Turnover Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Swasta di Kota Medan

(1)

TURNOVER PERAWAT PELAKSANA DI RUMAH SAKIT

SWASTA DI KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

SAFRINA EDAYANI

127046008 / ADMINISTRASI KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TURNOVER PERAWAT PELAKSANA DI RUMAH SAKIT

SWASTA DI KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Administrasi Keperawatan pada Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

Oleh

SAFRINA EDAYANI

127046008 / ADMINISTRASI KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

Telah di uji

Pada tanggal: 25 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D

Anggota : 1. Roxsana Devi Tumanggor, S.Kep., Ns., M.Nurs 2. Dra. Nurmaini, M.K.M., Ph.D


(5)

(6)

Judul Tesis : Turnover Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Swasta di Kota Medan

Nama Mahasiswa : Safrina Edayani

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Minat Studi : Administrasi Keperawatan

Tahun : 2014

ABSTRAK

Turnover keperawatan merupakan masalah penting bagi rumah sakit dan mempengaruhi kinerja serta profitabilitas rumah sakit. Tingginya tingkat turnover

melemahkan struktur sistem keperawatan dan menghambat implementasi yang tepat dari proses dan prosedur keperawatan. Hal ini akan berdampak terhadap kemampuan sistem keperawatan dalam memberikan perawatan yang efektif, efisien, aman dan responsif yang akan mengarah ke hasil perawatan yang kurang optimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi fenomena turnover

perawat pelaksana di rumah sakit swasta di kota Medan. Penelitian ini menggunakan desain fenomenologi deskriptif. Partisipan dalam penelitian ini adalah perawat pelaksana yang masih bekerja dan yang sudah keluar dari rumah sakit swasta di kota Medan. Pemilihan partisipan dilakukan dengan tehnik

purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap 16 perawat yang terdiri dari empat perawat yang masih bekerja dan 12 perawat yang sudah keluar dari rumah sakit. Analisis data menggunakan tehnik analisa Giorzi. Penelitian ini menemukan tiga tema utama yaitu motif perawat


(7)

pindah kerja yang terdiri dari 5 katagori (pengembangan karir, finansial, beban kerja, lingkungan kerja, faktor pribadi), konsekuensi perawat pindah kerja yang terdiri dari dua katagori (dampak negatif dan dampak positif), dan harapan perawat terhadap rumah sakit yang terdiri dari dua katagori (manajemen rumah sakit dan tenaga perawat). Manajer perawat diharapkan untuk menciptakan suasana kerja yang nyaman serta mengembangkan hubungan interpersonal perawat sehingga bisa meningkatkan intention perawat.


(8)

Thesis Title : Nurses Turnover in Private Hospitals in Medan

Name : Safrina Edayani

Study Program : Master of Nursing Field of Specialization : Nursing Administration

Years : 2014

ABSTRACT

Nursing turnover is an essential issue among hospitals since its impacts on the hospitals productivity and profitability. The increasing number of nurses’ turnover weakens the structure of nursing system; prevent the implementation of a quality nursing process as well as the nursing procedures. Therefore, it affects the capability of nursing system for an effective nursing care delivery. It reduces the optimization of nursing care in the end. The objective of this research is to explore the nursing turnover phenomena in private hospitals in Medan with descriptive phenomenology design. The participants in this research are nurses who are currently working on these private hospitals and those who are already resign. The research applied purposive sampling technique with deep interview data collection. The interview is conducted to 16 nurses who consist of 4 nurses who are currently working and 12 nurses who are already resign from the hospitals. The data analysis is done by using Giorzi analysis technique. The reseach found that there are three main themes for the nursing turnover phenomena, that are: nurses’ motives in changing workplace consists of five categories (career development, financial, workload, work environment, personal


(9)

factors), consequences of changing workplace consists of two categories (negative impacts and positive impacts), and the hope for the hospitals in the future consists of two categories (hospital management and nurses). Nurse manager is recommended to create a comfortable working atmosphere and to developing interpersonal relationships in order to improve the nurse’s intention.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Turnover Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Swasta di Kota Medan”, disusun untuk memenuhi sebagian dari syarat untuk memperoleh gelar Magister Keperawatan (M. Kep) di Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara (USU) beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk melanjutkan studi ke jenjang Magister Keperawatan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan USU sekaligus dosen pembimbing I. Terima kasih telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam mengerjakan tesis ini hingga selesai. Terima kasih juga atas kesempatan yang telah beliau berikan kepada penulis dalam meningkatkan aktualisasi diri selama masa pendidikan. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Roxsana Devi Tumanggor, S.Kep., Ns., M.Nurs selaku dosen pembimbing II yang tidak henti-hentinya memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi kepada penulis sejak awal penulisan hingga selesai tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dra. Nurmaini, M.K.M., Ph.D dan Nur Afi Darti, S. Kep., M.Kep sebagai


(11)

penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Terima kasih kepada RSU Mitra Sejati, RSU Martha Friska, dan RSU Sari Medan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian pada rumah sakit tersebut. Kepada seluruh partisipan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan yang telah diberikan sehingga penelitian ini dapat selesai.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak, Ibu, dan Keluarga penulis yang telah banyak memberikan dorongan dana dan moril dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada pihak STIKes Muhammadiyah Lhokseumawe atas kesempatan dan dukungan yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik. Akhirnya tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Angkatan II 2012/2013 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan memberi dorongan untuk menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini dan harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya profesi keperawatan.

Medan, 25 Agustus 2014 Penulis


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Safrina Edayani

Tempat/tanggal Lahir : Seuneubok, 12 Desember 1986

Alamat : Jln. Utama No.4 Desa Seuneubok, Lhokseumawe, Aceh No. Telp./Hp : 085260302010

Email : eda_safrine@yahoo.com

Riwayat Pendidikan:

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

SD SD Negeri 7 Lhokseumawe 1999

SMP SMP Negeri 7 Lhokseumawe 2002

SMA SMA Negeri 1 Lhokseumawe 2005

S1 Program Studi Ilmu 2009

Keperawatan Fakultas

Kedokteran Universitas Syiah Kuala

Profesi Ners Program Studi Ilmu 2011

Keperawatan Fakultas

Kedokteran Universitas Syiah Kuala


(13)

Riwayat Pekerjaan:

Bekerja sebagai staf dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Lhokseumawe, 2011- sekarang.

Kegiatan Akademik penunjang Studi:

Peserta Seminar “Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan Pengembangan Pengetahuan Disiplin Ilmu Kesehatan” & Workshop “Analisis Data dengan Content Analysis & Wefd-QDA”, 31 Januari 2012, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Peserta Seminar Keperawatan “Nursing Leadership Menyongsong Asean Community 2015”, 30 Januari 2013, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Peserta pada “2013 Medan International Nursing Conference on The Aplication of Caring Science in Nursing Education, Advanced Research and Clinical Practice in Medan”, 1-2 April 2013, Hotel Graduda Plaza, Medan, Sumatera Utara.

Peserta Seminar & Workshop “Knowledge Management dalam Keperawatan”, 22-23 Mei 2013, Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi Medan.

Peserta Seminar Nasional “Peningkatan Kualitas Pelayanan pada Neonatus melalui Implementasi Developmental Care”, 10 Oktober 2013, Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran, Bandung.


(14)

Peserta Seminar & Workshop “Diagnostic Reasoning NANDA dan ISDA Basic”, 24 November 2014, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR.. ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP.. ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN . ... xiv

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Permasalahan ... 9

1.3.Tujuan Penelitian ... 10

1.4.Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Turnover 11

2.1.1 Pengertian 11

2.1.2 Penyebab 12

2.1.3 Dampak 18

2.1.4 Cara Mengontrol 28

2.2. Landasan Teori 29

2.3. Konsep Fenomenologi 35

BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian . ... 39

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40

3.3. Partisipan Penelitian ... 41

3.4. Pengumpulan Data ... 42

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 46

3.6. Metode Analisis Data ... 46

3.7. Keabsahan Data ... 47

3.8. Pertimbangan Etik ... 49

BAB 4. HASIL PENELITIAN 4.1. Deskripsi Karakteristik Partisipan. ... 50

4.2. Turnover Perawat Pelaksana ... 51

4.2.1 Motif Perawat Pindah Kerja ... 51

4.2.2 Konsekuensi Perawat Pindah Kerja ... 59


(16)

BAB 5. PEMBAHASAN

5.1. Motif Perawat Pindah Kerja ... 69

5.2. Konsekuensi Perawat Pindah Kerja ... 82

5.3. Harapan Perawat terhadap Rumah Sakit ... 87

5.4. Keterbatasan Penelitian ... 90

5.5. Implikasi Keperawatan ... 91

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan . ... 92

6.2. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Karakteristik demografi partisipan 50

Tabel 4.2 Motif perawat pindah kerja 58

Tabel 4.3 Konsekuensi perawat pindah kerja 63


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Model for measurement of original human resource cost 19 Gambar 2.2 Model for measurement of original human resource

replacement cost 20

Gambar 2.3 Manusia sebagai sistem adaptif 30


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Instrumen Penelitian ... 100 Lampiran 2 Biodata Experts ... 105 Lampiran 3 Izin Penelitian ... 107


(20)

Judul Tesis : Turnover Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Swasta di Kota Medan

Nama Mahasiswa : Safrina Edayani

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Minat Studi : Administrasi Keperawatan

Tahun : 2014

ABSTRAK

Turnover keperawatan merupakan masalah penting bagi rumah sakit dan mempengaruhi kinerja serta profitabilitas rumah sakit. Tingginya tingkat turnover

melemahkan struktur sistem keperawatan dan menghambat implementasi yang tepat dari proses dan prosedur keperawatan. Hal ini akan berdampak terhadap kemampuan sistem keperawatan dalam memberikan perawatan yang efektif, efisien, aman dan responsif yang akan mengarah ke hasil perawatan yang kurang optimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi fenomena turnover

perawat pelaksana di rumah sakit swasta di kota Medan. Penelitian ini menggunakan desain fenomenologi deskriptif. Partisipan dalam penelitian ini adalah perawat pelaksana yang masih bekerja dan yang sudah keluar dari rumah sakit swasta di kota Medan. Pemilihan partisipan dilakukan dengan tehnik

purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap 16 perawat yang terdiri dari empat perawat yang masih bekerja dan 12 perawat yang sudah keluar dari rumah sakit. Analisis data menggunakan tehnik analisa Giorzi. Penelitian ini menemukan tiga tema utama yaitu motif perawat


(21)

pindah kerja yang terdiri dari 5 katagori (pengembangan karir, finansial, beban kerja, lingkungan kerja, faktor pribadi), konsekuensi perawat pindah kerja yang terdiri dari dua katagori (dampak negatif dan dampak positif), dan harapan perawat terhadap rumah sakit yang terdiri dari dua katagori (manajemen rumah sakit dan tenaga perawat). Manajer perawat diharapkan untuk menciptakan suasana kerja yang nyaman serta mengembangkan hubungan interpersonal perawat sehingga bisa meningkatkan intention perawat.


