Analisis Pendapatan dan Efisiensi Faktor-Faktor Produksi Usaha Ternak Itik Pedaging di Kabupaten Bogor

(1)

ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI FAKTOR-FAKTOR

PRODUKSI USAHA TERNAK ITIK PEDAGING

DI KABUPATEN BOGOR

MUHAMMAD JAZA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pendapatan dan Efisiensi Faktor-Faktor Produksi Usaha Ternak Itik Pedaging di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikuti dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skirpsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Muhammad Jaza NIM H44100078


(4)

ii

ABSTRAK

MUHAMMAD JAZA. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Faktor-Faktor Produksi Usaha Ternak Itik Pedaging di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh UJANG SEHABUDIN.

Itik merupakan salah satu komoditas pertanian yang terus mengalami pertumbuhan di Indonesia. Salah satu alasan untuk pertumbuhan ini adalah peningkatan konsumsi daging itik. Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki jumlah terbesar dalam produksi daging itik di Indonesia. Salah satu kabupaten yang menghasilkan daging itik adalah Kabupaten Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pendapatan usaha ternak yang dilihat berdasarkan skor R/C ratio, serta untuk mengetahui efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi usaha ternak itik pedaging. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan skor R/C ratio dari usaha ternak itik padaging adalah 1.13. Skor R/C ratio untuk pelaku usaha ternak dengan kandang basah dan kering kandang adalah 1,16 dan 0.13. Fungsi produksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungsi produksi Douglas dan fungsi produksi translog. Berdasarkan fungsi produksi Cobb-Douglas penelitian ini didapatkan bahwa pakan konsentrat, pakan campuran, dan kepadatan kandang bisa menjelaskan fungsi produksi untuk produksi daging itik. Dalam fungsi produksi trasnlog penelitian ini didapatkan bahwa ada hubungan antara ketiga faktor produksi daging itik. Dari hasil perhitungan efisiensi dalam produksi daging bebek dapat dijelaskan bahwa nilai rasio efisiensi ekonomi untuk pakan konsentrat adalah 0.735970 dan nilai rasio efisiensi ekonomi untuk pakan campuran adalah 2.735969. Nilai ini dapat menjelaskan bahwa pemanfaatan untuk setiap faktor produksi dapat ditambah atau dikurangi dalam analisis efisiensi ekonomi.


(5)

iii

ABSTRACT

MUHAMMAD JAZA. Income Analysis and Efficiency of Production Factors on Duck Farms in Bogor. Supervised by UJANG SEHABUDIN.

Duck is one of the agricultural commodities that continue to experience growth in Indonesia. One reason for this growth is the increased consumption of meat ducks. West Java province which has the greatest number in the production of meat ducks in Indonesia. One of the counties that produce meat of ducks is Bogor distric. This study was aiming for knowing the income of duck farms based on score of R?C ratio, and for knowing the efficiency usage of the production factors of duck farms. Based on the research results obtained R/C ratio score of boiler ducks farms is 1.13. R/C ratio score for the cattle trade with wet and dry cage enclosure was 1.16 and 0.13. The production function used in this research is the Cobb-Douglas production function and translog production function. Based on the Cobb-Douglas production function study found that concentrated feed, mixed feeds and cage density could explain the function of production for the production of meat ducks. In the production function trasnlog this study found that there is a relationship between the three factors of production of meat ducks. From the results of the calculation of efficiency in the production of meat duck can be explained that the value of economic efficiency ratio for concentrated feed is 0.735970 and the value of the ratio of economic efficiency for the feed mixture is 2.735969. This value can be explained that the utilization for each of the factors of production can be added or subtracted in the analysis of economic efficiency. Keywords : Duck, incomes, factors of production, production efficiency.


(6)

(7)

v

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI FAKTOR-FAKTOR

PRODUKSI USAHA TERNAK ITIK PEDAGING

DI KABUPATEN BOGOR

MUHAMMAD JAZA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(8)

(9)

vii

Judul Skripsi : Analisis Pendapatan dan Efisiensi Faktor-Faktor Produksi Usaha Ternak Itik Pedaging di Kabupaten Bogor

Nama : Muhammad Jaza

NIM : H44100078

Disetujui oleh

Ir Ujang Sehabudin, M.Si Pembimbing I

Diketahui oleh

Dr Ir Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen


(10)

(11)

ix

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Analisis Pendapatan dan Efisiensi Faktor-Faktor Produksi Usaha Ternak Itik Pedaging di Kabupaten Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan kontribusi serta kerjasama dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada:

1. Bapak Muhammad Salim dan Ibu Dindin Dinijah Sururi tercinta, serta keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, motivasi, dukungan, serta doa yang terus dipanjatkan demi kelancaran penulisan skripsi ini.

2. Ir Ujang Sehabudin, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, saran, dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Dr Ir Ahyar Ismail, M.Agr dan Fitria Dewi Raswatie, S.P, M.Si selaku dosen penguji skripsi

4. Seluruh teman, sahabat, dan kerabat dekat atas kerjasama, semangat, dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.

5. Seluruh rekan ESL 47 atas kerjasama, bantuan, semangat, dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.

6. Seluruh Dosen dan Tenaga Pendidikan Departemen ESL yang telah membantu selama penulis menyelesaikan studi di ESL.

Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam membantu proses persiapan hingga penyusunan skripsi ini. Semoga kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2014


(12)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 5

II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1Ternak Itik ... 6

2.2 Sistem Pemeliharaan Itik ... 6

2.3 Faktor-faktor Produksi Usaha Ternak Itik Pedaging ... 7

2.4 Penelitian Terdahulu ... 12

III KERANGKA PEMIKIRAN... 15

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 15

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 24

IV METODE PENELITIAN ... 26

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 26

4.3 Penentuan Sampel Penelitian ... 26

4.4 Metode Analisis Data ... 27

V GAMBARAN UMUM ... 38

5.1 Karakteristik Usaha Ternak Responden ... 38

VI HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

6.1 Analisis Pendapatan Usaha Ternak Itik Pedaging di Kabupaten Bogor ... 40

6.2 Analisis Faktor-Faktor Produksi Usaha Ternak Itik Pedaging ... 52

6.3 Analisis Efisiensi Faktor-Faktor Produksi Usaha Ternak Itik Pedaging ... 61

VII SIMPULAN DAN SARAN ... 64

7.1 Simpulan ... 64

7.2 Saran ... 65

LAMPIRAN ... 69


(13)

xi

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Produksi daging unggas Indonesia tahun 2011-2013 (ton) ... 2

2. Sebaran sampel penelitian ... 27

3. Matriks penelitian ... 27

4. Karakteristik pelaku usaha ternak berdasarkan kelompok umur ... 38

5. Biaya rata-rata pembuatan dan masa penggunaan rata-rata kandang basah (ada kolam) dan kering usaha ternak itik pedaging ... 46

6. Biaya rata-rata usaha ternak itik pedaging per jumlah rata-rata itik yang digunakan pelaku usaha ternak per periode ... 48

7. Biaya rata-rata usaha ternak itik pedaging kandang basah (ada kolam) dan kandang kering per jumlah rata-rata itik yang digunakan pelaku usaha ternak per periode ... 49

8. Biaya rata-rata total usaha ternak itik pedaging kandang basah (ada kolam) dan kandang kering per kilogram ekor itik per periode ... 50

9. analisis pendapatan usaha ternak itik pedaging per jumlah rata-rata itik yang digunakan pelaku usaha ternak per periode ... 51

10. Analisis pendapatan usaha ternak itik pedaging kandang basah (ada kolam) dan kandang kering per jumlah rata-rata itik yang digunakan pelaku usaha ternak per periode ... 51

11. Analisis fungsi produksi Cobb-Douglas usaha ternak itik pedaging... 53

12. Analisis fungsi produksi translog usaha ternak itik pedaging ... 56

13. Analisis elastisitas rata-rata faktor-faktor produksi usaha ternak itik pedaging pada fungsi produksi translog ... 58

14. Rasio NMP dan BKM faktor-faktor produksi usaha ternak itik pedaging berdasarkan fungsi produksi translog ... 62

15. Perhitungan jumlah rata-rata penggunaan faktor-faktor produksi aktual dan efisien secara ekonomi usaha ternak itik pedaging per jumlah rata-rata itik yang digunakan pelaku usaha ternak per periode ... 62

16. Perhitungan rata-rata penerimaan aktual dan optimal usaha ternak itik pedaging berdasarkan perhitungan rasio NPM/BKM ... 63

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Kandang tipe basah (ada kolam) (kiri) dan kandang tipe kering (kanan) ... 12

2. Tahapan dari suatu proses produksi ... 21

3. Kerangka pemiikiran operasional penelitian ... 25

4. Karakterisitik usaha ternak berdasarkan lama menjalankan usaha ... 39

5. Bagan pemasaran hasil usaha ternak itik pedaging ... 42


(14)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Dokumentasi ... 71

2. Kuesioner Penelitian ... 72

3. Hasil Regresi Fungsi Produksi Cobb-Douglas ... 76

4. Uji Korelasi ... 77

5. Hasil Regresi Fungsi Produksi Translog ... 78

6. Perhitungan Elastisitas Faktor-Faktor Produksi per Usaha Ternak Itik Pedaging pada Fungsi Produksi Translog ... 79

7. Keragaman Usaha Ternak Itik Pedaging di Kabupaten Bogor ... 80


(15)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Itik merupakan salah satu komoditas peternakan di Indonesia yang terus menerus mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Masyarakat saat ini sudah banyak yang tertarik untuk mengembangkan usaha ternak itik. Perkembangan usaha ternak itik ini dapat dilihat dari bertambahnya populasi itik di Indonesia dari tahun ke tahunnya. Menurut data Badan Pusat Statistik populasi itik Indonesia di tahun 2008 mencapai 39 840 000 ekor dan jumlah tersebut terus bertambah hingga mencapai 50 931 000 ekor pada tahun 2013. Pertambahan jumlah populasi itik tersebut dapat menjelasakan bahwa adanya pertumbuhan dalam sektor usaha ternak itik pedaging di Indonesia.

Salah satu faktor yang mempengaruhi pertambahan populasi itik adalah adanya perubahan tren masyarakat yang sebelumnya gemar mengonsumsi daging ayam ras mulai berubah untuk mulai mengonsumsi daging itik yang memiliki rasa yang lebih enak dan gurih. Perubahan tersebut membuat berkembangnya kuliner dengan berbasis daging olahan itik sehingga permintaan daging itik di Indonesia semakin meningkat (Wakhid 2013). Rasanya yang enak dan gurih merupakan karakteristik daging itikyang membuat masyarakat tertarik dalam mengonsumsi daging itik. Ketertarikan masyarakat akan kuliner berbahan dasar daging itik menyebabkan berkembangnya kuliner yang merupakan olahan daging itik di Indonesia. Daging itik selain enak dan gurih juga memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi. Ketersedian gizi daging itik dapat memenuhi 47% kebutuhan protein manusia setiap harinya. Kesadaran masyarakat Indonesia akan pemenuhan protein dan gizi dari daging itik ini membuat berkembangnya jumlah usaha ternak itik di Indonesia. Pada akhirnya ketertarikan tersebut menyebabkan bertambahnya produksi karakas itik yang merupakan produk utama dari itik pedaging.

Dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi itik pedaging, Indonesia selama ini masih memenuhinya dengan impor yang sebagian besar berupa itik pekin. Mutu itik lokal yang digunakan sebagai itik pedaging masih jauh lebih rendah dan harganya lebih murah dibandingkandengan itik impor (Setioko 2012). Dalam penyediaan daging itik produksinya di Indonesia sudah mulai mengalami


(16)

2

peningkatan. Peningkatan tersebut dapat dilihat dengan produksi daging itik di Indonesia yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan jumlah yang cukup signifikan (Tabel 1). Jumlah produksi daging itik yang bertambah ini belum mampu menyaingi jumlah produksi daging ayam yang sudah lebih banyak dikembangan usahanya di Indonesia.

Tabel 1 Produksi daging unggas Indonesia tahun 2011-2013 (ton)

Produksi Daging Unggas Tahun

2011 2012 2013*

Ayam Kampung 264 797 267 493 287 438

Ayam Pedaging 1 337 909 1 400 468 1 479 812

Itik/Itik Manila 28 184 33 610 34 579

*Angka Sementara

Sumber: Badan Pusat Statistik 2014

Usaha ternak itik sudah menyebar di seluruh Indonesia. Seiring dengan berkembangnya teknologi pelaku usaha ternak mulai mengembangkan usaha ternak itik mulai dari usaha pembibitan, pembesaran atau penggemukan, hingga usaha ternak untuk menghasilkan telur itik. Salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki populasi itik terbesar dan memiliki jumlah produksi daging itik terbesar adalah Provinsi Jawa Barat. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, Provinsi Jawa Barat memiliki itik sebanyak 8 191 708 ekor pada tahun 2009. Jumlah tersebut terus bertambah mencapai angka 8 943 189 ekor pada tahun 2013. Sebagai salah satu daerah yang memiliki jumlah itik terbesar di Indonesia Provinsi Jawa Barat juga memiliki produksi daging itik terbesar di Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Jawa Barat pada tahun 2011 mampu memproduksi daging itik sebanyak 6 417 ton. Jumlah produksi daging itik ini menurun pada tahun 2013. Jawa Barat pada tahun 2013 hanya memproduksi daging itik sebanyak 6 171 ton.

Jumlah penduduk yang semakin bertambah dan perkembangan kuliner berbasis daging itik menyebabkan meningkatnya permintaan daging di Indonesia mengalami pertambahan setiap tahunnya. Jawa Barat merupakan salah satu daerah penghasil daging itik terbesar di Indonesia, akan tetapi semenjak tahun 2011 sampai 2013 produksi daging itik mengalami penurunan. Pengembangan dan penanaman investasi pada peternakan itik pedaging agar dapat berproduksi secara


(17)

3

efisien dan potensi bisnis yang tertanam dalam usaha ternak itik pedaging sangat berpengaruh untuk menambah pendapatan peternak. Ukuran pendapatan usaha juga dapat mempengaruhi kesejahteraan pelaku usaha ternak, oleh karena itu perlu dilakukan kajian mengenai efisiensi produksi dalam menjalankan usaha ternak itik serta bagaimana pendapatan yang didapatkan oleh pelaku usaha ternak.

1.2 Perumusan Masalah

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki pengaruh besar dalam menyediakan persediaan dan permintaan daging itik di Indonesia. Pada tahun 2013 Jawa Barat mampu memproduksi daging itik sebanyak 6 171 ton, akan tetapi jumlah ini tidak sebanyak produksi pada tahun 2011. Salah satu daerah Penghasil daging itik di Jawa Barat adalah Kabupaten Bogor, menurut Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor produksi daging itik di daerah ini mencapai 106 ton pada tahun 2013. Jumlah produksi tidak begitu besar yang

dimiliki Kabupaten Bogor ini tidak menutup kemungkinan perlu

dikembangkannya usaha ternak itik pedaging. Lokasi yang berdekatan dengan Provinsi Jakarta dan dengan pusat perkotaan yang memiliki jumlah pendududukcukup banyak dan memiliki perekonomian berkembang dengan pesat menyebabkan Kabupaten Bogor memiliki lokasi yang strategis dalam mengembangkan usaha ternak itik pedaging.

Dalam menjalankan usaha ternak itik pedaging tentunya dibutuhkan faktor-faktor dalam memproduksi untuk memenuhi permintaan akan daging itik. Setiap pelaku usaha dalam menjalankan usahanya tentunya ingin menggunakan faktor produksi sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil produksi produksi dengan jumlah tertentu. Penggunaan faktor produksi yang sesuai dengan jumlah hasil produksi yang diharapkan tentunya membutuhkan kajian mengenai efisiensi dalam produksi di peternakan itik. Berdasarkan faktor produksi ini dapat dilihat seberapa efisien produksi usaha ternak itik pedaging dalam menghasilkan menghasilkan kontribusi terhadap pendapatan pelaku usaha.

Setiap usaha dan bisnis tentunya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang merupakan tujuan akhir dari sebuah usaha, seberapa besar tingkat pendapatan yang dapat dihasilkan oleh usaha ternak tentunya dapat menentukan


(18)

4

kesejahteraan peternak. Pendapatan didapatkan dari selisih antara penerimaan dan biaya. Selisih tersebut tentunya menentukan apakah usaha ternak mendapatkan keuntungan atau sebaliknya. Perhitungan yang baik mengenai penerimaan dan biaya menentukan kebijakan usaha dalam mengalokasiakan faktor-faktor produksi agar usaha mendapatkan keuntungan maksimum yang diharapkan dapat menghasilkan pendapatan lebih untuk pengembangan usaha ternak. Berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, dapat disimpulkan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaiman pendapatan dari usaha ternak itik pedaging di Kabupaten Bogor? 2. Apa saja faktor-faktor produksi yang digunakan dalam produksi ternak itik

pedaging di Kabupaten Bogor?

3. Bagaimana efisiensi dari penggunaan faktor-faktor produksi pada usaha ternak itik pedaging di Kabupaten Bogor?

1.3 Tujuan Penelitian

1.Menganalisis pendapatan usaha ternak itik pedaging di Kabupaten Bogor; 2.Mengidentifikasi faktor-faktor produksi yang digunakan dalam produksi

usaha ternak itik di Kabupaten Bogor;

3.Menganalisis efisiensi produksi usaha ternak itik.

1.4 Manfaat Penelitian

Terdapat berbagai macam manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, dari sudut pandang peneliti, penelitian ini diharapkan dapat mengaplikasikan pembelajaran dan kemampuan analisis yang didapatkan pada masa perkuliahan terhadap suatu permasalahan yang terkait dengan produksi usaha ternak. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan pembaca mengenai alokasi faktor-faktor produksi, efisiensi produksi, pendapatan, serta keberlanjutan usaha sehingga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan dalam melakukan produksi dan masukan bagi perbaikan produksi untuk usaha peternakan itik. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan dan informasi mengenai efisiensi, keuntungan, dan upaya keberlanjutan usaha


(19)

5

tersebut bagi pelaku usaha, pemerintah, maupun pemilik modal yang berminat terhadap usaha peternakan itik pedaging.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini hanya memfokuskan permasalahan kepada dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dalam kegiatan proses produksi itik pedaging yang dilakukan pada 30 usaha ternak itik pedaging yang ada di Kabupaten Bogor sebagai sampel. Pengambilan contoh didasarkan dengan jumlah minimum secara statistik untuk penentuan sampel dalam penelitian. Pengambilan jumlah contoh ini juga dikarenakan keterbatasan data dilapang mengenai jumlah pelaku usaha ternak itik pedaging. Analisis yang dikaji dalam penelitian ini menggunakan data primer berdasarkan hasil wawancara dan penelitian di lapang dengan bahasan antara lain mengenai analisis faktor-faktor produksi dengan fungsi produksi Cobb-Douglas dan fungsi produksi translog, perhitungan efisiensi usaha ternak dilakukan dengan menghitung efisiensi dengan pendekatan perbandingan rasio Nilai Marginal Produk (NPM) dan Biaya Korbanan Marginal (BKM). Mengenai analisis pendapatan dilakukan dengan pendekatan penerimaan dan biaya yang dikeluarkan usaha ternak. Analisis pendapatan dilakukan terhadap jumlah rata-rata itik yang digunakan dari 30 usaha ternak itik pedaging dalam satu periode.


(20)

6

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1Ternak Itik

Itik merupakan salah satu jenis ungas air omnivorous (pemakan segala) yang masuk ke dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, dan family Anatidae. Itik yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah itik spesies Anas sp. yang berasal dari jenis itik liar. Itik merupakan unggas air yang memiliki ciri-ciri kaki relatif lebih pendek dibandingkan tubuhnya dan jarinya dihubungkan dengan selaput renang, memiliki paruh yang ditutupi oleh selaput halus, bulu berbentuk cekung, tebal ke arah tubuh, dan berminyak. Itik dewasa memiliki lapisan lemak di bawah kulit, daging itik tergolong daging gelap (dark meat), dan tulang dada itik datar seperti sampan. Di Indonesia masyarakat lebih mengenal itik dengan nama bebek. berdasarkan karakteristik dan tujuan beternaknya itik dibedakan menjadi dua jenis itik yaitu itik pedaging yang ditunjukan untuk menghasilkan daging itik dan itik jenis petelur yang ditunjukkan untuk menghasilkan telur itik. Selain dari pemanfaatan daging dan telurnya dalam usaha ternak itik baik kotoran dan bulu dari itik itu dapat dimanfaatkan kembali untuk usaha-usaha tertentu yang dapat memanfaatkannya. Di Indonesia jenis itik yang berkembang di masyarakat dan termasuk tipe pedaging antara lain itik peking, entok atau itik manila, dan tiktok yang merupakan hasil persilangan antara itik dan entok. Itik tipe petelur yang berkembang di Indonesia antara lain itik cirebon, itik mojosari, itik albino, itik tegal, itik bali, itik magelang, dan itik khaki Campbell (. Day old Duck (DOD) atau bibit itik jantan dari jenis itik petelur dan itik petelur apkir kini dipelihara untuk dimanfaatkan dagingnya sebagai itik pedaging (Ketaren 2002; Arifah et al 2013; Wakhid 2013).

2.2 Sistem Pemeliharaan Itik

Usaha pemeliharaan itik di Indonesia sudah berkembang sejak zaman Hindia Belanda.Pada masa itu, itik khaki campbell dan pekin masuk ke Indonesia. Meski itik impor mulai berkembang, itik lokal berkembang pula dan tetap dipelihara oleh peternak. Itik biasanya digembala secara berpindah-pindah di kawasan persawahan setelah panen dengan memanfaatkan padi yang rontok dan


(21)

7

biota sawah sebagai sumber pakan sehingga biaya pakan rendah.Sistem gembala ini mempunyai beberapa ciri, antara lain berskala kecil (50-200 ekor), merupakan turun-temurun, dan menyebar di areal persawahan yang luas (Setioko 2012).

Menurut Wakhid (2013) terdapat tiga sistem pemeliharaan itik, yang pertama sistem gembala, sistem pemeliharaan ini memiliki karakteristik pemeliharaan yang belum terpadu, seperti pemeliharaan dengan penggembalaan, seluruh pakan itik didapatkan dari penggembalaan, kandang seadanya tanpa disediakan parit, dan belum digunakannya vaksin pada ternak. Sistem yang kedua adalah pemeliharaan secara semi-intensif, pada sistem pemeliharaan ini itik sesekali digembalakan, pakan sebagian buatan dan sebagian didapatkan dari penggembalaan. Pola pemeliharaan secara semi-intensif juga memiliki kandang dilengkapi kolam intensif, dan sudah dilakukannya pemberian vaksin meskipun belum rutin. Sistem pemeliharaan yang ketiga adalah sistem pemeliharaan intensif pada sistem pemeliharaan ini itik tidak lagi digembalakan, pakan yang diberikan adalah pakan buatan, kandang yang disediakan untuk ternak adalah kandang kering seperti pada pemeliharaan ayam ras, dan pemberian vaksin sudah rutin dilakukan.

