Pengujian Helminthiasis Pembahasan Hasil Kegiatan

Laporan Tahunan Tahun 2016 Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta 252 KabupatenKota Jumlah Sampel Hasil Pemeriksaan Positif Negatif Yogyakarta 39 32 82,1 7 17,9 Bantul 336 248 73,8 88 26,2 Kulon Progo 102 64 62,7 38 37,3 Gunungkidul 128 86 67,2 42 32,8 Sleman 115 70 60,9 45 39,1 DIY 720 500 69,4 220 30,6 Tabel 8.70. Hasil Pengujian Helminthiasis tahun 2016 Grafik 24. Persentase Pengujian Helminthiasis Tahun 2016 Grafik 25. Hasil Pengujian Helminthiasis Tahun 2016 Per Kabupaten 69,444 30,556 Positif Negatif 82,051 73,810 62,745 67,188 60,870 ,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 Positif Laporan Tahunan Tahun 2016 Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta 253 F : Fasciola sp., S :Strongyle, P : Paramphistomum sp.,A : Ascaris sp., E : Eimeria sp., St : Strongyloides sp., T : Trichuris sp., To : Trichostrongylus sp.. Grafik 26. Data Prevalensi Hasil Pengujian Helminthiasis Tahun 2016 Jenis spesies cacing yang menginfestasi ada 8 yaitu Strongyle, Fasciola sp., Paramphistomum sp.,Ascaris sp., Eimeria sp., Strongyloides sp., Trichuris sp., danTrichostrongylussp..Cacing yang paling banyak menginfestasi sapi adalahFasciola sp. sebanyak38,0,Strongyle sebanyak 33,2, Paramphistomum sp. 24,6,Strongyloides sp. sebanyak 2,3, Ascaris sp. sebanyak 1,3, dan Trichuris sp., Trichostrongylus sp. dan Eimeria sp. masing-masing kurang dari 1. 38 33,2 24,6 2,3 1,3 0,2 0,2 0,2 5 10 15 20 25 30 35 40 F S P St A T To E Laporan Tahunan Tahun 2016 Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta 254 Grafik 27. Rekapitulasi Hasil Pengujian Helminthiasis Tahun 2011-2016 Mengingat tingginya kejadian helminthiasis setiap tahunnya, yaitu pada tahun 2011 prevalensi helminthiasis sebesar 70, tahun 2012 sebesar 66, tahun 2013 79, tahun 2014 sebesar 69,6, dan tahun 2016 53,8, maka aspek pengendalian parasit internal sebagai salah satu unsur manajemen produksi ternak perlu ditingkatkan. Strategi pengendalian parasit internal yang disusun secara tepat dapat meningkatkan efisiensi, meningkatkan kualitas ternak, mencegah kerugian ekonomis yang disebabkan oleh parasit internal dan mencegah terjadinya resistensi terhadap obat. Pengobatan cacing kelompok nematoda dan juga trematoda disarankan menggunakan senyawa benzimidazole yang memiliki spektrum luas dan memiliki kemampuanmembunuh larva serta telurcacing, sehingga diharapkan memberi kemudahan dalampemberantasan parasit.Namun perlu diperhatikan bahwa pemakaian senyawa benzimidazole secara terus menerus dapat menimbulkan resistensi pada cacing.Kadang –kadang tingkat resistensinya demikian tinggi, sehingga menyebabkan penggunaan 70 66 79 69,6 53,8 69,444 10 20 30 40 50 60 70 80 90 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Positif Laporan Tahunan Tahun 2016 Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta 255 senyawa benzimadozole kurang memuaskan dan harus diganti dengan preparat levamizole atau avermectin. Cara yang dilakukan agar peternakan terhindar dari penyakit cacingan adalah dengan dilakukannya pencegahan yaitu: a Pemberian obat cacing. Sebaiknya dilakukan pengobatan secara rutin untuk memotong siklus hidup cacing. b Melakukan sanitasi kandang dan peralatan peternakan meliputi kandang dibersihkan, dicuci dan disemprot dengan desinfektan serta memotong rumput di sekitar area peternakan. c Mengurangi kepadatan kandang, karena dapat memberi peluang yang tinggi bagi infestasi cacing. d Pemberian ransum dengan kandungan mineral dan protein yang cukup untuk menjaga daya tahan tubuh tetap baik. e Mencegah kandang becek, seperti menjaga litter tetap kering, tidak menggumpal dan tidak lembab. f Peternakan dikelola dengan baik seperti mengatur jumlah ternak dalam kandang tidak terlalu padat serta ventilasi kandang yang cukup. Teknik pengobatan harus dilakukan dengan tepat sehingga efektivitas pengobatan optimal, usaha yang dapat dilakukan adalah : 1. Pemilihan obat yang tepat. Obat cacing dikatakan efektif jika mempunyai spektrum kerja terhadap cacing tersebut. Pemilihan obat cacing didasarkan pada hasil diagnosa jenis cacing yang menginfeksi. Selain itu juga harus dengan dosis yang tepat dan cara pemberian yang tepat. 2. Pengulangan pemberian obat cacing. Pengobatan infeksi cacing memerlukan proses pengulangan. Pengulangan ini bertujuan membasmi cacing secara total karena secara umum obat cacing tidak bisa membasmi semua fase hidup cacing Laporan Tahunan Tahun 2016 Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta 256 telur, larva dan cacing dewasa. Pengulangan tersebut disesuaikan dengan siklus hidup cacing dan kondisi kandang. 3. Kombinasi obat. Pemberian obat cacing kadang-kadang bersamaan dengan antibiotik jika ada infeksi sekunder oleh bakteri. Jika kombinasi tersebut ternyata menimbulkan interaksi yang merugikan, pilih antibiotik lain atau antibiotik diberikan 1 hari setelah pemberian obat cacing. Dari segifarmakologi, pemberian obat cacing bersamaan dengan vitamin umumnya tidak terjadi interaksi yang merugikan sehingga bisa dilakukan setiap saat. 4. Resistensi obat cacing. Resistensi tidak hanya terjadi pada mikrobia terhadap antibiotik saja, tetapi cacing juga bisa menjadi resisten terhadap anthelmintik. Hingga saat ini resistensi cacing yang pernah dilaporkan terjadi antara lainOesophagostonum sp. yang menginfeksi babi resisten terhadap pyrantel dan levamisol atau cyathostomes pada kuda resisten terhadap benzimidazol. Kasus resistensi tersebut kemungkinan besar karena penggunaan obat cacing yang terlalu sering dalam satu tahun 5-12 kali.