(22)

Thesis Title : Nurses Turnover in Private Hospitals in Medan

Name : Safrina Edayani

Study Program : Master of Nursing Field of Specialization : Nursing Administration

Years : 2014

ABSTRACT

Nursing turnover is an essential issue among hospitals since its impacts on the hospitals productivity and profitability. The increasing number of nurses’ turnover weakens the structure of nursing system; prevent the implementation of a quality nursing process as well as the nursing procedures. Therefore, it affects the capability of nursing system for an effective nursing care delivery. It reduces the optimization of nursing care in the end. The objective of this research is to explore the nursing turnover phenomena in private hospitals in Medan with descriptive phenomenology design. The participants in this research are nurses who are currently working on these private hospitals and those who are already resign. The research applied purposive sampling technique with deep interview data collection. The interview is conducted to 16 nurses who consist of 4 nurses who are currently working and 12 nurses who are already resign from the hospitals. The data analysis is done by using Giorzi analysis technique. The reseach found that there are three main themes for the nursing turnover phenomena, that are: nurses’ motives in changing workplace consists of five categories (career development, financial, workload, work environment, personal


(23)

factors), consequences of changing workplace consists of two categories (negative impacts and positive impacts), and the hope for the hospitals in the future consists of two categories (hospital management and nurses). Nurse manager is recommended to create a comfortable working atmosphere and to developing interpersonal relationships in order to improve the nurse’s intention.


(24)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumber daya manusia di suatu organisasi perlu dikelola secara profesional agar terwujud keseimbangan antara kebutuhan pegawai dengan tuntutan dan kemampuan organisasi (Mangkunegara, 2011). Nilai sumber daya manusia sebuah organisasi mempunyai nilai yang tinggi di sebabkan oleh kemampuan yang mereka miliki (Mathis & Jackson, 2001) dan keberhasilan suatu organisasi salah satunya ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya (Arwani & Supriyatno, 2006). Salah satu masalah dalam organisasi yang menyangkut sumber daya manusia adalah turnover.

Turnover merupakan jumlah karyawan yang diganti dalam suatu organisasi selama periode waktu tertentu (Loveridge & Cummings, 1996). Turnover

keperawatan merupakan masalah penting bagi semua lembaga pelayanan kesehatan (Lacey & McNoldy, 2007) dan menjadi masalah utama yang mempengaruhi kinerja dan profitabilitas organisasi kesehatan (Alexander, Bloom, Nuchols, 1994 dalam Hunt, 2009). Hal ini disebabkan karena perawat merupakan orang yang memiliki kontak langsung paling sering dengan pasien dalam organisasi kesehatan. Sehingga perawat mempunyai konstribusi yang sangat besar terhadap suatu organisasi kesehatan (Boudreau & Ramstad, 2007 dalam Hunt, 2009). Organisasi kesehatan memerlukan staf perawat yang stabil, terlatih dan dapat memberikan serta meningkatkan perawatan pasien secara efektif. Namun


(25)

kekurangan perawat berkualitas telah menyebabkan peningkatan tingkat turnover

secara terus menerus di kalangan perawat (PriceWaterhouseCoopers, 2007 dalam Hunt, 2009). Kekurangan perawat berkualitas disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kecemasan dan ketidakpastian, ketidakmampuan untuk memenuhi tujuan pribadi dan organisasi, kurang kejelasan tentang peran yang dimainkan, kebutuhan yang kontradiktif, ketidakpuasan dengan hubungan antar manusia, melawan aturan, kebijakan, dan regulasi, sifat bawaan dari tugas-tugas pekerjaan, kompetensi, bekerja berlebihan atau dimanfaatkan, keterbatasan pertumbuhan pribadi dan profesional, ketidakpuasan dengan kualitas asosiasi (Swanburg, 2000).

Pada tahun 2020, diperkirakan akan ada kekurangan hampir 1 juta perawat di Amerika Serikat. Hal ini di sebabkan karena terjadinya pertumbuhan industri kesehatan yang terus menerus melebihi kebutuhan perawat yang tersedia dan peningkatan angka turnover di masa yang akan datang (Health Resources & Services Administration, 2006 dalam Hunt, 2009). Hal ini di dukung oleh laporan hasil survei di fasilitas keperawatan yang dilakukan oleh American Healt Care Association (AHCA) tahun 2011, ada sekitar 2 juta pekerja yang bekerja di fasilitas keperawatan di seluruh Amerika Serikat pada tahun 2010, dimana staf perawat berjumlah 1,3 juta staf (66 persen). Tingkat turnover tertinggi berada pada staf perawat sebesar 39,5 persen dari jumlah total turnover karyawan sebesar 35,1 persen. Tingkat turnover untuk Staf Perawat Terdaftar (RN), Izin Perawat Praktis (LPN), dan CNA berkisar 34,7- 42,6 persen. Tingkat turnover untuk Direktur Keperawatan (DON) dan Perawat Terdaftar dengan Tugas Administrasi


(26)

(ARN) adalah 26,0 dan 28,9 persen (AHCA, 2011). Penelitian ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan O Brien-Pallas, Murphy, Shamian, Hayes (2010), dimana ditemukan bahwa turnover juga merupakan masalah utama di rumah sakit di Kanada dengan tingkat turnover rata-rata 19,9%.

Di Indonesia, tingkat turnover juga cukup tinggi. Hal ini bisa dilihat dari beberapa penelitian, seperti penelitian Anik (2013) dimana turnover perawat di rumah sakit Ibnu Sina YW-UMI tahun 2010, 2011, dan 2012 sebanyak 15%, 12,87%, dan 10,18%. Lusiati dan Supriyanto (2013) juga melaporkan bahwa selama 2010 hingga 2012 Balai Pengobatan Santa Familia Kutai Barat (BPFS) mengalami tingkat turnover tenaga perawat yang cukup tinggi. Pada tahun 2010 persentase turnover tenaga perawat 33,3% yang semakin meningkat hingga menyentuh angka 55% pada tahun 2012. Sehingga rata-rata turnover tenaga perawat BPSF Kutai Barat Kaltim pada tahun 2010 – 2012 adalah 31,51%.

Penelitian Elizabeth (2012) mengungkapkan bahwa tingkat turnover

perawat di salah satu rumah sakit X pada tahun 2008 sebesar 15,27% yang kemudian meningkat tajam pada tahun 2009 menjadi 20% dan pada tahun 2010 sebesar 18,05%. Penelitian ini didukung oleh penelitian lainnya dimana angka

turnover perawat di rumah sakit islam Ibnu Sina Yarsi Sumbar Bukit Tinggi tiap tahun cenderung naik, data tahun 2009 dan 2010 adalah 21,3% dan 24,3% (Aryanto, 2011). Di rumah sakit Harapan Bunda Batam, turnover juga merupakan kendala dimana angka turnover tenaga perawat mencapai angka 13% pada tahun 2005 dan 23% pada tahun 2006 (Haryati, 2007). Menurut penelitian Sajidin


(27)

(2003) di rumah sakit islam Sakinah Kabupaten Mojokerto tingkat turnover

perawat mencapai 13,04%.

Penelitian yang dilakukan di rumah sakit swasta di Kota Medan pada tahun 2009 menunjukkan angka turnover perawat yang juga tinggi. Dari tiga rumah sakit swasta dengan tipe B yaitu rumah sakit Mitra Sejati, rumah sakit Vina Estetica, dan rumah sakit Imelda ditemukan angka turnover perawat sebesar 34.88%, 26,19% dan 24,60% per tahun (Tobing, 2009).

Tingginya tingkat turnover melemahkan struktur sistem keperawatan dan menghambat implementasi yang tepat dari proses dan prosedur keperawatan, sehingga akan berdampak terhadap kemampuan sistem keperawatan dalam memberikan perawatan yang efektif, efisien, aman dan responsif yang akan mengarah ke hasil perawatan yang kurang optimal. Turnover langsung mempengaruhi kemampuan institusi untuk memberikan perawatan yang efektif, efisien dan aman, sehingga berdampak terhadap kualitas layanan yang diberikan. Tingginya tingkat turnover keperawatan mungkin menyebabkan kekurangan staf perawat dan hilangnya sumber daya manusia perawat berpengalaman dan terampil, yang membahayakan kualitas perawatan yang diterima pasien (Mobley, 1982). Selain itu, tingkat turnover tinggi dapat mengakibatkan tingginya tingkat kelelahan dan cedera di tempat kerja antara perawat, dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien (Mobley, 1982; Aiken, Clarke, Sloane, Sochalski, Silber, 2002; Stordeur, Vandenberghe, D’hoore, 2000 dalam Hayajneh, AbuAlRub, Athamneh, Almakhzoomy, 2009). Kelelahan disebabkan oleh stres yang berhubungan dengan pekerjaan (Weiten, 2010 dalam Nugroho, Andrian,


(28)

Marselius, 2012) dan beban kerja merupakan faktor penyebab utama terjadinya stres kerja (Suhendra, 2012). Dari pernyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan turnover dapat menyebabkan peningkatan beban kerja perawat sehingga tingkat stres perawat menjadi lebih tinggi. Hal ini berdampak timbulnya kelelahan kerja dan dapat mengurangi motivasi perawat untuk melakukan tugas dengan baik, sehingga dapat menyebabkan rendahnya kualitas kerja dan meningkatkan terjadinya morbiditas dan mortalitas pasien.

Selain dampak yang signifikan terhadap seseorang secara pribadi, turnover

juga berdampak terhadap keuangan organisasi (Federman, 2009). Turnover akan merugikan organisasi karena tingginya biaya perekrutan karyawan baru (Lacey & McNoldy, 2007; Strachota, Normandin, O’Brien, Clary, Krukow, 2003). Diperkirakan biaya untuk mengganti seorang perawat medikal bedah adalah sekitar $ 42.000 dan $ 64 000 untuk menggantikan seorang perawat khusus (Strachota, et al., 2003).

Mengingat banyaknya dampak turnover perawat baik terhadap organisasi, perawat maupun pasien, maka perlu diketahui faktor-faktor yang menyebabkan

turnover pada perawat. Faktor yang berkontribusi terhadap turnover yaitu kepuasan kerja (Hayes, et al., 2006; Cho, Lee, Mark, Yun, 2012), nilai intrinsik dari motivasi, ukuran unit dan kepemimpinan (Sellgren, Kajermo, Ekvall, Tomson, 2009), intensi turnover, karakteristik organisasi dan individu, serta ekonomi (Hayes, et al., 2006), beban kerja (Hunt, 2009; Sellgren, et al., 2009), penghargaan, peluang karir/masa depan (Hunt, 2009; Haryati, 2007). Selain itu jenis kelamin, umur, status perkawinan, masa kerja, rekrutmen dan seleksi,


(29)

budaya organisasi dan kenyamanan kerja juga berpengaruh terhadap turnover

(Indriani, 2011). Hal ini didukung oleh penelitian Langitan (2010) yang mengatakan ada hubungan antara umur, status pernikahan, lama kerja, iklim organisasi, kinerja, dengan kejadian turnover. Umur sangat erat kaitannya dengan

turnover. Pada usia muda biasanya perawat akan lebih produktif, penuh dengan ide-ide dalam bekerja, ingin menunjukkan aktualisasi diri, dan senang dengan inovasi baru sehingga meningkatkan kecenderungan untuk turnover. Begitu juga dengan status pernikahan, dimana perawat yang belum menikah tingkat

turnovernya lebih tinggi dikarenakan tingkat idealismenya lebih tinggi dan tanggung jawab terhadap keluarga belum ada sehingga memiliki kecenderungan untuk turnover. Ditinjau dari lama kerja, maka semakin lama perawat berada dalam pekerjaanya maka kecenderungan turnover semakin kecil, hal ini dikaitkan dengan motivasi dan komitmen mereka. Selain itu, iklim organisasi yang baik akan menurunkan kejadian turnover dikarenakan lingkungan yang nyaman, hubungan yang kondusif, birokrasi yang mudah, stres yang rendah, serta motivasi dan kepuasan yang tinggi akan meningkatkan kinerja perawat sehingga menurunkan angka turnover.

Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Aryanto (2011) yang dilakukan di Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Yarsi Sumbar Bukit Tinggi dimana ditemukan tidak ada hubungan bermakna antara faktor internal organisasi yang terdiri dari; ukuran organisasi, kepemimpinan, kompensasi, kepuasan kerja, pengembangan karir, bobot pekerjaan, sentralisasi dan faktor individu karyawan terdiri dari ; usia, masa kerja, jenis kelamin, pendidikan, minat dengan kecenderungan turnover. Aryanto


(30)

(2011) menemukan bahwa faktor eksternal yaitu ketersediaan lapangan kerja di institusi lain mempunyai hubungan bermakna dengan kecendrungan turnover.

Perbedaan hasil dari kedua penelitian ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya dilihat dari karakteristik tempat penelitian, dimana penelitian Langitan (2010) dilakukan di Depok yang merupakan daerah metropolitan yang banyak terdapat rumah sakit-rumah sakit swasta di bandingkan dengan penelitian Aryanto (2011) yang dilakukan di Bukit Tinggi yang hanya terdapat beberapa rumah sakit. Karena banyaknya peluang kerja di Depok, sehingga perawat yang masih berusia muda atau produktif akan terus mencoba untuk menemukan tantangan, ide-ide dan inovasi baru dengan mencoba untuk terus mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Sedangkan di Bukit Tinggi dengan kurangnya jumlah rumah sakit sehingga menyebabkan faktor internal tidak berpengaruh terhadap terjadinya turnover, sebaliknya faktor eksternal yaitu peluang kerja ikut mempengaruhi kejadian turnover, hal ini bisa terjadi apabila banyaknya alternatif peluang kerja yang ditawarkan sehingga menyebabkan perawat akan keluar dari rumah sakit tersebut bila tidak sesuai dengan harapannya.

Penelitian yang dilakukan Hayajneh, et al. (2009) di rumah sakit Jordania menunjukkan bahwa rumah sakit swasta memiliki tingkat turnover yang lebih tinggi lebih dari dua kali lipat dari rumah sakit umum dan rumah sakit pendidikan. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan tingkat turnover tinggi di rumah sakit swasta antara lain gaji rendah, kurangnya keamanan kerja dan kelebihan beban kerja. Sebaliknya, rumah sakit pendidikan dan rumah sakit umum memberikan


(31)

gaji dan kondisi kerja yang lebih baik, yang memotivasi registered nurses (RNS) untuk mencari pekerjaan di rumah sakit tersebut. Dan bila dibandingkan turnover

di dua rumah sakit tersebut, tingkat turnover rumah sakit pendidikan lebih tinggi dibandingkan rumah sakit umum. Hal ini disebabkan karena lokasi rumah sakit umum memberi motivasi perawat untuk memperoleh pekerjaan dalam area tempat tinggal mereka.

Tingkat turnover di kalangan RNS di rumah sakit perkotaan jelas lebih tinggi dibandingkan di rumah sakit pedesaan. Sebagian besar rumah sakit yang terletak di daerah perkotaan adalah rumah sakit swasta (Hayajneh, et al., 2009). Hal ini terkait dengan sedikitnya rumah sakit yang terdapat di pedesaan, sehingga RNS yang tidak mendapatkan pekerjaan di rumah sakit pedesaan akan mencari peluang ke rumah sakit perkotaan. Dan apabila di rumah sakit pedesaan adanya perekrutan, maka perawat akan meninggalkan pekerjaan mereka di rumah sakit perkotaan yang akan meningkatkan kejadian turnover. Hal ini sesuai dengan penelitian Hayajneh, et al. (2009) bahwa faktor yang menentukan rendahnya

turnover di pedesaan karena sebagian besar RNS adalah penduduk daerah tersebut dan rumah sakit mereka adalah satu-satunya di wilayah tersebut. Sebaliknya, rumah sakit di perkotaan memiliki tingkat turnover tinggi, karena perawat di sana memiliki lebih banyak pilihan dan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Dan biasanya RNS cenderung meninggalkan posisi mereka selama bulan musim panas karena perekrutan internasional dan regional perawat terjadi pada musim panas.


(32)

Mempertimbangkan besarnya dampak yang ditimbulkan dari turnover, maka peneliti tertarik untuk menggali lebih mendalam tentang fenomena turnover

perawat pelaksana di rumah sakit swasta di kota Medan. Penelitian ini akan dilakukan secara fenomenologi karena masih sedikitnya penelitian tentang

turnover perawat yang dilakukan secara kualitatif. Melalui penelitian kualitatif ini, akan diperoleh informasi secara mendalam terkait dengan masalah turnover

perawat di rumah sakit swasta. 1.2 Permasalahan

Rumah sakit swasta memiliki tingkat turnover yang lebih tinggi dibandingkan rumah sakit pendidikan maupun rumah sakit umum. Tingginya tingkat turnover di rumah sakit swasta disebabkan oleh beberapa faktor seperti nilai-nilai intrinsik dari motivasi, beban kerja, ukuran unit dan kepemimpinan. Hal ini akan berdampak besar, baik bagi rumah sakit, perawat yang masih bertahan, perawat yang sudah keluar, maupun pasien. Penelitian yang dilakukan di rumah sakit swasta di kota Medan pada tahun 2009 terhadap tiga rumah sakit swasta dengan tipe B yaitu rumah sakit Mitra Sejati, rumah sakit Vina Estetica, dan rumah sakit Imelda menunjukkan angka turnover perawat yang tinggi yaitu sebesar 34.88%, 26,19% dan sebesar 24,60% per tahun (Tobing, 2009). Berdasarkan uraian tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana fenomena turnover perawat pelaksana di rumah sakit swasta di kota Medan?”.


(33)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi fenomena turnover

perawat pelaksana di rumah sakit swasta di kota Medan. 1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Praktik keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam pembuatan kebijakan yang tepat untuk meningkatkan kinerja perawat dan menciptakan iklim organisasi yang baik sehingga bisa mencegah peningkatan terjadinya turnover

perawat yang dapat merugikan rumah sakit, pasien maupun perawat. 1.4.2 Pendidikan keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya administrasi keperawatan yang berhubungan dengan

turnover perawat di rumah sakit swasta. 1.4.3 Penelitian keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan dan dapat digunakan sebagai evidance based dalam melakukan penelitian selanjutnya terkait masalah turnover perawat di rumah sakit lainnya.


(34)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Turnover 2.1.1 Pengertian turnover

Secara umum, turnover mengacu pada perubahan dalam keanggotaan organisasi, yaitu bergantinya posisi dengan keluarnya pemegang jabatan dan diganti oleh orang baru. Dalam penggunaan istilah khusus, turnover mengacu pada keluarnya anggota organisasi (Jewell, 1985) baik pada awal atau akhir dari kontrak kerja (Swansburg, 2000). Hal ini sesuai dengan pernyataan Mathis dan Jackson (2001) yang menyatakan turnover adalah proses dimana tenaga kerja meninggalkan organisasi dan harus ada yang menggantikannya. Swanburg (2000) juga menyebutkan bahwa turnover merupakan pergerakan karyawan dari organisasi atau institusi perawatan kesehatan hasil dari pengunduran diri, transfer keluar dari unit organisasi, pembuangan, pensiun dan kematian. Mobley (1982) mendefinisikan turnover adalah keluarnya karyawan dari suatu organisasi dan disertai dengan pemberian imbalan keuangan oleh organisasi yang bersangkutan.

Menurut Gillies (1989) turnover tahunan keperawatan adalah persentase dari perawat yang dipekerjakan yang meninggalkan pekerjaan mereka selama waktu satu tahun. Rumus untuk menghitung tingkat turnover adalah sebagai berikut:

Annaul Turnover rate = ���������������������������������


(35)

Turnover ada dua jenis yaitu turnover sukarela dan tidak sukarela (Jones, 1990; Mathis & Jackson, 2001; Robbins & Coulter, 2010). Turnover sukarela terjadi pada saat karyawan meninggalkan organisasi atas permintaan sendiri yang disebabkan beberapa faktor, diantaranya kurangnya tantangan, peluang karir, gaji, pengawasan, letak geografis, dan tekanan. Turnover tidak sukarela dipicu oleh karyawan yang tidak sesuai dengan kebijakan organisasi dan peraturan kerja, sehingga tidak memenuhi standar kinerja yang diharapkan (Mathis & Jackson, 2001). Mathis dan Jackson (2001) juga menyebutkan tidak semua turnover negatif bagi suatu organisasi. Kehilangan beberapa karyawan kadang memang diinginkan apabila karyawan yang keluar adalah yang kinerjanya rendah (Mathis & Jackson, 2001). Tetapi tetap saja kerugian yang ditimbulkan dari turnover lebih besar dari pada keuntungannya (Gillies, 1989).

Gillies (1989) menyatakan bahwa keluarnya perawat dari rumah sakit dikatakan normal berkisar antara 5 -10% per tahun, dikatakan tinggi apabila lebih dari 10%. Menurut Capko (2001), berkisar dibawah 15% dalam lima tahun berturut-turut, jika lebih dari 20% maka dikatakan tinggi. Pergantian beberapa perawat diperlukan organisasi untuk meningkatkan kinerja organisasi, menciptakan inovasi baru melalui pengetahuan, ide-ide, dan teknologi baru melalui staf baru (Mobley, 1982).

2.1.2 Penyebab turnover

Sellgren, et al. (2009) mengidentifikasi empat faktor utama yang memiliki pengaruh pada turnover yaitu nilai-nilai intrinsik motivasi, beban kerja, ukuran unit dan kepemimpinan.


