Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Pola Kemitraan

Tabel 7 Distribusi responden berdasarkan pekerjaan utama Jenis Pekerjaan Utama Desa Mekarjaya Kelurahan Urug Desa Leuwibudah Total n n n n Petaniburuh tani 23 77 27 90 26 87 76 85 Peternak - - 1 3 - - 1 1 Pedagang 3 10 - - - - 3 3 Buruh 4 13 2 7 4 13 10 11 Total 30 100 30 100 30 100 90 100 Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari selain menjadi petani, responden pada umumnya memiliki pekerjaan tambahan yang usahanya lebih cepat menghasilkan dari usaha tani dan hutan rakyat. Umumnya pekerjaan tambahan tersebut adalah menjadi buruh tani, pengrajin bordir dan berdagang. Sebagian besar petani sebanyak 62 memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh tani, pedagang makananminuman dan buruh bangunan. Sedangkan sebanyak 38 responden tidak mempunyai pekerjaan sampingan. Hal ini dikarenakan umumnya istri responden bekerja home industri sebagai buruh pengrajin bordir Tabel 8 Tabel 8 Distribusi responden berdasarkan pekerjaan sampingan Jenis Pekerjaan Sampingan Desa Mekarjaya Kelurahan Urug Desa Leuwibudah Total n n n n Tidak memiliki pekerjaan sampingan 13 43 13 43 8 27 34 38 PetaniBuruh tani 7 23 5 17 17 56 29 32 Pedagang - - 5 17 5 17 10 11 Buruh 10 34 7 23 - - 17 19 Total 30 100 30 100 30 90 100

