Tabel 2.1 Dampak dari kegiatan manusia terhadap ekosistem lamun Lanjutan
No Kegiatan
Dampak b. Tumbuh suburnya blooming fitoplankton ganggang renik
yang hidup melayang-layang dalam air yang akan meningkatkan kekeruhan air sehingga menghalangi
penetrasi cahaya ke dalam air yang dapat menghambat laju fotosintesis ekosistem lamun dan menyebabkan
menurunnya produktivitas ekosistem lamun. c. Tumbuh suburnya ganggang renik bersel tunggal yang
hidup melekat di permukaan daun-daun lamun, sehingga seluruh permukaan daun tertutup oleh ganggang, sehingga
menghalangi daun menerima cahaya, dengan akibat terhentinya proses fotosintesis dan matinya ekosistem
lamun. 3 Pencemaran oleh limbah
industri terutama logam berat.
a. Limbah industri mampu mengakibatkan kerusakan pada ekosistem lamun akibat kadar logam berat yang berlebih.
Kadar logam berat dalam ekosistem lamun jauh lebih besar daripada kadarnya dalam air dapat meracuni hewan yang
makan ekosistem lamun atau detritus yang berasal dari ekosistem lamun sehingga mematikan biota-biota laut yang
berasosiasi dengan ekosistem lamun. 4 Pencemaran minyak
a. Lapisan minyak pada daun lamun menghalangi cahaya untuk sampai ke permukaan daun dan menembusnya, dan
dengan demikian ekosistem lamun tidak dapat berfotosintesis sehingga mengakibatkan kematian pada
ekosistem lamun. Sumber: Berwick 1993 dalam Dahuri 1996
2.4 Penelitian Terdahulu
Govindasamy et al. 2013 melakukan kajian mengenai “Seasonal Variations in Seagrass Biomass and Productivity in Palk Bay, Bay of Bengal,
India ”. Hasil dari kajian tersebut menjelaskan tentang siklus hidup dan parameter
yang mempengaruhi pertumbuhan lamun, produktivitas, dan biomassa. Lamun tidak hanya bermanfaat bagi biota laut, tetapi juga untuk masyarakat. Sebagian
besar masyarakat bergantung pada ekosistem lamun untuk kebutuhan sehari-hari seperti sebagai makanan dan sumber penghasilan di sepanjang pantai di daerah
tropis. Spesies lamun yang dominan di wilayah ini adalah Cymodocea serrulata dan Syringodium isoetifolium. Variasi musiman dalam biomassa, produktivitas,
daun kanopi tinggi dan kepadatan dapat dipengaruhi oleh variabel abiotik dan faktor nutrisi. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa partikulat
karbon organik, fosfat anorganik dan organik nitrogen sebesar p0,001 maka
mampu mempengaruhi peningkatan biomassa, produktivitas, kanopi daun tinggi dan kepadatan.
Topik penelitian mengenai valuasi ekonomi ekosistem lamun dapat ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Hadad 2012 yang berjudul
“Valuasi Ekonomi Ekosistem Lamun Pulau Waidoba Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara”. Penelitian dilakukan untuk mengetahui nilai
manfaat dari ekosistem lamun agar terwujud kelestarian terhadap biota-biota laut. Hasil dari rekapitulasi nilai ekonomi ekosistem lamun di Pulau Waidoba,
Kecamatan Kayao Selatan menunjukkan total nilai ekonomi total economic
value dengan luas ekosistem lamun 240,2 ha mencapai Rp 255.324.598.410,00
per tahun. Nilai ekonomi ini terdiri dari nilai ekonomi manfaat langsung use value
sebesar Rp 241.054.041.785,00 per tahun, nilai ekonomi manfaat tak langsung direct use value sebesar Rp 4.694.820.081,00 per tahun, nilai
keberadaan existence value sebesar Rp 9.448.756.247,00 per tahun, nilai pilihan option value sebesar Rp 33.766.994,00 per tahun dan nilai warisan bequest
value sebesar Rp 93.213.303,00 per tahun.
Lukmana 2012 melakukan penelitian tentang “Valuasi Nilai Ekonomi Total Hutan Mangrove” yang berlokasi di Pulau Penjaliran Timur, Taman
Nasional Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Penelitian ini menjelaskan bahwa hutan mangrove memiliki berbagai manfaat dan nilai guna yang sangat penting yaitu
potensi ekologi, biologi, dan ekonomi. Nilai dari hutan mangrove dihitung berdasarkan nilai ekonomi total. Nilai ekonomi total terdiri dari 5 komponen, 2
komponennya yaitu komponen manfaat langsung dan manfaat pewarisan tidak diikutsertakan dalam bahasan peneliti. Hasil perhitungan nilai ekonomi total dari
hutan mangrove di Pulau Penjaliran Timur, dimana luas mangrove seluas 6,5 ha sebesar Rp 520.216.354,51 pada tahun 2011. Berdasarkan perhitungan yang
dilakukan peneliti, nilai guna memberikan kontribusi lebih besar daripada nilai non-guna. Kajian mengenai nilai komponen manfaat keberadaan hutan mangrove
di Pulau Penjaliran Timur, Taman Nasional Kepulauan Seribu, DKI Jakarta menggunakan pendekatan Contingent Valuation Method CVM. Metode tersebut
akan menggambarkan kesediaan seseorang untuk membayar suatu sumberdaya agar terjaga kelestariannya. Dalam penelitian ini menunjukkan faktor-faktor yang
mempengaruhi kesediaan membayar terhadap hutan mangrove yaitu tingkat pendapatan masyarakat yang tinggi, umur, pendidikan, dan tingkat informasi
mengenai manfaat serta nilai guna hutan mangrove.
