Study of Habitat Characteristic and Preference of Javan Leopard (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) in Ujung Kulon National Park.

(1)

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Macan tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier 1809) merupakan satwa karnivora terbesar yang masih tersisa di Pulau Jawa setelah harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dinyatakan punah pada tahun 1980. Macan tutul Jawa hanya terdapat di Pulau Jawa dan Kangean, oleh karena itu satwa ini merupakan komponen penting dalam ekosistem alami di Pulau Jawa yaitu sebagai predator puncak dalam rantai makanan. Punahnya jenis ini dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem alami di Pulau Jawa.

International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) memasukkan macan tutul ke dalam redlistnya dengan kategori critically endangered spesies, selain itu macan tutul termasuk kategori appendix I dalam daftar Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). Negara Indonesia melindungi satwa ini melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.

Kondisi macan tutul Jawa saat ini semakin terancam, antara lain oleh banyaknya areal hutan yang dikonversi menjadi lahan pertanian, pemukiman dan industri sehingga semakin mempersempit habitat yang dapat berdampak pada penurunan populasi. Jumlah macan tutul Jawa pada kawasan konservasi di seluruh Pulau Jawa belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 350-700 ekor (Santiapillai dan Ramono, 1992).

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) merupakan salah satu kawasan konservasi di Pulau Jawa yang menjadi habitat macan tutul Jawa. Sebagai salah satu kawasan yang memiliki hutan alam yang masih alami dan baik, TNUK merupakan salah satu benteng pertahanan pelestarian macan tutul Jawa. TNUK memiliki beberapa tipe habitat hutan tropika. Namun demikian, tiap tipe habitat tersebut belum diketahui kemampuan dalam mendukung kehidupan macan tutul Jawa. Menarik untuk dikaji mengenai karakteristik habitat macan tutul Jawa termasuk kesukaan macan tutul Jawa terhadap habitat tertentu di TNUK.


(2)

1.2

Tujuan

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik dan preferensi habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas Cuvier 1809) di Taman Nasional Ujung Kulon.

Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain :

a. Mengetahui struktur dan komposisi vegetasi habitat macan tutul Jawa b. Menginventarisir jenis–jenis satwa mangsa macan tutul Jawa

c. Mengetahui kondisi fisik wilayah umum yang berkaitan dengan habitat macan tutul Jawa (Ketersediaan air dan cover)

d. Membuktikan adanya preferensi habitat oleh macan tutul Jawa.

1.3

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu bahan pertimbangan dalam pengelolaan macan tutul Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon.


(3)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Taksonomi Macan Tutul

Macan tutul Jawa termasuk binatang bertulang belakang dengan klasifikasi sebagai berikut (Gunawan, 1988; Anonim, 1978; dan McNeely, 1977):

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Sub-phylum : Vertebrata

Class : Mammalia

Ordo : Karnivora

Sub Ordo : Fissipedia Family : Felidae

Sub-family : Pantherinae Genus : Panthera

Spesies : Panthera pardus Linnaeus, 1758

Sub Spesies : Panthera pardus melas Cuvier, 1809 untuk macan tutul Jawa Sinonim : Felis pardus Linnaeus, 1758

Felis orientalis Schlegel, 1857 Felis fusca Meyer, 1794

Panthera antiquorium Fitzinger, 1868

Nama Daerah : Jawa : macan, macan tutul, sima, seruni, kombang, gogor,

pogoh, bungbak.

Madura : macan totol

Sunda : macan tutul, meong hideung, rimau lalat, meong

kerud.

Melayu : harimau tutul Nama Asing : Inggris : leopard, panther

Belanda : lui’paard, panter

Cina : bao

Jerman : leopard

Greek : leopardos


(4)

Prancis : leopard Afrika : luiperd Swahili : chui

2.2

Morfologi Macan Tutul

Macan tutul di Pulau Jawa mengalami melanisme atau perbedaan morfologi warna rambut, yaitu adanya warna dasar tubuh coklat kekuningan dan warna dasar tubuh hitam pada satu badannya. Dikatakan lebih lanjut, warna dasar macan tutul umumnya adalah kekuning–kuningan atau coklat kekuningan dengan banyak tutul–tutul hitam yang tersusun dalam bentuk kembangan (rosette). Bentuk kembangan ini terbatas pada punggung dan rusuk, sedangkan tutul–tutul tunggal terdapat di kepala, kaki, telapak kaki, bagian bawah tubuh yang warna dasarnya putih atau abu–abu dan ekor yang sisi bawahnya berwarna putih. Macan kumbang juga memiliki pola tutul–tutul akan tetapi hanya terlihat di bawah cahaya yang kuat (Lekagul dan McNeely, 1977 dalam Ahmad, 2007)

Bentuk telinga macan tutul tegak dengan bagian luar berwarna kecoklatan dan bagian dalam agak keputihan. Macan tutul dapat bersuara keras dan mengaum, tetapi tidak meraung–raung seperti harimau. Ekornya relatif panjang bila dibandingkan dengan badannya dan dimanfaatkan sebagai salah satu alat keseimbangan badan (Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, 1978). Ukuran badan macan tutul yang hidup di Pulau Jawa adalah sebagai berikut : Tabel 1. Ukuran rata–rata tubuh macan tutul (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) yang hidup di pulau Jawa.

Jenis kelamin Panjang Tinggi Berat

Jantan 215 cm 60-65 cm 52 kg

Betina 185 cm 60-65 cm 39 kg

Panjang diukur dari ujung moncong sampai ekor Sumber : Hoogerwerf, 1970 dalam Gunawan, 1988

Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam (1978) mengatakan bahwa panjang badan dengan ekor bisa mencapai 170 cm dan beratnya 45 kg. Diameter jejak kakinya adalah 7-9 cm.

Macan tutul mempunyai penunjukkan gejala perbedaan mendasar besar badan pada jenis kelamin yang berlainan (dimorphisme). Dalam hal ini yang jantan mempunyai ukuran lebih besar dari betina, termasuk perbedaan ukuran tengkoraknya (Lekagul dan McNeely, 1977)


(5)

2.3

Populasi dan Penyebaran Macan Tutul

Prater (1980) menjelaskan bahwa macan tutul merupakan jenis yang sukses dalam migrasi dari daerah aslinya, Asia Tenggara dan Asia Utara. Diantara jenis kucing besar yang ada, macan tutul memiliki daerah penyebaran yang paling luas (Lekagul dan McNeely, 1977). Macan tutul tersebar di benua Afrika, Asia bagian selatan dan timur sampai ke bagian Manchuria, menyebar ke Indonesia, Malaya, dan Pulau Jawa (Anonim, 1978).

Macan tutul Jawa hanya terdapat di pulau Jawa dan Kangean (Madura). Di Jawa Barat macan tutul Jawa terdapat di Cirebon, Cianjur selatan, TN Gunung Gede Pangrango dan TN Ujung Kulon (Hoogerwerf, 1970). Daerah penyebaran macan tutul Jawa di Yogyakarta dan Jawa Tengah adalah sebagai berikut: Nusa Kambangan, Batang, Banjarnegara, Kendal, Cepu, Sragen, Notog, Jati Lawang, Gunung Slamet, Kebasan, Gunung Muria, Gunung Merapi, dan Kulon Progo (Anonim, 1978). Di Jawa Timur macan tutul Jawa dapat dijumpai di TN Meru Betiri, TN Baluran, Tuban, Ponorogo, Padangan, Saradan, Jember, Blitar, Jatirogo, Madiun, dan Gundih (Hoogerwerf, 1970).

Walaupun Pulau Jawa telah kehilangan 90% vegetasi alaminya, namun keberadaan macan tutul terdeteksi pada 12 kawasan konservasi diantaranya taman nasional, cagar alam, hutan wisata dan taman buru. Hingga saat ini populasi macan tutul di seluruh Pulau Jawa tidak diketahui dengan pasti tapi masih berupa asumsi. Misalnya 1 individu per 10 km2 di habitat yang tidak terganggu dan satu individu per 5 km2 untuk habitat yang telah terganggu. Dengan menggunakan asumsi tersebut dan berdasarkan luasan habitat macan tutul yang tersisa di Pulau Jawa diperkirakan masih ada lebih kurang 350 – 700 ekor macan tutul (Santiapillai dan Ramono, 1992).

Macan tutul tidak terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan maupun Bali (Hoogerwerf, 1970). Macan dahan (Neofelis nebulosa) dan macan emas (Felis temminckii) di Sumatera yang mengalami melanisme sering dikira macan kumbang (Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, 1978).


(6)

2.4

Perilaku Macan Tutul

2

.4.1 Perilaku Teritorial

Macan tutul biasanya hidup menyendiri (soliter), kecuali pada musim kawin dan mengasuh anak. Macan tutul Jawa kurang suka menetap, namun ia tidak akan keluar dari daerah teritorinya jika makanan masih mencukupi (Ahmad, 2007). Eisenberg dan Lockhart (1972) mengatakan bahwa macan tutul jantan dan betina dapat mendiami daerah perburuan yang sama, tetapi hal ini tidak berlaku bagi individu–individu yang berjenis kelamin sama. Cara mempertahankan daerah teritori dilakukan dengan pengiriman tanda–tanda berupa suara, cakaran, maupun urine dan kotoran. Macan tutul jawa membuang kotoran tanpa disembunyikan, melainkan diletakkan di tempat–tempat yang terbuka (Medwey, 1975 dalam Gunawan, 1988).

2.4.2 Perilaku Berburu

Macan tutul Jawa mulai berburu dengan cara mengintai mangsanya, dan kemudian menyergapnya dari belakang. Jika serangan pertama pada mangsa gagal, ia cenderung tidak meneruskan serangannya. Bagian yang pertama kali dimakan adalah bagian dalam tubuh, lalu daging sekitar dada, rusuk dan paha. Macan tutul juga mau memakan tulang mangsanya. Apabila ada sisa, macan tutul Jawa akan menyimpannya untuk suatu saat didatangi lagi. Untuk melindungi hasil buruannya dari pemangsa lain, macan tutul menyembunyikannya di atas pohon, atau menutupinya dengan daun, ranting, rumput atau serasah (Ahmad, 2007)

Jenis mangsa yang dimakan adalah sigung, kelelawar, lutung (Anonim, 1978). Ada juga jenis surili, kijang, ayam hutan, merak, pelanduk dan kancil. Ditemukan juga tanah liat, remukan tulang dan rerumputan di dalam kotorannya. Berdasarkan ukuran tubuh mangsa, macan tutul lebih sering memangsa satwa dengan ukuran berat badan antara 25-50 kg, yaitu satwa yang memiliki ukuran badan setengah hingga sama dengan ukuran badan macan tutul (Seidensticker, 1976 dalam Gunawan, 1988).


(7)

2.4.3 Perilaku Reproduksi

Macan tutul betina memiliki pola polyestrus, yaitu mengalami beberapa kali birahi dalam satu tahun. Di penangkaran, periode pematangan telur terjadi setiap tiga minggu sekali dengan masa subur selama 4-12 hari. Rata–rata masa buntingnya adalah 90-95 hari. Jumlah anak per kelahiran adalah 1-3 ekor. Anak– anak macan tutul sejak lahir sudah memiliki rambut, namun matanya belum berfungsi secara sempurna. Penyapihan akan dimulai ketika proses penyusuan sudah berlangsung antara tiga sampai empat bulan. Anakan akan mencapai kedewasaan pada umur 2,5-4 tahun. Di bawah pengawasan dan pemeliharaan macan tutul dapat hidup hingga usia dua puluh tiga tahun (Grzimek, 1975). Adapun usia macan tutul di alam diperkirakan antara tujuh sampai sembilan tahun (Guggisberg, 1975).

2.5 Habitat Macan Tutul

Habitat adalah suatu kesatuan kawasan yang terdiri dari beberapa komponen, baik fisik maupun biotik, yang digunakan oleh satwaliar sebagai tempat hidup dan berkembangbiak. Habitat memiliki fungsi dalam hal penyediaan makanan, air dan pelindung (Alikodra, 2002).

Habitat adalah suatu tempat dimana kelompok atau individu ditemukan. Suatu habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen, yaitu komponen fisik yang terdiri dari air, tanah, topografi, dan iklim (makro dan mikro), serta komponen biologis yang terdiri dari manusia, vegetasi dan satwa (Smiet, 1981).

