Penggunaan Tanah Pedesaan Potensi Pengembangan Pembangunan Desa

Geografi: Jelajah Bumi dan Alam Semesta untuk Kelas XII 68 c. Desa Swasembada Desa Berkembang Desa Swasembada, yaitu desa yang setingkat lebih maju dari desa swakarya, di mana adat istiadat masyarakat sudah tidak mengikat. Begitu pula dengan hubungan antarmanusia yang sudah bersifat rasional. Mata pencarian penduduk sudah beragam dan bergerak ke sektor tertier. Teknologi baru sudah benar-benar dimanfaatkan di bidang pertanian sehingga produktivitasnya tinggi yang diimbangi dengan prasarana desa yang cukup. Norma-norma yang melekat di desa swasembada adalah sebagai berikut. 1 Mata pencarian di sektor tersier, yaitu sebagian besar penduduk bergerak di bidang perdagangan dan jasa. 2 YieldOutput desa, yaitu jumlah dari seluruh produksi desa yang dinyatakan dalam nilai rupiah di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kerajinan atau industri kecil, perdagangan dan jasa sudah tinggi. 3 Adat istiadat dan kepercayaan penduduk sudah tidak mengikat lagi. 4 Kelembagaan dan pemerintahan desa sudah efektif baik dalam tugas dan fungsinya. Pembangunan pedesaan sudah direncanakan dengan sebaik-baiknya. 5 Pendidikan dan keterampilan penduduk tingkatnya sudah tinggi, lebih dari 60 penduduk telah menamatkan sekolah dasar. 6 Swadaya atau gotong royong masyarakat sudah manifest, artinya pelaksanaan dan cara kerja gotong royong berdasarkan musyawarah atau mufakat antara warga masyarakat dengan penuh rasa kesadaran dan tanggung jawab yang selaras dengan norma-norma perkembangan atau kemajuan zaman. Sumber: Dokumentasi Penerbit, 2004 Tersedianya fasilitas penunjang, seperti Puskesmas menjadi salah satu ciri desa swasembada. Gambar 4.10 7 Prasarana produksi, perhubungan, pemasaran dan sosial cukup me- madai, serta hubungan dengan kota-kota sekitarnya berjalan lancar.