Kopalit 2010 melakukan “Kajian Kerusakan Ekosistem Padang Lamun di Teluk Youtefa melalui Pendekatan Ekologi”. Hasil penelitian tersebut
menjelaskan bahwa kondisi ekosistem lamun di perairan pesisir Indonesia telah mengalami kerusakan sebesar 30-40. Kondisi ekosistem lamun telah
mengalami kerusakan yang cukup serius di Pesisir Pulau Jawa akibat pembuangan limbah dan pertambahan jumlah penduduk. Kerusakan yang terjadi pada
ekosistem lamun sebesar 60, diduga struktur komunitas dari padang lamun di Teluk Youtefa mengalami penurunan karena adanya aktivitas manusia seperti
dibuatnya jalur transportasi, eksploitasi sumberdaya laut seperti teripang sea
cucumber , dan penangkapan ikan dengan jaring yang merusak ekosistem lamun.
Yunita 2010 meneliti tentang “Estimasi Nilai Klaim Kerusakan Ekosistem Padang Lamun dengan Metode Habitat Equivalency Analysis” di Pantai Barat
Teluk Banten, Kecamatan Bojonegara. Hasil penelitian ini menggambarkan terjadinya kerusakan pada padang lamun yang ditandai dengan adanya penurunan
luas padang lamun. Faktor utama terjadinya kerusakan ekosistem lamun di Pantai Barat Teluk Banten adalah kegiatan reklamasi pantai. Metode Habitat
Equivalency Analysis pada penelitian ini digunakan untuk kompensasi kerusakan
padang lamun dan lama restorasi yang akan dibutuhkan. Perhitungan Habitat Equivalency Analysis
tingkat suku bunga yang digunakan yaitu tingkat suku bunga yang rendah karena hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi
suku bunga yang dipakai maka semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh padang lamun untuk pulih pada kondisi awalnya maka luas yang harus dikompensasi akan
semakin tinggi. Akibatnya eksploitasi sumberdaya dimasa lalu akan meningkatkan biaya ganti rugi di masa sekarang.
Anggraeni 2008 meneliti tentang “Valuasi Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Taman Nasional Karimunjawa”. Hasil dari penelitian ini menjelaskan
bahwa terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa mempunyai manfaat sebagai kawasan untuk kegiatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan
kegiatan parawisata, akan tetapi pemanfaatan utama di kawasan ini adalah sebagai
kawasan kegiatan perikanan tangkap. Nilai ekonomi total pada ekosistem terumbu karang dapat dihitung dengan mengidentifikasi komponen manfaat langsung,
manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, manfaat warisan, dan manfaat keberadaan. Terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa seluas 713.107 ha
memiliki nilai ekonomi total sebesar Rp 17.502.480.854,99 per tahun atau Rp 24.543.872,41 per ha per tahun. Nilai manfaat langsung menyumbang nilai lebih
besar daripada manfaat tidak langsung dalam nilai ekonomi total terumbu karang. Manfaat langsung yang menyumbangkan nilai ekonomi terbesar diantaranya
berasal dari perikanan tangkap sebesar Rp 12.139.633.789,33 69,4, perikanan budidaya sebesar Rp 1.613.178.198,15 9,2, dan kegiatan pariwisata sebesar Rp
77.536.080,16 0,4.
Pengelolaan terhadap terumbu karang untuk menjaga nilai dari manfaat yang diberikan ekosistem terumbu karang perlu dilakukan. Penelitian ini
memberikan 3 alternatif pengelolaan yaitu pertama, kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang diasumsikan berjalan seperti selama ini kegiatan
perikanan laut, pariwisata bahari, dan penelitian. Kedua, kegiatan perikanan tangkap menerapkan sistem pengelolaan perikanan yang berkelanjutan yaitu
menerapkan pengaturan jenis alat tangkap. Ketiga, kegiatan perikanan dan pariwisata hanya diperbolehkan pada blok pemanfaatan perikanan dan pariwisata
yang telah ditetapkan oleh balai taman nasional. Matriks penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Matriks penelitian terdahulu
No Nama
Tahun Judul Penelitian Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu
1 Govindasamy, et al
. 2013 Seasonal
Variations in Seagrass Biomass
and Productivity in Palk Bay, Bay
of Bengal, India. a. Peneliti
hanya membahas
mengenai manfaat dan potensi dari ekosistem lamun akan tetapi tidak
menghitung nilai ekonomi dan alternatif pengelolaan ekosistem
lamun agar keberadaannya tetap terjaga.
2 Hadad 2012 Valuasi Ekonomi
Ekosistem Lamun Pulau Waidoba
Kabupaten Halmahera
Selatan Provinsi Maluku Utara.
b. Peneliti hanya
membahas mengenai nilai manfaat dari
ekosistem lamun tidak membahas mengenai nilai kerusakan dari
ekosistem lamun. c. Peneliti tidak membahas mengenai
alternatif yang tepat digunakan untuk mengelola ekosistem lamun
di Pulau Waidoba Kabupaten Halmahera
Selatan Provinsi
Maluku Utara.