4. Pengujian Anthrax Serologi pada sapi dan Kultur Anthrax pada sampel tanah

Anthrax adalah penyakit yang disebabkan Bacillus anthracis. Penyakit ini dapat menyerang hewan domestik maupun liar, terutama hewan herbivora,seperti sapi, domba, kambing, beberapa spesies unggas dan dapat menyerang manusia zoonosis. Anthrax merupakan penyakit zoonosis penting dan strategis sehingga perlu ditangani dengan baik.Tingkat kematian karena Anthrax sangat tinggi terutama pada hewan herbivora, mengakibatkan kerugian ekonomi dan mengancam keselamatan manusia.Diagnosis Anthrax umumnya dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan Laporan Tahunan Tahun 2016 Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta 257 di laboratorium untuk mengisolasi agen penyebab, uji serologis dan molekuler . Gejala penyakit pada hewan Hewan dapat tertular Anthrax melalui pakan rumput atau minum yang terkontaminasi spora. Spora yang masuk ke dalam tubuh melalui oral dan akan mengalami germinasi, multiplikasi di sistem limfe dan limpa, menghasilkan toksin sehingga menyebabkan kematian biasanya mengandung ± 10 9 kumanml darah. Anthrax pada hewan dapat ditemukan dalam bentuk perakut, akut, subakut sampai dengan kronis. Untuk ruminansia biasanya berbentuk perakut dan akut ; kuda biasanya berbentuk akut ; sedangkan anjing, kucing dan babi biasanya berbentuk subakut sampai dengan kronis. Gejala penyakit pada bentuk perakut berupa demam tinggi 42°C, gemetar, susah bernafas, kongesti mukosa, konvulsi, kolaps dan mati. Darah yang keluar dari lubang kumlah anus, hidung, mulut atau vulva berwarna gelap dan sukar membeku.Bentuk akut biasanya menunjukan gejala depresi, anoreksia, demam, nafas cepat, peningkatan denyut nadi, kongesti membran mukosa.Sedangkan pada bentuk subakut sampai dengan kronis, terlihat adanya pembengkakan pada lymphoglandula pharyngeal karena kuman Anthrax terlokalisasi di daerah itu. Di Indonesia, kejadian Anthrax biasanya perakut, yaitu : demam tinggi, gemetar, kejang-kejang, konvulsi, kolaps dan mati. Pengujian AnthraxSerologi dilakukan pada 278 spesimen yang berasal dari Kabupaten Sleman. Pengujian anthrax serologi menggunakan metode Polymerase Chain Reaction belum dapat dilaporkan karena belum adanya kontrol positif Anthrax yang menentukan validitas hasil pengujian. Kontrol positif masih menunggu dari BBVet Wates. Hasil pengujian nantinya akan tetap diinformasikan kepada kabupaten. Sedangkan pengujian kultur Anthrax dilakukan pada 25 sampel tanah yang diambil di Pasar Hewan di wilayah DIY yaitu pengujian