Saat ini sistem pemeliharaan penggembalaan sudah mulai tergantikan dengan sistem pemeliharaan secara semi-intensif dan intensif. Penyempitan lahan sawah yang menjadi sumber pakan utama itik secara tradisional dan jumlah permintaan yang semakin meningkat akan hasil produksi ternak itik membuat sistem pemeliharaan itik secara semi-intensif dan intensif lebih berkembang dibandingkan sistem pemeliharaan penggembalaan.

2.3 Faktor-faktor Produksi Usaha Ternak Itik Pedaging

Kegiatan usahatani dalam menjalankan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi di dalam kegiatan produksi pada ternak itik pedaging. Menurut hasil penelitian Alfred dan Agbede (2012) menunjukkan bahwa ketersediaan pakan, biaya input dan kandang, dan penggunaan tenaga kerja memiliki hubungan yang signifikan terhadah produktivitas itik. Wakhid (2013) faktor-faktor yang mempengaruhi produksi itik pedaging antara lain Day Old Duck (DOD) atau bibit, pakan, air minum, vaksin dan obat-obatan, vitamin, kandang, dan tenaga kerja.


(22)

8

2.3.1 Day Old Duck (DOD)

Day Old Duck (DOD) atau bibit yang baik berasal dari induk yang produktif. Jenis DOD yang banyak digunakan pelaku usaha ternak selain jenis itik pedaging adalah DOD itik petelur jantan, karena disamping harganya yang murah pertumbuhannya juga relatif cepat untuk memperoleh DOD dapat melalui pembibitan yang dilakukan sendiri oleh peternak ataupun dengan pembelian DOD dari toko yang menjual bibit atau DOD itik, ataupun dengan pembelian di peternak lain (Wakhid 2013).

2.3.2 Pakan

Kunci keberhasilan pemeliharaan itik dalah kualitas dan kuantitas pakan. Pakan yang berkualitas mengandung nutrisi yang seimbang. Pakan yang berkualitas dapat mendukung pertumbuhan ternak yang optimal serta meningkatkan produktivitas daging dengan cepat. Namun, umumnya seadanya, seperti limbah rumah tangga, sawut, dedak, kepala udang, sagu, dan padi tanpa memperhatikan imbangan kandungan nutriennya. Peternak belum mengetahui kebutuhan imbangan protein kasar dan energi untuk metabolisme yang ideal (Suryana 2008). Bahan pakan yang digunakan untuk ternak itik sebaiknya murah, tidak beracun, tidak asin, kering, tidak berjamur, tidak busuk/bau/apek, tidak menggumpal, serta mudah diperole mudah diperoleh (Ketaren 2002).

Sistem pemeliharaan itik pedaging dapat diklasifikasi menjadi dua tahap pemeliharaan, yang pertama adalah periode starter dan periode finisher. Dalam periode starter pemberian pakan itik harus mencukupi kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh anak itik, karena pada masa starter merupakan masa yang rentan akan matinya anak itik. Pakan untuk anak itik pada periode starter minimal harus memiliki kandungan protein minimal sebanyak 19% dan energy yang dihasilkan minimal sebesar 2800 Kkal EM/Kg. Penyediaan nutrisi ini juga ditujukan untuk merangsang pertumbuhan anak itik. Dalam penyediaan nutrisi yang dibutuhkan oleh anak itik bisa didapatkan dengan pemberian pakan buatan pabrik yang kandungan nutrisinya sudah disesuaikan atau dengan pemberian pakan buatan sendiri. Pada periode finisher kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan itik tidak sebesar pada periode starter, pada periode finisher pakan itik harus memiliki kandungan protein mencapai lebih dari 17% dan energi sebesar 2600 Kkal EM/Kg. Pakan


(23)

9

yang diberikan kepada itik pada periode ini merupakan pakan buatan yang dibuat oleh peternak, pakan buatan peternak biasanya merupakan kombinasi dari bahan-bahan seperti dedak, menir, tepung ikan, nasi kering, serta bahan-bahan-bahan-bahan lainnya yang mampu memenuhi kebutuhan protein itik sampai masa panen (Ketaren 2002; Ketaren 2010; Wakhid 2013).

2.3.3 Air Minum

Seperti mahluk hidup lainnya itik membutuhkan minum untuk proses metabolisme tubuh dan pengaturan suhu tubuh. air yang cukup harus disediakan dalam jumlah yang memadai setiap hari. Unggas tidak akan tumbuh dan akan mati dalam beberapa hari jika tidak diberi air minum. Unggas dapat bertahan hidup jika diberi pakan basah yang mengandung banyak air atau diberi pakan kering dan sekaligus air minum. Kebersihan dan kualitas air juga sama pentingnya dengan ketersediaan air bagi ternak. Air yang sejuk dan tawar lebih disukai daripada air yang hangat dan mengandung garam (Ketaren 2010). Kebersihan air minum juga harus dijaga agar itik tidak terserang penyakit. Air yang sesuai untuk konsumsi manusia pasti juga sesuai untuk konsumsi itik. (Ketaren 2002). North (1984) dalam Ketaren (2010) menjelaskan bahwa unggas dapat bertahan hidup jika diberi pakan basah yang mengandung banyak air atau diberi pakan kering dan sekaligus air minum. Kebutuhan air untuk unggas sama dengan dua sampai tujuh kali berat pakan yang dimakannya dalam bentuk kering .

2.3.4 Vaksin dan Obat-obatan

Bakteri merupakan agen penyakit yang dapat menurunkan kesehatan hewan, produksi dan produktivitasa serta dapat menyebabkan kematian ternak. Penemuan antibakteri untuk mengonati penyakit bakterial merupakan awal dari modernisasi ilmu kedokteran. Pada awalnya antibakteri digunakan untuk pengobatan, tetapi kemudian berkembang menjadi substansi untuk pencegahan penyakit, peningkatan produksi dan produktivitas ternak. Pencegahan atau pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan pemberian vaksin. Pecegahan penyakit dengan vaksinisasi akan lebih baik hasilnya dibandingkan dengan kemoterapi, karena tidak menimbulkan resistensi dantidak meninggalkan residu pada ternak (Soeripto 2002).


(24)

10

Pemberian vaksin kepada itik dapat dilakukan dengan cara suntik, melalui tetes mata atau tetes hidung, serta melalui air minum. Pemberian vaksin pertama pada DOD yaitu vaksin Duck Virus Hepatitis (DVH) untuk mencegah hepatitis pada itik. Pada usia dua minggu dan dua bulan itik diberikan vaksin tetelo. Saat DOD terkena penyakit kolera maka vaksin kolera diberikan. Obat cacing juga diberikan kepada itik sejak berumur dua minggu dan selanjutnya setiap bulan hingga itik mencapai masa panen. Obat cacing dapat didapatkan peternak dengan membelinya atau membuatnya dengan campuran temu ireng dan buah pinang (Wakhid 2013).

2.3.5 Vitamin

Faktor produksi selain bibit dan pakan seperti vitamin untuk menunjang pertumbuhan itik juga dibutuhkan dalam pembesaran itik pedaging. Vitamin digunakan merangsang pertumbuhan dan kualitas itik pedaging yang dihasilkan. Vitamin dibutuhkan oleh unggas untuk menjaga kesehatan secara umum, kesehatan mata dan untuk membantu pembekuan darah, untuk kesehatan otot, fertilitas dan daya tetas telur, untuk proses metabolisme dan pembentukan tulang (Ketaren 2010).

North (1984) dalam Ketaren (2010) menjelaskan bahwa sumber vitamin: sebagian besar bahan pakan, minyak tanaman. lemak hewan, daun-daunan seperti tepung alfalfa, daun lamtoro, daun gamal, daun kaliandra, dan premix campuran vitamin dan mineral yang dapat dibeli di toko pakan ternak. Wakhid (2013) juga menjelaskan bahwa bahan-bahan herbal seperti kencur, jahe, kunyit, lengkuas dan bahan-bahan herbal lainnya yang dapat merangsang pertumbuhan itik. Pemberian vitamin biasanya dicampurkan dengan pakan yang nantinya akan diberikan kepada itik.

2.3.6 Kandang

Rasyaf (1991) dalam Sari et al (2012) menyatakan bahwa produksi ternak beberapa faktor, antara lain keturunan (genetik), ransum, pengelolaan, perkandangan pemberantasan dan pencegahan penyakit dan yang terakhir adalah faktor lingkungan. Sari et al (2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kandang yang memiliki suhu lebih tinggi dan juga kelembaban yang rendah


(25)

11

memiliki pengaruh yang lebih baim terhadap ternak itik dibandingkan dengan kandang yang suhu lebih rendah dan kelembabannya tinggi.

Kandang yang baik bagi ternak sama hakekatnya dengan rumah yang nyaman bagi manusia. Udara yang segar dan tidak kekurangan sinar matahari, serta terdapat ruang gerak yang leluasa merupakan kriteria kandang yang baik. Masa starter itik atau sekitar itik berumur satu hari hingga berumur sekitar dua sampai empat minggu itik ditempatkan di kandang khusus untuk memelihara itik pada periode starter. Kandang starter atau kandang indukan harus mendukung pertumbuhan dan menjaga kesehatan, temberatur, serta keamanan DOD. Kebutuhan terhadap temperatur lingkungan tersebut dapat dipenuhi dengan menyediakan kandang indukan. Kandang indukan merupakan serangkaian sistem yang terdiri dari alat pemanas dan dilengkapi tempat pakan dan air minum, litter, dan pencahayaan. Kandang indukan dapat menggunakan jenis alat pemanas yang mampu menghasilkan panas secara langsung maupun tidak langsung. Pemanasan secara langsung yaitu memanaskan udara dengan alat pemanas secara konveksi dan memasukkan udara panas tersebut ke dalam ruangan, sedangkan pemanasan tidak langsung adalah memanaskan udara yang ada di dalam ruangan dengan alat pemanas secara radiasi sehinggameningkatkan temperatur ruang (Risnajati 2011; Wakhid 2013).

Kandang grower merupakan kandang untuk itik yang umurnya telah mencapai dua sampai empat minggu, kandang ini berukuran lebih besar dan tidak lagi menggunakan lampu pemanas. Terdapat tiga tipe kandang grower, pertama kandang tertutup, kandang baterai, dan kandang ren yang merupakan kombinasi kandang tertutup dan ruang terbuka. Pada tipe kandang ren terdapat dua perbedaan jenis kandang yaitu tipe kandang basah (ada kolam) dan tipe kandang kering (Wakhid 2013).

Hasil penelitian Iskandar et al (2009) menjelaskan bahwa kepadatan kandang secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan (bobot hidup, pertambahan bobot hidup, konsumsi atau efisiensi penggunaan ransum). Dari hasil penelitian tersebut didapatkan kepadatan kandang 8 ekor/ 4050 cm2 setara dengan 506 cm2/ekor memberikan ruang yang cukup nyaman untuk hidup sesuai dengan potensi genetik unggas.


