Tabel 13. Persentase Usia dengan Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011
Keaktifan Usia
Rendah Tinggi
Rendah 38,9
41,7 Tinggi
61,1 58,3
Total 100,0
18 100,0
12 Tabel 13 menunjukkan sebesar 61,1 persen warga belajar yang memiliki
usia yang tinggi memiliki tingkat keaktifan yang rendah. Sebesar 38,9 persen warga belajar dengan usia rendah memiliki keaktifan yang rendah pula. Untuk
warga belajar dengan usia tinggi dan tingkat keaktifan yang tingkat keaktifannya tinggi terdapat sebanyak 58,3 persen. Dan terdapat sebanyak 41,7 persen warga
belajar dengan usia tinggi yang memiliki tingkat keaktifan yang rendah. Persentase tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara warga belajar dengan usia tinggi yang memiliki tingkat keaktifan tinggi dengan warga belajar usia rendah yang memiliki tingkat keaktifan yang
tinggi ataupun sebaliknya. Hasil uji menunjukkan, nilai signifikansi untuk hubungan antara usia dengan tingkat keaktifan adalah 0,879. Hal ini berarti bahwa
tidak terdapat hubungan antara usia dengan tingkat keaktifan warga belajar. Nilai signifikansi yang lebih besar daripada
α 0,1 menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara usia dengan tingkat keaktifan
ditolak.
6.2.2 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Tingkat Keaktifan
Hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat keaktifan akan diuji menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Pearson. Uji ini dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat keaktifan warga belajar. Hipotesis awal menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata
antara jenis kelamin dengan tingkat keaktifan. Yaitu, bahwa kemungkinan adanya kecenderungan jenis kelamin tertentu untuk lebih aktif. Hasil tabulasi silang akan
disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Persentase Jenis Kelamin dengan Keaktifan Warga Belajar di PKBM
Negeri 17 Jakarta, 2011 Keaktifan
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan Rendah
38,9 41,7
Tinggi 61,1
58,3 Total
100,0 18
100,0 12
Tabel 14 menunjukkan bahwa sebesar 38,9 persen warga belajar laki-laki memiliki keaktifan yang rendah dan sebesar 41,7 persen warga belajar perempuan
memiliki keaktifan yang rendah pula. Pada tingkat keaktifan tinggi, terdapat sebanyak 61,1 persen warga belajar laki-laki dan 58,3 persen warga belajar
perempuan. Angka tersebut menunjukkan bahwa untuk variabel jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan memiliki keaktifan yang sama-sama tinggi. Dari
tabel silang tersebut terlihat bahwa jenis kelamin tidak ada pengaruhnya terhadap keaktifan warga belajar dalam bertanya atau proaktif untuk setiap kegiatan yang
ada hubungannya dengan peningkatan kualitas pengetahuan akademis mereka. Hal tersebut diperkuat oleh hasil uji korelasi Pearson yang menunjukkan
angka Asymp. Sig. sebesar 0,879 yang berarti bahwa secara statistik tidak terhadap hubungan antara jenis kelamin dengan usia karena nilainya yang jauh di atas
α 0,1. Hasil uji menunjukkan bahwa kondisi pada Paket C di PKBM Negeri 17
Penjaringan, Jakarta dapat dikatakan telah cukup memiliki kesadaran akan
pendidikan sehingga tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang jika terjadi mungkin saja akan menyebabkan adanya isu gender.
6.2.3 Hubungan antara Sosial Ekonomi dengan Tingkat Keaktifan
Hipotesis awal untuk variabel ini menyatakan bahwa terdapat hubungan antara keadaan sosial ekonomi dengan keaktifan warga belajar. Untuk menguji
hipotesis ini akan dilakukan tabulasi silang dan uji korelasi Pearson. Tabel 15 akan memuat hasil tabulasi silang.
Tabel 15. Persentase Sosial Ekonomi dengan Tingkat Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011
Keaktifan Sosial Ekonomi
Rendah Tinggi
Rendah 42,9
37,5 Tinggi
57,1 62,5
Total 100,0
14 100,0
16 Berdasarkan hasil penelitian ini, umumnya kategori sosial ekonomi warga
belajar adalah dari keluarga menengah ke bawah dan keluarga kurang mampu yang telah bekerja atau memiliki penghasilan sendiri sehingga kategori tinggi
didominasi oleh warga belajar yang telah bekerja, sedangkan kategori rendah adalah warga belajar yang belum bekerja. Pengkategorian ini didapatkan dari hasil
jumlah rata-rata pendapatan mereka sebulan. Warga belajar yang pendapatannya berada di bawah rata-rata akan masuk ke dalam kategori rendah dan warga belajar
yang memiliki pendapatan di atas rata-rata akan masuk ke dalam kategori tinggi. Pada Tabel 15 di atas, terdapat sebanyak 42,9 persen warga belajar dengan
sosial ekonomi rendah memiliki keaktifan yang juga rendah dan sebesar 37,5 persen warga belajar dengan keaktifan rendah yang memiliki keadaan sosial
ekonomi tinggi. Terdapat 57,1 persen warga belajar dengan keadaan sosial ekonomi rendah namun memiliki keaktifan yang tinggi dan sebesar 62,5 persen
warga belajar dengan keadaan sosial ekonomi tinggi yang memiliki keaktifan yang tinggi pula.
Hasil uji menunjukkan, nilai signifikansi untuk hubungan antara sosial ekonomi dengan keaktifan adalah 0,765. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan
antara sosial ekonomi dengan keaktifan warga belajar. Nilai signifikansi yang menunjuk pada angka 0,765 menunjukkan angka yang lebih besar daripada
α 0,1 sehingga hal ini menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara
dua variabel yang diuji. Haryati 2007 menyatakan bahwa variabel sosial ekonomi memiliki
hubungan sangat nyata dan negatif terhadap keefektifan total. Keefektifan total dalam penelitian Haryati 2007 tersebut adalah gabungan skor dari variabel
pengetahuan, sikap dan keterampilan. Pada penelitian tersebut, faktor sosial ekonomi sangat berhubungan nyata dengan keterampilan. Jadi dikatakan bahwa
dengan semakin tingginya status sosial, keefektifannya justru semakin rendah. dengan kata lain, responden yang berlatar belakang status sosial tinggi tidak cocok
sebagai peserta Paket B. Penelitian Haryati 2007 tersebut bertolak belakang dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
antara keadaan sosial ekonomi dengan tingkat keaktifan.
6.2.4 Hubungan antara Motivasi dengan Tingkat Keaktifan