5.2 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Pola Kemitraan

Sejak dikeluarkannya ketetapan MPR No. XVI 1998 tentang Politik Ekonomi yang menyatakan bahwa ekonomi nasional diarahkan untuk menciptakan struktur ekonomi nasional supaya terwujud pengusaha menengah dalam jumlah besar dan kuat. Di dalam ekonomi nasional harus terbentuk keterkaitan dan kemitraan yang saling menguntungkan dan saling memperkuat antar pelaku ekonomi. TAP. MPR tersebut mendorong BUMS dan BUMN melakukan kegiatan kemitraan agrobisnis disubsektoral perkebunan dan kehutanan. Disusul dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan N0.318Kpts-II1999 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pengusahaan Hutan dan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.107Kpts-II1999 tentang Perizinan Usaha Perkebunan mengenai pola kemitraan di bidang kehutanan dan perkebunan, serta keadaan subsektor kehutanan Indonesia yang mengalami kenaikan pasokan kayu bulat dari pengadaan kayu sumber illegal, semi illegal dan tidak lestari. Setelah lima sampai sepuluh tahun mendatang diperkirakan akan mengalami kekurangan bahan baku untuk industri pengolahan kayu karena laju deforestasi pengurangan luas hutan. Deforestasi diakibatkan oleh pemanfaatan hutan yang kurang bertanggung jawab yang telah mengakibatkan berkurangnya sumberdaya hutan secara drastis. Beberapa perusahaan yang tetap ingin berusaha dibidang kehutanan sudah menyadari kecenderungan ini, salah satunya adalah PT. BKL Group. Untuk menangani masalah pasokan bahan baku, PT. BKL Group telah mendirikan Paguyuban Sabanda Sariksa yang merupakan kumpulan para pemasok bahan baku. Kemudian mendirikan Unit Pengendalian dan Pengamanan Bahan Baku, PT. BSL, PT. BLL dan PT. BIL. Sistem Kemitraan yang ditetapkan oleh PT. BKL Group adalah sistem kemitraan “Dealer dan Ranting”. Kerjasama yang dilakukan PT. BKL Group selain memberikan sarana produksi bahan baku sawntimber kepada mitra, PT. BKL Group juga memberikan modal kerja, bibit tanaman dan biaya pemeliharaan. Dalam mencapai kesuksesan program kemitraan ini, PT. BKL Group bekerjasama dengan perusahaan BUMN yang telah terlebih dahulu melakukan sistem kemitraan dengan masyarakat dalam pengelolaan hutannya yaitu Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten dengan program kerjasama PHBM melakukan penanaman pada lahan Perhutani yang melibatkan 50 Polhutan dan 5.000 MDH masyarakat desa hutan untuk lahan seluas 1.250 Ha. Dari berbagai pola kemitraan yang dilakukan oleh PT. BKL Group ada tiga pola kemitraan yang menarik untuk diteliti, yaitu: 1. Pola kemitraan antara PT. BKL Group, KPH Tasikmalaya dan petani penggarap di Desa Mekarjaya Kec. Sukaraja Kab. Tasikmalaya KTH Mawarsari RPH Sukaraja BKPH Singaparna. Besarnya bagi hasil yang diberikan pada masing masing mitra adalah 50 untuk KPH Tasikmalaya, 30 untuk BKL Group dan 20 untuk petani. Besarnya bagi hasil yang diberikan disesuaikan dengan besarnya biayapengorbanan yang diberikan oleh masing-masing mitra. Pada kemitraan ini KPH Tasikmalaya merupakan pihak yang memiliki lahan garapan dan menanggung 50 biaya perencanaan, persiapan lahan, penjarangan, persiapan penebangan, perlindungan, pembinaan sumberdaya hutan, monitoring evaluasi dan bimbingan teknis. Sedangkan PT. BKL Group menanggung biaya penyediaan bibit, biaya pengangkutan bibit sampai ke lokasi dan 50 biaya penanaman, perlindungan, pembinaan sumberdaya hutan, monitoring evaluasi dan bimbingan teknis. Petani menanggunga biaya pengolahan lahan sampai penanaman dan pemeliharaan pada tahun ke dua dan ke tiga. 2. Pola kemitraan antara PT. BKL Group, Perhutani, LMDH dan petani pengarap di Kelurahan Urug Kota Tasikmalaya serta KTH Urug RPH Sukaraja BKPH Singaparna KPH Tasikmalaya. Besarnya bagi hasil yang diperoleh masing-masing mitra adalah 48 untuk KPH Tasikmalaya, 30 untuk PT. BKL Group, 20 untuk Petani dan 2 untuk LMDH Saronge. Komposisi pembagian biaya hampir sama dengan pola kemitraan di Desa Mekarjaya, hanya saja berbeda di biaya perlindungan hutan. 3. Pola kemitraan antara PT. BKL Group dan petani sebagai pemilik lahan di Desa Leuwibudah Kec. Sukaraja Kab. Tasikmalaya. Besarnya bagi hasil yang diperoleh masing-masing adalah 75 untuk petani dan 25 untuk PT. BKL Group. Tanggungan biaya yang dikeluarkan oleh PT. BKL Group terdiri dari biaya penyediaan bibit dan pupuk, mengorganisasi petani, biaya bimbingan teknis, pengawasan, biaya angkut bibit dan pupuk, 50 biaya panen dan memasarkan hasil produksi. Sedangkan petani menanggung biaya pengolahan dan persiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan tanaman dan 50 biaya panen. Pada kemitraan ini, PT. BKL Group dan Perhutani hanya berfungsi sebagai penanam modal, sedangkan pengelolaan sepenuhnya diserahkan kepada petani. Sistem silvikultur yang digunakan dalam kemitraan ini adalah tebang habis pada akhir daur. Adapun tanaman pokok yang digunakan adalah sengon Paraserianthes falcataria dengan daur 6-7 tahun. Dalam pengelolaan hutan rakyat pola kemitraan, penggarap mengelola hutan secara monokultur dan tumpangsari . Berdasarkan hasil wawancara dengan petani, jenis tanaman tumpangsari yang diusahakan selama dua tahun pertama oleh petani adalah kacang tanah, padi gogo, jagung dan singkong di Desa Mekarjaya. Kacang tanah, kacang banten, padi gogo, jagung, singkong dan kentang adalah tanaman tumpangsari yang diusahakan di Kelurahan Urug. Di Desa Leuwibudah tanaman tumpangsari sedikit bervarasi dan diusahakan setiap tahun yaitu aren, kelapa, jagung, singkong, kapulaga, kacang tanah, mahoni, ubi dan bambu.

5.3 Tahapan Kegiatan Pembangunan Hutan Rakyat