Potensi keberadaan mangsa macan tutul, Panthera pardus melas Cuvier, 1809 di koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak

(1)

POTENSI KEBERADAAN MANGSA

MACAN TUTUL (

Panthera pardus melas

Cuvier, 1809) DI

KORIDOR ANTARA GUNUNG HALIMUN DAN GUNUNG SALAK

SUTOMO

DEPARTEMEN KONSERVASI

SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(2)

RINGKASAN

Sutomo (E03400060). Potensi Keberadaan Mangsa Macan Tutul (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) di Koridor Antara Gunung Halimun dan Gunung Salak. Dibimbing oleh Dr.Ir. Machmud Thohari, DEA dan Ir. Agus. P. Kartono, M.Si.

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003 ditetapkan perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Perluasan mencakup Gunung Salak dan koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak. Mengingat fungsi penting koridor bagi ekosistem didalamnya, keberadaan koridor harus dilindungi. Untuk mendukung perlindungan diperlukan data yang lengkap, dan strategi yang tepat. Salah satu strategi perlindungan dengan mengangkat fungsi penting koridor sebagai tempat mencari makan bagi jenis top predator, jenis langka dan dilindungi yaitu macan tutul.

Tujuan penelitian untuk menjelaskan keberadaan mangsa macan tutul, baik jenis maupun kelimpahan setiap jenis di koridor. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat untuk mendukung konservasi macan tutul, menggali nilai dan fungsi penting guna mendukung perlindungan habitat koridor.

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diantaranya kelimpahan populasi owa jawa, kelimpahan populasi surili, kelimpahan populasi lutung, kelimpahan populasi babi hutan dan kelimpahan populasi muntjak. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi kondisi umum lokasi penelitian seperti letak, luas, status lokasi penelitian, flora dan fauna di lokasi penelitian.

Metode pengambilan data dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pengambilan data langsung dengan metode jalur, systematic sampling with random start, IS 16 %. Metode terkonsentrasi dilakukan pada wilayah-wilayah yang diketahui menjadi daerah konsentrasi satwa. Pengumpulan data secara tidak langsung dengan metode jejak, dengan penghitungan 2 kali berturut-turut pada plot contoh yang dibuat. Ukuran plot contoh 1 x 1 m2 pada daerah-daerah yang menjadi jalur pergerakan satwa. Dilakukan juga analisis vegetasi untuk mengetahui komposisi vegetasi.

Koridor merupakan rangkaian perbukitan yang menghubungkan habitat Gunug Halimun dan habitat Gunug Salak. Memiliki kelerengan rata-rata 30%, kategori kemiringan rumit, sangat curam dengan limpasan air cepat sampai sangat cepat sehingga rawan erosi. Tanah latosol coklat, salah satu jenis tanah dewasa dengan proses pembentukan horison B, kemampuan produksi tinggi karena unsur-unsur hara dalam tanah cukup tersedia, drainase baik sehingga sirkulasi udara dalam tanah berlangsung baik. Koridor merupakan daerah sumber air bagi kawasan dibawahnya, ada 13 aliran sungai di dalam kawasan koridor. Terdapat 5 jalan tembus dari perkampungan sisi utara dan selatan. Jalan yang paling lebar (3 m), jalan potong di tengah koridor. Empat jalan lainnya dengan lebar rata-rata 1,5 meter menjadi pembatas kedua ujung koridor dengan habitat G. Halimun dan G. Salak. Perpotongan oleh satu jalan utama di tengah koridor dengan dua di ujung barat dan timur membentuk koridor menjadi dua pulau habitat.

Tumbuhan semak, perdu dan tumbuhan bawah mendominasi petak pengamatan semai. Berdasrkan 10 INP terbesar hanya tiga jenis yang termasuk dalam pepohonan. Harendong (Clidema hirta) memiliki kepadatan tertinggi (0,8464/3,2 ha). Jenis permudaan yang termasuk dalam 10 besar INP tingkat


(3)

semai antara lain kaliandra (Calliandra callothirsusa ) dan mara (Macaranga tanarius). Vegetasi tingkat pertumbuhan pancang didominasi ole mara (Macaranga tanarius), kaliandra (Calliandra callothirsus), jirak (Sympolocos fasiculata) dan puspa (Schima walichii) memiliki INP (29,0700; 16,2355; 13,3586; 10,7716. Pada tingkat pertumbuhan tiang komposisi vegetasi didominasi kaliandra (Calliandra callothirsus) kayu afrika (Maesopsis emini), jirak (Sympolocos fasiculata), damar (Agathis damara) dansampang (Evodia latifolia). Kemudian pada tingkat pertumbuhan pohon di dominasi jenis puspa (Schima walichii) dengan INP 88,84 %.

