12
pembelajaran yang berbeda dengan anak normal, baik itu model, metode maupun strateginya.
2. Klasifikasi Anak Tunarungu
Tunarungu diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk, di antaranya klasifikasi secara etiologis yaitu pembagian berdasarkan sebab-sebab dan
klasifikasi menurut tarafnya yaitu dapat diketahui dengan tes audiometris. Klasifikasi anak tunarungu menurut Samuel A. Kirk
Permanarian Somad, 1996: 29 yaitu a. 0 dB: Menunjukan pendengaran yang optimal
b. 0-26dB: Menunjukan seseorang masih mempunyai pendengaran yang normal
c. 27-40dB: Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyian yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang stategis letaknya dan
memerlukan terapi bicara tergolong tunarungu ringan d. 41-45dB: Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat melakukan
diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara tergolong tunarungu sedang
e. 56-70dB: Hanya bisa mendengar suara dari jarak dekat, masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara
menggunakan alat bantu mendengar serta dengan cara khusus tergolong tunarungu agak berat
f. 71-90dB: Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang- kadang dianggap tuli, membutuhklan pendidikan luar biasa yang
intensif, membutuhkan alat bantu dengar dan latihan bicara secara khusus tergolong tunarungu berat
g. 91dB: mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak tergantung pada pengelihatan daripada pendengaran untuk
proses menerima informasi, dan yang bersangkutan dianggap tuli tergolong tunarungu sangat berat
13
Berdasarkan dua pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa klasifikasi anak tunarungu dapat dibedakan menjadi beberapa tingkatan
yaitu dari yang tergolong gangguan pendengaran ringan sampai dengan anak tunarungu yang tergolong berat sekali sesuai dengan tingkat
kemampuan sisa pendengaran yang dimilikinya. Gangguan pendengaran dan keterbatasan anak yang indera pendengarannya
mengalami ketidakfungsian baik sebagian atau keseluruhan tersebut, berpengaruh terhadap kondisi indera-indera lain secara keseluruhan,
sehingga menimbulkan perilaku anak tunarungu berbeda dengan anak normal lainnya. Kekhasan satu perilaku yang melekat dan sering
dimunculkan dalam tindakan menjadi suatu karakteristik tersendiri pada anak tunarungu.
3. Karakteristik Anak Tunarungu