(26)

12

Sumber : Penulis (2014)

Gambar 1 Kandang tipe basah (ada kolam) (kiri) dan kandang tipe kering (kanan)

2.3.7 Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam sebuah usaha pertanian. Ratusan hingga seribu ekor itik dapat dipelihara oleh satu orang pekerja, idealnya satu orang pekerja merawat seribu ekor itik. Berkontribusinya tenaga kerja dalam pemeliharaan tentunya menyebabkan perawatan itik yang lebih intensif sehingga kualitas itik dapat terjamin (Soekartawi 2002; Wakhid 2013).

2.4 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu dilakukan pada usaha ternak itik hibrida pedaging di Peternakan Saonada Kabupaten Jombang yang dilakukan oleh Alfikri et al. (2013). Tujuan Penelitian tersebut yaitu untuk menganalisis kelayakan usaha ternak itik pedaging hibrida dakam kapasitas ternak sebanyak 1000 ekor itik. Penelitian tersebut menghasilkan nilai R/C ratio dari usaha ternak sebesar sebesar 1,19. Net Present Value (NPV) bernilai positif yaitu sebesar Rp 52 194 068.00. Internal Rate of Return (IRR) sebesar 43.70% dan Payback Period (PP) selama 1.94 tahun. Berdasarkan studi aspek teknis dan finansial yang dilakukan untuk kapasitas ternak sebanyak 1000 ekor dapat disimpulkan bahwa pemeliharaan itik layak untuk dijalankan.

Menurut penelitian Fatimah (2004) dalam Sarwanto (2011) menjelaskan bahwa ternak itik memiliki peranan sangat besar dalam pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga peternak di Kabupaten Mojokerto. Kebutuhan hidup rumah tangga yang dimaksudkan adalah kebutuhan baik untuk makanan dan bukan


(27)

13

makanan. Dengan kata lain peranan ternak itik sangat penting dalam rumah tangga peternak sehingga dapat memperbaiki kondisi sosial ekonomi rumah tangga mereka.

Marzuki (2005) melakukan penelitian mengenai program pengentasan kemiskinan dengan usaha peternakan itik di Kabupaten Magelang. Hasil penelitian menunjukan bahwa bantuan usaha peternakan itik untuk petani peternak sangat cocok dalam upaya pengentasan kemiskinan. Pelaksanaan paket bantuan peternakan itik sangat baik dan efektif karena dapat menaikkan pendapatan petani peternak yang mendapatkan bantuan rata-rata mencapai Rp 59 881.35 per bulan. Sarwanto (2011) melakukan penelitian pada salah satu usaha peternakan di daerah Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor menyatakan pada aspek sosial, ekonomi, dan budaya, dampak positif yang ditimbulkan diantaranya menciptakan lapangan pekerjaan baru dan menambah aktivitas ekonomi pada hulu dan hilir agribisnis.

Penelitian yang dilakukan oleh Ugbomeh (2002) memperhatian karakteristik sosio-ekonomi dari peternak itik di Ughelli Utara dan daerah Pemerintah Daerah Selatan Delta State of Nigeria, dan implikasinya terhadap ketahanan pangan. Pengalaman peternak itik dalammenjalankan produksi itik berkisar antara 1 sampai 5 tahun. Itik yang berkembang biak umum adalah itik jenis Muscovy, yang rupanya memiliki kesesuaian untuk berkembang biak untuk kedua daging dan telur. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa adanya potensi produksi itik untuk menjembatani kesenjangan protein di kalangan masyarakat.

Hasil penelitian Alam et al (2012) mengenai sosial ekonomi dan manajemen peternak itik di Rajshahi menunjukkan bahwa sebagian besar petani (74%) digunakan pakan tambahan yang cukup untuk itik mereka. Sekitar 73% petani dipisahkan itik sakit mereka dari itik yang sehat. Hal ini juga menemukan bahwa sebagian besar petani (89%) mengubur itik mati mereka di bawah tanah. Data menunjukkan bahwa sebagian besar petani (67%) memiliki ide parsial tentang penyakit itik. Proporsi tertinggi dari petani (72%) diikuti program vaksinasi ketat. Sekitar 71% petani berkonsultasi dengan dokter desa. Hampir 51% petani memiliki tingkat rendah pengetahuan tentang peternakan itik. Dalam


(28)

14

penelitian ini 10 masalah yang diidentifikasi dari mana harga rendah daging itik dan telur dibuat peringkat sebagai masalah yang paling serius. Jika masalah tersebut ditangani dengan benar, penggalangan bebek bisa menjadi bisnis yang lebih menguntungkan di Bangladesh.


(29)

15

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis merupakan penjelasan-penjelasan mengenai hal-hal yang berdasarkan kepada teori yang digunakan dalam penelitian. Penelitian ini diantaranya mengenai efisiensi produksi dan pendapatan. Beberapa teori yang dipaparkan untuk menjelaskan penelitian ini adalah mengenai fungsi produksi, daerah produksi, elastisitas produksi, efisiensi produksi, dan pendapatan, penerimaan, serta biaya.

3.1.1 Konsep Pendapatan

Soekartawi (1991) menjelaskan bahwa pendapatan (π) dalam suatu usaha diperoleh dari total penerimaan (Total Revenue / TR) dikurangi dengan total biaya (Total Cost / TC) dalam suatu proses produksi. Total penerimaan dari usahatani diperoleh dari produksi fisik (Y) dikalikan dengan harga produksi (PY).

Pendapatan yang nilainya positif disebut juga keuntungan. Apabila selisih dari pendapatan bernilai negatif disebut kerugian. Pendapatan ini mencakup suatu produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga petani, digunakan dalam usahatani untuk bibit, digunakan untuk pembayaran, dan yang disimpan.

Biaya produksi adalah jumlah yang dikeluarkan dalam mengorganisir dan menjalankan sebuah proses produksi. Komponen yang termasuk biaya antara lain biaya untuk input dan jasa yang digunakan dalam produksi. Sederhananya biaya total (TC) adalah penjumlahan biaya tetap (Total Fixed Cost/ TFC) dan biaya variabel (Total Variable Cost/ TVC) dalam produksi biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi. Dalam pertanian pajak, tanah, sewa tanah, penyusutan alat-alat bangunan pertanian, bunga pinjaman dan biaya sejenisnya termasuk dalam biaya tetap. Biaya variabel adalah biaya yang berhubungan langsung dengan jumlah produksi (Doll dan Orazem 1984).

Soekartawi et al (1986) menjelaskan komponen biaya berdasarkan yang langsung dikeluarkan dan diperhitungkan biaya terdiri dari (1) Biaya tunai adalah biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar tunai. Biaya tetap misalnya pajak


(30)

16

tanah dan bunga pinjaman, sedangkan biaya variabel misalnya pengeluaran untuk bibit, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja luar keluarga. Biaya tunai ini berguna untuk melihat pengakolasian modal yang dimiliki oleh petani; (2) Biaya yang tidak tunai (diperhitungkan) adalah biaya penyusutan alat-alat pertanian, sewa lahan milik sendiri (biaya tetap) dan tenaga kerja dalam keluarga (biaya variabel). Biaya tidak tunai ini untuk melihat bagaimana manajemen suatu usahatani dilaksanakan.

Salah satu parameter dalam analisis usaha adalah penerimaan untuk nilai rupiah yang dikeluarkan atau lebih dikenal dengan R/C ratio atau rasio R/C. Soekartawi (1991) menjelaska bahwa analisis rasio R/C digunakan untuk mengetahui keuntungan relatif usahatani berdasarkan perhitungan finansial. Rasio R/C menunjukkan besarnya penerimaan yang diperoleh dengan pengeluaran dalam satu satuan biaya. Nilai rasio R/C > 1 berarti penerimaan diperoleh lebih besar dari pada tiap unit biaya yangdikeluarkan untuk memperoleh penerimaan tersebut. Apabila nilai R/C < 1 maka tiap unit biaya yang dikeluarkan akan lebih besar dari pada penerimaan yang diperoleh.

3.1.2 Konsep Fungsi Produksi

Fungsi produksi menggambarkan dari hubungan input dan output dan menjelasakn tingkat dari setiap input yang akhirnya akan menghasilkan produk. Sebuah fungsi produksi dapat dijelasakan dalam berbagai macam cara seperti ditulis dalam sebuah perhitungan yang dapat menjelasakan bahwa input memiliki pengaruh terhadap output; dengan mendaftar input dan output dalam tabel; dalam gambar ataupun diagram; atau dalam sebuah rumus aljabar (Doll dan Orazem 1984). Secara matematis sebuah fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut Y = f (X1, X2, ... Xi, .... , Xn) ... (1)

Y = output atau hasil produksi

X = input atau faktor produksi

i, n = faktor produksi ke-i, ke-n

Berdasarkan fungsi produksi seperti tersebut, maka hubungan Y dan X dapat diketahui dan sekaligus hubungan X1, X2, ... Xi, .... , Xn lainnya juga dapat


(31)

17

diketahui (Soekartawi,1990). Model pengukuran efisiensi berbeda-beda

tergantung dari model yang dipakai. Umumnya ada dua model yang biasa dipakai, yaitu model fungsi produksi dan model linear programming (Soekartawi 1991). Model fungsi produksi dapat dirumuskan dengan berbagai macam, Semaoen (1992) menjelaskan bahwa ada beberapa contoh fungsi produksi seperti fungsi produksi Mitcherlich-Spillman, fungsi produksi liner, fungsi produksi Cobb-Douglas, fungsi produksi Constant Elasticity of Subtitution (CES), fungsi produksi transdensental, dan fungsi produksi translog.

Soekartawi (1990) menjelaska bahwafungsi Cobb-Douglas merupakan salah satu model fungsi produksi yang umum digunakan untuk menjelaskan hubungan antara produksi dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, variabel yang satu disebut dengan variabel dependent, yang dijelaskan (Y) dan yang lain disebut variabel independent, yang menjelaskan (X). Penyelesaian hubungan antara Y dan X biasanya dengan cara regresi yang pada akhirnya ditunjukkan variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kaidah-kaidah pada regresi juga berlaku dalam penyelesaian fungsi Cobb-Douglas. Rasmussen (2011) menjelaskan secara matematis, fungsi Cobb-Douglas dengan dua input produksi dapat dituliskan dalam persamaan berikut :

Y = α X1 1 X2 β eu ... (2)

Soekartawi (2002) menjelaskan apabila ditulis dalam bentuk linier logaritmik persamaan Cobb-Douglas dapat dituliskan kembali dalam bentuk sebagai berikut. ln Y = ln α + 1 ln X1 + 2 ln X2 + u ... (3)

Keterangan :

Y = variabel yang dijelaskan

X = variabel yang menjelaskan

α, = besaran yang akan diduga

u = kesalahan (disturbance term)


(32)

18

Persamaan di atas dapat dengan mudah diselesaikan dengan cara regresi berganda. Penggunaan fungsi Cobb-Douglas didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan berikut : (1) penyelesaian fungsi Cobb-Douglas relatif lebih mudah dibandingkan dengan fungsi yang lain, karena perhitungannya yang sederhana dan dapat ditransformasi ke dalam bentuk persamaan linier; (2) koefisien pangkat dari masing-masing fungsi produksi Cobb-Douglas sekaligus menunjukkan besarnya elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi yang digunakan terhadap hasil produksi; (3) jumlah elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi yang diduga sekaligus merupakan pendugaan terhadap skala usaha dari proses produksi yang berlangsung; (4) bentuk fungsi produksi Cobb-Douglas paling banyak digunakan dalam penelitian, khususnya penelitian bidang pertanian (Soekartawi 1990).

