terjadi di ketiga bendungan yang ada merupakan pelajaran yang cukup baik dalam
upaya perbaikan sistem pengelolaan pada masa-masa yang akan datang.
Selain evaluasi karena kurangnya curah hujan yang terjadi yang berakibat pada kurangnya inflow ke waduk, dilakukan juga evaluasi terhadap sistem
pengaturan air di masing-masing bendungan, mulai bulan Januari sampai April 2011. Dari analisis yang telah dilakukan dapat disampaikan hal-hal sebagai
berikut: 1. Pada bulan Januari waduk Saguling dan Cirata mengeluarkan air lebih besar
dari rencana pengeluaran, sementara air yang masuk lebih kecil dari prediksi inflow. Besarnya debit yang dikeluarkan oleh waduk Cirata membuat air yang
masuk ke waduk Jatiluhur menjadi lebih besar dari debit rencana, sehingga waduk Jatiluhur juga harus mengeluarkan debit yang lebih besar untuk
menjaga sistem operasi sesuai rencana. Akibat dari pengeluaran debit yang melebihi debit rencana di waduk Saguling dan Cirata, maka elevasi muka air
pada kedua waduk tersebut pada akhir bulan Januari mengalami kekurangan air yang cukup besar.
2. Mulai bulan Februari sampai April, dua waduk di hulu melakukan penahanan air dengan memperkecil debit air yang dikeluarkan. Hal ini dilakukan untuk
mengisi kekurangan air akibat pemakaian pada bulan Januari. Dengan pola pengeluaran tersebut waduk Saguling dan Cirata berhasil menambah cadangan
air mendekati pola operasi perencanaan awal, namun akibat penahanan tersebut, debit yang masuk ke waduk Jatiluhur menjadi lebih kecil sementara
pengeluaran air Jatiluhur tetap besar sesuai kebutuhan hilir. Maka sampai dengan bulan April elevasi muka air pada waduk Jatiluhur masih belum dapat
kembali ke pola operasi rencana. Kajian ini dapat dilihat pada Gambar 43, Gambar 44 dan Gambar 45.
Gambar 43 Pola operasi waduk Saguling tahun 2011
Gambar 44 Pola operasi waduk Cirata tahun 2011
Gambar 45 Pola operasi waduk Jatiluhur tahun 2011
5.2.4 Kajian Water Balance
Analisis kebutuhan air water demand dan ketersediaan air water availability beserta proyeksinya sampai tahun 2025 dilakukan berdasarkan data yang
diperoleh dari berbagai sumber, serta asumsi pertumbuhan yang konstan pada periode yang sudah berjalan past trend.
Proyeksi Kebutuhan Air
Pengguna terbesar air baku pada DAS Citarum dapat dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu i irigasi dan ii domestik, perkotaan dan industri DPI.
Kebutuhan air untuk irigasi dihitung berdasarkan luas area dan kebutuhan air tanaman crop water requirement yang berlaku. Selanjutnya past trend dihitung
berdasarkan data 1995 – 2010 yang mana luas daerah irigasi telah mengalami
penurunan karena alih fungsi dengan laju bervariasi antara 0,36 sampai 1 per tahun. Pasokan air baku untuk DPI pada saat ini tercatat sebesar 26,6 m
3
detik. Sebagian besar dialirkan melalui saluran Tarum Barat sebesar 22 m
3
detik, untuk mensuplai wilayah DKI Jakarta sebesar 16,3 m
3
detik dan sisanya ke wilayah Bekasi dan sekitarnya Non-DKI. Selanjutnya proyeksi kebutuhan air baku untuk
DPI dihitung berdasarkan perkiraan pertumbuhan penduduk, baik DKI maupun Non-DKI, serta proyeksi pertumbuhan kawasan industri. Proyeksi kebutuhan air
sampai tahun 2025 baik untuk irigasi maupun DPI secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 20 dan Gambar 46.
2010 2015
2020 2025
52.628 ha 50.048 ha
47.595 ha 4.563 ha
90.230 ha 88.085 ha
85.990 ha 83.945 ha
85.945 ha 8.441 ha
82.900 ha 81.420 ha
228.803 ha 222.543 ha
216.485 ha 210.628 ha
4.290 4.188
4.082 3.973
16.31 26.31
31.31 31.31
9.35 15.18
21.94 29.77
m
3
detik 25.66
41.49 53.25
61.08 Jt m
3
th 883
1.444 1.864
2.135 Jumlah Total Kebutuhan Air
5.173 5.632
5.946 6.108
Sumber: M edernization of Jatiluhur Irrigation System, Balai Besar Wilayah Sungai Citarum, 2010
Irigasi
Tabel 20 Proyeksi kebutuhan air
DPI Jumlah
Sal. Tarum Barat Sal. Tarum Timur
Sal. Tarum Utara Jumlah
Kebutuhan Air Irigasi Jt m
3
th DKI Jakarta m
3
detik Non DKI m
3
detik
Gambar 46 Proyeksi Kebutuhan air
Proyeksi Ketersediaan Air
Sumber air pada DAS Citarum adalah S. Citarum yang dikendalikan regulated flow dengan kaskade tiga waduk Saguling
– Cirata – Jatiluhur serta beberapa sungai lain pada DAS yang bersifat unregulated, yaitu S. Bekasi, S. Cikarang, S.