Makanan bagi satwaliar merupakan faktor pembatas. Makanan harus selalu tersedia dengan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, jika tidak maka akan terjadi perpindahan satwaliar untuk mencari daerah baru yang banyak makanannya (Alikodra, 2002).

Air merupakan komponen yang penting pula bagi satwa dan tidak hanya air tawar, tetapi juga air yang mengandung garam terlarut. Alikodra (1990) mengemukakan bahwa terdapat empat kelompok satwaliar dilihat dari ketergantungan terhadap air, yaitu :


(8)

- satwaliar yang sangat memerlukan air setiap harinya untuk proses pencernaan

- satwaliar yang relatif tahan hidup dalam kondisi iklim tanpa air - satwaliar yang jarang memakai air dalam hidupnya.

Elton (1966) mengemukakan bahwa vegetasi mempunyai peranan utama dalam habitat, yaitu sebagai bagian dari makanan dan tempat berlindung satwaliar. Vegetasi sebagai cover mempunyai peranan penting untuk hidup dan berkembang biak, disamping itu berperan pula sebagai tempat berlindung satwaliar dari serangan predator atau bahaya lainnya.

Giles (1971) menyatakan bahwa vegetasi merupakan aspek lingkungan yang paling penting untuk satwaliar dan merupakan indikator dari kondisi suatu habitat. Vegetasi dominan pada suatu habitat dapat dipergunakan untuk evaluasi kondisi habitat sebagai indikator keadaan iklim, tanah, kelembaban, gangguan yang terjadi di masa lampau dan potensi pertanian.

Habitat merupakan suatu bagian dari ekosistem, sehingga untuk menjamin kelestarian habitat berarti kelangsungan dari setiap hubungan di dalam sistem harus dipertahankan. Rusaknya hubungan dalam suatu sistem akan mempengaruhi sistem lain sehingga secara langsung atau tidak langsung akan merusak habitat. Kerusakan habitat dapat disebabkan beberapa hal, antara lain oleh aktifitas manusia, satwaliar atau bencana alam (Alikodra, 2002).

Tempat hidup macan tutul adalah hutan rimba yang lebat, tetapi biasa pula mendatangi perkampungan dan perkebunan. Macan tutul mampu hidup sampai ketinggian + 2500 m di atas permukaan laut. Macan tutul sangat tidak selektif dalam menentukan habitatnya, mereka hanya menggunakan wilayah hutan yang memiliki kecukupan akan ketersediaan sumber makanan, air dan shelter (Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, 1978).

Harimau loreng, ajag, dan macan tutul tidak saling toleran satu sama lain, tetapi tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk menggunakan habitat secara bersama–sama (Hoogerwerf, 1970). Macan tutul kadang–kadang masuk ke perkampungan di sekitar hutan dan memangsa ternak, apabila persediaan makanan di dalam habitatnya sudah berkurang (Anonim, 1978 dalam Sudiana, 1991). Prater (1980) menyatakan bahwa macan tutul dengan bentuk fisik dan perilakunya


(9)

menjadikannya mempunyai kemampuan yang luas untuk memilih daerah huniannya.

Macan tutul di pulau Jawa terdapat di seluruh daerah, mulai dari pantai hingga daerah pegunungan tinggi (Veever-Carter, 1978). Macan tutul juga dijumpai di daerah terbuka yang berbatu–batu dengan semak belukar yang kering. Macan tutul memang lebih toleran terhadap panas dibandingkan harimau loreng (Panthera tigris) dan mampu tinggal di daerah yang jauh dari air (Lekagul dan McNeely, 1977). Macan tutul juga sering muncul di hutan–hutan jati, lahan pertanian dan bahkan berani masuk ke tengah desa atau kota. Hal semacam ini menunjukkan daya adaptasinya yang tinggi (Hoogerwerf, 1970).

Macan tutul umumnya tinggal dekat perkampungan, menempati gua–gua, lubang yang digali atau celah–celah batu (Sankhala, 1977 dalam Sudiana, 1991). Mereka juga bersembunyi di semak–semak lebat, padang rumput dengan tegakan pohon berkelompok dan formasi batu–batuan atau gua–gua (Anonim, 1978 dalam Sudiana, 1991). Tempat untuk memelihara anak biasanya di gua–gua, lubang atau rongga batu besar dan tempat tersembunyi lainnya yang memiliki ruangan gelap (Hoogerwerf, 1970).

2.6

Seleksi Habitat Macan Tutul

Satwaliar mungkin menilai dan memilih habitatnya yang cocok (sesuai sehingga dapat bertahan hidup dan berkembangbiak yang terbaik) dengan melihat faktor–faktor nutrisi dan struktural. Meskipun demikian kebanyakan studi tentang mekanisme seleksi habitat menitikberatkan pada respon satwa terhadap faktor– faktor struktural. (Bailey, 1984 dalam Gunawan, 2000).

Seleksi habitat bermanfaat untuk menunjukkan bagaimana gigihnya suatu jenis satwa setia pada pilihannya terhadap struktur habitat tertentu. Meskipun belajar, kesan terhadap tempat lahirnya mungkin mempengaruhi preferensi habitat, preferensi ini sangat mungkin adalah bawaan sejak lahir (Bailey, 1984; Robinson dan Bolen, 1984 dalam Gunawan, 2000).

Dalam seleksi habitat, beberapa vertebrata lebih mementingkan life form atau fisiognomi habitat mereka, daripada keberadaan spesies tumbuhan tertentu. Satwaliar mungkin hanya tergantung pada kebutuhan cover (aspek struktural dari


(10)

lingkungannya) seperti halnya ketergantungannya pada kebutuhan mereka akan makanan tertentu. Beberapa spesies adalah generalis, tak terbatasi oleh ketersediaan bentuk–bentuk cover, sedangkan jenis lainnya spesialis, memiliki kebutuhan cover tertentu saja (Bailey, 1984 dalam Gunawan, 2000).

2.7

Metode Penelitian

2.7.1 Analisis Vegetasi

Untuk mengetahui struktur vegetasi dan komposisi jenis dilakukan dengan cara analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan cara sampling pada lokasi penelitian. Metode yang digunakan adalah metode garis berpetak yaitu dengan membuat petak–petak contoh di sepanjang jalur pengamatan (Soerianegara dan Indrawan, 2002).

2.7.2 Inventarisasi Macan Tutul dan Satwa Mangsanya

Transek jalur adalah suatu metode pengamatan populasi satwaliar melalui pengambilan contoh dengan bentuk unit contoh berupa jalur pengamatan. (Kartono, 2000). Data yang diambil meliputi kontak langsung dalam jarak tertentu dengan satwaliar sehingga dapat diketahui jenis, jumlah individu serta komposisi kelompoknya serta melalui kontak tidak langsung dengan satwaliar. Pencatatan data melalui kontak tidak langsung merupakan pencatatan jenis satwa berdasarkan perjumpaan jejak kaki, tanda–tanda yang ditinggalkan di pohon, tempat untuk bersarang, maupun tanda suara. Data jenis satwa dan jumlah individu yang dicatat adalah satwa yang terletak di depan pengamat. Selain itu, dilakukan pencatatan terhadap jarak antara pengamat dengan satwa yang terdeteksi, sudut kontak antara pengamat dengan satwa yang terdeteksi serta waktu ditemukannya jenis satwaliar tersebut (Anderson et al, 1969 dalam Krebs, 1978).

Kartono (2000) menyatakan bahwa teknik inventarisasi satwaliar dengan menggunakan metode transek garis pada dasarnya mirip dengan metode transek jalur. Perbedaannya terletak pada lebar jalur pengamatan, yakni pada metode transek garis lebar kiri kanan jalur pengamatan tidak ditentukan. Selain itu, karena lebar kiri kanan jalur pengamatan tidak ditentukan secara tegas pada waktu


(11)

sebelum pengamatan dilakukan, maka dalam pelaksanaan kerjanya diperlukan pengukuran sudut dan jarak.

Metode transek garis dapat dipergunakan untuk sensus primata, burung dan herbivora besar (Broockelman dan Ali, 1987; Trippensee, 1948; Alikodra, 1983 dalam Alikodra, 2002). Metode transek garis dapat juga dipergunakan untuk sensus burung di daerah savana ataupun padang rumput (Eberhardt, 1968 dalam Alikodra, 2002)

Inventarisasi macan tutul dalam penelitian ini menggunakan metode penghitungan jejak. Cara ini termasuk sensus tidak langsung, yaitu melakukan suatu pendugaan populasi satwaliar berdasarkan jejak (Bang dan Dahlstrom, 1974 dalam Alikodra, 2002)

Alikodra (2002) menyatakan bahwa cetakan kaki (foot prints) adalah hasil cetakan pada tanah yang ditinggalkan oleh satu kaki, dan jejak (tracks) adalah kumpulan dari cetakan kaki satwaliar yang ditinggalkan di atas permukaan tanah.

Metode jejak tersebut telah dicoba dengan hasil yang cukup baik untuk menduga populasi badak di Taman Nasional Ujung Kulon. Cara ini merupakan suatu metode klasik yang digunakan untuk identifikasi satwaliar yang menetap di suatu wilayah dan untuk mengetahui pergerakan , habitat kesukaan, dan kondisi kepadatan populasinya (Alikodra, 2002).

2.7.3 Preferensi Habitat

Bibby et al. (1998) dalam Gunawan (2000) menyatakan bahwa untuk mengetahui preferensi habitat oleh suatu jenis burung dapat dilakukan dengan metode Neu’s Index jika sumberdaya yang digunakan dalam proporsi dengan ketersediaannya.

Dalam kaitannya dengan ketersediaan daya dukung, satwaliar seringkali memilih habitat yang preferensial (sesuai) bagi kelangsungan hidupnya dari sekian banyak tipe habitat yang ada. Laban (2007) menggunakan indeks Neu dalam menentukan preferensi habitat bersarang burung maleo di Taman nasional Lore Lindu. Indeks ini merupakan salah satu indeks yang paling umum digunakan karena memiliki keuntungan berupa penghitungan selang kepercayaan untuk nilai indeks.


(12)

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1

Letak dan Luas

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) secara administratif terletak di Kecamatan Sumur dan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten (Gambar 1). Sedangkan secara geografis terletak antara 102°02'32”-105°37'37” BT dan 06°30'43”-06°52'17” LS. TNUK terletak di ujung barat daya Pulau Jawa, membentuk segitiga dengan pulau-pulau di sekitarnya yang terdiri dari semenanjung Ujung Kulon, Gunung Honje, Pulau Panaitan, Pulau Peucang, Kepulauan Handeuleum dan perairan sekitarnya. Kawasan TNUK juga dikelilingi oleh 19 desa yang telah dinyatakan sebagai daerah penyangga TNUK dengan luas 29.850 ha terdiri dari 23.850 ha daratan dan perairan seluas 6.000 ha.

Gambar 1. Peta Taman Nasional Ujung Kulon

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.284/Kpts-II/1992 luas kawasan TNUK adalah 120.551 ha yang terdiri dari 76.214 ha daratan (63,22%) dan 44.337 ha (36,78%) perairan laut. Penataan zonasi kawasan TNUK berdasarkan Keputusan Dirjen PHPA No.172/Kpts/Dj-VI/1991 tanggal 7 November 1991, terbagi menjadi 6 zona pengelolaan yaitu zona rimba 77.295 ha,


(13)

zona inti 37.150 ha, zona pemanfaatan tradisional 1.810 ha, zona pemanfaatan intensif 1.096 ha, zona rehabilitasi 3.200 ha dan zona penyangga 23.850 ha.

3.2

Kondisi Fisik Kawasan

3.2.1 Topografi

Kawasan TNUK secara umum merupakan dataran rendah dan sebagian dataran tinggi. Bagian timur didominasi oleh deretan pegunungan Honje (620 mdpl). Di sebelah baratnya dipisahkan oleh dataran rendah tanah genting Semenanjung Ujung Kulon yang merupakan daratan utama TNUK. Semenanjung ini memiliki topografi datar di pantai utara dan barat, bergunung dan berbukit di sekitar Gunung Telanca (480 mdpl) dan pantai barat daya. Dataran rendahnya berupa rawa-rawa yang ditumbuhi bakau dan pantainya terdiri dari formasi dataran rendah pesisir dan batu karang.