(36)

Nilai-nilai intrinsik dari motivasi. Motivasi merupakan masalah penting dan kompleks bagi manajemen personalia di fasilitas pelayanan kesehatan (Janssen, De Jonge, Bakker, 1999). Speedling (1990 dalam Janssen, et al., 1999) mengungkapkan bahwa ketertarikan orang untuk bekerja pada perawatan kesehatan tidak hanya dipengaruhi oleh reward eksternal seperti gaji, namun juga dipengaruhi oleh motivasi instrinsik. Nilai-nilai instrinsik dari motivasi mengacu kepada ketika seseorang secara internal termotivasi untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan atau penting bagi mereka. Hal ini terkait dengan diri pribadi atau dari kegiatan itu sendiri (Sellgren, et al., 2009). Faktor ini meliputi kategori seperti pengakuan, partisipasi, isi pekerjaan dan pengembangan kompetensi (Sellgren, et al., 2009). Menurut Scott, Sochalski, Aiken (1999); Kramer dan Schmalenberg (2004), kurangnya perasaan dihargai bisa berhubungan dengan kurangnya otonomi dalam praktek keperawatan. Jika manajer mendukung, menghormati dan mengakui prestasi perawat, hal ini dapat meningkatkan semangat perawat yang menyebabkan peningkatan kepuasan kerja dan motivasi (Lephalala, 2006).

Beban kerja. Beban kerja bisa berbentuk beban kerja berlebih/terlalu sedikit secara kuantitatif yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak/sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban kerja berlebih/terlalu sedikit secara kualitatif yang timbul jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas atau tugas tidak menggunakan keterampilan dan/atau potensi dari tenaga kerja. Beban kerja bisa berupa persepsi individu (intrinsik), tetapi bisa juga berupa akibat dari kekurangan


(37)

yang nyata (ekstrinsik). Beban kerja berlebih secara kuantitatif dan kualitatif dapat menimbulkan kelelahan dan stres yang bisa mempengaruhi turnover (McCarthy, Turrell, Cronin, 2002). Beban kerja yang terlalu berlebihan akan menimbulkan kelelahan baik fisik maupun mental dan reaksi-reaksi emosional seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, dan mudah marah. Sedangkan pada beban kerja yang terlalu sedikit dimana pekerjaan yang terjadi karena pengurangan gerak akan menimbulkan kebosanan dan rasa monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari karena tugas atau pekerjaan yang terlalu sedikit mengakibatkan kurangnya perhatian pada pekerjaan sehingga secara potensial membahayakan pekerja (Manuaba, 2000 dalam Prihatini, 2007). Pengelolaan tenaga kerja yang tidak direncanakan dengan baik dapat menyebabkan keluhan yang subyektif, beban kerja semakin berat, tidak efektif dan tidak efisien yang memungkinkan ketidakpuasan bekerja yang pada akhirnya mengakibatkan turunnya kinerja dan produktivitas serta mutu pelayanan yang merosot (Gillies, 1989). Beban kerja berlebihan secara konsisten meningkatkan ketegangan kerja dan mengurangi kepuasan kerja, yang pada gilirannya, meningkatkan kemungkinan turnover

(Davidson et al., 1997; Tai et al., 1998; Hemingway & Smith, 1999; Strachota et al., 2003 dalam Hayes, et al., 2006). Hal ini didukung oleh penelitian Siagian (2009); Hayajneh, et al. (2009); O Brien-Pallas, et al. (2010); dan Cho, et al. (2012) dimana salah satu faktor yang mempengaruhi turnover yaitu ketidakpuasan kerja.

Ukuran unit. Hasil penelitian Sellgren, et al. (2009) menunjukkan bahwa


(38)

sebanyak 25 orang. Dalam unit-unit besar, anggota staf sebagian besar diatur dalam tim kerja yang dipimpin oleh seorang pemimpin tim. Laporan dalam focus group discussion (FGD) menunjukkan bahwa akan lebih mudah untuk mendapatkan pengakuan, untuk berpartisipasi, untuk lebih dekat dengan manajer dan untuk mengembangkan penghargaan dalam kelompok kerja dalam unit kecil atau tim kerja yang lebih kecil.

Kepemimpinan. Perilaku manajer perawat memiliki dampak yang besar pada iklim kerja, kepuasan dan niat untuk meninggalkan atau tetap bekerja bagi staf perawat. Selain itu, manajer harus jujur, jelas dan mampu mendorong unit ke depan. Manajer harus mampu menerapkan struktur dan menetapkan tujuan yang berhubungan dengan pekerjaan, sambil mendukung dan mendengarkan staf (Sellgren, et al., 2009). Gullatte dan Jirasakhiran (2005) juga menyatakan bahwa perilaku perawat manajer adalah penting untuk mempertahankan staf perawat di rumah sakit, manajer adalah kunci nyata untuk mencapai tujuan ini. Strachota, et al. (2003 dalam Maboko, 2011) menunjukkan bahwa 37% dari perawat meninggalkan pekerjaannya karena tidak mendapatkan dukungan dari manajernya. Perawat juga berpendapat bahwa ketika manajer mengharapkan perawat untuk bekerja ekstra, manajer sendiri tidak melakukannya. Gaya kepemimpinan manajer berpengaruh terhadap sikap perawat. Menurut Koukkanen dan Katajisto (2003 dalam Maboko, 2011), kepemimpinan otoriter merupakan hambatan untuk pemberdayaan keperawatan. Kepemimpinan otoriter tidak meningkatkan fungsi penting dari manajemen perawat seperti mendengarkan, memberdayakan, manajemen konflik, memperjuangkan perawat, kerja sama tim,


(39)

komunikasi dan kepemimpinan atau menjadi agen perubahan. Banyak perawat yang dipimpin oleh para pemimpin otokratik dan tidak diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

Faktor lain yang mempengaruhi turnover yaitu lokasi rumah sakit (Hayajneh, et al., 2009), karakteristik rumah sakit, hubungan interpersonal, lingkungan kerja fisik (Cho, et al., 2012), dukungan tim, efektivitas profesional (O Brien-Pallas, et al., 2010).

Lokasi rumah sakit mempengaruhi tingkat turnover perawat. Tingkat

turnover di kalangan RNS di rumah sakit perkotaan lebih tinggi dibandingkan di rumah sakit pedesaan (Hayajneh, et al., 2009). Hal ini terkait dengan sedikitnya rumah sakit yang terdapat di pedesaan, sehingga RNS yang tidak mendapatkan pekerjaan di rumah sakit pedesaan akan mencari peluang ke rumah sakit perkotaan. Hal ini sesuai dengan penelitian Hayajneh, et al. (2009) bahwa faktor yang menentukan rendahnya turnover di pedesaan karena sebagian besar RNS adalah penduduk daerah tersebut dan rumah sakit mereka adalah satu-satunya di wilayah tersebut. Sebaliknya, rumah sakit di perkotaan memiliki tingkat turnover

tinggi, karena perawat di sana memiliki lebih banyak pilihan dan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

Hasil penelitian Hayajneh, et al. (2009) menunjukkan bahwa hubungan interpersonal mempunyai dampak yang besar terhadap turnover. Membangun hubungan interpersonal yang baik sangat penting untuk perawat lulusan baru untuk tetap bertahan pada pekerjaan pertamanya. Manajer perawat perlu


(40)

memainkan peran kunci untuk mendukung lulusan baru untuk mengembangkan hubungan interpersonal antara staf perawat dan petugas rumah sakit lainnya.

Penelitian AbuAlRub (2004) menunjukkan bahwa hubungan dengan rekan kerja dapat mempengaruhi kepuasan kerja dan niat untuk tetap bekerja. Juga didukung oleh penelitian McNeese-Smith (1999) dimana sikap negatif dari rekan kerja dan kritik dari rekan kerja dapat menyebabkan ketidakpuasan.

Hasil penelitian menunjukkan tiga alasan utama perawat meninggalkan keperawatan yaitu jam kerja yang lebih nyaman (46%), pekerjaan yang lebih menguntungkan secara profesional (47,2 %), dan gaji yang lebih baik (35,0 %) di tempat kerja baru sehingga menjadi alasan untuk meninggalkan pekerjaannya.

Keamanan kerja juga menjadi faktor penentu ketidakpuasan kerja yang menyebabkan perawat meninggalkan pekerjaan mereka. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Toni (2007) dimana karyawan yang merasakan tingkat rendah keamanan kerja dalam pekerjaan mereka saat ini dapat termotivasi untuk mencari pekerjaan dalam organisasi di mana mereka percaya tingkat keamanan yang lebih besar dari pekerjaan mereka saat ini.

Hunt (2009) mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan turnover

adalah merasa kewalahan, tidak mampu mengelola beban kerja; kurangnya kejelasan peran dan kontrol rendah atas kinerja, merasa tidak dihormati dan dihargai atas kontribusi dan kemampuannya; komunikasi yang buruk dengan manajemen seputar isu-isu penting yang mempengaruhi pekerjaan; tidak menerima pengakuan atau penghargaan untuk prestasi; kurangnya peluang karir dan dukungan untuk pengembangan karir; kurangnya kepercayaan dan kolaborasi


(41)

yang efektif dengan rekan kerja; jadwal kerja tidak sesuai dengan kebutuhan pekerjaan atau harapan, serta pekerjaan yang terlalu menuntut fisik.

2.1.3 Dampak turnover

Turnover perawat yang tinggi meningkatkan pengeluaran finansial yang tinggi, menurunkan moral, mengganggu fungsi tim, dan hilangnya potensial manajemen (Gillies, 1989). Biaya tambahan untuk mengganti perawat berkisar dari $ 10.000 USD sampai dengan $ 60.000 USD per perawat terdaftar (RN) tergantung pada spesialisasi perawat (Hayes et al., 2006). Strachota, et al. (2003) mengutip biaya sebesar $ 42.000 USD untuk mengganti tenaga medis atau perawat bedah dan $ 64 000 USD untuk mengganti spesialisasi perawat. Turnover

juga menimbulkan beban kerja tambahan perawat yang masih bertahan dan akan mempengaruhi semangat dan kesejahteraan mereka (O-Brien-Pallas, et al., 2006). Frekuensi turnover perawat yang terlalu sering mengurangi produktivitas perawat yang masih bertahan. Hal ini yang mengharuskan staf perawat untuk mengarahkan dan melatih staf baru (Cavanagh & Coffin 1992). Turnover

berlebihan meningkatkan konflik kelompok, menurunkan keterikatan kelompok dan mengurangi kepuasan kerja serta kinerja mereka yang tetap (Mobley, 1982).

Selain berdampak negatif, turnover juga bisa berdampak positif, baik bagi organisasi, individu yang keluar, individu yang tinggal, dan masyarakat (Mobley, 1982).

Dampak negatif

Bagi organisasi. Turnover meningkatkan pengeluaran biaya keuangan organisasi. Penambahan biaya keuangan organisasi diperlukan untuk penambahan


(42)

sumber daya manusia (SDM) baru dan pergantian. Hal ini sesuai dengan model

measurement of original human resource cost dan model for measurement of original human resourcereplacement cost yang digagas oleh Mobley (1982). Model ini dibuat untuk memperkirakan biaya-biaya sumber daya manusia dari yang baru masuk dan biaya-biaya penggantian sumber daya manusia seperti skema dibawah ini.

