Kebaruan Novelty A policy model for sustainable water resources management of Citarum River Basin

pencegahan terhadap polusi, pengolahan limbah serta konservasi. Pembangunan dalam pengelolaan SDA yang ditopang oleh ketiga aspek tersebut harus bersinergi satu sama lain. Guna mencapai ketiga aspek diatas maka strategi pembangunan harus memenuhi persyaratan diantaranya sistem politik yang menjamin secara efektif partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan. Sistem ekonomi dan inovasi teknologi yang mampu menghasilkan manfaat secara berkesinambungan. Sistem sosial yang menyediakan cara pemecahan secara efektif terhadap permasalahan yang timbul karena ketidakharmonisan dalam pelaksanaan pembangunan. Sistem pengelolaan sumber daya air berkelanjutan sustainable water resources management systems merupakan sistem pengelolaan SDA yang didesain dan dikelola serta berkontribusi penuh terhadap tujuan masyarakat sosial dan ekonomi saat ini dan masa yang akan datang, dengan tetap mempertahankan kelestarian aspek ekologisnya Pasandaran, Zuliasri dan Sugiharto, 2002. Pembangunan di bidang SDA pada dasarnya adalah upaya untuk memberikan akses secara adil kepada seluruh masyarakat untuk mendapatkan air agar mampu berkehidupan yang sehat, bersih dan produktif Burke, 2006. Pasokan air untuk mendukung berjalannya pembangunan dan berbagai kebutuhan manusia perlu dijamin kesinambungannya, terutama yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitasnya sesuai dengan yang dibutuhkan Katiandagho, 2007. Pola pengelolaan SDA merupakan kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi kegiatan konservasi SDA, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air pada wilayah sungai. Pengelolaannya disusun dengan memperhatikan kebijakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah administrasi yang bersangkutan. Pola pengelolaan SDA memuat tujuan dan dasar pertimbangannya, skenario kondisi wilayah sungai pada masa yang akan datang, strategi pengelolaannya dan kebijakan operasional untuk melaksanakan strategi pengelolaan SDA Sjarief, 2009. Penyusunan pola pengelolaan perlu melibatkan seluas-luasnya peran masyarakat dan dunia usaha, baik koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah maupun badan usaha swasta. Sejalan dengan prinsip demokratis, masyarakat tidak hanya diberi peran dalam penyusunan pola pengelolaan SDA, tetapi berperan juga dalam proses perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan, pemantauan serta pengawasan atas pengelolaan SDA. Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan rencana induk yang menjadi dasar bagi penyusunan program dan pelaksanaan kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air oleh setiap sektor dan wilayah administrasi. Rencana induk tersebut memuat pokok-pokok program tersebut yang meliputi upaya fisik dan nonfisik, termasuk prakiraan kelayakan serta desain dasar upaya fisik. Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali dan atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah Sjarief, 2009. Upaya mewujudkan asas keseimbangan dan asas keadilan dalam pengelolaan SDA, dapat dilakukan dengan menyatukan beberapa DAS dalam satu wilayah pengelolaan yang disebut wilayah sungai. Hal ini dilakukan agar wilayah tersebut mampu mencukupi kebutuhan SDA bagi wilayahnya. Penyatuan beberapa DAS kedalam wilayah sungai tetap mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi pengelolaannya. Namun demikian dalam perkembangannya pengelolaan wilayah sungai semakin rumit dengan semakin banyaknya institusi yang terlibat dalam dalam segmen-segmen yang terpisah mengikuti kewenangan kementerianlembaga yang membentuknya. Secara umum, pengelolaan SDA pada daerah aliran sungai dapat dikelompokan pada tiga pendekatan yang menekankan pada: 1 Konservasi; 2 Pengelolaan secara hidrologis; dan 3 Pengelolaan dalam perspektif otonomi daerah. Menurut pendekatan yang pertama, pengelolaan sumber daya air khususnya catchment area merupakan konservasi sumber daya hutan yang bertujuan menciptakan kondisi hidrologis tangkapan, pengaliran dan penggunaan air sungai yang optimal. Pengelolaan menurut sistem pertama ini melibatkan berbagai kepentingan dan lintas pemerintahan, baik secara horizontal antar pemerintahan setingkat maupun vertikal antar tingkatan pemerintahan. Menurut pendekatan kedua, pengelolaan DAS harus dikelola melalui pendekatan hidrologis. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa sistem sumber daya air merupakan suatu sistem yang mencakup subsistem daerah tangkapan air catchment area, subsistem jaringan sarana-prasarana dan subsistem penggunaan air. Menurut pendekatan ketiga yaitu perspektif otonomi daerah, pengelolaan DAS bertumpu pada batas-batas pemerintah otonom, baik provinsi maupun kabupatenkota. Pengelolaan DAS dengan persepektif ketiga ini menekankan kewenangan pada pemerintah daerah sebagai pemerintah yang otonom untuk mengelola urusan diluar urusan pemerintah pusat. Ketiga bentuk pengelolaan DAS tersebut memiliki perbedaan dan membawa implikasi seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Perbedaan pendekatan pengelolaan daerah aliran sungai Pendekatan Letak Perbedaan Implikasi Teknis dan Organisasi Konservasi Menekankan pemeliharaan sumber daya hutan di hulu dan sepanjang aliran sungai Rehabilitasi di hulu dan sepanjang DAS. Pengelolaan catchment area menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan Hidrologis Menekankan pengelolaan DAS river basin Pengelolaan secara utuh intregated water resources management menjadi kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum Otonomi Daerah Menekankan kewenangan pemerintah daerah tempat DAS berada sesuai dengan batas-batas administratif Pengelolaan wilayah DAS menjadi urusan pemerintah daerah. Pengelolaan terbagi-bagi, tidak utuh Selanjutnya secara global telah terjadi perubahan paradigma pengelolaan sumber daya air dari semula hanya mencakup sektor air hydrocentric, yang memandang air sebagai sumber daya yang harus dimanfaatkan untuk mendapatkan hasil yang maksimum, menjadi pengelolaan yang berwawasan lingkungan. Pengelolaan sumber daya air dengan pendekatan baru ini dikenal sebagai pengelolaan sumber daya air terpadu integrated water resources management – IWRM. Pendekatan ini mendorong pengembangan dan pengelolaan air, lahan dan sumber daya lainnya secara terkoordinasi untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial dan ekonomi secara adil, dengan tetap memelihara keberlanjutan ekosistem yang vital Dublin principle. Hooper 2003 mengidentifikasikan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh banyak negara dalam memenuhi kebutuhan air untuk kebutuhan hidup manusia dan lingkungan ternyata lebih merupakan krisis pengelolaan governance dibandingkan dengan krisis air. Diperlukan adanya pengelolaan yang efektif, memiliki kapasitas yang memadai, dan mampu menangani berbagai tantangan permasalahan air. Water governance meletakkan IWRM pada