Cibeet, S. Cilamaya, S. Cijengkol, S. Ciasem, S. Cigadung, dan S. Cipunagara. Regulated flow rata-rata dari waduk Jatiluhur mengalami penurunan dari 194,9
m3detik periode tahun 1967 – 1986 menjadi 169,4 m3detik periode tahun
1993 – 2008 atau setara dengan 5.344 Jt m3th. Ketersediaan air dari unregulated
flow sungai lain dihitung menggunakan debit andalan dengan 80 dependability. Berdasarkan data debit pada periode tahun 1973
– 2009, debit rata- rata dan debit andalan unregulated flow dapat dilihat pada Tabel 21 di bawah.
debit rata-rata debit andalan
Jt m
3
th Jt m
3
th Bekas i
893 505
Cikarang 409
238 Cibeet
917 409
Cilamaya 650
329 Cijengkol
421 227
Cias em 334
234 Cigadung
305 185
Cipunagara 1730
1031 Juml ah
5.659 3.158
Sungai
Tabel 21 Debit unregulated flow sungai lain
Berdasarkan data yang tercatat pada periode 1920 – 2008 pada regulated flow S.
Citarum terjadi penurunan debit rata-rata 0,1 per tahun, sedangkan pada sungai lain unregulated flow terjadi penurunan debit rata-rata 0,7 per tahun selama
1973 – 2004. Selanjutnya proyeksi ketersediaan air pada S. Citarum regulated
dan sungai lainnya unregulated dapat dilihat pada Tabel 22.
4.290 4.188
4.082 3.973
883 1.444
1.864 2.135
1.000 2.000
3.000 4.000
5.000 6.000
7.000
2010 2015
2020 2025
DPI IRR
k eb
u tu
h an
ai r
J t
m
3
t h
2010 2015
2020 2025
5.344 5.317
5.291 5.264
Sungai Lain unregulated, debit andalan 80
3.158 3.049
2.944 2.842
Total Debit rata-rata 8.502
8.366 8.235
8.106
Sumber: Data debit sungai, Pusat Litbang Sumber Daya Air.
Sungai Citarum regulated, rata-rata
Tabel 22 Ketersediaan Air Jt m
3
th
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa proyeksi kebutuhan air untuk irigasi mengalami penurunan sedangkan DPI mengalami peningkatan. Kebutuhan air
secara keseluruhan meningkat dari 5.173 Jt m
3
th pada 2010 menjadi 6.108 Jt m
3
th pada 2025. Dilain pihak, proyeksi ketersediaan air baik pada S. Citarum regulated flow maupun sungai lainya mengalami penurunan, yang secara
keseluruhan menurun dari 8.502 Jt m
3
tahun pada 2010 menjadi 8.106 Jt m
3
tahun pada 2025. Namun demikian sumber air yang ada masih mampu memenuhi
kebutuhan air sampai dengan tahun 2025 bilamana didukung oleh prasarana yang memadai sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 23.
Waduk Jatiluhur
Sungai lain Total
Irigasi DPI
Total
2010 5.344
3.158 8.502
4.290 883
5.173 3.329
2015 5.317
3.049 8.366
4.188 1.444
5.632 2.734
2020 5.291
2.944 8.235
4.082 1.864
5.946 2.289
2025 5.264
2.842 8.106
3.973 2.135
6.108 1.998
Tahun Ketersediaan air
Kebutuhan air Sisa
Tabel 23 Proyeksi Ketersediaan - kebutuhan air
Untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan air yang dipicu oleh pertumbuhan penduduk dan pengembangan industri di DAS Citarum yang demikian pesat
seperti terlihat tren sisa air kolom 8 Tabel 23 yang terus menurun, maka diperlukan peningkatan productivity dan intervensi teknologi. Berbagai upaya
tersebut diantaranya menurunkan konsumsi air yang dapat dilakukan melalui sosialisasi hemat air penggunaan irigasi hemat air serta perbaikan kebocoran pada
sistim distribusi jaringan air minum. Disamping itu, upaya konservasi air perlu dilakukan antara lain pembangunan program impouding, reboisasi daerah hulu
serta penggalakan sumur resapan ataupun biopori atau bahkan memberlakukan sistem zero waste management.