Sementara Pulau Panaitan memiliki topografi datar sampai berbukit dan bergunung dengan puncak tertinggi Gunung Raksa (320 mdpl) serta memiliki pantai datar berpasir dengan terumbu karang yang indah. Topografi di sekitar kawasan TNUK umumnya datar sampai bergelombang, dengan ketinggian 0-150 mdpl

3.2.2 Geologi dan Tanah

Kawasan TNUK termasuk sistem tersier muda pada dangkalan Sunda sebelum zaman tersier. Selama masa Plistosen deretan pegunungan Honje membentuk ujung selatan dari deretan pegunungan Bukit Barisan Selatan di Sumatera yang kemudian terpisah setelah terlipatnya kubah Selat Sunda. Bagian tengah dan timur semenanjung Ujung Kulon terdiri dari formasi batu kapur miosen yang tertutupi endapan aluvial di bagian utara dan endapan pasir di bagian selatan. Deretan Gunung Payung dari endapan batuan miosen, sedangkan deretan pegunungan Honje dari batuan kapur dan tanah liat. Pulau Panaitan mempunyai pola lipatan dan formasi batuan yang sama dengan Gunung Payung, dan di bagian barat laut ditemukan bahan-bahan vulkanis termasuk breksia, tufa dan kuarsit yang terbentuk pada zaman holosen. Geologi di sekitar kawasan TNUK umumnya tidak jauh berbeda dengan Gunung Honje.


(14)

Tanah di TNUK telah mengalami modifikasi lokal akibat letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Bahan induk tanah di TNUK berasal dari batuan vulkanik seperti batuan lava merah, marl, tuff, batuan pasir dan konglomerat. Jenis tanah di kawasan TNUK didominasi oleh jenis tanah kompleks grumosal, regosal dan mediteran dengan fisiografi bukit lipatan. Dimana sebagian tanahnya mempunyai tingkat kesuburan rendah dengan batuan induk asam dan miskin unsur hara. Kondisi tanah di sekitar kawasan TNUK berupa tanah grumusol, regosol dan latosol dengan tingkat kesuburan rendah dan miskin hara.

3.2.3 Iklim

Daerah TNUK beriklim laut tropika yang khusus dan menurut Schmidt-Ferguson termasuk tipe curah hujan B, dengan curah hujan tahunan rata-rata 3.249 mm. Temperatur udara berkisar 25º-30ºC dan kelembaban 80%-90%. Musim hujan terjadi pada bulan Oktober-April bersamaan dengan bertiupnya angin barat laut, dimana curah hujan mencapai lebih dari 200 mm/bulan. Curah hujan pada bulan Desember dan Januari mencapai lebih dari 400 mm. Sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei-September saat angin bertiup dari arah timur dengan curah hujan normalnya mencapai lebih dari 100 mm/bulan. Iklim di sekitar kawasan TNUK memiliki iklim laut tropika dan tipe B, dengan temperatur 15o-30oC, kelembaban udara 80%-90% dan curah hujan 100-400 mm/bulan.

3.3

Kondisi Biologi Kawasan

3.3.1 Flora

Kawasan TNUK memiliki tiga tipe ekosistem yaitu ekosistem perairan laut, ekosistem daratan dan ekosistem pesisir pantai. Ekosistem perairan laut terdapat di wilayah perairan semenanjung Ujung Kulon, Pulau Handeuleum, Pulau Peucang dan Pulau Panaitan yang meliputi habitat terumbu karang dan padang lamun. Ekosistem daratan terdapat di Gunung Honje, Semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan yang berupa hutan hujan tropis asli. Sedangkan ekosistem pesisir pantai terdiri dari hutan pantai dan hutan mangrove di sepanjang pesisir pantai, serta hutan mangrove di bagian timur laut semenanjung Ujung Kulon, Pulau Handeuleum dan sekitarnya. Tipe vegetasi di kawasan TNUK berupa vegetasi


(15)

hutan pantai, hutan mangrove, hutan rawa air tawar, hutan hujan dataran rendah dan padang rumput.

Kawasan TNUK memiliki potensi biotik berupa keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi. TNUK memiliki 700 jenis flora, dengan 57 jenis diantaranya termasuk jenis langka. Beberapa tumbuhan diketahui langka diantaranya Batryophora geniculata, Cleidion spiciflorum, Heritiera percoriacea dan Knema globularia.

3.3.2 Fauna

TNUK memiliki 35 jenis mamalia, 5 jenis primata, 59 jenis reptilia, 22 jenis amfibia, 240 jenis burung, 72 jenis insekta, 142 jenis ikan dan 33 jenis terumbu karang. Kawasan TNUK memiliki beragam jenis fauna yang bersifat endemik maupun bersifat penting untuk dilindungi. Beberapa jenis mamalia endemik penting dan langka yang sangat perlu dilindungi adalah badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus timorensis), owa Jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata),kukang (Nycticebus coucang), anjing hutan (Cuon alpinus javanicus) dan macan tutul (Panthera pardus melas). Selain itu, terdapat beberapa jenis burung langka seperti elang jawa (Spizaetus bartelsi), rangkong badak (Buceros rhinoceros), dan merak (Pavo muticus) (BTNUK, 2005).


(16)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) II Handeuleum, Taman Nasional Ujung Kulon pada berbagai tipe habitat meliputi hutan pantai, hutan mangrove, hutan hujan dataran rendah, dan padang rumput.

Pada setiap tipe habitat dibuat jalur transek yang ukuran dan jumlahnya disesuaikan dengan luasan dan waktu yang dibutuhkan pada masing–masing tipe habitat .(Gambar 2 dan tabel 2). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2008 sampai dengan Januari 2009.

Gambar 2. Lokasi Penelitian di SPTN II Handeuleum, TNUK Tabel 2. Jalur transek di setiap tipe habitat

No Tipe habitat Luas (ha)*

Jumlah Jalur

Luas sampel (ha)

keterangan 1 Hutan dataran rendah 18525,23 4 40 Cibunar 2 Hutan pantai dan

semak belukar

8166,34 2 20 Karang ranjang

3 Hutan mangrove 1225,53 2 20 Laban

4 Padang rumput 64 1 10 Cibunar

* pengukuran dari peta penutupan vegetasi menggunakan program arc view

Hutan dataran  rendah 

Padang rumput

Hutan mangrove  Hutan pantai 

Hutan dataran  rendah 

Padang rumput

Hutan mangrove  Hutan pantai 

Hutan dataran  rendah 

Padang rumput


(17)

4.2

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah peta lokasi penelitian, tali atau pita berwarna untuk menandai plot pengamatan, meteran untuk mengukur jejak satwa dan diameter pohon, golok untuk merintis jalur, teropong (binokuler), kamera untuk dokumentasi, kompas sebagai alat navigasi, alat pengukur waktu, alat tulis, tally sheet, kaca pembesar (lup) untuk analisis feses, dan buku panduan lapangan pengenalan jenis satwaliar. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70% untuk analisis kotoran macan tutul Jawa.

Objek pada penelitian ini adalah macan tutul Jawa dan habitatnya.

4.3

Metode Pengumpulan Data

4.3.1. Kegiatan Pendahuluan

Kegiatan pendahuluan meliputi :

a.Orientasi lapang, yang bertujuan untuk mencari informasi awal mengenai lokasi penelitian dan mencocokkan keadaan di lapangan dengan peta lokasi serta konsultasi pengelola TNUK.

b. Studi literatur mengenai macan tutul Jawa khususnya di TNUK melalui penelusuran pustaka dan dokumen yang terkait dengan macan tutul Jawa di TNUK.

4.3.2. Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan adalah karakteristik habitat macan tutul Jawa di berbagai tipe penutupan vegetasi dan perjumpaan aktifitas macan tutul Jawa baik secara langsung maupun tidak langsung (jejak kaki, suara, cakaran, kotoran, dan sisa mangsa). Karakteristik habitat yang diteliti meliputi :

a. Struktur dan komposisi vegetasi b. Ketersediaan satwa mangsa c. Ketersediaan air


(18)

 

5   5  

2 m  

4.3.3 Cara Pengumpulan Data

a. Struktur dan komposisi vegetasi

Untuk mengetahui karakteristik detail dari struktur dan komposisi vegetasi dilakukan dengan cara analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan cara sampling pada lokasi penelitian. Metode yang digunakan adalah metode garis berpetak yaitu dengan membuat petak–petak contoh di sepanjang jalur pengamatan.

Ukuran petak yang digunakan adalah 20 m x 20 m untuk tingkat pertumbuhan pohon. Dalam petak dibuat sub plot berukuran 2 m x 2 m untuk tingkat pertumbuhan semai, 5 m x 5 m untuk tingkat pertumbuhan pancang, dan 10 m x 10 m untuk tingkat pertumbuhan tiang. Data yang dikumpulkan untuk tingkat pertumbuhan pohon dan tiang adalah jenis pohon, diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang dan tinggi total. Untuk tingkat pertumbuhan pancang dan semai meliputi jenis tumbuhan dan jumlah individu setiap jenis (Soerianegara dan Indrawan, 2002).

10 m 5 m

10 m

10 m 10 m

Gambar 3. Bentuk Plot Contoh Analisis Vegetasi b. Ketersediaan Satwa Mangsa

Ketersediaan satwa mangsa meliputi jenis satwa mangsa macan tutul jawa beserta populasinya. Untuk mengetahui ketersediaan satwa mangsa dilakukan dengan dengan metode transek garis (line transect) yaitu metode pengamatan populasi satwaliar dengan bentuk unit contoh berupa jalur pada lintasan pergerakan macan tutul jawa dan satwa mangsanya.


(19)

Data yang diambil meliputi kontak langsung dalam jarak tertentu dengan satwaliar sehingga dapat diketahui jenis, jumlah individu serta komposisi kelompoknya serta melalui kontak tidak langsung dengan satwaliar. Pencatatan data melalui kontak tidak langsung merupakan pencatatan jenis satwa berdasarkan perjumpaan jejak kaki, tanda–tanda yang ditinggalkan di pohon, tempat untuk bersarang, maupun tanda suara.

Data jenis satwa dan jumlah individu yang dicatat adalah satwa yang terletak di depan pengamat. Selain itu, dilakukan pencatatan terhadap jarak antara pengamat dengan satwa yang terdeteksi, sudut kontak antara pengamat dengan satwa yang terdeteksi serta waktu ditemukannya jenis satwaliar tersebut (Anderson et al, 1969 dalam Krebs, 1978).

S1 S3 r1 r3

y2 y3 α1 α3

To P1 P2 α2 P3 Ta y2

S2

Gambar 4. Metode transek Garis Keterangan :

To = Titik awal Ta = Titik akhir

r = Jarak pengamat dengan satwaliar S = Posisi satwaliar

α = Sudut antara posisi satwaliar dengan garis transek y = r. sin α

c. Ketersediaan Air

Ketersediaan air diketahui dengan menginventarisasi sumber air yang digunakan macan tutul Jawa sebagai tempat minum. Data yang diambil adalah parameter fisik. Parameter fisik diperoleh melalui bentuk sumber air, ukuran sumber air (lebar dan kedalaman), lokasi sumber air dan intensitas penggunaannya


(20)

oleh satwaliar. Parameter yang diamati disajikan dalam tabel 3. Selain itu, dilakukan studi literatur dan wawancara kepada petugas lapangan dan masyarakat sekitar sebagai data penunjang.

Tabel 3. Parameter fisik sumber air yang digunakan macan tutul Jawa

Sumber air Lebar (m) Kedalaman (m) Ketersediaan Intensitas penggunaan oleh satwa Tipe habitat Bentuk sumber air yang digunakan Lebar sumber air Kedalaman rata-rata sumber air Tingkat kelimpahan dan kemudahan didapat sumber air Tinggi rendahnya penggunaan sumber air oleh satwaliar dilihat dari bekas-bekas aktivitas disekitar sumber air Tipe habitat ditemukannya sumber air

d. Bentuk – bentuk Cover

Bentuk cover (pelindung) dipelajari dengan cara observasi langsung di lapangan dan wawancara dengan masyarakat sekitar hutan dan petugas. Cover dibedakan menurut fungsi dan bentuknya. Hasilnya disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut

Tabel 4. Bentuk dan Fungsi Cover

Tipe cover Fungsi cover Tipe habitat Ketinggian (mdpl) Substrat dominan Bentuk-bentuk fisik

tipe habitat yang digunakan macan tutul sebagai cover

Kegunaan cover dalam melindungi macan tutul

Tipe vegetasi dominan tempat cover dijumpai Posisi ketinggian ditemukannya cover dari permukaan laut Jenis vegetasi yang mendominasi disekitar cover

e. Keberadaan dan KelimpahanMacan Tutul Jawa

Untuk mengetahui keberadaan dan kelimpahan macan tutul Jawa digunakan metode transek dengan panjang dan lebar jalur disesuaikan dengan kondisi setiap tipe habitat.

