultur. Pada penelitian ini terlihat TDZ dapat menginduksi pembentukan kalus
nodular dan tunas secara langsung tergantung pada konsentrasi yang digunakan. Induksi tunas dan akar secara langsung dapat terjadi dengan menambahkan
4,54 x 10
-3
- 10
-6
µM TDZ. Fenomena tersebut menunjukkan TDZ mempunyai aktifitas sitokinin yang kuat Thomas dan Katterman, 1986 sehingga efektif pada
konsentrasi rendah dan mampu menginduksi embrio somatik tanpa dikombinasi dengan ZPT lainnya Murthy et al. 1995 atau dikombinasi dengan auksin IAA
dan NAA. TDZ dapat meningkatkan biosintesis atau akumulasi sitokinin purin endogen Murthy et al. 1995 karena TDZ dapat menghambat degradasi sitokinin
yang disebabkan enzim sitokinin oksidase Hare dan Staden 1994. Murthy et al. 1995 mendapatkan bahwa kandungan auksin dan sitokinin endogen kecambah
kacang tanah yang diinduksi TDZ secara in vitro meningkat. Stabilitas klonal adalah faktor yang sangat penting dalam perbanyakan
in vitro secara komersial, namun munculnya variasi somaklonal kadang-kadang tidak dapat dihindari. Pada tanaman pisang banyak dilaporkan adanya variasi
somaklonal yang diperbanyak dengan teknik in vitro. Variasi terjadi pada ukuran tanaman, morfologi bunga, ukuran dan tebal daun. Kelainan yang paling sering
muncul pada pisang Cavendish adalah kekerdilan bisa mencapai 75 disusul bentuk dan ukuran buah. Karakter kerdil terus terbawa setelah beberapa siklus
perbanyakan vegetatif Marie, 1992 dalam Cote et al. 1993. Variasi somaklonal merupakan akibat dari 2 hal yaitu variasi genetik yang memang sudah ada di
dalam eksplan dan variasi induksi yang terjadi selama fase kultur in vitro Evans et al. 1984.
Tanaman nenas hasil perbanyakan in vitro dengan menggunakan TDZ 0,23-0,46 µM yang ditanam di lapangan umur 8 bulan tidak menunjukkan
perbedaan karakter pertumbuhan kecuali pada jumlah daun Tabel 4. Penggunaan TDZ 0,23-0,46 µM menginduksi variasi yang dapat dilihat pada saat
aklimatisasi dan di lapangan. Variasi yang muncul adalah tanaman roset, tanaman
43 berdaun variegata dan tanaman berdaun kecil dan kaku Tabel 5, Gambar 10.
Variasi tanaman roset dan tanaman kerdil dapat menjadi tanaman normal seiring dengan bertambahnya umur tanaman, sedangkan tanaman berdaun variegata tetap
terbawa atau menghilang. Hal itu menunjukkan varian yang terbentuk cenderung termasuk dalam variasi epigenetik karena terjadi perubahan kembali ke arah
normal.
3.4. Kesimpulan dan Saran