VI MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN
6.1 Analisis Prioritas Kebijakan
Semenjak waduk serbaguna Jatiluhur selesai dibangun pada tahun 1967, pengelolaan waduk berikut PLTA Ir. H. Juanda telah diserahkan oleh Pemerintah
kepada PN Jatiluhur melalui PP Nomor 8 Tahun 1967, yang kemudian terakhir menjadi Perum Jasa Tirta II PJTII melalui PP Nomor7 Tahun 2010. Melalui PP
tersebut, Pemerintah telah memberikan kewenangan pengelolaan aset Pemerintah kepada PJTII atas Waduk Jatiluhur beserta keseluruhan jaringan infrastrukturnya
dengan cakupan wilayah antara lainmeliputi wilayah DAS Citarum. Sementara itu,untuk mengatasi kebutuhan air jangka panjang yang diproyeksi semakin
kritis,sungai Citarum dinilai sebagai sumber pemasok air utama untuk kawasan Jawa Barat.Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, dapat dipahami apabila
baik Pemda Propinsi Jawa Barat maupun Pemda KabupatenKota, dalam upaya untuk mengantisipasi kebutuhan air jangka panjang ini, ingin memanfaatkan
secara optimal kendali mereka dalam pengelolaan SDA.Kecenderungan ini mempertajam potensi konflik kepentingan dalam pengelolaan DAS Citarum.
Perspektif Pusat . Perspektif yang berkembang di Pusat menyimpulkan
bahwa sungai Citarum dianggap sebagai strategis nasional oleh karena itu menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam pengelolaan SDA dengan kewenangan
pusat dikenal dua tipe kelembagaan pengelola operator SDA.Pertama, Balai Besar Wilayah SungaiBalai Wilayah Sungai BBWSBWS yang belum dapat
dikelola secara korporasi dimana fungsi pelayanan publiknya masih sangat kuat dan masih menjadi tanggung jawab penuh pemerintah. Kedua, BUMN untuk
sungai yang telah dapat dikelola dengan prinsip korporasi. Tidak seperti BBWSBWS, korporasi ini dapat memperoleh revenue dari para pemakai air
dengan prinsip “user pays” sesuai kemampuannya dan dari pencemar dengan prinsip “polluter pays”. Dengan demikian pengelola sungai diharapkan dapat
membiayai dirinya sendiri dan meningkatkan pelayanan air. Pada DAS Citarum disamping PJT II yang sudah beroperasi sejak lama sebagai korporasi,
kementerian Pekerjaan Umum juga membentuk BBWS Citarum yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat.
Perspektif Propinsi . Dalam pandangan pemda propinsi Jawa Barat,
kewenangan pengelolaan sungai Citarum dianggap menjadi kewenangan propinsi karena sungai Citarum mengalir sepenuhnya di propinsi Jawa Barat.Rencana
pengembangan dan pengelolaan SDA Jawa Barat termasuk Sungai Citarum dituangkan dalam Pola Induk yang telah dikukuhkan dalam Perda Nomor 3 Tahun
2001. Program-program yang diusulkan merupakan wujud nyata dari keinginan masyarakat dan Pemda Jawa Barat dalam proses pengalihan wewenang
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Propinsi dalam kerangka desentralisasi. Pengelolaan S. Citarum dikembangkan dengan membentuk institusi pengelola
SDA yaitu Balai PSDA Citarum, yang merupakan unit pelaksana teknis dinas UPTD di bawah Dinas PSDA. Disamping itu, Pemda Jawa Barat telah
membentuk Perusahaan Air Jawa Barat PAJB dengan kewajiban operasional untuk pelayanan air bersih seluruh Jawa Barat. Untuk menjamin optimalisasi
kinerja PAJB Pemda Jawa Barat berencana untuk mengkaji pembentukan badan regulator air yang akan mempertimbangkan kepentingan stakeholders kunci di
Propinsi Jawa Barat. Sampai sejauh ini aspirasi tersebut belum dapat diwujudkan sepenuhnya.