Data yang diambil meliputi kontak langsung dan kontak tidak langsung dengan macan tutul Jawa . Pencatatan data melalui kontak tidak langsung yaitu pencatatan data berdasarkan perjumpaan jejak kaki, tanda–tanda yang ditinggalkan di pohon, tempat untuk bersarang, maupun tanda suara. Data perjumpaan yang dicatat adalah kontak yang terletak di depan pengamat. 4.4


(21)

f. Analisis Feses Macan Tutul Jawa

Sebagai data pendukung dilakukan analisis feses.Pakan macan tutul Jawa di habitatnya dapat diketahui berdasarkan analisis rambut dalam feses. Sampel feses macan tutul Jawa yang dikoleksi diambil di sepanjang jalur pengamatan. Analisis terhadap rambut dalam feses dapat dilakukan secara makroskopis menggunakan kaca pembesar dengan membandingkan warna, panjang, dan ketebalan rambut dalam feses dengan rambut satwa mangsa yang ada. Feses yang telah dikoleksi dibersihkan dengan menggunakan saringan untuk mendapatkan rambut yang terbebas dari kotoran feses. Pemilihan dan pengambilan feses dilakukan dengan memperhitungkan kondisi feses pada saat ditemukan yaitu bentuk feses umur feses dimana feses dengan bentuk yang sudah rusak dan berumur lama tidak dianalisis..

4.4

Analisis Data

4.4.1 Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan dominansi suatu jenis vegetasi pada suatu komunitas. Dominansi dapat dilihat dari Indeks Nilai Penting (INP) yang diperoleh dari penjumlahan nilai kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR) untuk tingkat semai dan pancang serta ditambah nilai dominansi relatif (DR) untuk tingkat tiang dan pohon (Soerianegara dan Indrawan, 2002). Persamaan yang digunakan adalah :

Kerapatan jenis ke-i(Ki) =

Jumlah individu suatu spesies Luas seluruh petak

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu spesies x 100 % Kerapatan seluruh jenis

Dominansi jenis ke-i (Di) =

Luas bidang dasar suatu spesies Luas seluruh petak

Dominansi Relatif (DR) = Dominansi suatu spesies x 100 % Dominansi seluruh jenis Frekuensi jenis ke-i (Fi) =

Jumlah petak terisi suatu spesies Jumlah seluruh petak


(22)

Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu spesies x 100 % Frekuensi seluruh jenis Indeks Nilai Penting

(INP) = KR + FR +DR

Indeks Nilai Penting = KR + FR (Tumbuhan bawah)

Luas bidang dasar suatu spesies = . . 2 4 1 i d π Keterangan:

di = diameter spesies ke-i

4.4.2 Ketersediaan Mangsa

Pendugaan kepadatan populasi satwa mangsa berdasarkan metode transek garis dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan Poole sebagai berikut (Krebs, 1978) :

+ = j j i i d L x x D . . 2 ) 1 2 .( ˆ   j n i i i j n Sin r d

= = 1 . θ  

Keterangan : 

D = Kepadatan populasi dugaan (individu/satuan luas)

xi = Jumlah individu yang dijumpai pada kontak ke-i (individu)

Lj = Panjang transek jalur pengamatan ke-j

dj = Rata–rata lebar kiri atau kanan jalur pengamatan ke-j (m)

nj = Jumlah kontak pada jalur ke-j

4.4.3 Analisis Preferensi Habitat Macan Tutul Jawa

Dalam kaitannya dengan ketersediaan daya dukung, satwaliar seringkali memilih tipe habitat yang sesuai bagi kelangsungan hidupnya dari sekian banyak tipe habitat yang ada. Untuk menentukan habitat preferensial (yang disukai) bagi macan tutul Jawa di TNUK digunakan metode indeks Neu. Indeks ini merupakan salah satu indeks yang paling umum digunakan dalam penentuan preferensi.


(23)

Untuk menentukan indeks Neu menurut Bibby et al. (1998) dalam Gunawan (2000) disajikan dalam tabel 5. Dikatakan lebih lanjut bahwa jika nilai w > 1 maka habitat tersebut disukai.

Nilai w yang didapat dari hasil perhitungan merupakan indeks preferensi, dimana nilai indeks preferensi dari habitat dibagi dalam dua kriteria, yaitu :

a. w > 1 = Disukai b. w < 1 = Tidak disukai

Tabel 5. Kriteria yang diukur dalam menentukan Indeks Neu

Tipe Habitat Ketersediaan Penggunaan Indeks

a N r w b

1 a1 n1 r1 w1 b1

2 a2 n2 r2 w2 b2

….. ….. ….. ….. ….. …..

K ak nk rk w bk

Keterangan :

a = Proporsi ketersediaan (ai/Σa) n = Jumlah perjumpaan yang teramati

r = Proporsi jumlah perjumpaan yang teramati ( ni/Σn) w = Indeks preferensi (ri/ai)

b = Indeks seleksi yang distandarkan (wi/Σw)

Penentuan preferensi macan tutul Jawa terhadap tipe habitat diuji menggunakan chi-square dengan persamaan sebagai berikut

Keterangan :

Oi = Frekuensi hasil pengamatan ke- i

Ei = Frekuensi harapan ke-i(Oi. ai)

Hipotesisi yang diujikan adalah :

• Ho: tidak terdapat pemilihan habitat oleh macan tutul Jawa • H1: terdapat pemilihan habitat oleh macan tutul Jawa

Kriteria uji yang digunakan adalah :

• Jika χ²hitung≤χ²tabel, maka tidak terdapat pemilihan habitat • Jika χ²hitung >χ²tabel, maka terdapat pemilihan habitat


(24)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) merupakan salah satu kawasan konservasi yang menjadi habitat bagi macan tutul Jawa. Kawasan ini memiliki beragam tipe habitat mulai dari hutan dataran rendah, hutan pantai, hutan mangrove, hutan rawa air tawar, semak belukar dan padang rumput. Berdasarkan hasil pencatatan terhadap tanda-tanda jejak yang ditinggalkan macan tutul Jawa, diduga yang menjadi habitat macan tutul Jawa di semenanjung Ujung Kulon adalah hutan dataran rendah, hutan pantai, hutan mangrove dan padang rumput.

5.1.1 Struktur dan Komposisi Vegetasi

Setiap habitat memiliki karakteristik yang berbeda hal ini berpengaruh terhadap satwaliar yang berada di dalamnya termasuk macan tutul Jawa. Salah satu karakteristik habitat adalah kondisi struktur dan komposisi dari vegetasi yang menjadi penyusunnya.

Gambar 5 Hutan dataran rendah Cibunar. a. Hutan Dataran Rendah

Hutan dataran rendah merupakan tipe habitat terestrial yang terluas di semenanjung Ujung Kulon dengan luas kurang lebih 60 persen dari luas total semenanjung Ujung kulon. Dari hasil analisis vegetasi pada plot contoh menggunakan metode jalur berpetak di Cibunar, diperoleh gambaran mengenai kondisi struktur dan komposisi vegetasinya (Tabel 6). Dari hasil analisis vegetasi ini ditemukan sebanyak 36 jenis tumbuhan penyusun vegetasi hutan dataran


(25)

rendah. Pada tingkat pertumbuhan semai terdapat 14 jenis, jenis yang mendominasi adalah Ki laja (Oxymitra cunneiformis) dengan nilai INP 37,08. Sedangkan yang memiliki INP terkecil terdapat 4 jenis yaitu Rangdu (Ceiba pentandra), Ki poleng (Tarrietia sumatrana) , Ki sampang (Evodia latifolia) dan Lame (Alstonia scholaris) dengan nilai INP sebesar 4,79.

Tabel 6 Kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan indeks nilai penting (INP) tingkat semai di hutan dataran rendah

No Jenis Nama ilmiah Jumlah individu

KR FR INP 1 Cerlang Pterorpermum diversivolium 8 7,55 11,54 19,09 2 Ki laja Oxymitra cunneiformis 23 21,7 15,38 37,08 3 Ki besi Diospyros spp 2 1,89 7,69 9,58 4 Rangdu Ceiba pentandra 1 0,94 3,85 4,79 5 Ipis kulit Decasperum fruticosum 5 4,72 7,69 12,41 6 Ki poleng Tarrietia sumatrana 1 0,94 3,85 4,79 7 Salam Syzigium polyanthum 34 32,08 3,85 35,92 8 Ki sampang Evodia latifolia 1 0,94 3,85 4,79 9 Ki geunteul Diospyros javanica 10 9,43 3,85 13,28 10 Ki calung Diospyros macrophylla 6 5,66 15,38 21,04

11 Lame Alstonia spp 1 0,94 3,85 4,79

12 Ki tanjung Saccopetalum heterophylla 2 1,89 3,85 5,73

13 Sayar - 2 1,89 3,85 5,73

14 Barela Vitis spp 10 9,43 11,54 20,97

Total 100 100 200

Pada tingkat pertumbuhan pancang dijumpai sebanyak 13 jenis. Jenis yang mendominasi pada tingkat pancang ini adalah Ki laja (Oxymitra cunneiformis) dengan nilai INP sebesar 76,39. Untuk nilai INP terkecil terdapat 3 jenis yaitu Ki tuak, Ipis kulit (Decasperum fruticosum) dan Lame (Alstonia scholaris) dengan nilai INP sebesar 5,56 (Tabel 7).


(26)

Tabel 7 Kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan indeks nilai penting (INP) tingkat pancang di hutan dataran rendah

No Jenis Nama ilmiah Jumlah individu

KR FR INP 1 Ki laja Oxymitra cunneiformis 34 47,22 29,17 76,39 2 Jambu kopo Eugenia spp 14 19,44 12,5 31,94

3 Cerlak - 2 2,78 4,17 6,94

4 Ki tuak - 1 1,39 4,17 5,56

5 Ipis kulit Decasperum fruticosum 1 1,39 4,17 5,56 6 Cerlang Pterospermum diversifolium 3 4,17 8,33 12,5

7 Lame Alstonia spp 1 1,39 4,17 5,56

8 Ki geunteul Diospyros javanica 2 2,78 4,17 6,94 9 Sampang Evodia latifolia 2 2,78 4,17 6,94 10 Laban Vitex pubescens 3 4,17 8,33 12,5 11 Ki lalayu Erioglobosum rubiginosum 4 5,56 4,17 9,72 12 Lampeni Ardisia humilis 1 1,39 4,17 5,56 13 Sulangkar Leea sambucina 3 4,17 4,17 8,33

Total 100 100 200

Untuk tingkat pertumbuhan tiang jenis yang dijumpai hanya sebanyak 8 jenis. Pada tingkat pertumbuhan ini didominasi oleh jenis ki teja (Cinnanomum iners) dengan nilai INP sebesar 80,56 dan INP terkecil adalah jenis turalak dengan nilai INP sebesar 19,44. (Tabel 8).