Gambar 2.1 Model for measurement of original human resource cost (Mobley, 1982) Recruitment Selection Hiring Placement Promotion Or Hiring From Within Firm Formal Training And Orientatuon One-The-Job Training Trainer’s Time Lost Productivity During Training Direct Costs Indirect Costs Direct Costs Indirect Costs Acquisition Cost Learning Cost Human Resource Cost


(43)

Gambar 2.2 Model for measurement of original human resource replacement cost (Mobley, 1982) Recruitment Selection Hiring Placement Cost Of Promotion Or Transfer From Within Firm Formal Training And Orientatuon One-The-Job Training Cost Trainer’s Time Separation Pay Direct Costs Indirect Costs Direct Costs Indirect Costs Acquisition Cost Learning Cost Positional Replacement Cost Loss Of Effeciency Prior To Separation Cost Of Vacanct

Position During Search Indirect Costs Direct Costs Separation Cost


(44)

Hasil penelaahan biaya pergantian staf menunjukkan bahwa pergantian itu mahal. Banyak biaya yang diperlukan untuk pergantian staf, baik biaya untuk sumber daya manusia yng baru masuk maupun pengganti. Biaya sumber daya manusia yang baru masuk meliputi biaya pengadaan dan pembelajaran, sedangkan biaya sumber daya manusia pengganti terdiri dari biaya pengadaan, pembelajaran, dan pemisahan. Biaya-biaya tersebut bisa bersifat langsung dan tidak langsung. Biaya pengadaan langsung meliputi biaya untuk perekrutan (iklan, travel, agen, dan administrasi), seleksi (wawancara, pemeriksaan referensi, testing, penilaian, dan biaya administrasi terkait lainnya), hiring dan penempatan (pemeriksaan fisik, perpindahan dan travel, biaya administrasi terkait). Biaya pengadaan tidak langsung meliputi promosi atau hiring dari dalam perusahaan. Biaya pembelajaran langsung meliputi pelatihan formal dan orientasi. Biaya pembelajaran tidak langsung meliputi waktu pelatih dan hilangnya produktivitas selama pelatihan. Biaya pemisahan langsung meliputi biaya pesangon, sedangkan biaya pemisahan tidak langsung meliputi hilangnya efisiensi sebelum pemisahan dan biaya yang berkaitan dengan posisi kosong (Mobley, 1982).

Turnover umumnya memerlukan biaya untuk rekrutmen, seleksi, pelatihan, dan pengembangan. Selain itu, turnover menyebabkan kehilangan produktivitas sampai staf baru dapat menguasai pekerjaan yang harus dianggap sebagai biaya

turnover (Mowday, Porter, Steers, 1982). Hal ini didukung dengan penelitian Toni (2007) yang menyatakan bahwa meskipun posisi kosong telah terisi atau digantikan oleh perawat baru, secara umum diasumsikan bahwa perawat yang


(45)

baru bekerja akan memakan waktu enam sampai delapan bulan untuk menjadi sepenuhnya efisien di tempat kerja baru mereka.

Dampak negatif lain dari turnover bagi organisasi yaitu gangguan kinerja yang disebabkan oleh kekosongan posisi yang berefek terhadap penambahan kerja; gangguan pola sosial dan komunikasi; penurunan moral yang dipicu oleh gangguan kinerja, pola sosial dan komunikasi, sehingga perawat yang masih tetap bertahan akan mencoba untuk mencari pekerjaan lainnya yang akan memicu

turnover selanjutnya; strategi pengawasan yang tidak berbeda karena pihak manajerial tidak mendapatkan informasi secara lengkap mengenai sebab dan akibat dari turnover sehingga responnya juga kurang; serta hilangnya peluang bagi pengembangan organisasi yang menguntungkan bagi organisasi disebabkan kekurangan staf. Peneliti mengamati bahwa kerugian besar konstan merekrut perawat yang berkualitas merupakan masalah utama bagi para manajer keperawatan (Mobley, 1982).

Toni (2007) menyebutkan bahwa turnover menghasilkan serangkaian efek negatif pada pelayanan yang berkualitas. Turnover berlebihan menurunkan semangat kerja perawat karena kesenjangan yang terjadi disebabkan kekurangan perawat, beban bagi perawat yang tetap bekerja dan penurunan kualitas perawatan pasien dengan konsekuensi risiko medis dan hukum.

Bagi individu yang keluar. Hilangnya senioritas ditempat kerja, hilangnya penghasilan tambahan yang didapat ditempat kerja sebelumnya, stres yang berkaitan dengan masa transisi, terganggunya hubungan sosial, kekecewaan karena tidak sesuai antara harapan dan kenyataan, dan hambatan dalam karier.


(46)

Meskipun sejumlah konsekuensi positif dari turnover dapat diidentifikasi ada juga mungkin beberapa biaya yang berkaitan dengan keputusan untuk mengganti pekerjaan (Mobley, 1982).

Mengganti pekerjaan dapat menjadi sumber signifikan dari stres, terutama ketika berpindah dari satu kota ke kota lain. Keluarga dengan anak-anak usia sekolah mungkin merasa sangat terganggu dengan keputusan untuk mengganti pekerjaan (Mowday, et al., 1982). Ruch dan Holmes (1971 dalam Mowday, et al., 1982) mengidentifikasi perubahan dalam bidang pekerjaan, tempat tinggal, sekolah, rekreasi, gereja, dan kegiatan sosial sebagai sumber potensial dari stres. Besarnya stres yang terkait dengan berganti pekerjaan mungkin berhubungan dengan kesamaan antara pekerjaan lama dan baru, kedekatan antara atasan lama dan baru.Keputusan untuk mengganti pekerjaan juga dapat mengancam hubungan sosial dengan rekan kerja sebelumnya dan ikatan keluarga. Bahkan ketika

turnover melibatkan perpindahan antara pekerjaan di lokasi yang sama, hubungan sosial dengan rekan kerja dari pekerjaan sebelumnya dapat menjadi semakin tegang (Steers & Mowday, 1981 dalam Mowday, et al., 1982). Selain itu, perpindahan pekerjaan di kota yang berbeda dapat meningkatkan jarak antara anggota keluarga. Hal ini dapat mengakibatkan tekanan dari keluarga untuk tidak pindah atau diperlukan usaha yang lebih besar untuk mempertahankan ikatan keluarga pada tingkat sebelumnya (Mowday, et al., 1982).

Bagi individu yang tinggal. Hilangnya rekan kerja yang berharga, berkurangnya kepuasan kerja, peningkatan beban kerja, butuh waktu untuk beradaptasi dengan staf pengganti (Mobley, 1982). Turnover dapat


(47)

mengakibatkan peningkatan beban kerja bagi staf yang masih bekerja, setidaknya untuk sementara, dan penurunan kinerja, terutama di mana tugas-tugas yang sangat saling tergantung. Organisasi memerlukan waktu untuk menemukan pengganti staf yang sudah keluar. Selama rentang waktu tersebut, semua pekerjaan harus dilakukan oleh staf yang masih bekerja yang menyebabkan peningkatan tuntutan pekerjaan, stres, dan ketidakpastian. Hal ini akan terus berlanjut sampai posisi tersebut terisi. Bahkan ketika posisi tersebut telah terisi, diperlukan waktu untuk melatih staf baru atau untuk bersosialisasi secara individu tentang norma-norma kelompok. Pada pekerjaan yang kompleks, dibutuhkan waktu lebih lama sebelum staf baru mampu melakukan tugas secara efektif. Hal ini dapat meningkatkan tuntutan pada staf lain untuk bekerja lebih keras sampai staf baru dapat melakukan pekerjaan secara efektif. Selain peningkatan tuntutan kerja dan ketidakpastian, faktor lain dapat menyebabkan sikap kurang positif dari staf yang tetap bekerja. Jika posisi kosong diisi dari luar organisasi, dapat menyebabkan ketidakpuasan di kalangan staf yang tidak dipromosikan, sehingga dapat merangsang evaluasi ulang dari pekerjaan dan mencari alternatif yang lebih baik bagi staf yang tetap bekerja. Selain itu, mencari pekerjaan alternatif yang lebih baik dapat mengakibatkan meningkatnya ketidakpuasan. Informasi tentang adanya pekerjaan yang lebih baik dengan pembayaran atau kondisi kerja yang lebih baik di organisasi lain dapat menyebar dengan cepat di antara staf yang tetap bekerja. Hal ini mengakibatkan perasaan ketidakadilan terkait gaji dan kondisi kerja bagi staf yang bertahan. Juga, ketika orang yang meninggalkan adalah teman


(48)

dekat, staf yang tetap bekerja dapat menemukan hubungan antara rekan kerja pada pekerjaan yang kurang memuaskan (Mowday, et al., 1982).

Bagi masyarakat. Peningkatan biaya-biaya produksi karena kekurangan tenaga terlatih serta ketidakmampuan untuk mempertahankan atau menarik tenaga industri baru karena kehilangan tenaga kerja yang berkompeten.

Dampak positif

Bagi organisasi. Pemindahan staf yang berkinerja kurang baik dan digantikan dengan staf yang lebih baik sehingga bisa meningkatkan kinerja organisasi; menciptakan inovasi baru melalui pengetahuan, ide-ide, dan teknologi baru dari staf pengganti (Mobley, 1982). Hal ini sesuai dengan pendapat Toni (2007) bahwa suatu organisasi memerlukan ide-ide dan inovasi dari staf baru. Selain itu, dampak positif dari turnover bagi organisasi bisa menciptakan fleksibilitas dalam pengembangan karier dan pemberian pelatihan dan dapat meningkatkan semangat staf yang bertahan melalui peningkatan mobilitas internal; menurunkan perilaku penarikan diri lainnya seperti absensi, sikap apatis, perilaku merusak, dan kualitas kerja yang rendah; serta mengurangi konflik yang tidak ada penyelesaiannya sehingga bisa meningkatkan efektifitas organisasi (Mobley, 1982).

Bagi individu yang keluar. Peningkatan penghasilan, pekerjaan yang menantang, pengembangan karier, dan iklim organisasi yang lebih baik melalui pekerjaan yang lebih baik, sehingga mengurangi stres, menambah daya guna keterampilan dan minat yang lebih baik, rangsangan yang baru dalam lingkup sosial baru (Mobley, 1982). Banyak orang yang meninggalkan organisasi tertarik


(49)

dengan pekerjaan lain dengan gaji yang lebih tinggi dan kesempatan yang lebih baik untuk kemajuan karir. Dalam banyak profesi, mobilitas antar organisasi umumnya dilakukan oleh individu mencari kemajuan karir. Individu dengan keterampilan kerja dan kemampuan yang ada sesuai permintaan pasar kerja lebih mungkin untuk mendapatkan keuntungan dari keputusan untuk mengubah pekerjaan dari individu dengan keterampilan yang lebih sedikit (Mowday, et al., 1982). Hall (1976 dalam Mowday, et al., 1982) juga menyebutkan bahwa

turnover dapat memberikan kesempatan kepada individu untuk memperbaiki situasi pekerjaan mereka. Individu dapat memilih pekerjaan yang lebih cocok dengannya yang dapat memanfaatkan dan mengembangkan keterampilan yang dimilikinya atau menawarkan kepuasan yang lebih besar dan mengurangi stres. Selain itu juga memberi kesempatan kepada individu untuk mencoba tantangan baru. Individu yang berganti pekerjaan juga dapat membangun hubungan baru dengan teman-teman baru serta mengembangkan keterlibatan sosial di tempat kerja baru. Individu juga dapat mengembangkan komitmen baru dan loyalitas terhadap organisasi yang mempekerjakannya dan dapat mengembangkan citra diri yang lebih positif karena mereka menganggap mereka masih menarik bagi organisasi lain.