Penggunaan fungsi produksi Cobb-Douglas tentunya memiliki beberapa batasan dalam analisis dan perhitungannya. Fungsi produksi Cobb-Douglas memiliki beberapa kelemahan antara lain: (1) bias terhadap variabel manajemen; (2) asumsi bahwa teknologi dianggap netral, atau sama, padahal belum tentu teknologi di daerah penelitian adalah sama; (3) model fungsi Cobb-Douglas tidak dapat digunakan untuk menduga tingkat produksi pada taraf penggunaan faktor produksi sama dengan nol, karena logaritma dari nol adalah bilangan yang tidak diketahui besarnya (infinite); (4) sering terjadi multikolinier (Rassmussen 2011; Soekartawi 1990; Soekartawi 2002).

Fungsi produksi lain yang menjadi terkenal di bidang ekonomi pertanian dalam menduga elastisitas subtitusi antara faktor-faktor produksi disebut translog production function yang lebih dikenal dengan fungsi produksi translog. Fungsi produksi logaritma transedental atau translog merupakan fungsi produksi yang dikembangkan untuk mecari jalan keluar dari kelemahan-kelemahan yang ada dari fungsi produksi yang telah ada sebelum fungsi produksi translog. Adapun fungsi translog sudah banyak diaplikasikan untuk berbagai penelitian baik dengan kasus biaya, keuntungan, maupun produksi (Samaoen 1992). Debertin (1986) memperkenalkan fungsi produksi translog secara umum yang ditulis sebagai berikut :


(33)

19

Dalam Debertin (1986) Christensen, Jorgen, dan Lau menyatakan terkadang kondisi kuadrat juga diikutsertakan dalam fungsi, sehingga fungsi akan menjadi :

Ln Y = Ln α + 1 Ln X1 + 2 Ln X2+ ½ Ln X1 Ln X2 + ½ ϕ1 (Ln X1)2 +

½ ϕ2 (Ln X2)2 ... (5)

Fungsi produksi translog merupakan salah satu bagian dari de Janvry’s generalized power production family, maka fungsi produksi jika ditulis menjadi antilog menjadi :

Y = α X1 1 X

2 βe(½ )(Ln X1) (Ln Xβ) ... (6)

Keterangan :

Y = variabel yang dijelaskan atau hasil produksi

X1, X2 = variabel yang menjelaskan atau faktor produksi

α, 1, 2, , ϕ1, ϕ2 = Parameter

e = logaritma natural; e = 2,718

Fungsi produksi diatas, fungsi translog terlihat mirip dengan fungsi produksi transdental yang dikembangkan oleh Halter, Carter, Hocking (1957) yang dijelaskan dalam Debertin (1986), dalam kasus khusus bila nilai sama dengan nol maka fungsi translog akan sama seperti fungsi produksi Cobb-Douglas. Dalam Semaoen (1992), Berndt dan Chistensen (1973) menggunakan beberapa kondisi dalam membahas fungsi translog lebih lanjut, antara lain fungsi produksi adalah memenuhi syarat memperoleh konstan terhadap skala (constant return to scale), serta tidak adanya perubahan teknologi atau perubahan teknologi netral. Keduanya juga menyarankan untuk menduga parameter fungsi produksi translog dengan persamaan semi-logaritmik, yaitu persamaan yang tebentuk jika perolehan terhadap skala konstan, maka elastisitas produksi masing-masing faktor produksi (Mi) akan membentuk persamaan sebagai berikut :

M1 = 1 + Ln X2 + ϕ1 Ln X1


(34)

20

Terdapat beberapa asumsi yang diperlukan untuk menduga parameter fungsi produksi dengan persamaan semi-logaritmik. Asumsi-Asumsi yang digunakan adalah (1) Setiap penyimpangan yang terjadi dalam elastisitas faktor produksi (Mi) dari logaritma produk marginal terjadi disebabkan kesalahan perilaku minimisasi biaya; (2) Variabel gangguan (disturbance error) pada persamaan semi-logaritmik bersifat aditif; (3) Data harga dan jumlah pemakaian faktor produksi semuanya merupakan variabel.

Samaoen (1992) menjelaskan bahwa persamaan translog dapat diduga secara parsial dengan menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square). Nilai efisiensi dalam pendugaan dapat diperbesar jika seluruh informasi yang tersedia dalam persamaan tersebut dimanfaatkan dalam pendugaan. Pendugaan yang efisien harus digunakan koefisien korelasi antar persamaan atau model yang digunakan.

3.1.3 Konsep Elastisitas Produksi

Elastisitas produksi merupakan penjelasan dai perubahan hasil produksi dari perubahan jumlah input yang digunakan dalam produksi Apabila ada lebih dari satu input maka mungkin untuk menghitung elastisitas produksi untuk setiap inputnya. Perhitungan nlai elastisitas produksi untuk setiap inputnya dapat dilihat dari perbandingan produk marginal dengan produk rata-rata (Rasmussen 2011).

Doll dan Orazem (1984) menjelasakan bahwa Produk marginal (PM) merupakan perubahan di hasil produksi (Y) yang diakibatkan dari tambahan unit atau perubahan jumlah unit dari faktor produksi (X). Ada dua cara dalam menghitung PM yaitu menghitung secara rata-rata atau dengan pasti. PM secara rata-rata dihitung dengan membagi perubahan dari output (ΔY ) dengan perubahan jumlah dari input (ΔX) dalam produksi. Secara matematis PM dapat

dituliskan dengan PM = ΔY/ΔX. Soekartawi (1990) menjelaskan bahwa

pembahasan terhadap PM akan lebih bermanfaat bila dikaitkan dengan produk rata-rata (PR) dan output atau produk total (PT). Dengan mengaitkan PM, PR, dan PT, maka dapat diketahui elastisitas produksi (Ep) yang sekaligus juga akan diketahui apakah proses produksi yang sedang berjalan dalam keadaan elastisitas produksi yang rendah atau sebaliknya. Menurut Rassmussen (2011) elastisitas produksi (Ep) adalah persentase perubahan dari output sebagai akibat dari


(35)

21

persentase perubahan dari input. Secara matematis elastisitas produksi dapat

dituliskan dengan Ep = X/Y . ΔY/ΔX atau sama dengan Ep = PM/PR.

Disajikan dalam Gambar 2 merupakan tahapan dari sebuah proses produksi. Dapat dijelaskan pada selang bahwa tahapan 1 (daerah 1) dalam produksi didapatkan saat nilai PM lebih besar dari PR atau saat nilai nilai Ep > 1. Pada titik akhir tahapan pertama (titik B) nilai PR mencapai maksimum dan nilai Ep = 1. Pada selang ini pelaku usahatani masih mampu memperoleh sejumlah produksi yang cukup menguntungkan manakala sejumlah input ditambahkan. Tahapan II dimulai dari selang B sampai dengan C (daerah II) nilai nilai PM terlihat lebih kecil dibandingkan dengan PR atau nilai Ep akan lebih besar dari nol akan tetapi lebih kecil dari satu atau 0 < Ep < 1. Pada selang ini merupakan

kondisi dimana penggunaan input produksi mencapai nilai maksimum dan

merupakan daerah relevan dari penggunaan input dalam berproduksi. Pada akhir tahapan ke II (titik C) nilai Ep akan sama dengan nol karena nilai bila PM sama dengan nol. Tahapan III dimulai dari daerah C ke kanan (daerah III) nilai EP < 0, pada situasi ini PT dalam keadaan menurun, nilai PM menjadi negatif, dan PR dalam keadaan menurun, dapat disimpulkan bila usahatani berproduksi di daerah ini makan usahatani tersebut sudah tidak lagi menguntungkan atau merugi (Doll dan Orazem 1984; Soekartawi 1990).

Sumber :Soekartawi (1990)

Gambar 2 Tahapan dari suatu proses produksi 0

0

Ep > 1 0<Ep<1 Ep < 0

I

0 20 40 60 80 100

1st Qtr 2nd Qtr 3rd Qtr 4th Qtr

East West North

II III

PM PR PT


(36)

22

3.1.4 Konsep Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi

Efisiensi ekonomi merupakan kondisi saat penggunaan faktor-faktor produksi dapat memaksimalkan tujuan dari individu ataupun sosial. Dalam perhitungan efisiensi ekonomi dari fungsi produksi dibutuhkan beberapa kondisi. Kondisi yang dibutuhkan dalam efisiensi ekonomi antara lain (1) tidak ada kemungkinan memproduksi jumlah output yang sama dengan jumlah input yang lebih sedikit; (2) tidak ada kemungkinan memproduksi jumlah output yang lebih dengan jumlah input yang sama. Dalam fungsi produksi kondisi yang memungkinkan untuk analisis efisiensi adalah apabila elastisitas produksi berada dalam selang 0 ≤ Ep ≤ 1 (Doll dan Orazem 1984).

Soekartawi (1991) menjelaskan umumnya terdapat dua model yang biasa dipakai untuk memodelkan pengukuran efisiensi, yaitu model fungsi produksi dan model linear programming. Pengukuran efisiensi dalam penelitian akan dilakukan dengan menggunakan model fungsi produksi, yaitu fungsi produksi translog. Pengertian efisiensi dalam ilmu ekonomi dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu efisiensi teknis, efisiensi harga dan efisiensi ekonomi. Penggunaan faktor produksi dikatakan efisien secara teknik apabila produksi yang dipakai menghasilkan produksi yang maksimum. Dikatakan efisensi harga apabila nilai marginal sama dengan harga faktor produksi yang bersangkutan dan dikatakan efisiensi apabila produksi tercapai pada saat penggunaan faktor-faktor produksi dapat menghasilkan keuntungan maksimum. Efisiensi dapat tercapai apabila terpenuhi dua syarat. Syarat yang pertama mengacu pada hubungan fisik antara faktor-faktor produksi dengan produksi yang dihasilkan, sedangkan syarat yang kedua mengacu pada tingkat efisiensi. Efisiensi dengan keuntungan maksimum tercapai apabila Nilai Produksi Marginal (NPM) sama dengan Biaya Korbanan Marginal (BKM), artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan untuk faktor-faktor produksi mampu memberikan tambahan penerimaan dengan jumlah yang sama dengan tambahan biayanya.

Doll dan Orazem (1984) mejelaskan keuntungan merupakan pengurangan dari total penerimaan dengan total biaya. Secara matematik keuntungan dapat ditulis sebagai berikut :


(37)

23

Keterangan :

π = Keuntungan

Y = Output

Py = Harga output per unit

Xi = Faktor produksi (input) ke- i yang dipakai dalam proses produksi

Pxi = Harga faktor produksi (input) ke-i

TFC = Total Fixed Cost (Total Biaya Tetap)

Keuntungan maksimal tercapai pada saat turunan pertama dari fungsi keuntungan terhadap masing-masing faktor produksi sama dengan nol. Secara matematik dapat dituliskan sebagai berikut :

= Py . –Pxi = 0

= . Py = Pxi ... (9)

Dimana adalah produk marginal dari faktor produksi ke-i (PMxi). Soekartawi

(1991) menjelaskan bila nilai PMxi dikalikan dengan harga Y (Py) maka akan

menghasilkan nilai produksi marginal dari faktor produksi ke-i (NPMxi). Nilai Pxi

adalah harga faktor produksi atau biaya korbanan marginal xi (BKMxi), maka

= PMxi . Py = Pxi

= NPMxi = BKMxi ... (10)

Persamaan terakhir dapat juga dituliskan sebagai berikut jika harga faktor produksinya tidak dipengaruhi oleh jumlah dari faktor produksi tersebut.

