Hukum melaksanakan shalat Kewajiban Shalat

Hukum melaksanakan shalat adalah “fardhu a’in” artinya shalat merupakan kewajiban setiap pribadi Muslim yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Sudah akil baligh, yakni telah sampai pada usia tertentu, dimana taklif atau tugas agama sudah menjadi tanggung jawabnya. Usia baligh ialah 15 tahun bagi laki-laki dan 12 tahun bagi perempuan b. Berakal sehat, artinya untuk melaksanakan shalat dituntut suatu kondisi normal c. Sudah mengetahui adanya ajakan atau perintah shalat. Artinya bahwa kewajibnn shalal yang diisyaratkan oleh Islam benar-benar telah diketahui d. Mampu melaksanakannya. Bagi seorang Muslim yang sudah sampai pada tarnf tertentu, misalnya kesadarannya pun sudah tidak ada maka shalat sudah tidak menjadi taklif baginya e. Dalam kondisi bersih atau suci, baik badan maupun pakaian dari segala najis dan hadas. 39 Dalam al-Quran banyak ayat-ayat yang menunjukan kewajiban shalat. Diantaranya firman Allah: QS. Al- Baqarah ayat : 43 ☺ ⌧ ⌧ “Dan dirikanlah shalat. tunaikanlah zakal dan rukulah beserta orang- orang yang ruku.” Al-Ankabut ayat 45 ا 39 Rifai Syauqi Nawawi, Prof. Shalat Ilmiah dan Amaliyah, Jakarta : Fikahati Aneska, 2001. H. 17-18 ⌧ ☺ ﻮﻜ ا ت : “Dan dirikanlah oleh mu shalat, karena shalat mencegah kamu dari kejahatan dan dari munkar. Al-Ankabut : 45” Berkaitan dengan ayat tersebut Rasulullah SAW. Bersabda: perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat diwaktu usia mereka meningkat tujuh tahun dan pukullah mereka jika enggan mengerjakannya pada saat usia sepuluh tahun”. 40 Berdasarkan dalil-dalil di atas maka jelaslah shalat merupakan suatu kewajiban setiup muslim. Pentingnya mendirikan shalat dan larangan meninggalkannya mengandung pengertian bahwa shalat itu merupakan suatu ibadah yang sangat esensi dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu al-Quran menyebutkan banyak tentang kewajiban, hikmah dan manfaat serta ancaman atau peringatan bagi siapa saja yang mengerjakan atau meninggalkannya.

3. Kedudukan Shalat

Shalat dalam agama Islam menempati kedudukan yang tidak ditandingi oleh ibadah manapun. Ia merupakan tiang agama dimana ia tidak dapat tegak kecuali dengan itu. Rasulullah bersabda: pokok urusan adalah Islam, sedang tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah berjuang dijalun Allah. Ia adalah ibadah yang mula pertama diwajibkan oleh Allah, dimana titah itu disampaikan langsung oleh-Nya tanpa perantara, dengan berdialog dengan rasul-Nya pada malam mi’raj. 41 Islam memandang shalat sebagai tiang agama dan intisari Islam terletak pada shalat, sebab dalam shalat tersimpul seluruh rukun agama. 40 Al-Qur’an dan Terjemahnya, al-ankabut ayat 45, Mujamma’ Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik fahd li thiba’at al Mush-haf asy-Syarif Medinah Munawwarah P.O.Box. 3561, hal. 635. 41 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,. Op.Cit.h. 205. Dalam shalat terdapat ucapan “syahadatain”, kesucian hati terhadap Allah, agama dan manusia. Iman dan Islam tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain. Iman yakni membenarkan dan patuh atau taat mengerjakan segala yang dikehendaki oleh kepercayaan hati mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan Tuhan. Jelasnya apabila seseorang mengaku beriman, tetapi ia tidak pernah mengerjakan shalat maka pengakuannya itu tidak dibenarkan oleh syara’. 42 Begitu pentingnya shalat dalam Islam sehingga kewajiban shalat tidak dapat ditawar-tawar lagi bagi umat Islam yang sudah baligh dan berakal. Kewajiban shalat ini tidak memandang hamba sahaya atau orang merdeka, kaya atau miskin, musafir atau bukan bahkan tidak memandang derajat manusia, baik nabi, ulama, raja apalagi orang biasa, mereka semua diwajibkan untuk shalat. Kewajiban shalat ini tidak akan gugur walaupun manusia dalam keadaan apapun, seperti halnya orang yang sedang sakit parah, selagi hatinya masih sadar. Menurut Imam Taqiyuddin bahwa “Ketahuilah : bahwasannya berdiri tegak atau sesuatu yang sefungsi dengan berdiri ketika orang itu dalam keadaan lemah, seperti duduk dan berbaring adalah termasuk rukun dalam shalat fardhu, karena adanya hadits riwayat Imron bin Hasin. Ra. Berkata “aku pernah berpenyakit ambeyen, kemudian aku bertanya pada Rasulullah SAW tentang shalat, maka Rasulullah mejawab : “Shalatlah engkau dengan berdiri, jika engkau tidak mampu, maka shalatlah dengan duduk, jika masih tidak mampu, maka baiklah dengan berbaring”. H.R. Bukhari”. 43 Berdasarkan pendapat tersebut jelas kewajiban shalat tidak gugur karena sakit, hal ini berbeda dengan ibadah lain, seperti puasa contohnya yang boleh di qada diwaktu yang lain atau dengan membayar fidyah jika orang tersebut sudah tidak mampu berpuasu di bulan Ramadhan. 42 Moh. Rifa’i, H. Ilmu Fiqih Islam Lengkap,.Op.Cit. h. 83. 43 Taqiyuddin Abu Bakar bin M. Al-Husaini, Kifayatul Akhyar. Terjemahan Surabaya : Bina Iman, 1995.hal : 104-105.