Bagi individu yang tinggal. Bertambahnya peluang mobilitas internal, rangsangan untuk saling menumbuhkan semangat kerja dengan rekan-rekan sekerja, bertambahnya kepuasan kerja, bertambahnya keterikatan diantara staf. Manfaat lain yang potensial bagi individu yang tetap bekerja yaitu meningkat kesempatan promosi (Staw, 1980 dalam Mowday, et al., 1982; Toni, 2007).


(50)

Ketika seseorang yang mempunyai posisi lebih tinggi keluar dari organisasi, maka akan membuka peluang bagi staf yang posisinya lebih rendah untuk mendapatkan promosi jabatan yang mengakibatkan sikap yang lebih positif dari staf yang masih bekerja terutama staf yang menginginkan kemajuan dalam karirnya. Selain itu, faktor lain yang terkait dengan turnover juga dapat berfungsi untuk memperkuat sikap staf yang tetap bertahan. Ketika yang pindah adalah seseorang yang tidak efektif dalam bekerja, hal ini mungkin menjadi sumber kepuasan serta bisa meningkatkan kinerja staf yang masih bekerja. Selain itu, ketika posisi yang kosong diisi oleh individu-individu di luar organisasi atau dari departemen lain, staf baru dapat membawa ide-ide yang lebih baik tentang bagaimana melakukan pekerjaan dan peningkatan tingkat motivasi. Pengenalan staf baru ke dalam kelompok kerja mungkin menjadi sumber rangsangan bagi staf pemegang jabatan, baik dari pendekatan baru untuk pekerjaan dan dari kesempatan untuk mengembangkan persahabatan (Mowday, et al., 1982).

Turnover juga bisa menjadi manfaat tambahan bagi individu. Bagi banyak staf, keputusan untuk tetap dalam suatu organisasi mungkin akibat dari kurangnya informasi tentang alternatif yang tersedia atau motivasi sederhana untuk mencari peluang yang lebih baik. Turnover oleh rekan kerja dapat berfungsi sebagai stimulus kepada staf yang tersisa untuk mempertimbangkan kembali pekerjaan mereka. Dalam beberapa kasus, turnover oleh rekan kerja memberikan informasi tentang peluang kerja alternatif yang dapat merangsang pencarian kerja. Pencarian pekerjaan alternatif dapat mengakibatkan keputusan untuk meninggalkan


(51)

pekerjaannya bila ditemukan gaji yang lebih tinggi, kondisi kerja atau peluang karir yang lebih baik (Mowday, et al., 1982).

Bagi masyarakat. Mobilitas industri baru yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan pendapatan per kapita, mengurangi biaya sosial yang terkait dengan manifestasi psikologis dan fisik dari stres; kurangnya mobilitas, terutama di pasar tenaga kerja menurun, dapat meningkatkan biaya sosial untuk pengangguran dan kesejahteraan (Mobley, 1982).

2.1.4 Cara mengontrol turnover

Hasil penelitian Rondeau (2009) didapatkan pelatihan kerja berpengaruh terhadap tingkat turnover secara nyata tapi cukup sederhana dengan meningkatnya komitmen dan kepuasan kerja sehingga menurunkan tingkat turnover. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Sieben (2007 dalam Rondeau, 2009) dimana pelatihan keterampilan kerja meningkatkan loyalitas organisasi dan kemudian menurunkan turnover. Selain itu, membangun hubungan interpersonal yang baik juga dapat mengurangi kejadian turnover (Cho, et al., 2012).

Mobley (1986) mengungkapkan beberapa langkah untuk mengendalikan

turnover yang harus diperhatikan terkait perekrutan, seleksi, dan sosialisasi awal; pengaturan bobot pekerjaan; praktik-praktik kompensasi; kepemimpinan dan penyelia; perencanaan dan pengembangan karier; pembentukan tim atau kelompok kerja; sentralisasi; komunikasi; dan masa kerja.


(52)

2.3 Landasan Teori

Model adaptasi Roy adalah sistem model yang esensial dan banyak digunakan sebagai falsafah dasar dan model konsep dalam pendidikan keperawatan. Roy (1969) menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk biopsikososial sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia selalu dihadapkan berbagai persoalan yang kompleks, sehingga dituntut untuk melakukan adaptasi (Aligood & Tomey, 2006). Model adaptasi Roy melihat bahwa seseorang merupakan sistem adaptif dalam berinteraksi dengan lingkungan internal dan eksternal. Menurut Roy lingkungan merupakan konsep utama dalam interaksi manusia secara konstan. Lingkungan adalah semua kondisi, keadaan dan kondisi tertentu yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku individu maupun kelompok.

Roy menjelaskan bahwa keperawatan sebagai proses interpersonal yang diawal adanya kondisi maladaptasi akibat perubahan lingkungan baik internal maupun eksternal. Manusia sebagai sistem berinteraksi dengan lingkungan dan mengatasi lingkungan melalui mekanisme adaptasi bio-psikososial. Adaptasi di tingkatkan bila terjadi peningkatan atau pengurangan pemenuhan kebutuhan. Di dalam menghadapi perubahan atau stimulus, manusia harus menjaga integritas dirinya dan selalu beradaptasi secara menyeluruh (holistik adaptive system) (Roy & Anderson, 1999 dalam Aligood & Tomey, 2006).

Manusia merupakan suatu sistem yang terbuka yang menerima masukan atau stimulus baik dari dirinya sendiri maupun dari lingkungan. Derajat adaptasi ditentukan dengan menggabungkan efek dari stimulus fokal, kontekstual dan


(53)

residual. Adaptasi terjadi ketika manusia berespon positif terhadap perubahan lingkungan. Respon yang adaptif meningkatkan integritas dari manusia yang membawa kepada kesehatan sedangkan respon yang tidak efektif terhadap stimulus membawa gangguan integritas manusia (Aligood & Tomey, 2006).

Dalam Model Adaptasi Roy ada dua subsistem yang saling berhubungan. Pertama, fungsional atau subsistem proses-proses control yang terdiri dari regulator dan kognator. Kedua, subsistem efektor yang terdiri dari empat model adaptif yaitu kebutuhan psikologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi (Aligood & Tomey, 2006).

Roy memandang regulator dan kognator sebagai koping. Koping subsistem regulator dengan tipe adaptif psikologi adalah respon koping secara otomatis melalui saraf, kimia dan endokrin. Koping subsistem kognator melalui konsep diri, interdependensi dan fungsi peran. Subsistem kognator diperoleh melalui proses persepsi informasi, belajar, penilaian, dan emosi. Persepsi adalah interpretasi dari stimulus dan persepsi bertautan ke regulator dengan kognator sebagai masukan. Persepsi adalah suatu proses dari kognator, responnya diikuti persepsi yang menjadi feedback bagi kognator dan regulator


(54)

Keempat model adaptif dari kedua subsistem dalam model Roy menyediakan bentuk atau manifestasi-manifestasi dari aktivitas kognator dan regulator. Respon terhadap stimulus yang datang dapat dilihat melalui empat model adaptasi.

2.3.1 Model fungsi fisiologi

Model fisiologis berhubungan dengan fisik dan proses kimia yang harus dipenuhi dalam menjalankan fungsi dan aktivitas dari manusia. Ada lima kebutuhan yang diidentifikasi dalam model fisik fisiologi yang berkaitan pada kebutuhan dasar dari integritas fisiologi yaitu oksigen, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, serta perlindungan.

2.3.2 Konsep diri

Berfokus pada aspek psikososial dan spiritual manusia. Kebutuhan dari konsep diri ini berhubungan dengan integritas psikis antara persepsi, aktivitas mental dan ekspresi perasaan. Menurut Roy, konsep diri terdiri dari dua komponen yaitu: (1) the physical self yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya. Kesulitaan pada area ini dapat menyebabkan masalah body image, (2) the personal self yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral etik dan spiritual diri orang tersebut.

2.3.3 Model fungsi peran

Model fungsi peran berkaitan dengan mengenal pola-pola interaksi sosial seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, yang dicerminkan dalam peran


(55)

primer, sekunder dan tersier. Fokusnya pada bagaimana seseorang dapat memerankan dirinya di masyarakat sesuai kedudukannya

2.3.4 Model interdependensi

Model interdependensi berfokus pada hubungan dekat dari seseorang (baik secara individu maupun dalam kelompok), tujuan, bentuk dan perkembangan dimana ada interaksi untuk saling memberi dan menerima cinta/ kasih sayang, perhatian dan saling menghargai. Interdependensi yaitu keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian dalam menerima sesuatu untuk dirinya.

Gambar 2.4 Diagram yang mewakili sistem adaptasi manusia (Tomey, 2006) Manusia sebagai suatu kesatuan terdiri dari enam subsistem. Subsistem tersebut (regulator, kognator dan keempat mode adaptasi) saling berhubungan membentuk sistem yang kompleks untuk mencapai tujuan adaptasi. Hubungan antara keempat model adaptif terjadi ketika stimulus internal dan eksternal


(56)

mengakibatkan lebih dari satu model, ketika suatu prilaku dapat menjadi stimulus fokal, kontekstual atau residual bagi model yang lainnya.

Berkenaan dengan sistem sosial manusia, Roy secara luas mengkategorikan proses kontrol ke dalam subsistem penyeimbang dan pembaru. Sistem penyeimbang sejalan dengan regulator subsistem dari individu yang memperhatikan keseimbangan. Untuk mempertahankan sistem, stabilizer

subsistem terlibat dalam struktur organisasi, nilai budaya dan pengaturan dari aktivitas sehari-hari dan memperhatikan kreatifitas, perubahan dan pertumbuhan.

Perawat merupakan salah satu faktor penentu kualitas pelayanan di rumah sakit. Pihak rumah sakit perlu mempertahankan tenaga keperawatan, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan. Manajer keperawatan perlu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif sehingga perawat dapat beradaptasi terhadap lingkungan kerjanya dari berbagai stimulus yang ada. Untuk dapat beradaptasi dengan baik, perawat perlu di motivasi dalam bekerja.

Faktor pendorong penting yang menyebabkan manusia bekerja, adalah adanya kebutuhan yang harus dipenuhi. Aktifitas dalam kerja mengandung unsur suatu kegiatan sosial, menghasilkan sesuatu, dan pada akhirnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Namun demikian, dibalik dari tujuan yang tidak langsung tersebut, orang bekerja juga untuk mendapatkan imbalan, upah atau gaji dari hasil kerjanya. Jadi pada hakekatnya orang bekerja, tidak saja untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya tapi juga untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Menurut Smith dan Wakeley dalam As’ad (2004) menyatakan


(57)

bahwa seseorang didorong untuk beraktivitas karena dia berharap bahwa hal ini akan membawa pada keadaan yang lebih memuaskan daripada keadaaan sekarang.