NPMxi = BKMxi

... (11)

Rasmussen (2011) menjelaskan bahwa untuk penggunaan lebih dari satu faktor produksi, maka efisiensi atau keuntungan maksimum dapat tercapai dalam kondisi sebagai berikut


(38)

24

... (12)

Apabila NPMxi lebih besar dari BKMxi atau rasio lebih besar dari satu maka

penggunaan faktor produksi ke-i belum digunakan secara optimum. Apabilabesar NPMxi lebih kecil dari BKMxi maka penggunaan faktor produksi ke-i belum tidak

digunakan secara optimum karena biaya yang digunakan lebih besar dibandingkan dengan hasil yang didapatkan dari produksi Doll dan Orazem 1984; Soekartawi 1991).

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Salah satu daerah penghasil daging itik di Jawa Barat adalah Kabupaten Bogor. Menurut Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor produksi daging itik di daerah ini mencapai 106 ton pada tahun 2013. Jumlah produksi yang tidak begitu besar tidak menutup potensi yang dimiliki Kabupaten Bogor. Lokasi yang berdekatan dengan Provinsi Jakarta dan dengan pusat perkotaan yang jumlah pendududuk cukup banyak dan memiliki perekonomian berkembang dengan pesat menyebabkan Kabupaten Bogor memiliki lokasi yang strategis dalam mengembangkan usaha budidaya ternak itik pedaging. Berdasarkan hal tersebut maka analisis mengenai efisiensi faktor-faktor produksi usaha ternak itik pedaging diperlukan untuk mengetahui penggunaan faktor-faktor produksi yang tepat sehingga dapat diketahui keadaan usaha ternak itik di Kabupaten Bogor yang diharapkan dapat melihat efisiensi serta tingkat pendapatan yang ada pada usaha ternak itik.

Model produksi yang dibentuk merupakan model fungsi produksi Cobb-Douglas dan model fungsi produksi translog. Model diuji fungsi produksi kemudian akan diuji dengan menggunakan uji ekonometrika dan statistik untuk menentukan kelayakan model sebagai model penelitian. Setelah itu dilakukan penghitungan efisiensinya dengan menggunakan rasio Nilai Produk Marginal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marginal (BKM). Hasil produksi yang diperoleh perusahaan akan menghasilkan penerimaan. Selisih antara penerimaan dan biaya tersebut merupakan pendapatan yang diperoleh perusahaan. Analisis rasio R/C yang merupakan perbandingan antara penerimaan yang diterima perusahaan


(39)

25

dengan biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Bagan kerangka operasional penelitian dapat dilihat sebagai berikut :

Gambar 3 Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian

Penerimaan Biaya

Produksi Usaha Ternak Itik Pedaging Jawa Barat Mengalami Penurunan

Faktor Produksi Usaha Ternak Itik Pedaging

Hasil Produksi Usaha Ternak Itik Pedaging (Daging Itik)

Analisis Pendapatan Model Fungsi Produksi

Pengujian Model Fungsi Produksi

Analisis Efisiensi (Rasio NPM dan BKM)

Tingkat Pendapatan Usaha Ternak itik Pedaging

Rekomendasi


(40)

26

IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji efisiensi produksi dan analisis pendapatan yang terdapat pada usaha ternak itik pedaging. Usaha ternak itik yang diteliti merupakan usaha ternak itik pedaging yang berada di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Menurut Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor usaha ternak itik pedaging menyebar di beberapa daerah seperti Kecamatan Ciomas, Kecamatan Gunung Sindur, Kecamatan Leuwisadeng, Kecamatan Nanggung, Kecamatan Parung Panjang, Kecamatan Ranca Bungur, serta Kecamatan Rumpin. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-Maret 2014.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan pihak usaha ternak itik pedaging yang dilakukan dengan bantuan kuesioner (daftar pertanyaan) serta pengamatan langsung pada usaha ternak itik pedaging yang berada di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Data sekunder dari penelitian ini didapatkan dari instansi-instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik, serta Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor.

4.3 Penentuan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah usaha ternak itik pedaging di Kabupaten Bogor. Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 usaha ternak itik pedaging, menurut Baiky (1982) dalam Sukandarrumidi (2002) menyatakan bahwa pengambilan sampel ini dilakukan sesuai dengan jumlah minimum statistik. Adapun pengambilan sampel secara penentuan beruntun (snowball sampling) ini dilakukan karena adanya keterbatasan data populasi pelaku usaha ternak di Kabupaten Bogor. Berikut disajika tabel sebaran sampel yang digunakan dalam penelitian ini.


(41)

27

Tabel 2 Sebaran sampel penelitian berdasarkan kecamatan di Kabupaten Bogor

Kecamatan Jumlah Sampel %

Ciomas 2 6.67

Gunung Sindur 4 13.33

Leuwisadeng 7 23.33

Nanggung 6 20.00

Parung Panjang 1 3.33

Ranca Bungur 5 16.67

Rumpin 5 16.67

Total 30 100.00

Sumber: Data Primer (2014)

4.4 Metode Analisis Data

Pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Kemudian dilakukan analisis data yang ditujukan agar data dan informasi yang telah dikumpulkan dapat lebih berarti serta dapat memberikan informasi. Analisis data

kuantitatif menggunakan software statistik digunakan untuk mengetahui

pendapatan usaha ternak, penggunaan faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap hasil produksi, serta menghitung tingkat efisiensi produksi. Tingkat pendapatan usaha ternak itik dapat diketahui melalui pendekatan rasio R/C dari usaha ternak itik yang ada. Analisis data kualitatif yang diuraikan secara deskriptif digunakan untuk menjabarkan tentang usaha ternak serta kegiatan yang berkaitan dengan produksi. Berikut merupakan matriks penelitian yang digunakan dalam penelitian ini.

Tabel 3 Matriks penelitian

No. Tujuan Penelitian Data Yang digunakan Metode Analisis

1 Menganalisis tingkat pendapatan usaha ternak itik pedaging

Data primer dari hasil wawancara dengan pelaku usaha ternak

Analisis pendapatan dan rasio R/C

2 Mengidentifikasi faktor-faktor produksi dalam produksi usaha ternak itik

Data primer dari hasil wawancara dengan pelaku usaha ternak

Menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dan fungsi produksi Translog 3 Menganalisis efisiensi produksi

usaha ternak itik

Data primer dari hasil wawancara dengan pelaku usaha ternak

Menggunakan Analisis efisiensi produksi (uji Rasio NPM dan BKM)


(42)

28

4.4.1 Analisis Pendapatan Usaha Ternak Itik Pedaging

Pengujian pendapatan usaha ternak memiliki tujuan untuk melihat apakah usahatani yang dijalankan masih menguntungkan atau tidak. Ukuran pendapatan dalam penelitian ini menggunakan konsep pendapatan bersih usaha ternak. Pendapatan bersih usaha ternak adalah selisih pendapatan kotor usaha ternak dengan pengeluaran total usahatani. Pendapatan bersih usaha ternak digunakan untuk mengukur imbalan yang diperoleh usaha ternak dari penggunaan faktor-faktor produksi, kerja, pengelolaan dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usaha (Soekartawi et all 1986).

Doll dan Orazem (1984) menjelaskan bahwa pengeluaran total usaha ternak adalah semua faktor produksi yang habis terpakai untuk proses produksi. Secara matematik pendapatan bersih dapat digambarkan sebagai berikut :

π = TR – TC

TR = Σ (Yi . PYi)

TC = TFC + TVC Maka,

π = Σ (Yi . PYi) – (TFC + TVC) ... (13)

Keterangan :

π = Pendapatan

TR = Total penerimaan (total revenue) TC = Total biaya (total cost)

Yi = Jumlah output yang dijual

PYi = Harga output yang dijual

i = Jenis output yang dijual

TFC = Total Fixed Cost (Total Biaya Tetap) TVC = Total Variable Cost (Total Biaya Variabel)

Pendapatan selain diukur dengan nilai mutlak, juga dinilai efisiensinya. Salah satu ukuran efisiensi pendapatan adalah Return Cost Ratio atau imbangan penerimaan (R/C). Nilai R/C yang menunjukkan berapa besar penerimaan yang diperoleh untuk setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan ditunjukkan dengan persamaan sebagai berikut :


(43)

29

R/C = ... (14)

Menurut Soekartawi (1991), jika nilai R/C > 1 berarti penerimaan yang diperoleh akan lebih besar daripada tiap unit biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penerimaan tersebut maka dapat disimpulkan usahatani merugi. Sebaliknya, jika nilai R/C < 1 maka tiap unit biaya yang dikeluarkan akan lebih besar daripada penerimaan yang diperoleh maka dapat disimpulkan usahatani merugi. Jika Nilai R/C = 1 dapat diartikan penerimaan yang di peroleh sama besar dengan pengeluaran, maka terjadi tititk impas atau tidak terjadi keuntungan ataupun kerugian di usahatani.

4.4.2 Model Fungsi Produksi Cobb-Douglas dan Fungsi Produksi Translog

Penelitian ini menduga faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi usaha ternak itik pedaging adalah pakan konsentrat atau pakan pur (PU), pakan campuran (PC), kepadatan kandang (KK), serta dua variabel dummy yang menjelaskan kelengkapan pakan campuran yang digunakan (DPC) dan jenis kandang yang digunakan (DJK). Kelengkapan dari pakan dilihat berdasarkan penggunaan kombinasi yang digunakan oleh pelaku usaha ternak apakah sudah memiliki kombinasi yang sesuai untuk kebutuhan pertumbuhan itik pedaging atau tidak. Jenis kandang yang digunakan dibedakan menjadi tipe kandang basah (ada kolam) dan kering. Berikut dirumuskan fungsi produksi Cobb-Douglas untuk usaha ternak itik pedaging.

SBP = a PUb1 PCb2 KK b2 ed1 DPC ed2 DJK eu ... (15) Melalui fungsi produksi Cobb-Douglas keterkaitan antar peubah-peubah tersebut secara matematis dapat dirumuskan dalam bentuk linier logaritma maka fungsi produksi Cobb-Douglas dari usaha ternak itik pedaging adalah sebagai berikut :

Ln SBP = Ln a + b1 Ln PU + b2 Ln PC + b3 Ln KK + b4 Ln TK + d1 DPC + d2 DJK + u ... (16) Nilai koefisien yang diharapkan antara lain: b1, b2, b3, d1, dan d2 > 0.


(44)

30

didapatkan nilai elastisitas total yang dapat menggambarkan skala usaha dari usaha ternak itik pedaging.