4. Penggunaan Tanah Pedesaan

Departemen Dalam Negeri melalui Direktorat Tata Guna Tanah, telah menyusun konsep Wilayah Tanah Usaha WTU atau ekonomi tanah. Konsep itu dapat dirumuskan sebagai suatu kerangka fisik yang berasal dari pengembangan tata guna tanah di Indonesia. Pada dasarnya, komponen-komponen yang tercakup dalam konsep WTU adalah faktor lereng, ketinggian, dan penduduk. Batas untuk faktor lereng yang diperuntukkan untuk tanah usaha adalah 40. Lereng yang Di unduh dari : Bukupaket.com 69 Pola Keruangan Desa dan Kota lebih tinggi dari batas ini seharusnya dihindari untuk beberapa aktivitas pembangunan atau penggunaannya terbatas. Batas-batas untuk ketinggian terletak antara 5–1000 meter di atas per- mukaan air laut dengan beberapa alasan utama yaitu sebagai berikut. a. Di daerah tropis kecuali untuk beberapa jenis tanaman khusus, vegetasi tropis tumbuh dengan baik di antara ketinggian tempat 5–1000 meter di atar permukaan laut. b. Daerah dengan ketinggian lebih dari 1000 meter difungsikan sebagai daerah tangkapan air aquifer recharges dan untuk tanaman nontropis. c. Daerah dengan ketinggian kurang dari 5 meter biasanya merupakan daerah luapan air, berawa atau daerah pantai. Jelasnya pembatasan-pembatasan fisik ini sangat berkaitan erat dengan pertimbangan lingkungan. Batas-batas fisik yang terperinci digambarkan dalam Gambar 4.11. Aspek-aspek kependudukan berfungsi sebagai komponen sosial karena pertumbuhan penduduk sejalan dengan berjalannya skala waktu. Oleh karena itu, kerangka pemikiran pembangunan yang ada dapat mengakomodasi tahap- tahap evolusi yang sejalan dengan kecenderungan tersebut. Konsep-konsep WTU diterapkan pada daerah-daerah pertanian yang mendasarkan kehidupannya pada kegiatan ekonomi. Aktivitas-aktivitas di bidang pertanian cukup dominan di Indonesia di mana sebagian besar masyarakatnya tinggal di pedesaan dengan pertanian sebagai aktivitas dan mata pencarian utama mereka. Tahap-tahap evolusi pertanian di Indonesia digambarkan dalam sebuah skema yang meliputi 9 tahap. K etinggian 1000 m Batas atas 500 m 100 m + 25 m + 5 m Major 2 d Major 1 c b a Batas bawah Kemiringan 40 Vegetasi iklim sedang Lahan kering Lahan basah Tanggul Sawah dengan 2× per tahun Sawah dengan 1× per tahun Rawa 0 m Keterangan Wilayah vegetasi tropis Wilayah vegetasi non- tropis Sumber: Perspektif Lingkungan Desa–Kota dan Kasus, 1997 Kendala fisik medan yang berpengaruh pada pertimbangan lingkungan. Gambar 4.11 a Tahapan perkembangan evolusi penggunaan tanah b Fase keruangan Gambar 4.12 Tahap A ke C dari skema tersebut, memperlihatkan sistem pertanian pada tahap dini. Contohnya, tidak seorang pun hidup di daerah tahap A. Ketika kelompok pendatang pertama menemukan tempat subur, mereka mulai membuka beberapa daerah dan mulai mengerjakan perladangan berpindah, seperti terlihat di tahap B. Secara fisik, tahap B terletak di daerah sekitar 250 meter di atas permukaan air laut dengan lereng-lereng rendah. Legenda Hutan Ladang berpindah Kebun campuran Sawah Lahan Lahan kering Rawa Tanah rusak Pemukiman Pertambahan penduduk M A B C D E F G H I 500 m 250 m a b 1 2 3 Sumber: Perspektif Lingkungan Desa–Kota dan Kasus, 1997 4 5 Di unduh dari : Bukupaket.com Geografi: Jelajah Bumi dan Alam Semesta untuk Kelas XII 70 Dalam kaitan dengan tahap A dan B, diagram menunjukkan awal pengembangan tata ruang dengan suatu jumlah penduduk yang relatif masih terbatas. Meskipun perkembangan sosial penduduk mungkin telah menimbulkan kerugian, tetapi pada tahap ini dampak lingkungan belum menunjukkan kerugian berarti. Masyarakat masih merasa lahan tersedia dengan luas sehingga perladangan berpindah masih sangat memungkinkan untuk dilakukan. Pada tahap C, jumlah penduduk mulai menunjukkan peningkatan. Sebagai konsekuensinya areal pemukiman penduduk pun mengalami perluasan. Beberapa penduduk, di antaranya mulai memperkenalkan cara bercocok tanam dengan teknik sederhana, dalam waktu penanaman sekali setahun. Dalam tahap D, di beberapa daerah yang menanam padi panen tunggal telah berkembang menjadi penanaman ganda. Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan manfaat dari sistem irigasi. Kebun campuran menggunakan sebagian dari lahan-lahan perladangan berpindah, juga meluas ke lahan-lahan pegunungan yang lebih tinggi. Pada diagram tersebut dapat terlihat kegiatan yang semakin meningkat. Sumber daya tanah yang terbatas memaksa masyarakat untuk mengembangkan pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya. Hasilnya berupa sistem irigasi yang mulai di terapkan dalam pertanian. Panen dapat dilakukan dua sampai tiga kali dalam setahun merupakan suatu bukti keuntungan dari inovasi teknologi dalam bidang pertanian. Walaupun ada keuntungan seperti itu, kebutuhan akan lahan masih terus dibutuhkan. Ini menyebabkan beberapa daerah hutan diubah menjadi tempat daerah perladangan berpindah. Pada tahap E dari skema, hutan yang sebelumnya terletak di daerah dataran rendah beralih menjadi lahan sawah basah. Secara umum wilayah penanaman padi telah meluas. Daerah ini biasanya dikenal dengan wilayah yang berpenduduk padat. Dinamika perluasan daerah terus meluas sebagai akibat semakin banyaknya keperluan-keperluan hidup yang harus segera dipenuhi. Kondisi ini berimbas pada pengolahan lahan yang semakin intensif dan meluas ke lahan-lahan hutan. Tahap F adalah kelanjutan dari tahap E. Praktik perladangan ber- pindah sudah mulai berkurang karena meningkatnya kebun-kebun campuran dan terbatasnya lahan yang tersedia. Tipe-tipe kebun campuran terdiri atas sayuran dan buah-buahan, dan tanaman pangan musim pendek. Konflik-konflik antarmasyarakat di sekitar daerah itu mulai ber munculan, berupa perselisihan atas tanah untuk kepentingan usaha selain pertanian. Per- alihan wilayah yang berhubungan dengan hak ulayat dan status kepemilikan perorangan dapat menimbulkan masalah sosial yang lebih serius terhadap lingkungan. Tahap berikutnya menunjukkan penurunan kualitas lingkungan. Di dalam tahap G, perladangan berpindah telah secara menyeluruh beralih ke kebun- kebun campuran. Tahap H menunjukkan jumlah penduduk mengalami peningkatan dan berimbas kepada berkurangnya lahan hutan. Selanjutnya, lahan pantai pun sudah mulai digunakan untuk lahan garapan pertanian. Tahap I dari skema menunjukkan keterbatasan sumber daya lingkungan alam. Dengan kata lain, terdapat keterbatasan terhadap daya dukung biosfer. Kualitas dan kuantitas hutan berkurang secara drastis dan tidak urung pula menimbulkan degradasi lahan hutan. Ketimpangan proporsi jumlah penduduk antara kota dan desa mengakibatkan ketimpangan pembangunan di kedua wilayah tersebut. Gambar 4.13 Sumber: World Geography, 1996 Di unduh dari : Bukupaket.com 71 Pola Keruangan Desa dan Kota

5. Pembangunan Pedesaan di Indonesia