Tabel 8 Kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR)dan indeks nilai penting (INP) tingkat tiang di hutan dataran rendah

No Jenis Nama ilmiah Jumlah individu

KR FR DR INP 1 Ki endog Xanthophyllum excelcum 1 8,33 8,33 8,54 25,21 2 Heucit Baccaurea javanica 1 8,33 8,33 5,19 21,86 3 Turalak Stelechocarpus burahol 1 8,33 8,33 2,77 19,44 4 Ki teja Cinnamomum iners 3 25 25 30,56 80,56 5 Ki calung Diospyros macrophylla 2 16,67 16,67 14,65 47,98 6 Walen Ficus ribes 2 16,67 16,67 26,76 60,1 7 Ki laja Oxymitra cunneiformis 1 8,33 8,33 2,83 19,5 8 Huru Litsea spp 1 8,33 8,33 8,69 25,36


(27)

Pada tingkat pertumbuhan pohon terdapat sebanyak 14 jenis tumbuhan. Dari jumlah tersebut, jenis yang paling mendominasi adalah kiara (Ficus glibbosa) dengan nilai INP sebesar 87,45. Dari segi frekuensi, jenis kiara tidak tergolong menyebar akan tetapi jenis ini memiliki nilai dominansi dan luas bidang dasar yang besar sehingga berpengaruh terhadap besarnya nilai INP. Kiara ini merupakan tumbuhan pencekik (strangler) yang memanfaatkan tumbuhan lain sebagai inang. Banyak satwa yang bergantung pada jenis kiara ini seperti burung rangkong dan beberapa jenis primata seperti lutung dan monyet ekor panjang yang memakan buah dari kiara. Selain itu, jenis ini juga memiliki tajuk yang lebar dan rimbun serta perakaran yang bercabang-cabang dan menyebar. Macan tutul Jawa sering dijumpai beristirahat diantara akar kiara ini dan juga terkadang berburu mangsa karena banyak satwa mangsa yang sering berkumpul disekitar pohon kiara ini seperti monyet ekor panjang dan lutung. Tabel 9 Kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR)

dan indeks nilai penting (INP) tingkat pohon di hutan dataran rendah

No Jenis Nama ilmiah Jumlah individu

KR FR DR INP 1 Tangkele Kleinhovia hospital 9 18 6,25 3,22 27,47 2 Sempur Dillenia obovata 5 10 12,5 4,63 27,13 3 Ki calung Diospyros macrophylla 15 30 21,88 6,93 58,81 4 Bungur Lagerstroemia flos-reginae 3 6 9,38 1,11 16,49 5 Teureup Artocarpus elastic 2 4 6,25 0,35 10,6 6 Salam Syzigium polyanthum 3 6 9,38 0,21 15,58 7 Kedondong Spondias pinnata 2 10 3,13 0,54 7,67 8 Tatulampa Elaucarpus spp 1 2 3,13 0,11 5,23 9 Huru kemplong Litsea spp 4 8 9,38 3,63 21,01 10 Sariawan Symplocos odoratissima 1 2 3,13 0,05 5,18 11 Laban Vitex pubescens 1 2 3,13 0,74 5,87 12 Ki geunteul Diospyros javanica 1 2 3,13 0,76 5,88 13 Ki besi Diospyros spp 1 2 3,13 0,51 5,63 14 Kiara Ficus glibbosa 2 4 6,25 77,2 87,45


(28)

b. Hutan Pantai

Hutan pantai di semenanjung Ujung Kulon hanya tersebar di sepanjang pantai Selatan dan sedikit di bagian Utara. Analisis vegetasi hutan pantai dilakukan di daerah Karang Ranjang yang terletak di bagian selatan semenanjung Ujung Kulon. Dari hasil analisis yang dilakukan pada vegetasi hutan pantai ini ditemukan sebanyak 26 jenis pohon.

Tabel 10 Kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan indeks nilai penting (INP) tingkat semai di hutan pantai

No Jenis Nama ilmiah Jumlah individu

KR FR INP 1 Jambu kopo Eugenia spp 1 9,09 14,29 23,38 2 Nyamplung Calophyllum inophyllum 1 9,09 14,29 23,38 3 Lame peucang Alstonia spp 1 9,09 14,29 23,38 4 Lame laut Alstonia spp 3 27,27 14,29 41,56

5 Sasawoan - 3 27,27 14,29 41,56

6 Waru Hibiscus tilaceus 3 9,09 14,29 23,38 7 Lampeni Ardisia humilis 1 9,09 14,29 23,38

Total 100 100 200

Pada tingkat pertumbuhan semai ditemukan sebanyak 7 jenis dengan nilai INP terbesar pada jenis lame laut (Alstonia sp) dan sasawoan sebesar 41,56. Pada tingkat semai di tipe hutan pantai tidak tedapat jenis yang paling mendominasi. Beberapa jenis semai yang menjadi pakan satwa adalah lampeni (Ardisia humilis) yang sering dimakan oleh badak, banteng, rusa dan kancil.


(29)

Gambar 6 Vegetasi hutan pantai di Karang Ranjang.

Untuk tingkat pertumbuhan pancang dijumpai lebih banyak dari semai yaitu sebanyak 12 jenis. Jenis yang mendominasi adalah lampeni (Ardisia humilis) dengan INP sebesar 37,8 dan nilai INP terkecil pada jenis waru (Hibiscus tilaceus) sebesar 6,01. (Tabel 11).

Tabel 11 Kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan indeks nilai penting (INP) tingkat pancang di hutan pantai

No Jenis Nama ilmiah Jumlah individu

KR FR INP 1 Tokbrai Aglaia latifolia 4 5 9,52 14,52 2 Lampeni Ardisia humilis 15 18,75 19,05 37,8 3 Lame laut Alstonia spp 6 7,5 9,52 17,02

4 Ki kangkareng - 2 2,5 4,76 7,26

5 Cerelang Pterospermum diversifolium 4 5 4,76 9,76 6 Ki tanjung Saccopetalum heterophylla 6 7,5 9,52 17,02

7 Ki tulang - 18 22,5 9,52 32,02

8 Ki sero Mallotus blumeana 8 10 4,76 14,76 9 Ki lalayu Erioglobosum rubiginosum 2 2,5 4,76 7,26 10 Nyamplung Calophyllum inophyllum 8 10 9,52 19,52 11 Waru Hibiscus tilaceus 1 1,25 4,76 6,01 12 Jambu kopo Eugenia spp 6 7,5 9,52 17,02


(30)

Pada tingkat pertumbuhan tiang hanya dijumpai sebanyak 8 jenis pohon. Ki tanjung (Saccopetalum heterophylla) adalah jenis yang mendominasi pada tingkat tiang ini dengan nilai INP sebesar 73,01 dan jenis dengan INP terkecil adalah ciciap (Ficus septica) sebesar 18,49.(Tabel 12).

Tabel 12 Kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR) dan indeks nilai penting (INP) tingkat tiang di hutan pantai

No Jenis Nama ilmiah Jumlah individu

KR FR DR INP 1 Jambu kopo Eugenia spp 1 5,88 8,33 12,86 27,07 2 Ki tanjung Saccopetalum heterophylla 5 29,41 16,67 26,93 73,01 3 Lame peucang Alstonia spp 4 23,53 25 23,91 72,44 4 Ciciap Ficus septic 1 5,88 8,33 4,27 18,49 5 Taritih Intsia amboinensis 2 11,76 16,67 1,03 29,46

6 Plangas - 1 5,88 8,33 9,05 23,27

7 Ki geunteul Diospyros javanica 1 5,88 8,33 7,82 22,03 8 Bungur Lagerstroemia flos-reginae 2 11,76 8,33 14,13 34,23

Total 100 100 100 300

Pada analisis vegetasi hutan pantai ini, tingkat pertumbuhan pohon memiliki jenis paling banyak yaitu sebanyak 15 jenis (Tabel 13). Jenis yang paling mendominasi pada tingkat pohon adalah cerlang (Pterospermum diversifolium) dengan INP sebesar 86,92. Cerlang merupakan jenis pohon yang cukup banyak dijumpai di daerah peralihan antara hutan pantai dengan hutan dataran rendah. Jenis ini memiliki tajuk yang cukup lebar dan rapat sehingga memberi naungan bagi vegetasi dibawahnya yang mengakibatkan lantai hutan dibawah tegakan ini agak jarang ditumbuhi vegetasi lain. Hutan dengan lantai hutan yang bersih dari vegetasi seperti semak dan rotan sering digunakan oleh macan tutul Jawa untuk beristirahat. Selain itu kondisi ini memudahkan macan tutul Jawa dalam melakukan pengejaran terhadap mangsanya.

Jenis dengan INP terkecil adalah kiara (Ficus glibbosa) dengan INP sebesar 6,86. Jenis ini sangat disukai oleh beberapa jenis satwa karena buahnya sering menjadi pakan bagi monyet ekor panjang, jelarang dan burung. Selain kedua jenis di atas, banyak jenis pohon lain yang juga berpengaruh terhadap satwa


(31)

seperti jambu kopo (Eugenia sp) dan turi yang juga sering menjadi pakan bagi satwa mangsa macan tutul Jawa seperti monyet ekor panjang dan lutung.

Tabel 13 Kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR) dan indeks nilai penting (INP) tingkat pohon di hutan pantai

No Jenis Nama ilmiah Jumlah individu

KR FR DR INP 1 Kampis Hernandia peltata 1 2,33 3,7 1,09 7,12 2 Nyamplung Calophyllum inophyllum 3 6,98 7,41 8,87 23,25 3 Malapari Pongamia pinnata 4 9,3 7,41 5,53 22,24 4 Waru Hibiscus tilaceus 1 2,33 3,7 1,79 7,82 5 Cerelang Pterospermum diversifolium 13 30,23 18,52 38,17 86,92 6 Kiara Ficus glibbosa 1 2,33 3,7 0,83 6,86 7 Ki kangkareng - 2 4,65 7,41 8,42 20,48 8 Ki tanjung Saccopetalum heterophylla 2 4,65 7,41 3,08 15,14 9 Jambu kopo Eugenia spp 6 13,95 14,81 10,82 39,59 10 Walen Ficus ribes 1 2,33 3,7 4,31 10,34 11 huru kuning Litsea spp 2 4,65 7,41 5,64 17,7 12 Turi Sesbania grandiflora 1 2,33 3,7 1,33 7,36 13 Lame laut Alstonia spp 1 2,33 3,7 0,85 6,88 14 Hanja Anthocephalus chinensis 3 6,98 3,7 2,64 13,32

15 Sasawoan - 2 4,65 3,7 6,62 14,97

Total 100 100 100 100

c. Hutan Mangrove

Hutan mangrove terletak di daerah pasang surut yang berlumpur dan sedikit berpasir serta berarus tenang sehingga di semenanjung Ujung Kulon, persebaran hutan mangrove hanya di sepanjang pantai Utara saja. Analisis vegetasi hutan mangrove dilakukan di daerah Laban yang merupakan pesisir Utara Ujung kulon. Kondisi vegetasi hutan mangrove lebih homogen dibandingkan dengan tipe vegetasi lainnya. Hanya ditemukan sebanyak 4 jenis mangrove yaitu ki kabal (Xylocarpus sp), bangka jingkang (Rhizopora sp), bangka cengkeh (Bruguiera sp) dan pedada bogem (Sonneratia sp).


(32)

Ditemukan 2 jenis mangrove pada tingkat pertumbuhan semai yaitu ki kabal dan bangka cengkeh. Tingkat semai ini didominasi oleh jenis bangka cengkeh. (Tabel 14).

Gambar 7 Vegetasi hutan mangrove.di Laban

Tabel 14 Kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan indeks nilai penting (INP) tingkat semai di hutan mangrove

No Jenis Nama ilmiah Jumlah individu

KR FR INP 1 Ki kabal Xylocarpus spp 8 2,21 12,5 14,71 2 Bangka cengkeh Bruguiera spp 354 97,79 87,5 185,29

Total 100 100 200

Pada tingkat pertumbuhan pancang ditemukan pertambahan jenis dari 2 jenis yang dijumpai pada semai yaitu bangka jingkang. Pada tingkat pertumbuhan pancang masih didominasi oleh jenis bangka cengkeh. (Tabel 15).

Tabel 15 Kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan indeks nilai penting (INP) tingkat pancang di hutan mangrove

No Jenis Nama ilmiah Jumlah individu

KR FR INP 1 Ki kabal Xylocarpus spp 7 5,88 27,27 33,16 2 Bangka cengkeh Bruguiera spp 111 93,28 63,64 156,91 3 Bangka jingkang Rhizophora spp 1 0,84 9,09 9,93


(33)

Untuk tingkat pertumbuhan pohon dijumpai 3 jenis mangrove yaitu ki kabal, bangka cengkeh dan pedada bogem. Jenis yang paling mendominasi adalah bengka cengkeh dengan nilai INP sebesar 180,29 dan jenis dengan INP terkecil adalah ki kabal dengan INP sebesar 38,96.(Tabel 11). Dilihat dari jenis yang mendominasi yaitu bangka cengkeh (Bruguiera sp) dapat terlihat bahwa keadaan hutan mangrove ini tidak selalu terkena pasang naik kecuali saat pasang tinggi. Vegetasi hutan mangrove ini jarang dikunjungi oleh macan tutul Jawa karena macan tutul Jawa kurang suka vegetasi dengan lantai hutan yang basah dan berlumpur. Satwa mangsa yang sering dijumpai di vegetasi ini adalah babi hutan yang datang saat kondisi surut.