Maslow (1970 dalam Marquis & Huston, 2002) menyakini bahwa orang termotivasi untuk memuaskan kebutuhan tertentu, mulai dari kebutuhan bertahan hidup dasar sampai kebutuhan psikologis kompleks, dan bahwa orang mencari kebutuhan yang lebih tinggi saat kebutuhan yang lebih rendah terpenuhi secara dominan. Inti teori Maslow adalah bahwa kebutuhan tersusun dalam suatu hirarki yang dikenal dengan hierarki kebutuhan Maslow. Ada lima tingkatan atau hierarki kebutuhan yaitu: (1) kebutuhan fisiologis (physiological needs) yaitu kebutuhan seseorang akan makanan, minuman, tempat berteduh, seks, dan kebutuhan fisik lainya, (2) kebutuhan keamanan (safety needs) yaitu kebutuhan seseorang akan keamanan dan perlindungan dari kejahatan fisik dan emosional, serta jaminan bahwa kebutuhan fisik akan terus terpenuhi, (3) kebutuhan sosial (social needs)

yaitu kebutuhan seseorang akan kasih sayang, rasa memiliki, penerimaan, dan persahabatan, (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs) yaitu kebutuhan seseorang akan faktor-faktor penghargaan internal, seperti harga diri, otonomi, dan prestasi, serta faktor-faktor penghargaan eksternal, seperti status, pengakuan, dan perhatian, (5) aktualisasi diri (self actualization) yaitu kebutuhan seseorang akan pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri, dorongan untuk mampu menjadi apa yang diinginkan (Ivancevich, Konopaske, Matteson, 2006; Marquis & Huston, 2002; Stephen & Coulter, 2010; Swanburg, 2000).


(58)

kerja yang tidak memuaskan seperti beban kerja tinggi, kelelahan kerja, yang pada akhirnya dapat menimbulkan stres kerja. Hal ini akan membuat perawat tidak mampu beradaptasi terhadap lingkungan tersebut yang menyebabkan perawat keluar dan mencari pekerjan lain yang bisa memenuhi kebutuhannya.

2.4 Konsep Studi Fenomenologi

Fenomenologi adalah metode penyelidikan kualitatif di mana para peneliti berusaha menemukan makna pengalaman hidup manusia karena mereka ada di dunia (Morse & Field, 1995 dalam Chamberlain, 2009).

Fenomenologi berakar pada tradisi filsafat yang dikembangkan oleh Husserl (1859-1938) dan Heidegger (1889-1976) yang merupakan sebuah pendekatan untuk menemukan makna pengalaman hidup masyarakat (Husserl 1965, Giorgi 1985, Sadala & Adorno 2001 dalam Koivisto, et al., 2002; Polit & Beck, 2008). Fenomenologi seperti yang dibahas oleh Husserl (2000) berarti kembali ke dunia hidup, dunia pengalaman, dimana ia melihat itu merupakan langkah awal untuk semua ilmu pengetahuan. Fenomenologi mengemukakan bahwa fenomena digambarkan bukannya dijelaskan atau memiliki hubungan sebab akibat yang dicari, dan berfokus pada sesuatu yang mereka perlihatkan sendiri (Sadala & Adorno, 2002). Metode fenomenologis menurut Giorgi (1985), dimulai dengan menggambarkan situasi yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.

Ada dua jenis fenomenologi yaitu fenomenologi deskriptif dan interpretatif fenomenologi. Fenomenologi deskriptif dikembangkan pertama kali oleh Husserl (1965). Filosofinya menekankan deskripsi tentang makna pengalaman manusia (Husserl 1965, Giorgi 1985, Sadala & Adorno, 2001). Husserl (1965)


(59)

mengembangkan metode filosofis sistematis menyelidiki struktur kesadaran (esensi). Inti dari fenomenologi adalah intensionalitas kesadaran, dipahami sebagai arah kesadaran menuju pemahaman dunia. Niat ini diaktifkan terhadap dunia yang tidak termasuk atau memiliki, tapi ke arah yang selalu berubah. Oleh karena itu, tidak ada kesadaran tanpa dunia, juga tidak ada dunia tanpa kesadaran. Melalui intensionalitas kesadaran semua tindakan, gerak tubuh, kebiasaan dan tindakan manusia memiliki arti. Kesadaran melalui intensionalitas tersebut, dipahami sebagai agen yang berkontribusi memberi makna terhadap objek. Tanpa makna ini mustahil untuk berbicara baik tentang suatu objek atau esensi objek (Sadala & Adorno, 2002).

Berbeda dengan pendapat Husserl (1965), Heidegger (1962) menekankan fenomenologi interpretatif yang terletak pada penafsiran dan pemahaman, bukan hanya menggambarkan pengalaman manusia. Fokus penyelidikan fenomenologis kemudian pada makna dari pengalaman orang-orang dalam hal fenomena (fenomenologi deskriptif) dan bagaimana pengalaman-pengalaman ditafsirkan (hermeneutika) (Polit & Beck, 2012).

Fenomenologis percaya bahwa pengalaman hidup memberi makna pada persepsi masing-masing orang dari suatu fenomena tertentu. Tujuan penyelidikan fenomenologis adalah untuk sepenuhnya menggambarkan pengalaman hidup dan persepsi yang memberikan kenaikan. Dalam sebuah studi fenomenologis, sumber data utama adalah percakapan mendalam dengan para peneliti dan informan sebagai coparticipants penuh. Peneliti membantu informan untuk menggambarkan pengalaman hidup tanpa memimpin diskusi. Melalui percakapan


(60)

mendalam, peneliti berusaha untuk bisa masuk kedalam dunia informan, untuk memiliki akses penuh ke pengalaman hidup mereka. Kadang-kadang dua wawancara atau percakapan terpisah mungkin diperlukan. Untuk beberapa peneliti fenomenologis, penyelidikan tidak hanya mencakup mengumpulkan informasi dari informan, tetapi juga upaya untuk mengalami fenomena dengan cara yang sama, biasanya melalui partisipasi, observasi, dan refleksi introspektif (Polit & Beck, 2012).

Meskipun ada sejumlah interpretasi metodologi fenomenologi, penelitian deskriptif fenomenologis sering melibatkan empat langkah berikut: bracketing, intuisi, menganalisis, dan menjelaskan. Bracketing mengacu pada proses mengidentifikasi dan menahan terhadap penundaan keyakinan yang terbentuk sebelumnya dan opini yang objektif tentang fenomena yang diteliti. Meskipun bracketing tidak pernah dapat dicapai sepenuhnya, peneliti menahan keluar dunia dan prasangka sejauh mungkin, sehingga untuk menghadapi data dalam bentuk murni. Bracketing adalah proses berulang-ulang yang melibatkan mempersiapkan, mengevaluasi, dan memberikan umpan balik sistematis yang sedang berlangsung tentang efektivitas bracketing tersebut. Porter (1993) percaya bahwa bracketing

dapat mengakibatkan penggunaan yang lebih produktif waktu peneliti jika mereka mencoba untuk memahami dampak dari pengalaman mereka daripada mengeluarkan energi mencoba untuk menghilangkannya (Polit & Beck, 2012).

Intuisi, langkah kedua dalam fenomenologi deskriptif, terjadi ketika para peneliti tetap terbuka untuk mengaitkan makna dengan fenomena yang telah dialami oleh orang-orang tersebut. Peneliti fenomenologis kemudian dilanjutkan


(61)

ke tahap analisis yaitu, mengeluarkan pernyataan yang signifikan, mengkategorikan, dan membuat tema penting dari fenomena tersebut. Akhirnya, fase deskriptif terjadi ketika peneliti datang untuk memahami dan mendefinisikan fenomena tersebut. Perhatikan bahwa perbedaan penting antara fenomenologi deskriptif dan interpretatif adalah dalam studi fenomenologis interpretatif, bracketing tidak terjadi (Polit & Beck, 2012).


(62)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah fenomenologi deskriptif. Dalam desain penelitian kualitatif peneliti tertarik pada arti dari bagaimana orang memaknai hidup mereka, pengalaman yang mereka miliki dan bagaimana mereka melihat struktur dunia mereka (Creswell, 1994). Tujuan dari desain deskriptif adalah untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat mengenai fenomena yang sedang dikaji (Payton, 1994). Penelitian ini berusaha untuk mengeksplorasi dan menjelaskan bagaimana fenomena turnover yang dialami oleh perawat pelaksana di rumah sakit swasta. Pendekatan ini berusaha masuk kedalam pengalaman seseorang secara menyeluruh, memaparkan struktur pengalamannya, dan berusaha menangkap tema-tema utama dan pemaknaan orang tersebut tentang pengalamannya sehingga diperoleh informasi secara mendalam terhadap fenomena turnover dirumah sakit tersebut (Hallet, 1995 dalam Koivisto, et al., 2002). Peneliti memberikan kesempatan bagi perawat untuk mengungkapkan perasaan tentang pengalaman-pengalaman perawat selama bekerja di rumah sakit swasta dan alasan perawat membuat keputusan untuk meninggalkan rumah sakit tersebut atau bertahan di situ.


(63)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di rumah sakit swasta di kota Medan, yaitu rumah sakit Martha Friska, Sari Mutiara, dan Mitra Sejati. Rumah sakit swata dijadikan lokasi penelitian mengingat rumah sakit swasta merupakan rumah sakit dengan tingkat turnover yang lebih tinggi di bandingkan rumah sakit pendidikan maupun pemerintahan.

Rumah Sakit Martha Friska berdiri sejak tanggal 2 Maret 1981 yang dikategorikan sebagai rumah sakit umum swasta utama setara dengan kelas B non pendidikan, yang berada di jalan Kolonel Yos Sudarso no. 91 Brayan Kota, Kelurahan Tanjung Mulia, Kecamatan Medan Deli, Kotamadya Medan, Propinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit Martha Friska melayani masyarakat umum dan karyawan-karyawan perusahaan serta keluarganya di daerah Sumatera Utara bahkan sebagian dari Propinsi Aceh. Selain itu RS Martha Friska juga melayani peserta askes sosial, askes komersial atau asuransi inhealth, jamsostek, jamkesmas dan asuransi-asuransi swasta lainnya.

Rumah Sakit Sari Mutiara berdiri sejak tanggal 23 September 1963 dan merupakan rumah sakit swasta tipe madya, yang berada di jalan Kapten Muslim no. 70 Dwikora, Kecamatan Medan Helvetia, Kotamadya Medan, Propinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit Sari Mutiara melayani masyarakat umum dan karyawan-karyawan perusahaan serta keluarganya di daerah Sumatera Utara. Rumah Sakit Mitra Sejati.