Adapun penggunaan fungsi translog dalam penelitian ini juga untuk mengetahui hubungan antar faktor-faktor produksi dalam suatu produksi itik pedaging. Keterkaitan antar peubah-peubah tersebut secara matematis bila ditulis dalam persamaan linier logaritma dapat dirumuskan sebagai berikut :

Ln SBP = Ln a –b1 LnPU + bβ LnPC + bγ LnKK + b4 LnTK + 12 LnPU*LnPC

+ 13 LnPU*LnKK + 14 LnPU*LnTK + 23 LnPC*LnKK + 24 LnPC*LnTK + 34 LnKK*LnTK + 11 ½ (lnPU)2+ 22 ½ (lnPC)2+ 33

½ (lnKK)2 + d1 DPC + d2 DJK + u ... (17) Keterangan :

Ln SBP = Selisih Hasil Produksi daging itik per periode (Kg)

Ln PU = Pakan Konsentrat (Pur) per periode (Kg)

Ln PC = Pakan Campuran per periode (Kg)

Ln KK = Kepadatan kandang (ekor/m2)

Ln TK = Tenaga Kerja (HKP)

DPC = Dummy Pakan Campuran ( 1 : Campuran pakan yang

lengkap, 0 : Campuran pakan yang tidak lengkap)

DJK = Dummy Jenis Kandang (1 : Kandang Basah (ada kolam),

0 : Kandang Kering) a, bi, ij = Parameter ( ij = ji)

e = logaritma natural; e = 2,718

u = kesalahan / galat (disturbance term).

Nilai koefisien yang diharapkan antara lain b1, b2, b3, b4, 11, 12, 13, 14, 22, 23, 24, 33, 34, 44,d1, dan d2 > 0. Nilai ij dipengaruhi berdasarkan antara

kombinasi antara faktor-faktor produksi seperti PU dengan PU, PU dengan PC, PU dengan KK, PC dengan PC, PC dengan KK, dan KK dengan KK. Berdasarkan

nilai ij dapat diketahui hubungan antar faktor-faktor produksi tersebut terhadap SBP.

Model fungsi produksi akan menghasilkan elastisitas produksi (Ep), apabila lebih besar dari nol (Ep > 0) secara teknis peningkatan sebesar satu persen


(45)

31

dari faktor produksi tersebut akan meningkatkan produksi sebesar elastisitas produksinya. Sebaliknya jika elastisitas produksi lebih kecil dari nol (Ep < 0), peningkatan sebesar satu persen dari penggunaan faktor-faktor produksi akan menyebabkan turunnya produksi sebesar elastisitas produksinya.

Menurut Soekartawi (1990), penjumlahan besarnya elastisistas produksi menunjukkan tingkat besaran skala ekonomi usaha (return to scale). Nilai penjumlahan elastisitas produksi ke-i yang lebih besar dari satu (Epi > 1) dapat

diartikan bahwa usaha ternak berada pada taraf kenaikan hasil yang meningkat (increasing return to scale), penjumlahannya sama dengan satu (Epi = 1) berada

pada kenaikan hasil yang tetap (constant return to scale), dan nilai penjumlahan lebih kecil dari satu (Epi < 1) berada pada kenaikan hasil yang semakin menurun

(decreasing return to scale).

Menurut Samaoen (1992) dalam fungsi produksi nilai elastisitas dari faktor-faktor produksi dapat diketahui dengan melihat nilai koefisien faktor-faktor produksi yang dihaslikan. Mengenai fungsi produksi translog untuk mengetahui nilai elastisitas faktor-faktor produksi dengan menurunkan fungsi produksi menjadi fungsi elastisitas. Fungsi elastisitas dari fungsi translog diatas adalah sebagai berikut :

EPU = b1 + 11 LnPU + 12 LnPC + 13 Ln KK + 14 LnTK

EPC = b2 + 12 LnPU + 22 LnPC + 23 LnKK + 24 LnTK

EKK = b3 + 13 LnPU + 23 LnPC + 33 LnKK + 34 LnTK

ETK = b4 + 14 LnPU + 24 LnPC + 34 LnKK + 44 LnTK ... (17)

Keterangan :

EPU =Elastisitas faktor produksi pakan konsentrat atau pakan pur (PU)

EPC =Elastisitas faktor produksi pakan campuran (PC)

EPU =Elastisitas faktor produksi kepadatan kandang (KK)

ETK = Elastisitas faktor produksi tenaga kerja (TK)

Dimana EPU, EPC, EKK, dan ETK masing-masing menunjukkan elastisitas dari


(46)

32

kondisi skala usaha dari seorang produsen, merujuk kepada ketentuan sebagai berikut:

1. EPU +EPC +EKK + ETK > 1, produsen dalam kondisi increasing return to scale.

2. EPU +EPC +EKK + ETK = 1, produsen dalam kondisi constant return to scale.

3. EPU +EPC +EKK + ETK < 1, produsen dalam kondisi decreasing return to scale.

4.4.3 Pengujian Model Fungsi Produksi

Metode yang digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab akibat dari faktor produksi dalam fungsi produksi tersebut adalah regresi. Pendugaan terhadap nilai-nilai koefisien regresi digunakan metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square (OLS). Analisis regresi linier akan diuji untuk melihat apakah model sudah baik atau belum, pengujian yang dilakukan antara lain adalah pengujian model secara ekonometrik dan secara statistik.

Pengujian Ekonometrik 1. Uji Multikolinearitas

Pendugaan fungsi produksi dengan kuadrat terkecil biasa (OLS) terkadang ditemui adanya masalah multikolinieritas (kolinieritas ganda). Berdasarkan Gujarati (2006b) multikolinieritas adalah terjadi hubungan yang sangat kuat antara peubah bebas. Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinieritas dapat dideteksi dengan melihat koefisien antara dua peubah penjelas. Adanya kolinearitas seringkali ditunjukkan jika nilai R cukup besar (terletak pada selang -1 ≤ R ≤ -0,5 atau 0,5 ≤ R ≤ 1) atau dalam hasil analisis software dapat diuji dengan kriteria Varian Inflation Factor (VIF). Ketentuannya apabila nilai VIF lebih besar dari 10 maka menunjukan terjadinya multikolinieritas

2. Uji Heteroskedastisitas

Berdasarkan Gujarati (2006b) heteroskedastisitas adalah pelanggaran atas salah satu asumsi metode pendugaan kuadrat terkecil homoskedastisitas yang merupakan ragam galat konstan dalam setiap pengamatan. Salah satu cara dalam mendeteksi ada tidaknya pelanggaran berupa heteroskedastisitas dalam suatu model dapat dilakukan dengan melihat terbentuk atau tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara residu yang dihasilkan dari regresi


(47)

33

sebagai sumbu X dan Y yang telah diprediksi pada sumbu Y. Pendeteksian ada atau tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan mengamati pola tertentu pada grafik scatterplot dengan dasar analisis uji jika terdapat pola seperti titik-titik yang membentuk pola tertentu secara teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit) pada grafik scatterplot, maka mengindikasikan telah terjadi pelanggaran berupa heteroskedastisitas. Apabila tidak terdapat pola yang jelas pada grafik scatterplot, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y, maka tidak terdapat pelanggaran heteroskedatisitas.

Pengujian Statistik

1. Pengujian Koefisien Determinasi (R2)

Berdasarkan Gujarati (2006a) nilai koefisien determinasi (R2) digunakan untuk melihat kebaikan suatu model dengan mengetahui seberapa besar persentase variasi produksi (Y) dapat diterangkan oleh faktor-faktor produksi (Xi) yang digunakan.Jika Persentase R2 tinggi berarti model yang digunakan cukup baik, demikian juga sebaliknya. Koefisien determinasi (R2) dapat dirumuskan sebagai berikut :

R2 = ... (18)

R2-adjusted (koefisien determinasi yang disesuaikan) dalam regresi berganda adalah nilai R2 yang telah disesuaikan terhadap banyaknya variabel bebas dan banyaknya observasi. R2-adjusted dirumuskan sebagai berikut :

... (19) Keterangan :

n = jumlah observasi


(48)

34

2. Uji Simultan (Uji-F)

Berdasarkan Gujarati (2006a) nilai F-hitung digunakan untuk melihat apakah parameter bebas yang digunakan yakni X1, X2, X3 secara bersama-sama

berpengaruh nyata terhadap parameter tidak bebas. Bila F-hitung lebih besar dari F-tabel, maka parameter bebas yang dipakai dalam analisis tersebut secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap parameter tidak bebas. Prosedur pengujian uji F adalah sebagai berikut :

Hipotesis :

H0 : b1 = b2 = b3 = ….. = bk = 0

H1: minimal ada satu k dimana bk ≠ 0

Kriteria uji ,

Fhitung = ... (20)

Jika Fhitung> Ftabel (k-1, n-k) tolak H0, jika H0 ditolak berarti secara

bersama-sama variabel dalam proses produksi mempunyai hubungan terhadap produksi. Fhitung< Ftabel (k-1, n-k) terima H0 dan jika H0 diterima berarti secara

bersama-sama variabel dalam proses produksi tidak berpengaruh nyata terhadap produksi.

3. Uji Parsial (Uji-t)

Berdasarkan Gujarati (2006a) pengujian parsial atau uji t digunakan untuk menguji secara terpisah apakah koefisien regresi dari masing-masing variabel bebas (Xi) yang dipakai secara terpisah berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tidak bebas (Y). Atau mengetahui apakah faktor-faktor produksi (Xi) secara parsial berpengaruh nyata atau tidak terhadap produksi (Y). Prosedur pengujian parsial atau uji t adalah sebagai berikut :

Hipotesis : H0 : bi ≥ 0


(49)

35

Kriteria uji :

thit = , ttabel = t α/β (n-k) ... (21)

Keterangan :

bi = kofisien regresi suatu variabel bebas

Se(bi) = standar kesalahan

n = jumlah pengamatan (sampel)

k = jumlah koefisien regresi dugaan termasuk intersep

Jika t hit < t tabel atau Sig .< α maka terima H0, artinya variabel (X1, X2,

X3) tidak berpengaruh nyata terhadap (Y) pada taraf nyata α. Jika t hit > t tabel atau Sig. > α maka tolak H0, artinya variabel (X1, X2, X3) berpengaruh nyata terhadap (Y) pada taraf nyata α.

Uji-t juga dapat dilakukan dengan cara melihat hasil olahan data yang dianalisis berdasarkan perhitungan statistik dengan melihat P-value atau nilai Sig. pada masing-masing variabel bebas. Berdasarkan nilai P-value diketahui sampai berapa persen variabel-variabel bebas mempengaruhi variabel tak bebasnya. Nilai P-value pada masing-masing variabel bebas yang lebih kecil

dari α maka dapat disimpulkan bahwa variabel bebas (X1, X2, X3) berpengaruh

nyata terhadap variabel tak bebasnya (Y).

4.4.4 Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor-faktor Produksi

Efisiensi adalah besaran yang menunjukkan perbandingan antara keuntungan yang sebenarnya dengan keuntungan yang dapat didapatkan (keuntungan maksimum) dalam sebuah proses produksi). Efisiensi tercapai pada saat Nilai Produk Marginal (NPM) sama dengan Biaya Korbanan Marginal (BKM) (Doll dan Orazem (1984); Rasmussen 2011). Nilai Produk Marginal (NPM) merupakan hasil kali harga produk dengan produk marginal sedangkan Biaya Korbanan Marginal (BKM) adalah tambahan biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan penggunaan faktor-faktor produksi satu satuan atau sama dengan harga dari masing-masing faktor produksi itu sendiri (Soekartawi 1990).