Perspektif Kabupaten . Ada euphoria otonomi yang ditunjukan dari sikap
Pemda Kabupaten dalam menyikapi Pemda Propinsi sebagai referensi untuk menuntut kesetaraan.Pemda Kabupaten juga berkeinginan untuk mengusahakan
air untuk kepentingan daerah PAD melalui PDAM yang independen. PDAM KabupatenKota pada umumnya belum dapat menerima jika harus berada dalam
payung PAJB. Secaraumum perhatian Pemda Kabupaten lebih memprioritaskan pada masalah pengelolaan jaringan irigasi yang dianggap dapat memberikan
manfaat langsung pada masyarakat. Disamping itu, dalam konteks kontribusi PAD pemerintah Kabupaten merasa sangat berkepentingan dengan pengelolaan
galian C pada badan sungai. Dari uraian diatas jelas bahwa masing-masing stakeholders utama memiliki
prioritas kepentingan yang berbeda, oleh karena itu perlu dilakukan analisis prioritas secara objektif. Analisis prioritas dilakukan dengan teknik AHP,
berdasarkan pengumpulan kuesioner dari instansipakar yang dianggap mewakili stakeholders DAS Citarum secara menyeluruh. Penyusunan struktur hirarki
keputusan dirumuskan melalui FGD yang dihadiri oleh beberapa pakar. Struktur hirarki terdiri atas lima tingkatan kriteria sebagai berikut: i tingkatan pertama
adalah fokus: pengelolaan SDA pada DAS Citarum, ii kriteria keduayaitu tujuan
yaitu peningkatan nilai manfaat ekonomis, peningkatan kesejahteran, pemulihan ekosistem, minimalisasi bencana, dan minimalisasi konflik, iii
kriteria ketiga adalah faktor yaitu kebijakan pemerintah, penegakan hukum,
hubungan stakeholders, ketersediaan pendanaan, kelestarian sumber air, dan
partisipasi masyarakat, iv kriteria keempatadalah kinerja yaitu kesesuaian
mandat, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas, pendanaan dan SDM, dan yang
terakhir kriteria kelima adalah alternatiflembaga pengelola yaitu alternatif
BBWS, PJT atau Balai PSDA. Hasil kuesioner yang terdiri dari 12 instansipakar dapat dilihat pada Lampiran 4.
Hasil AHP menunjukan penilaian gabungan kriteria dan alternatif yang dilakukan para pakar terhadap struktur tersebut memiliki tingkat konsistensi yang
baik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio konsistensi CR berkisar antara 0,00 hingga 0,096 pada semua elemennya, sehingga memenuhi batas CR maksimum
yang diperbolehkan sebesar 0,1. Penilaian ini menghasilkan nilai pembobotan pada setiap elemen, sekaligus memberikan gambaran prioritas pada setiap elemen
tersebut Gambar 47.
Gambar 47 Prioritas kebijakan pengelolaan SDA
Berdasarkan hasil analisis prioritas jenjang keputusan seperti pada Gambar 47 diatas, pada level tujuan yang menempati prioritas tertinggi adalah peningkatan
kesejahteraan masyarakat yaitu sebesar 0,372. Kemudian secara berturut-turut prioritasnya turun sampai terkecil adalah: 1 Peningkatan Kesejahteraan 2
Pemulihan Ekosistem; 3 Minimalisasi Bencana; 4 Minimalisasi Konflik dan 5 Peningkatan Nilai Manfaat Ekonomi lihat Gambar 48.
Gambar 48 Grafikkriteria level tujuan Pada level faktor, yang memiliki bobot terbesar adalah kelestarian sumber
daya air yaitu sebesar 0,244. Kemudian secara berturut-turut prioritas terbesar sampai terkecil adalah: 1 Kelestarian Sumberdaya Air; 2 Partisipasi
Masyarakat; 3 Penegakan Hukum; 4 Kebijakan Pemerintah; 5 Hubungan Stakeholders; 6 Ketersediaan Wadah Organisasi lihat Gambar 49.
Gambar 49 Grafik kriteria level faktor
0,233 0,244
0,110 0,114
0,184 0,114
0,135 0,178
0,222 0,372
0,093
Pada level kinerja, yang memiliki bobot terbesar adalah transparansi dan akuntabilitas yaitu sebesar 0,236. Kemudian secara berturut-turut prioritas
terbesar sampai terkecil adalah: 1 Transparansi dan Akuntabilitas; 2 SDM; 3 Pendanaan; 4 Efektivitas; 5 Kesesuaian Mandat lihat Gambar 50.
Gambar 50 Grafik kriteria level kinerja. Sedangkan pada level alternatif model lembaga pengelola yang memiliki
bobot terbesar adalah model Perum jasa Tirta PJT yaitu sebesar 0,565. Kemudian secara berturut-turut prioritas berikutnya adalah: 1 Model PJT; 2
Model Balai Besar Wilayah Sungai BBWS dan 3 Model Balai Besar Pengelolaan Sumberdaya Air BPSDA lihat Gambar 51.
Gambar 51 Grafiklevel alternative Hasil diatas menunjukan bahwa alternatif lembaga pengelola yang dianggap
paling tepat untuk menjalankan fungsi RBO adalah PJT II.Tujuan yang memiliki prioritas paling tinggi adalah kesejahteraan masyarakat.Sedangkan faktor yang
0,243 0,565
0,192
0,216 0,194
0,236 0,193
0,161