Tabel 16 Kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan indeks nilai penting (INP) tingkat tiang di hutan mangrove

No Jenis Nama ilmiah Jumlah individu

KR FR DR INP 1 Ki kabal Xylocarpus spp 8 17,78 18,75 2,43 38,96 2 Bangka cengkeh Bruguiera spp 30 66,67 50 63,62 180,29 3 Pedada bogem Sonneratia acida 7 15,56 31,25 33,94 80,75

Total 100 100 100 300

d. Padang Rumput

Padang rumput atau padang penggembalaan di semenanjung Ujung Kulon tersebar di beberapa lokasi. Vegetasi ini ada yang tumbuh secara alami dan ada pula yang sengaja dibuat untuk menunjang kebutuhan pakan satwa-satwa grazer. Analisis vegetasi padang rumput dilakukan di daerah Cibunar yang merupakan padang rumput alami.


(34)

Dari hasil analisis yang dilakukan, ditemukan 5 jenis rumput penyusun vegetasi ini yaitu jampang besar (Axonopus sp), jampang piit (Axonopus compressus), pingping kasir, rampong dan meniran. (Tabel 17).

Tabel 17 Kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan indeks nilai penting (INP) di habitat padang rumput

No Jenis Nama ilmiah Jumlah

individu

KR FR INP 1 Jampang piit Axonopus compressus 1250 64,8 20 84,8 2 Pingping kasir Paspalum scrobiculatum 90 4,67 20 24,67 3 Rampong Anailema nudiflorum 230 11,92 20 31,92

4 Jampang Axonopus spp 135 7 20 27

5 Meniran Phyllanthus niruri 224 11,61 20 31,61

Total 100 100 200

Dari kelima jenis yang ditemukan, jampang piit adalah jenis yang paling mendominasi dengan nilai INP sebesar 84,8 sedangkan jenis dengan INP terkecil adalah pingping kasir yaitu sebesar 24,67. Jenis satwa mangsa yang sering dijumpai di padang rumput ini adalah banteng dan terkadang dijumpai juga rusa. Jenis rumput yang disukai oleh banteng dan rusa adalah jampang besar dan jampang piit.

5.1.2 Ketersediaan Satwa Mangsa

Ketersediaan satwa mangsa merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan macan tutul Jawa. Dari hasil pengamatan di setiap tipe habitat, diketahui bahwa ada perbedaan dari segi keragaman maupun kelimpahan dari satwa mangsa disetiap tipe habitat.

Gambar 9 Babi hutan (a) dan kancil (b) merupakan mangsa yang disukai macan tutul


(35)

Tabel 18 Ketersediaan satwa mangsa di setiap tipe habitat

Jenis satwa kepadatan populasi dugaan (ind/km2) Hutan dataran

rendah

Hutan pantai Hutan mangrove

Padang rumput

Babi hutan 11,84 21,98 5,38 2,53

Kancil 0,28 3,93 X X

Kijang 2,94 0,23 X X

Lutung 8,15 - - -

Monyet ekor panjang

- 23,57 - X

Banteng - - X -

Owa jawa - - X X

X = tidak ditemukan

Dari tabel 18 dapat diketahui bahwa jumlah satwa mangsa yang terdapat di hutan dataran rendah dan hutan pantai lebih beragam yaitu sebanyak 7 jenis. Hal ini dapat dipengaruhi oleh keanekaragaman vegetasi yang cukup tinggi dikedua habitat tersebut, akan tetapi dari segi kelimpahan hutan pantai memiliki nilai kelimpahan satwa mangsa yang lebih tinggi karena banyaknya tumbuhan bawah yang akan menyediakan pakan yang cukup bagi satwa mangsa sedangkan pada hutan dataran rendah, tumbuhan bawah tumbuh jarang karena pengaruh sinar matahari yang tertutup tajuk yang rapat..

Pada tipe habitat hutan mangrove dan padang rumput lebih sedikit jenis satwa mangsa yang dijumpai. Hal ini terkait dengan kondisi dari tipe habitat itu sendiri. Hutan mangrove memiliki komposisi vegetasi yang lebih homogen dan keanekaragaman vegetasi sedikit yang berpengaruh pada kurang tersedianya makanan bagi satwa mangsa tersebut. Pada tipe habitat padang rumput, tutupan hutannya sangat sedikit sehingga tidak adanya cover untuk melindungi satwa mangsa dari panas matahari maupun ancaman dari pemangsa.

5.1.3 Ketersediaan Air

Air merupakan komponen penting bagi kehidupan satwaliar dalam hal ini adalah macan tutul dan satwa mangsanya. Semenanjung Ujung Kulon memiliki banyak daerah aliran sungai yang tersebar diseluruh semenanjung ini. Terdapat sungai-sungai besar yang selalu mengalir sepanjang tahun seperti sungai Cibunar yang bermuara ke samudera Indonesia dan sungai Cilintang yang bermuara ke selat Sunda. (Tabel 19).


(36)

Gambar 10 (a). sungai Cibunar (b) Sungai Citadahan (c) Rawa Kecil Karang ranjang (d) Sungai Ciperepet

Tabel 19 Ketersediaan air di Ujung Kulon

Sumber air Lebar (m)

Kedalaman (m)

Ketersediaan Intensitas penggunaan

oleh satwaliar*

Tipe habitat

Sungai Cibunar

+ 10 +0,5-1,5 Sepanjang tahun Sering Hutan dataran rendah, padang rumput Sungai

Ciperepet

+ 6 +1-1,5 Sepanjang tahun Jarang Hutan mangrove

Sungai Cilintang

+ 15 +1-2 Sepanjang tahun Sering Hutan pantai,

hutan manrove Telaga kecil 6 +0,5-1 Berair saat musim

hujan

Sering Hutan pantai

Rawa kecil 12 +0,5-1 Berair saat musim hujan

sering Hutan pantai


(37)

Pada tipe habitat hutan dataran rendah dan padang rumput terdapat sungai Cibunar yang berhulu dari Gunung Payung. Sungai ini sangat jernih karena disepanjang alirannya tidak terdapat rawa dan dasar sungainya berbatu. Karena lokasi penelitian berada dibagian hilir dan muara, maka terkadang kualitas air dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Apabila air laut sedang pasang naik maka air akan menjadi payau.

Tipe habitat hutan pantai memiliki sumber air yang melimpah. Pada habitat ini mengalir banyak sungai besar seperti Cilintang dan Ciperepet. Selain itu terdapat beberapa sumber air yang hanya berair saat musim hujan berupa telaga atau rawa-rawa kecil. Akan tetapi kondisi air di habitat ini dipengaruhi oleh kondisi tanah dan batuannya sehingga mengandung kapur. Selain itu, banyaknya rawa-rawa disepanjang sungai yang mengalir di habitat ini menjadikan warna air keruh dan berlumpur.

Pada habitat hutan mangrove mengalir sungai yang sama dengan hutan pantai yaitu sungai Cilintang dan sungai Ciperepet. Karena letak tipe habitat ini di sekitar muara maka kondisi airnya menjadi payau karena dipengaruhi oleh air laut sehingga sumber air di habitat ini jarang digunakan oleh macan tutul maupun satwa mangsanya untuk kebutuhan minum maupun aktifitas lainnya seperti berkubang atau mandi. Selain itu, disekitar muara banyak dijumpai beberapa jenis reptil seperti buaya muara (Crocodylus porosus) dan ular sanca (Phyton reticulatus) yang membahayakan bagi macan tutul dan satwa mangsanya.

5.1.4 Ketersediaan Cover

Dari hasil observasi di lapangan, didapatkan beberapa tempat yang diperkirakan digunakan sebagai cover oleh macan tutul jawa. Beberapa tipe cover yang diduga sering digunakan oleh macan tutul diantaranya adalah tajuk dan banir pohon, rumpun bambu, gua, tegakan langkap, dan rumpun pandan. Pendugaan ini didasarkan pada bekas-bekas aktivitas macan tutul di lokasi cover seperti cakaran dan bekas rebahan serta wawancara dengan petugas dan penduduk sekitar hutan.


(38)

Tabel 20 Ketersediaan cover di Ujung Kulon

Tipe cover

Fungsi Tipe habitat Ketinggian (mdpl)

Substrat dominan Tajuk

pohon

Sebagai thermal cover

Hutan dataran rendah, hutan pantai, hutan mangrove

0-100 Tegakan ki calung (Diospyros macrophylla), ki

geunteul (D. javanica) dan kiara

(Ficus glibbosa) Banir pohon Sebagai tempat istirahat, menyembunyikan mangsa Hutan dataran rendah

0-100 Tegakan ki calung (Diospyros macrophylla), ki

geunteul (D. javanica) dan kiara

(Ficus glibbosa) Rumpun bambu Sebagai tempat istirahat, mengintai mangsa Hutan dataran rendah

0-15 Vegetasi bambu (Bambosa sp)

Gua Sebagai tempat istirahat,

bersarang, mengasuh anak

Hutan pantai 0-10 Tegakan waru laut (Hibiscus tilaceus)

dan tangkele (Kleinhovia hospita) Tegakan langkap Sebagai tempat berburu, istirahat dan bermain Hutan dataran rendah, hutan pantai

0-10 Vegetasi langkap (Arenga obsitufolia) Rumpun pandan Sebagai tempat istirahat, dan mengintai mangsa Hutan pantai, padang rumput

0-10 Vegetasi pandan (Pandanus sp)

Dilihat dari fungsinya, setiap cover memiliki fungsi yang berbeda dalam menunjang kehidupan macan tutul. Tajuk pohon merupakan tipe cover yang digunakan macan tutul jawa untuk melindungi diri dari panas matahari (thermal cover). Selain itu, tajuk pohon sering digunakan sebagai tempat bersembunyi saat macan tutul beristirahat atau memakan mangsa di atas pohon. Banir pohon yang digunakan untuk cover oleh macan tutul yaitu banir yang berukuran besar dan bergerowong membentuk seperti gua dan biasanya digunakan sebagai tempat istirahat, menyimpan sisa mangsa dan mengasuh anak. Tajuk dan banir pohon yang sering digunakan adalah dari jenis pohon ki calung (Diospyros macrophylla), kiara (Ficus glibbosa) dan ki geunteul (Diospyros javanica).

Rumpun bambu biasanya memiliki lantai hutan yang bersih karena bambu bersifat alelopati, biasanya rumpun bambu ini digunakan sebagai tempat beristirahat dan sebagai tempat bersembunyi dari musuh atau mangsa yang akan diburu. Gua merupakan cover yang sering digunakan oleh macan tutul sebagai tempat tinggal, membesarkan anak dan beristirahat. Gua yang digunakan macan


(39)

tutul adalah gua dengan kondisi yang kering karena macan tutul cenderung menghindari air kecuali untuk minum.

Tegakan langkap fungsinya hampir sama dengan rumpun bambu karena kondisi lantai hutannya yang bersih. Tipe cover ini sering digunakan sebagai tempat beristirahat dan biasanya sebagai tempat berburu karena dari hasil wawancara dengan petugas aktivitas perburuan dan pengejaran mangsa sering terlihat di tegakan langkap. Rumpun pandan sering digunakan oleh macan tutul sebagai tempat beristirahat dan mengintai mangsa.

Pada setiap tipe habitat, tipe setiap cover berbeda-beda karena setiap tipe habitat memiliki kondisi yang berbeda. Pada hutan dataran rendah, tipe cover yang dijumpai adalah tajuk pohon, banir pohon, rumpun bambu, dan tegakan langkap.

Tajuk pohon di hutan dataran rendah biasanya berukuran lebar dan rapat sehingga menaungi lantai hutan dari panas matahari. Demikian pula dengan banir pohonnya, di hutan dataran rendah banir pohonnya sangat lebar karena karakteristik jenis dan usia pohon di tipe habitat ini cukup tua sehingga ukuran pohonnya sangat besar. Jenis yang sering digunakan adalah ki calung (Diospyros macrophylla)dan ki geunteul (Diospyros javanica). Rumpun bambu tersebar di hutan dataran rendah membentuk rumpun-rumpun murni karena disekitar rumpun bambu sedikit sekali dijumpai jenis tumbuhan lain. Sama halnya dengan tegakan langkap yang membentuk tegakan murni.


(40)

Gambar 11 (a) Tajuk Ki geunteul (Diospyros javanica) sebagai thermal cover (b) Banir Ki Calung (Diospyros macrophylla) (c) Tegakan bambu di hutan dataran rendah (d) Tegakan pandan di padang rumput

Pada hutan pantai dijumpai tipe cover seperti tajuk pohon, gua, tegakan langkap, dan rumpun pandan. Tajuk pohon di hutan pantai tidak serapat dan selebar tajuk di hutan dataran rendah. Tapi masih bisa melindungi macan tutul dari panas matahari. Pada jenis-jenis pohon di hutan pantai terkadang tumbuh miring sehingga tidak terlalu tinggi dan memiliki cabang-cabang yang melebar seperti Waru (Hibiscus tillaceus), ketapang (Terminalia catappa) dan nyamplung (Callophylum inophylum).