(1)

78

Lampiran 5. Hasil regresi Fungsi Produksi Translog

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. VIF

C 19.439 13.523 1.437 0.174

LnPU -1.414 1.070 -1.321 0.209 5399.662

LnPC 1.936 1.120 1.728 0.108 4466.118

LnKK 2.347 2.379 0.987 0.342 3336.090

LnTK -12.322 9.576 -1.287 0.221 7907.656

LnPU*LnPU 0.339 0.110 3.085 0.009 1458.433

LnPU*LnPC -0.303 0.112 -2.701 0.018 5761.290

LnPU*LnKK 0.171 0.116 1.468 0.166 452.569

LnPU*LnTK 0.464 0.320 1.449 0.171 7001.640

LnPC*LnPC 0.360 0.113 3.177 0.007 1586.331

LnPC*LnKK -0.212 0.129 -1.641 0.125 612.021 LnPC*LnTK -0.471 0.398 -1.184 0.258 8470.630

LnKK*LnKK -0.029 0.130 -0.220 0.829 15.257

LnKK*LnTK -0.554 0.706 -0.785 0.447 3713.167 LnTK*LnTK 3.916 3.340 1.172 0.262 11629.705

DPC 0.260 0.153 1.704 0.112 7.615

DJK -0.093 0.101 -0.914 0.377 7.252

R-squared 0.996 Mean dependent var 5.324 Adjusted R-squared 0.992 S.D. dependent var 1.135 S.E. of regression 0.103 Akaike info criterion -1.413 Sum squared resid 0.138 Schwarz criterion -0.619 Log likelihood 38.193 Hannan-Quinn criter. -1.159 F-statistic 219.620 Durbin-Watson stat 2.477

Prob(F-statistic) 0.000

Sumber : Data Primer (diolah)


(2)

79

Lampiran 6. Perhitungan Elastisitas Faktor-Faktor Produksi per Usaha Ternak Itik

Pedaging pada Fungsi Produksi Translog

Peternak Ln SBP Elastisitas Faktor Produksi Total

EPU EPC EKK ETK

1 6.745236 0.769271 0.315844 -0.333044 1.402422 2.154493 2 3.539509 -0.160008 0.985808 -0.257650 -0.169718 0.398431 3 3.539509 -0.160008 0.985808 -0.257650 -0.169718 0.398431 4 3.124565 -0.074347 0.887798 -0.137558 0.295719 0.971612 5 6.499787 0.615726 0.493408 0.091559 0.081633 1.282325 6 7.126891 0.832858 0.298026 -0.041177 1.187921 2.277628 7 4.543295 0.551827 0.369308 0.107801 -0.280441 0.748494 8 3.725693 0.432433 0.417898 0.105819 0.190053 1.146203 9 4.060443 0.427666 0.419169 0.206319 -0.792149 0.261006 10 3.144152 0.615867 0.181776 0.488835 0.265273 1.551752 11 5.411646 -0.079043 1.061883 -0.114481 -1.205194 -0.336836 12 5.549076 -0.061840 1.044434 -0.135018 -1.060148 -0.212572 13 5.278115 0.066692 0.902827 -0.237991 -0.550467 0.181062 14 6.476972 0.014590 1.103100 -0.152547 0.036296 1.001439 15 5.730100 -0.064437 1.085046 -0.131315 -1.207878 -0.318584 16 5.774552 0.208818 0.820550 -0.181393 -0.030426 0.817549 17 6.426488 -0.144173 1.202444 -0.479090 -0.519126 0.060056 18 6.405228 0.474333 0.609301 -0.256558 0.337174 1.164250 19 5.817111 0.366715 0.655417 0.036436 -1.011883 0.046685 20 6.256709 -0.067700 1.110082 -0.103567 -1.591098 -0.652283 21 5.955837 0.673230 0.348569 0.040333 -0.511429 0.550703 22 5.132263 0.058573 0.901099 0.044336 -1.734379 -0.730371 23 6.218600 0.526615 0.567346 -0.154508 0.827507 1.766959 24 6.405228 0.204104 0.956053 0.006390 0.944008 2.110555 25 5.932245 0.544527 0.517581 0.082064 0.008898 1.153070 26 5.081404 -0.160117 1.087856 -0.142451 -1.384295 -0.599006 27 5.347108 -0.068729 1.043282 -0.038230 -1.439860 -0.503538 28 4.343805 0.072854 0.807635 0.050312 -1.168670 -0.237869 29 4.430817 -0.012838 0.910449 0.005926 -1.215368 -0.311831 30 5.683580 0.079766 0.933656 -0.228399 -0.160140 0.624882 Rata-rata 5.323532 0.216108 0.767448 -0.070550 -0.354183 0.558823 Sumber : Data Primer (diolah)


(3)

80

Lampiran 7. Keragaman Usaha Ternak Itik Pedaging di Kabupaten Bogor

Peternak

Jumlah Itik

Per Periode Produksi

Kecamatan

1

1000 Gunung Sindur

2

35 Ciomas

3

35 Ciomas

4

25 Rumpin

5

700 Parung Panjang

6

1500 Gunung Sindur

7

100 Rumpin

8

50 Gunung Sindur

9

50 Gunung Sindur

10

20 Rumpin

11

200 Nanggung

12

200 Nanggung

13

200 Leuwisadeng

14

500 Nanggung

15

300 Leuwisadeng

16

300 Leuwisadeng

17

600 Leuwisadeng

18

500 Leuwisadeng

19

300 Leuwisadeng

20

400 Rumpin

21

500 Rumpin

22

340 Ranca Bungur

23

500 Ranca Bungur

24

500 Ranca Bungur

25

400 Ranca Bungur

26

150 Nanggung

27

200 Ranca Bungur

28

100 Nanggung

29

100 Nanggung


(4)

81

Lampiran 8. Data penelitian

No. Ln

SBP Ln PU Ln PC Ln KK Ln TK Ln PU Ln PU Ln PU Ln PC Ln PU Ln KK Ln PU LN TK Ln PC Ln PC Ln PC Ln KK Ln PC Ln TK Ln KK Ln KK Ln KK Ln TK Ln TK

Ln TK DPC DJK 1 6.745 6.782 7.576 2.120 3.912 22.999 51.379 14.380 26.532 28.695 16.062 29.636 2.248 8.295 7.652 1 1 2 3.540 2.639 4.942 1.204 3.555 3.482 13.041 3.177 9.383 12.210 5.950 17.569 0.725 4.281 6.320 0 1 3 3.540 2.639 4.942 1.204 3.555 3.482 13.041 3.177 9.383 12.210 5.950 17.569 0.725 4.281 6.320 0 1 4 3.125 2.639 4.431 0.799 3.555 3.482 11.693 2.107 9.383 9.816 3.538 15.753 0.319 2.839 6.320 0 1 5 6.500 7.082 7.244 1.427 3.401 25.075 51.302 10.106 24.086 26.239 10.338 24.639 1.018 4.854 5.784 1 1 6 7.127 7.496 7.470 1.529 3.676 28.092 55.993 11.464 27.556 27.902 11.425 27.463 1.170 5.623 6.758 1 1 7 4.543 5.124 5.529 1.897 3.401 13.128 28.333 9.721 17.428 15.287 10.490 18.807 1.800 6.452 5.784 1 1 8 3.726 4.094 4.605 1.427 3.466 8.382 18.855 5.843 14.190 10.604 6.572 15.960 1.018 4.946 6.006 1 1 9 4.060 4.248 4.718 1.833 3.268 9.025 20.047 7.786 13.883 11.132 8.647 15.418 1.679 5.988 5.339 1 1 10 3.144 4.025 3.332 0.916 3.268 8.102 13.413 3.688 13.154 5.552 3.053 10.889 0.420 2.994 5.339 1 1 11 5.412 4.605 6.551 1.386 3.277 10.604 30.169 6.384 15.092 21.458 9.082 21.469 0.961 4.543 5.370 1 0 12 5.549 4.605 6.551 1.386 3.314 10.604 30.169 6.384 15.262 21.458 9.082 21.711 0.961 4.594 5.492 1 0 13 5.278 4.605 6.551 1.674 3.485 10.604 30.169 7.709 16.049 21.458 10.966 22.831 1.401 5.834 6.073 1 0 14 6.477 5.927 7.496 0.560 3.434 17.564 44.426 3.317 20.353 28.092 4.195 25.740 0.157 1.922 5.896 1 0 15 5.730 5.011 6.957 1.386 3.277 12.553 34.857 6.946 16.421 24.197 9.644 22.798 0.961 4.543 5.370 1 0 16 5.775 5.416 6.882 1.386 3.521 14.667 37.276 7.508 19.069 23.684 9.541 24.232 0.961 4.881 6.198 1 0 17 6.426 5.011 7.783 1.569 3.578 12.553 38.999 7.860 17.930 30.289 12.209 27.851 1.230 5.613 6.402 1 0 18 6.405 6.397 7.601 1.897 3.657 20.460 48.622 12.136 23.394 28.887 14.420 27.797 1.800 6.938 6.687 1 0 19 5.817 5.886 6.802 1.897 3.277 17.323 40.040 11.167 19.290 23.136 12.905 22.292 1.800 6.217 5.370 1 0 20 6.257 5.298 7.244 1.520 3.199 14.036 38.382 8.053 16.948 26.239 11.010 23.172 1.155 4.861 5.116 1 1 21 5.956 6.397 6.802 2.328 3.405 20.460 43.514 14.891 21.784 23.136 15.835 23.165 2.710 7.927 5.798 1 1 22 5.132 4.779 6.267 1.727 3.135 11.420 29.952 8.255 14.985 19.639 10.825 19.651 1.492 5.416 4.916 0 0 23 6.219 6.551 7.313 1.386 3.657 21.458 47.909 9.082 23.958 26.742 10.138 26.745 0.961 5.070 6.687 1 1


(5)

82

No. Ln SBP

Ln PU

Ln PC

Ln KK

Ln TK

Ln PU Ln PU

Ln PU Ln PC

Ln PU Ln KK

Ln PU LN TK

Ln PC Ln PC

Ln PC Ln KK

Ln PC Ln TK

Ln KK Ln KK

Ln KK Ln TK

Ln TK

Ln TK DPC DJK 24 6.405 6.620 7.313 -0.118 3.466 21.913 48.414 -0.780 22.943 26.742 -0.861 25.346 0.007 -0.408 6.006 1 0 25 5.932 6.477 6.802 1.427 3.401 20.976 44.059 9.243 22.029 23.136 9.708 23.136 1.018 4.854 5.784 1 1 26 5.081 3.912 6.109 1.504 3.277 7.652 23.900 5.884 12.820 18.661 9.189 20.021 1.131 4.929 5.370 1 0 27 5.347 4.605 6.397 1.386 3.199 10.604 29.459 6.384 14.730 20.460 8.868 20.462 0.961 4.434 5.116 1 0 28 4.344 3.912 5.298 1.532 3.239 7.652 20.727 5.995 12.670 14.036 8.120 17.160 1.174 4.963 5.245 1 0 29 4.431 3.912 5.521 1.427 3.239 7.652 21.600 5.583 12.670 15.243 7.880 17.882 1.018 4.622 5.245 1 0 30 5.684 5.011 6.802 1.309 3.515 12.553 34.084 6.561 17.614 23.136 8.907 23.912 0.857 4.603 6.179 1 0


(6)

83

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 8 Desember 1992

dari Bapak Muhammad Salim dan Ibu Dindin Dinijah Sururi. Penulis adalah putra

pertama dari dua bersaudara. Tahun 2010, penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bogor

dan diterima melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif sebagai ketua

Study and

Research Development

(SRD) REESA pada tahun 2012-2013.