4.4.1 Kondisi Lingkungan Hidrologi DAS
Secara umum sistem lingkungan hidrologi di DAS Citarum dibagi menjadi dua bagian, yaitu sistem hidrologi bagian hulu dari Gunung Wayang sampai
Bendungan Saguling dan sistem hidrologi bagian hilir dari Bendungan Saguling sampai muara. Sebagai sistem hidrologi, DAS bagian hulu pada umumnya
memiliki fungsi perlindungan, dan DAS bagian hilir memiliki fungsi pemanfaatan. Selain sebagai sistem hidrologi, DAS yang terdiri dari komponen-
komponen vegetasi, tanah, air dan sumber air, topografi, dan manusia, adalah merupakan suatu sistem ekologi yang sifatnya sangat kompleks. Kerusakan
lingkungan hidrologi DAS bagian hulu akan menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem secara keseluruhan.
Berdasarkan hasil studi 6 Ci menyatakan bahwa 38,7 dari Wilayah Sungai Citarum adalah dalam kondisi kritis, terutamalingkungan hidrologi DAS
Citarum hulu. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh rusaknya kawasan hutan akibat penebangan liar dan adanya kegiatan pertanian rakyat yang tidak sesuai
dengan kaidah konservasi, serta berkembangnya daerah-daerah permukiman tanpa perencanaan yang baik. Kondisi ini mengakibatkan tingginya runoff, tingginya
tingkat erosi lahan, dan rawan tanah longsor. Indikasi kerusakan DAS Citarum, terutama di bagian hulu, juga terlihat dari kecenderungan perubahan perubahan
perilaku aliran air yang masuk ke Bendungan Saguling. Tingkat fluktuasi debit yang masuk Bendungan Saguling berdasarkan hasil observasi telah mengalami
peningkatan dari 3,4 pada tahun 1992 meningkat menjadi 7,4 pada tahun 2003 ICWRMP, 2006. Sedangkan laju erosi berdasarkan survey batimetri yang
dilakukan Indonesia Power di waduk Saguling, telah mencapai 8 Juta m
3
per tahun atau sekitar 60 tonhatahun. Sedimentasi yang tinggi di waduk dapat
memperpendek umur ekonomi waduk.
4.4.2 Kejadian Banjir
Banjir dan kekeringan adalah salah satu konsekuensi dari rusaknya lingkungan hidrologi DAS. Bencana banjir Bandung Selatan terjadi hampir setiap
tahun, pada dasarnya adalah karena meluapnya sungai Citarum pada saat banjir ke daerah permukiman dan atau tertahannya air banjir lokal yang tidak dapat masuk
ke Sungai Citarum. Secara teknis hidrolis, meluapnya banjir Sungai Citarum
adalah akibat kapasitas sungai yang tidak mampu menampung debit banjir yang terjadi. Hal ini pada dasarnya berkaitan dengan kerusakan lingkungan hidrologi
DAS hulu yang mengakibatkan tingginya debit puncak banjir, dan bersamaan dengan itu tingginya erosi di hulu dan sedimentasi di hilir mengakibatkan
kapasitas Sungai Citarum di daerah Bandung Selatan cepat menurun. Dampak banjir Bandung Selatan sebagaimana Tabel 9.