Hal ini sangat disukai oleh macan tutul karena perilakunya yang suka memanjat dan beristirahat di atas cabang pohon. Gua yang dijumpai di hutan pantai berupa gua kecil dengan lebar mulut gua sekitar dua meter, terbentuk dari batu dan sebagian karst. Panjang gua tidak terlalu dalam. Gua ini digunakan karena kondisinya kering. Selain itu gua ini sering digunakan sebagai tempat bersarang oleh burung walet. Tegakan langkap yang ada di hutan pantai


(41)

kondisinya hampir sama dengan tegakan langkap di hutan dataran rendah dengan lantai hutan yang bersih sehingga sering digunakan sebagai tempat beristirahat, bermain dan berburu oleh macan tutul jawa.

Pandan merupakan tumbuhan yang sering dijumpai di hutan pantai. Rumpun pandan biasanya terdapat ditepi pantai. Sering digunakan oleh macan tutul untuk bersembunyi dari musuh atau mengintai satwa mangsa yang sedang mengasin di pantai atau penyu yang sedang naik untuk bertelur.

Hutan mangrove merupakan areal pasang surut sehingga hanya dikunjungi macan tutul saat kondisinya kering atau surut. Tipe cover di habitat ini hanya tajuk pohon dan akar-akar mangrove seperti pada jenis bangka jingkang (Rhizopora sp). Pada tipe habitat padang rumput hanya dijumpai tipe cover yaitu rumpun pandan karena lokasi padang rumput ini tepat dipinggir pantai. Cover ini sering digunakan macan tutul sebagai tempat mengintai satwa mangsa yang sedang merumput.

5.1.5 Keberadaan dan Kelimpahan Macan Tutul Jawa

Dari hasil pengamatan di lapangan, individu macan tutul jawa yang berhasil diidentifikasi dari jejak kaki sebanyak 3 individu. Dua individu dijumpai di habitat hutan dataran rendah dengan ukuran jejak panjang 8 cm dan lebar 9 cm untuk individu pertama dan ukuran jejak dengan panjang 7 cm dan lebar 8 cm. Individu ketiga dengan ukuran jejak kaki panjang 8 cm dan lebar 8,5 cm dijumpai di hutan pantai.

Tabel 21 Keberadaan, kelimpahan dan sebaran macan tutul Jawa

No Lokasi Tipe habitat Jumlah (ind)*

1 Cibunar Hutan dataran rendah 2

2 Karang Ranjang Hutan pantai 1

* berdasarkan perbedaan ukuran jejak kaki

Identifikasi setiap individu dari perbedaan ukuran jejak dilakukan dengan pendekatan pada pembedaan ukuran jejak harimau sumatera yaitu apabila perbedaan setiap jejak sebesar 1,5 cm maka dianggap individu yang berbeda. Untuk macan tutul ukuran ini disesuaikan lagi karena ukuran macan tutul lebih kecil dari harimau sumatera.

Selain itu, jarak antara tipe habitat dimana dijumpai macantutul cukup jauh sehingga pembedaan individu dapat dilakukan.Perjumpaan langsung dengan


(42)

macan tutul Jawa dijumpai di hutan pantai di daerah Cikeusik, akan tetapi dijumpai diluar pengamatan sehingga hanya dijadikan sebagai data pendukung.

Gambar 12 (a) Macan tutul di daerah Cikeusik (b) Jejak kaki Ukuran 8 cm x 8,5 cm ditemukan di Karang Ranjang.

5.1.6 Wilayah Jelajah dan Teritori Macan Tutul Jawa

Berdasarkan hasil pengamatan pada setiap jalur di setiap tipe habitat didapatkan data perjumpaan tidak langsung dengan macan tutul jawa berupa jejak kaki, cakaran di tanah dan kotoran. Cakaran di tanah dan kotoran banyak ditemukan di habitat hutan dataran rendah dan hutan pantai sehingga kedua tipe habitat ini diperkirakan menjadi wilayah teritorial macan tutul jawa.

Eisenberg dan Lockhart (1972) mengatakan bahwa cara mempertahankan daerah teritori macan tutul dilakukan dengan meninggalkan tanda-tanda berupa suara, cakaran, maupun urine dan kotoran. Pada tipe habitat hutan mangrove dan padang rumput tidak ditemukan kotoran dan cakaran.

Tabel 22 Aktifitas teritorial macan tutul Jawa

No Lokasi Tipe habitat Jenis aktifitas

Scrape (n) Kotoran (n) 1 Cibunar Hutan dataran rendah 25 3

2 Karang Ranjang Hutan pantai 16 1

3 Karang Ranjang Hutan mangrove 0 0

4 Cibunar Padang rumput 0 0

n = jumlah

Dari tabel 22 terlihat bahwa pada habitat hutan dataran rendah dan hutan pantai banyak ditemukan aktifitas teritorial macan tutul Jawa berupa cakaran di tanah (scrape) dan kotoran sedangkan pada habitat hutan mangrove dan padang rumput sama sekali tidak ditemukan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa habitat


(43)

hutan dataran rendah dan hutan pantai sering digunakan oleh macan tutul Jawa karena kedua habitat ini merupakan wilayah teritorial macan tutul Jawa yang akan selalu dipertahankan.

Tabel 23 Aktifitas jelajah macan tutul Jawa

No Lokasi Tipe habitat Jumlah jejak kaki (n)

1 Cibunar Hutan dataran rendah 4

2 Karang Ranjang Hutan pantai 6

3 Karang Ranjang Hutan mangrove 1

4 Cibunar Padang rumput 0

n = jumlah

Dari hasil pengamatan ditemukan beberapa jejak kaki macan tutul yang tersebar di beberapa tipe habitat (Tabel 23). Jumlah jejak kaki yang ditemukan sebanyak sebelas buah dan teridentifikasi berasal dari tiga individu macan tutul.

Empat jejak yang ditemukan di hutan dataran rendah berasal dari dua individu dan diduga berbeda jenis kelamin. Pendugaan ini didasari pada pada asumsi bahwa wilayah jelajah macan tutul pada habitat yang belum terganggu seluas 10 km2 per individu (Santiapillai dan Ramono, 1992). Sedangkan sebaran jejak kaki dari kedua individu macan tutul Jawa di hutan dataran rendah ini terdapat di wilayah yang luasnya kurang dari 10 km2. Eisenberg dan Lockhart (1972) menyatakan bahwa macan tutul jantan dan betina dapat mendiami daerah perburuan yang sama, akan tetapi hal ini tidak berlaku bagi individu-individu berjenis kelamin sama. Dari pernyataan ini dapat diduga apabila kedua individu ini berjenis kelamin sama maka akan terjadi konflik.

Enam jejak kaki yang ditemukan di hutan pantai dan satu jejak kaki di hutan mangrove berasal dari satu individu yang sama karena selain ukurannya sama, jarak antara hutan mangrove dan hutan pantai cukup dekat. Hal ini menunjukkan bahwa untuk wilayah jelajah hutan mangrove termasuk tipe habitat yang digunakan oleh macan tutul Jawa.

Pada tipe habitat padang rumput tidak ditemukan tanda-tanda aktifitas macan tutul jawa meskipun lokasi tipe habitat ini tidak terlalu jauh dengan lokasi penelitian habitat hutan dataran rendah sehingga diduga tipe habitat ini jarang dikunjungi oleh macan tutul Jawa.


(44)

Gambar 13 (a) Tapak ukuran 7 cm x 8 cm ditemukan di Cibunar (b) Tapak yang tidak beraturan di hutan mangrove (c) Cakaran di tanah ukuran 35 cm x 25 cm di Cibunar (d) Kotoran macan berisi rambut kancil di Karang Ranjang

5.1.7 Analisis Preferensi Habitat Macan Tutul Jawa

Pada penelitian ini, perlu dilakukan uji chi-squre (χ2hit) untuk mengetahui

kebenaran akan ada tidaknya preferensi habitat oleh macan tutul Jawa. Berdasarkan uji chi-square yang dilakukan (Tabel 17), hasil pengujian menunjukkan nilai χ2hit

sebesar 18,42. Nilai ini jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai χ20,02 yaitu

sebesar 5,991. Karena nilai χ2hit lebih besar dari nilaiχ20,02 maka dapat dibuktikan


(45)

Tabel 24 Jumlah aktivitas macan tutul Jawa yang teramati dan harapan aktifitas yang dijumpai

No Tipe habitat Jumlah aktivitas teramati (ni = Oi)

Proporsi areal pengamatan (ai)

Harapan jumlah aktivitas

(∑ni. ai = Ei)

Oi – Ei (Oi – Ei)2

Ei

1 Hutan dataran rendah

32 0,50 28 4 0,57

2 Hutan pantai 23 0,25 14 9 5,78

3 Hutan mangrove

1 0,25 14 -13 12,07

Total 56 1 56 18,42

Macan tutul melakukan preferensi habitat karena pada habitat yang disukai terdapat faktor-faktor habitat yang menunjang kehidupannya seperti ketersediaan mangsa, cover dan air.

Untuk mengetahui tipe habitat yang disukai oleh macan tutul Jawa dari keempat tipe habitat yang diamati yaitu hutan dataran rendah, hutan pantai, hutan mangrove, dan padang rumput maka dilakukan pengujian dengan menggunakan indeks neu. Suatu habitat disukai apabila nilai indeksnya sama dengan atau lebih dari satu. Karena dari keempat tipe habitat yang dibandingkan, tipe habitat padang rumput tidak dijumpai sama sekali aktifitas panggunaan habitat dari macan tutul maka tipe habitat ini tidak dimasukkan kedalam pengujian. Hasil pengujian preferensi habitat dapat dilihat pada tabel 25.

Tabel 25 Indeks preferensi habitat macan tutul Jawa

Hasil pengujian memperlihatkan bahwa habitat yang paling disukai adalah hutan pantai dengan nilai indeks 1,64 kemudian hutan dataran rendah dengan nilai indeks 1,14 sedangkan hutan mangrove tidak disukai karena nilai indeksnya dibawah satu yaitu sebesar 0,07. Hutan pantai lebih disukai oleh macan tutul jawa

No Tipe habitat Proporsi luas areal pengamatan (availability)

Aktifitas penggunaan habitat

Indeks

Teramati Proporsi (r) Seleksi (w) Terstandari sasi 1 Hutan

dataran rendah

0,5 32 0,57 1,14 0,4

2 Hutan pantai 0,25 23 0,41 1,64 0,57 3 Hutan

mangrove

0,25 1 0,02 0,07 0,03


(46)

karena pada habitat ini terdapat keanekaragaman dan kelimpahan satwa mangsa yang cukup tinggi. Selain itu hutan pantai memiliki sumber air yang cukup melimpah baik yang tersedia sepanjang tahun seperti sungai Ciperepet maupun yang hanya berair saat musim hujan seperti rawa-rawa maupun genangan- genangan kecil serta banyaknya tipe-tipe cover yang digunakan macan tutul sebagai tempat berlindung.

Hutan dataran rendah termasuk habitat yang disukai oleh macan tutul Jawa. Sama halnya dengan hutan pantai, pada habitat ini terdapat komponen-komponen habitat yang diperlukan macan tutul Jawa dalam memenuhi kehidupannya seperti ketersediaan mangsa, cover, dan sumber air.

5.2 PEMBAHASAN

5.2.1 Struktur dan Komposisi Vegetasi

Taman Nasional Ujung Kulon memiliki luas sebesar 120.551 ha yang terdiri atas 76.214 daratan (63,22%) dan 44.337 ha (36,78%) perairan laut. Daratan TNUK meliputi Gunung Honje, semenanjung Ujung Kulon, Pulau Peucang, Pulau Panaitan dan Kepulauan Handeuleum yang tersusun atas berbagai tipe ekosistem terrestrial yaitu hutan dataran rendah, hutan pantai, hutan mangrove, rawa, padang rumput dan semak belukar.