(64)

Rumah Sakit Mitra Sejati berdiri sejak tanggal 10 Oktober 2001 yang dikategorikan sebagai rumah sakit swasta tipe madya, berada di jalan Jenderal Besar A. H. Nasution no.7 Medan, Kelurahan Pangkalan Mansyur, Kecamatan Medan Johor, Kotamadya Medan, Propinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit Mitra Sejati melayani melayani masyarakat umum dan karyawan-karyawan perusahaan serta keluarganya di daerah Sumatera Utara. Selain itu RS Mitra Sejati juga melayani peserta askes, inhealth, jamsostek, jamkesmas, medan sehat dan asuransi-asuransi swasta lainnya. Pasien yang datang selain dari wilayah propinsi Sumatera Utara, beberapa rekanan perusahaan yang berdomisili di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam juga ada merajuk karyawan-karyawan.

3.2.2 Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan secara bertahap mulai dengan penyusunan proposal tesis pada bulan September 2013, seminar proposal tesis pada tanggal 21 April 2014 dan dilanjutkan pengumpulan data pada tanggal 12 Mei sampai dengan 21 Juni 2014.

3.3 Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah perawat pelaksana yang telah keluar ataupun pindah dan perawat yang masih bekerja di salah satu rumah sakit swasta di kota Medan ke rumah sakit atau tempat lainnya. Jumlah partisipan dalam penelitian ini hingga mencapai saturasi data adalah 16 orang. Saturasi data yang terjadi dalam penelitian ini yaitu informasi yang ditemukan mengalami pengulangan (repetitive) secara isinya dan mempunyai makna yang sama dengan


(65)

partisipan-partisipan sebelumnya sehingga tidak ada informasi baru yang dapat diambil melalui pengumpulan data lebih lanjut (Polit & Beck, 2012).

Pemilihan partisipan dilakukan dengan tehnik purposive sampling. Ini berarti bahwa partisipan yang dipilih telah memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan peneliti. Adapun kriteria inklusinya adalah: (1) telah bekerja dalam jangka waktu minimal enam bulan dirumah sakit sebelumnya, (2) telah keluar dari rumah sakit swasta maksimal satu tahun, (3) mampu menceritakan pengalamannya, (4) bersedia diwawancara. (5) sukarela, dan (6) tidak dibawah tekanan.

3.4 Pengumpulan Data

3.4.1 Metode pengumpulan data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara mendalam (indepth interview) dengan durasi waktu selama 60-90 menit. Wawancara mendalam dilakukan untuk memperoleh data tentang fenomena turnover yang dialami oleh perawat pelaksana dirumah sakit swasta. Wawancara mendalam dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun pertanyaaan terbuka yang memungkinkan partisipan mengungkapkan pengalamannya secara lebih mendetail. Pertanyaan penelitian dikembangkan dengan menggunakan tehnik probing, artinya peneliti menindaklanjuti topik yang terungkap dengan cara menanyakan pertanyaan spesifik, mendorong partisipan untuk menerangkan rincian pengalaman, dan meminta penjelasan lanjut mengenai ucapan partisipan. Wawancara direkam menggunakan alat bantu voice recorder.


(66)

3.4.2 Alat pengumpulan data

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner data demografi, pedoman wawancara, dan field note. Selain itu, peneliti merupakan alat pengumpulan data utama dalam penelitian ini. Peneliti melakukan studi fenomenologi dengan menggunakan dirinya sendiri untuk mengumpulkan deskripsi yang kaya tentang pengalaman perawat dan mengembangkan hubungan antara peneliti dan partisipan melalui wawancara intensif (Polit & Beck, 2012).

Kuesioner data demografi terdiri dari inisial, jenis kelamin, usia, agama, lama bekerja, pendidikan, status pernikahan, dan tempat bekerja partisipan sebelumnya. Untuk pedoman wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini, peneliti menyusun sendiri berdasarkan studi literatur yang ada. Pedoman wawancara berisi tentang pengalaman perawat yang mengalami turnover dirumah sakit swasta di Kota Medan yang terdiri dari empat item pertanyaan. Pedoman wawancara telah dilakukan content validity dengan tiga ahli. Hasil content validity index (CVI) untuk panduan wawancara adalah 0,93. Hal ini bermakna bahwa panduan wawancara memiliki isi yang valid (CVI > 0,8).

Field note (catatan lapangan) merupakan catatan tertulis tentang apa yang peneliti lihat, dengar, dan rasakan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif. Catatan lapangan berupa dokumentasi respon non verbal selama proses wawancara berlangsung (Polit & Beck, 2012). Hasil catatan lapangan dalam penelitian ini berisi tanggal, waktu, suasana tempat, deskripsi atau gambaran partisipan, serta respon non verbal partisipan selama proses wawancara.


(67)

3.4.3 Prosedur pengumpulan data

Pengumpulan data dimulai dengan terlebih dahulu mendapatkan surat keterangan lulus uji etik (ethical clearence) dari Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan izin melakukan penelitian dari Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya surat tersebut diserahkan kepihak rumah sakit untuk mendapatkan izin penelitian. Berdasarkan izin tersebut, peneliti menjumpai pihak diklat rumah sakit untuk mendapatkan data perawat yang masih bekerja dan yang sudah keluar dari rumah sakit tersebut dengan terlebih dahulu menjelaskan tentang maksud dan tujuannya.

Sebelum melakukan wawancara terhadap partisipan pertama, peneliti telah melakukan pilot study yang bertujuan sebagai latihan dalam melakukan teknik dan analisa transkrip wawancara. Pilot study dilakukan pada satu partisipan. Setelah itu, hasil wawancara dari pilot study dibuat dalam bentuk transkrip dan kemudian dilakukan analisa. Selanjutnya dikonsultasikan dengan pembimbing. Setelah mendapat persetujuan pembimbing, kemudian peneliti melanjutkan wawancara kepada partisipan berikutnya.

Sebelum melakukan wawancara, peneliti melakukan pendekatan (prolonged engagement) dengan partisipan selama kurang lebih dua minggu sebanyak 3 kali pertemuan. Pendekatan (prolonged engagement) bertujuan untuk membina dan meningkatkan hubungan saling percaya antara peneliti dan partisipan sehingga memudahkan dalam proses wawancara. Pada tahap ini, peneliti menghubungi partisipan berdasarkan kontak person yang didapatkan dari pihak rumah sakit.


(68)

Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud dan tujuan, serta pengumpulan data yang akan dilakukan kepada partisipan.

Setelah melakukan prolonged engagement, peneliti menjumpai partisipan dan memberikan lembar persetujuan (informed consent) untuk mendapatkan persetujuan dalam penelitian ini yang harus ditandatangani oleh partisipan. Setelah itu, peneliti membuat kontrak waktu dan tempat untuk melakukan wawancara. Peneliti melakukan wawancara mendalam kepada partisipan dengan durasi waktu 60-90 menit sesuai dengan waktu dan tempat yang telah disepakati bersama. Peneliti meminta izin kepada partisispan untuk merekam percakapan selama wawancara. Wawancara direkam dengan menggunakan alat bantu voice recorder. Pertanyaan wawancara ditanyakan berdasarkan panduan wawancara yang telah disusun dan di lanjutkan dengan tehnik probing.

Pada saat wawancara berlangsung, peneliti memberikan kesempatan kepada partisipan untuk mengingat dan menceritakan kembali pengalaman yang dialaminya terkait turnover dengan menggunakan tehnik diam (silence). Peneliti berupaya tidak mengarahkan jawaban partisipan dengan membiarkan partisipan mengungkapkan pengalamannya secara bebas terkait pertanyaan yang diajukan selama proses wawancara sehingga diperoleh informasi yang alamiah sesuai dengan pengalaman partisipan. Peneliti mengklarifikasi kembali jawaban ataupun pernyataan partisipan apabila ada jawaban ataupun pernyataan yang kurang jelas selama proses wawancara berlangsung.


(69)

Setelah wawancara selesai, peneliti meminta izin dan mengucapkan terimakasih kepada partisipan atas kesediaannya menjadi partisipan dan memberikan informasi yang diperlukan peneliti dalam penelitian ini.

3.5 Variabel dan Definisi Operasional

Variabel yang diteliti adalah turnover perawat pelaksana di rumah sakit swasta. Definisi operasional terhadap turnover perawat pelaksana di rumah sakit swasta adalah pengalaman keluarnya perawat pelaksana yang bekerja di salah satu rumah sakit swasta di kota Medan dari pekerjaan mereka, baik secara sukarela (keinginan sendiri) ataupun tidak sukarela (paksaan).

3.6 Metode Analisis Data

Metode analisis dalam penelitian ini adalah metode analisis Giorgi (1985) yang bertujuan untuk mengungkap makna fenomena seperti yang dialami oleh manusia melalui identifikasi tema penting. Metode analisis Giorgi (1985) adalah proses yang jelas, yang memberikan struktur untuk analisis dan membenarkan keputusan yang dibuat ketika menganalisis data. Unsur utama dari pendekatan fenomenologis adalah proses rasional dan intuitif, dan nilai fokus fenomenologis terletak pada aspek subyektif dan khususnya pengalaman aktual partisipan (Hallet, 1995 dalam Koivisto, et al., 2002).

Adapun tahapan analisis Giorgi (1985 dalam Zyblock, 2009; Polit & Beck, 2012) yaitu:

1. Membaca seluruh transkrip yang diperoleh dari rekaman wawancara, transkrip dibaca beberapa kali untuk memperoleh gambaran umum tentang seluruh pernyataan-pernyataan partisipan.


(70)

2. Menentukan pernyataan yang signifikan dan dilakukan pengkodean, kemudian beberapa pernyataan yang mempunyai makna yang sama digabungkan menjadi satu katagori, sedangkan pernyataan yang berbeda dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai katagori yang baru atau dihilangkan. Selanjutnya peneliti mengelompokkan katagori yang saling berhubungan yang nantinya akan membentuk tema.

3. Membaca tema yang sudah diperoleh dan harus disesuaikan dengan tujuan penelitian.

4. Mengintegrasikan dan mensintesis data ke dalam struktur deskriptif yang menyeluruh mengenai makna dan esensi pengalaman para partisipan.

3.7 Keabsahan Data (Trusthworthiness of Data)

Hasil penelitian kualitatif dipandang memenuhi kriteria jika memiliki kepercayaan tertentu. Untuk memastikan kepercayaan tersebut, peneliti perlu menetapkan keabsahan (trustworthiness) data. Lincoln dan Guba (1985) menentukan empat kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan keabsahan data, yaitu credibility, dependability, confirmability, transferability.

Credibility dipenuhi peneliti dengan menggunakan tehnik prolonged engagement, hasil rekaman, transkrip, dan catatan lapangan yang komprehensif, serta member checking. Prolonged engagement dilakukan dengan mengadakan pertemuan dengan partisipan selama dua minggu sebelum pengumpulan data dilakukan. Dalam rentang waktu dua minggu tersebut, peneliti akan menghubungi partisipan, kemudian membuat janji untuk melakukan pertemuan. Peneliti memperkenalkan diri dan menceritakan sedikit tentang diri peneliti serta tujuan


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)