Tabel 9 Kejadian banjir di DAS Citarum Hulu Atlas SDA Jabar, 2005
Kejadian Banjir Lama
Genangan Tinggi
Genangan Genangan
Luas Permukiman
Jiwa KK
Rumah
Maret 2010 Kec Baleendah, Rancaekek,
Dayeuh Kolot 6
– 20 hari 2
– 4 m 10.000 ha
16 Mei, 2005 6
–10 hari 2
– 3 m Kec.Dayeuhkolot
- -
- -
- -
19 –20 Februari , 2005
2 hari 0,5- 2 m
Kec. Rancasari -
- 1.004 ha
- -
- Kec.Rancaekek
- -
440 ha -
- -
Kec.DayeuhkolotBale Endah -
- 475 ha
- -
-
16-21 Februari,2003 6 hari
0,5 –1,5 m
Kec.Baleendah,Kel Andir -
- -
8.345 1.936
- Kec.D.kolot Kel. Pasawahan
- -
- 1.025
224 -
25-27 Des,2002 3 hari
1 – 5 m
Kec.Baleendah
1.Kel Andir -
- -
7.345 1.936
1.250
2. Ds.Rancamanyar -
- -
420 140
40
3.Ds.Bojongmalaka -
- -
826 160
180 Kec.Dayeuhkolot
1.Kel Pesawahan -
- -
1.695 569
361
2.Ds.Cangkuang wetan -
- -
3.410 793
621
3.Ds. Dayeuhkolot
- -
- 1.750
675 384
Maret, 1986
Sekitar Kec.Dayeuhkolot -
- 7.450 ha
- -
- Sumber:
Trijono, Pengendalian Banjir S.Citarum Hulu, 2005; Satlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsian Kab.Bandung;
Satlak Penanggulangan Bencana dan Pengungsian Kab.Bandung
Genangan banjir menyebabkan terendamnya permukiman termasuk sumur penduduk, hal ini menyebabkan kesulitan mendapatkan air bersih dengan dampak
timbul penyakit paska banjir. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung, penduduk pada paska banjir terjangkit penyakit diare, kulit dan mata
yang diantaranya terjadi di kecamatan Rancaekek dan Bale Endah.
Sedangkan dampak sosial dari banjir tahun 2010, bencana banjir juga terjadi di Kota Bekasi terutama di hilir pertemuan dua anak sungai Cikeas dan
sungai Cileungsi yang bermuara di Kali Bekasi., diantaranya yang teridentifikasi adalah:
a 3.882 dan 6.000 rumah terendam di Kel. Baleendah dan kel. Andir, Kecamatan Baleendah.
b 248 rumah, 10 masjid, dan 5 Sekolah Dasar terendam 1 – 3 m di
Kecamatan Dayeuhkolot. c Ratusan rumah di Desa Bojongsoang dan Tegaluar.
d Banjir setinggi 1,5 m merendam ratusan rumah di Kecamatan Rancaekek akibat bobolnya tanggul S. Cikeruh di beberapa tempat.
e Kabupaten Bekasi 16.077 buah rumah dan 666 ha sawah. f Kabupaten Karawang 1.097 buah rumah dan 1.069 ha sawah.
g Kabupaten Purwakarta, Cikao 450 buah rumah.
4.4.3 Penurunan Muka Air Tanah dan Land Subsidence
Ekploitasi air tanah yang tidak terkontrol di terutama kawasan CAT Bandung-Soreang atau DAS Citarum Hulu terutama untuk kebutuhan air baku
industri, telah menyebabkan penurunan air tanah dan degradasi lingkungan berupa penurunan muka tanah land subsidence. Sebagai pusat industri tekstil di
Indonesia, penurunan muka airtanah MAT yang cukup signifikan sebagai akibat dari pengambilan airtanah dilaporkan telah terjadi di daerah Bandung dan
sekitarnya.Eksploitasi airtanah selama 40 tahun terakhir yang dimulai tahun 1970- an telah menyebabkan terjadinya penurunan MAT dengan laju penurunan
bervariasi di beberapa tempat. Dampak lingkungan akibat penurunan MAT di wilayah Bandung dan
sekitarnya, berdasarkan hasil studi oleh Abidin dkk 2009 menggunakan teknologi satelit dan GPS, terbukti telah mengalami land subsidence amblesan
tanah dengan besar bervariasi 5-75 cm dari tahun 2000 sampai tahun 2008. Daerah-daerah yang terbesar mengalami amblesan tanah tersebut adalah
Dayeuhkolot, Rancaekek, dan Cimahi.Penelitian lapangan di daerah-daerah yang mengalami fenomena amblesan tanah, menunjukkan bahwa daerah-daerah