Hutan yang luas dan disertai dengan keanekaragaman vegetasi yang tinggi merupakan habitat yang potensial bagi satwaliar. Setiap jenis satwaliar bergantung pada kelompok tumbuhan untuk mendapatkan sumber pakan dan cover (Alikodra, 2002). Macan tutul Jawa sebagai satwaliar tentu saja sangat bergantung terhadap vegetasi yang ada di habitatnya. Selain sebagai cover, vegetasi yang berada dalam habitat macan tutul akan sangat mempengaruhi kehidupan satwa mangsanya. Untuk mendapatkan data mengenai kondisi struktur dan komposisi vegetasi di TNUK dilakukan analisis vegetasi di setiap tipe habitat yang diteliti dengan menggunakan metode garis berpetak.

Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa struktur dan komposisi vegetasi hutan pantai paling disukai oleh macan tutul Jawa karena bentuk struktur vegetasi hutan pantai berkaitan dengan banyaknya tempat yang berfungsi sebagai cover dan komposisi jenis tumbuhan yang ada di hutan pantai berpengaruh terhadap


(47)

melimpahnya satwa mangsa. Selain hutan pantai, struktur dan komposisi hutan dataran rendah juga disukai macan tutul Jawa terutama sebagai tempat berlindung karena memiliki tajuk dan banir yang lebar. Hutan mangrove tidak disukai macan tutul Jawa karena struktur dan komposisi vegetasinya tidak memiliki karakteristik yang menunjang kehidupan macan tutul Jawa, demikian juga dengan struktur dan komposisi vegetasi padang rumput yang sangat terbuka sehingga ketersediaan tempat berlindung sangat terbatas.

a. Hutan Dataran rendah

Hutan dataran rendah di TNUK memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Analisis vegetasi yang dilakukan di Cibunar menemukan sebanyak 36 jenis pohon. Jumlah ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan tipe habitat lain yang diamati. Selain keanekaragaman jenis vegetasi yang tinggi, hutan dataran rendah juga memiliki strata tajuk yang lengkap mulai dari strata A hingga strata C sehingga hal ini berpengaruh terhadap penutupan lantai hutan. Dari hasil analisis vegetasi, jenis pohon yang mendominasi adalah kiara (Ficus glibbosa). Jenis ini memiliki nilai bidang dasar yang cukup besar sehingga berpengaruh pada nilai dominansinya.

Menurut Gunawan (1988) macan tutul tidak menuntut adanya dominansi jenis-jenis pohon tertentu baik itu di hutan alam maupun hutan tanaman. Secara langsung macan tutul memanfaatkan vegetasi yang bertajuk rapat sebagai pelindung dari panas matahari (thermal cover) sehingga macan tutul Jawa tidak memerlukan jenis pohon tertentu untuk kebutuhan hidupnya.

Kerapatan tajuk berpengaruh terhadap intensitas sinar matahari yang sampai ke lantai hutan. Hal ini menjadi salah satu penentu penggunaan ruang oleh macan tutul Jawa (Ahmad, 2007). Hutan dataran rendah Cibunar memiliki vegetasi dengan tajuk yang rapat sehingga intensitas cahaya matahari yang sampai ke lantai hutan sangat rendah. Kondisi ini menjadikan macan tutul Jawa dan satwa mangsanya terlindungi dari panas matahari sehingga tajuk yang rapat berfungsi sebagai thermal cover, akan tetapi dengan rendahnya intensitas cahaya matahari yang sampai ke lantai hutan membuat tumbuhan bawah dan semai kekurangan suplai cahaya matahari untuk berfotosintesis sehingga pada habitat hutan dataran


(48)

rendah memiliki lantai hutan dengan tumbuhan bawah dan semai yang jarang yang mengakibatkan sumber makanan bagi satwa-satwa herbivora seperti kijang dan kancil menjadi jarang sehingga satwa-satwa ini jarang dijumpai di hutan dataran rendah dengan kerapatan tajuk yang tinggi.

Meskipun demikian struktur vegetasi yang rapat dan lebar sangat mendukung kehidupan jenis-jenis primata seperti lutung dan owa Jawa yang juga merupakan satwa mangsa macan tutul Jawa.

Hal ini didukung pula dengan hasil pengamatan yang dilakukan di hutan dataran rendah, satwa mangsa macan tutul Jawa lebih banyak dijumpai di peralihan hutan dataran rendah dengan padang rumput, peralihan hutan dataran rendah dengan hutan pantai dan sepanjang aliran sungai dimana di daerah-daerah tersebut banyak terdapat tumbuhan bawah karena sinar matahari cukup tersedia.

Hutan dataran rendah memiliki karakteristik habitat berupa tingginya keanekaragaman jenis vegetasi serta memiliki strata tajuk yang lengkap (strata A hingga C) dan rapat sehingga kondisi lantai hutannya jarang ditumbuhi tumbuhan bawah. Macan tutul Jawa menggunakan hutan dataran rendah sebagai tempat berburu mangsa dan berlindung.

b. Hutan Pantai

Hutan pantai merupakan tipe vegetasi yang tersebar disepanjang pantai selatan semenanjung Ujung Kulon. Tipe vegetasi ini tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut walaupun terletak dekat dengan garis pantai. Hasil analisis vegetasi hutan pantai yang berlokasi di daerah Karang Ranjang menemukan jumlah jenis pohon sebanyak 26 jenis.

Dari kondisi fisiknya, hutan pantai memiliki topografi yang datar dengan lantai hutan berpasir dan terkadang mengandung kapur sehingga kondisinya selalu kering karena pasir cepat menyerap air. Dari segi biotik, tipe hutan pantai ini memiliki tajuk lebar tetapi tidak serapat hutan dataran rendah.

Jenis vegetasi yang dijumpai adalah jenis jambu-jambuan seperti jambu kopo (Eugenia sp), lampeni (Ardisia humilis) dan salam (Syzigium polyanthum). Selain itu ditemukan jenis-jenis pohon khas hutan pantai seperti waru (Hibiscus tilaceus) dan nyamplung (Calophyllum inophyllum). Jenis-jenis ini memiliki


(49)

percabangan yang rendah dan biasanya tumbuh dengan batang miring atau mencondong kearah pantai. Macan tutul Jawa sangat menyukai vegetasi dengan percabangan yang rendah karena memiliki kemampuan memanjat yang baik. Hal ini biasanya dilakukan untuk berlindung, beristirahat atau menyembunyikan mangsa. Ahmad (2007) menyatakan bahwa untuk melindungi hasil buruannya dari pemangsa lain, macan tutul menyembunyikannya di atas pohon, atau menutupinya dengan daun, ranting, rumput atau serasah.

Pada hutan pantai, intensitas cahaya matahari lebih tinggi dibandingkan dengan hutan dataran rendah sehingga pada habitat ini lantai hutannya banyak ditumbuhi oleh jenis-jenis tumbuhan bawah dan semai. Hal ini berpengaruh terhadap kelimpahan satwa mangsa macan tutul Jawa seperti kancil, kijang dan babi hutan yang menjadikan jenis-jenis tumbuhan bawah dan semai sebagai makanannya. Selain itu lantai hutan yang dipenuhi tumbuhan bawah berupa semak dan perdu membuat macan tutul jawa lebih mudah untuk menyembunyikan diri dari mangsanya saat berburu maupun saat merasa terancam.

Karakteristik habitat hutan pantai di daerah Karang Ranjang adalah memiliki keanekaragaman vegetasi dan satwaliar yang cukup tinggi, struktur vegetasinya bertajuk tidak terlalu rapat sehingga cahaya matahari masih bisa menembus lantai hutan serta memiliki percabangan yang rendah dan melebar, dan lantai hutannya banyak ditumbuhi tumbuhan bawah. Macan tutul Jawa menggunakan hutan pantai sebagai tempat berburu karena ketersediaan mangsa dihabitat ini cukup melimpah. Selain itu percabangan yang rendah dan lebar sering digunakan macan tutul Jawa sebagai tempat beristirahat dan bersembunyi.

c. Hutan mangrove

Di TNUK, hutan mangrove memiliki persebaran yang terbatas. Tipe vegetasi ini hanya tersebar di pesisir utara semenanjung Ujung Kulon, kepulauan Handeuleum, dan sebelah utara pulau Panaitan yang memiliki perairan laut yang tenang. Analisis vegetasi untuk hutan mangrove dilakukan di daerah Laban. Ditemukan sebanyak 4 jenis mangrove. Dari hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa kondisi hutan mangrove lebih homogen dibandingkan dengan tipe vegetasi


(1)

Padang rumput

No Jenis Nama latin Family

1 Jampang piit Axonopus compressus. Graminaceae

2 Pingping kasir Paspalum scrobiculatum Graminaceae

3 Rampong Anailema nudiflorum Commelinaceae

4 Jampang Axonopus sp Graminaceae


(2)

    84  

Lampiran 4 Peta Jalur Pengamatan

Gambar 13. Jalur pengamatan hutan pantai (warna merah)

Jalur 2 

Jalur 3 Jalur 1 


(3)

Gambar 14. Jalur pengamatan hutan mangrove (warna biru)

Jalur 1 


(4)

    86  

Gambar 15. Jalur pengamatan hutan dataran rendah (warna hitam) dan jalur pengamatan padang rumput (warna biru)

Jalur 1

Jalur 4 Jalur 3

Jalur2


(5)

habitat Macan Tutul (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) di Taman Nasional Ujung Kulon National Park. Di bawah bimbingan Jarwadi Budi Hernowo, dan Hendra Gunawan

.

Macan tutul Jawa adalah satwa karnivora besar yang masih tersisa di Pulau Jawa. Penyebarannya terbatas di Pulau Jawa dan Kangean. Dalam ekosistem, macan tutul Jawa berperan sebagai pemangsa puncak yang menegendalikan satwa populasi satwa yang menjadi mangsanya. Saat ini kondisi macan tutul Jawa sangat memprihatinkan dikarenakan banyaknya tekanan terhadap populasi dan habitatnya tidak diimbangi oleh usaha pelestariannya karena data yang masih sangat terbatas.

Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan dari bulan November 2008 hingga Januari 2009 di Taman nasional Ujung Kulon. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik habitat meliputi struktur dan komposisi vegetasi, ketersediaan satwa mangsa, ketersediaan air dan tempat berlindung, serta aktivitas perjumpaan dengan macan tutul Jawa. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah analisis vegetasi untuk data vegetasi dan metode transek garis untuk inventarisasi satwa mangsa.

Habitat Macan tutul Jawa di TNUK adalah hutan pantai, hutan dataran rendah dan hutan mangrove. Karakteristik habitat macan tutul Jawa di TNUK adalah memiliki struktur dan komposisi vegetasi yang tidak terlalu rapat, Tersedianya satwa mangsa,

sumber air dan tempat berlindung. Terdapat preferensi habitat oleh macan tutul (χ2 hitung = 18,42 dan χ2tabel = 5,991) dan habitat yang paling disukai adalah hutan pantai (w = 1,64) sedangkan habitat yang tidak disukai adalah hutan mangrove (w= 0,07). Kata Kunci : Macan tutul Jawa, Karakteristik Habitat, Prefereansi habitat, Taman Nasional Ujung Kulon.


(6)

SUMMARY

ENTOL MOCHAMAD AAF AFNAN. Study of Habitat Characteristic and

Preference of Javan Leopard (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) in Ujung

Kulon National Park. Under Supervision by Jarwadi Budi Hernowo and Hendra Gunawan.

Javan leopard is the only big cat in java. It’s dispertion is limited in java and kangean island. Javan leopard in ecosystem have role as a top predator that control

population of it’s preys. Javan leopard condition become endangered because to many

suppressed to their population and habitat not equal to it’s conservation effort.

This research was conduct for 3 months from november 2008 to januari 2009 in Ujung Kulon National Park. Data that collected are habitat characteristic including structur and composition of it’s vegetation, availability of preys, water, and cover, also activity encounter of javan leopard. Data was collected using vegetation analysis method nfor vegetation and line transect method for preys inventory.

Habitat of javan leopard in Ujung Kulon National Park is a lowland forest, coastal forest, and mangrove forest. Javan leopard has preference to their habitat (χ2 arithmatic= 18,42 and χ2 table = 5,991). Habitat of Javan leopard like the most is coastal forest (w= 1,64) and habitat of javan leopard unlike the most is mangroove forest (w= 0,07). Habitat characteristic of javan leopard in Ujung Kulon National Park are having

structure and composition of it’s vegetation that not too close, availability in preys,

water, and cover.

Keywords : Javan leopard, Habitat Characteristic, Habitat preference, Ujung Kulon National Park.