Dari pengamatan lapangan secara langsung maupun tidak langsung dijumpai berbagai jenis satwa. Jenis yang sering dijumpai secara langsung maupun tidak langsung diantaranya dari kelompok primata, burung dan mamalia. Dari hasil inventarisasi diketahui ada 8 jenis mangsa macan tutul di koridor. Jenis-jenis itu antara lain surili (Presbytis aygula aygula), lutung (Trachypithecus cristatus sondaicus), owa jawa (Hylobates moloch moloch), muntjak (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus scrofa), trenggiling (manis javanica), landak (Histrix javanica). Surili dijumpai pada seluruh jalur pengamatan baik di tengah, barat dan timur koridor, memiliki total populasi ±111 individu pada kisaran populasi 65-157 individu. Lutung memiliki populasi terbesar dibandingkan dengan primata lain, ±197 individu pada kisaran populasi 134-259 individu dan kepadatan populasi rata-rata 0,62 individu/ha. Owa jawa memiliki sebaran populasi sempit dan jumlah populasi terkecil dibandingkan dengan primata lain, populasi ±37 individu dengan kisaran 12-62 individu. Total populasi babi hutan dari 14 daerah serangan dalam 5 wilayah pemukiman penduduk berjumlah 85 individu dengan 9 jantan, betina 6, anakan 39 dan tidak terdeteksi jenis kelamin dan masuk kelas umur dewasa 31 ekor. Trenggiling ±43 individu dengan kisaran populasi 19-67 individu. Populasi landak di koridor berkisar antara 13-86 individu dengan total populasi ±50 individu. Dari hasil pengamatan pada lokasi-lokasi yang sering terlihat kancil, terhitung ada 5 individu di kawasan koridor. Lokasi jejak ini di daerah semak belukar Pojok Goong, daerah perbatasan kebun teh Pojok adul, daerah Pasir bedil, daerah semak-semak Cisarua dan daerah tepi koridor Pasir pari. Berdasarkan hasil pengamatan jejak diduga populasi muntjak di koridor ada 6 ekor yaitu di daerah Growek, Cisaladah, Pasir pari, Cipicung dan Cisarua.

Keberadaan macan tutul di koridor diketahui melalui jejaknya. Jejak di Growek dan Batu sisir berupa marking. Marking ini merupakan jejak berupa cakaran pada tanah hingga tercabut rumput di permukaan dengan kedalaman 2-3 cm, panjang 20-25 cm dan lebar 10-15 cm dan pada beberapa marking juga disertai dengan kotoran (faeces) dan bekas kencing. Marking yang ditemukan di tepi timur koridor diduga berasal dari habitat Gunung Salak berdasarkan arah marking yang menuju kawasan tersebut. Jenis yang di temukan markingnya di tepi barat arahnya menuju ke Gunung Halimun sehingga diduga kuat berasal dari habitat G. Halimun. Dari jejak yang dijumpai diduga hanya ada 2 ekor macan tutul yang mengunakan koridor sebagai tempat mencari mangsa. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Biodiversity Conservation Indonesia dari bulan september 2004 hinga bulan Maret 2005 dengan memasang 11 titik kamera jebak dan hanya mendapatkan 2 individu macan dari growek dan dari Batu sisir yang dijumpai marking dalam pengamatan.


(4)

POTENSI KEBERADAAN MANGSA

MACAN TUTUL (

Panthera pardus melas

Cuvier,1809) DI

KORIDOR ANTARA GUNUNG HALIMUN DAN GUNUNG SALAK

SUTOMO

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KONSERVASI

SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(5)

Judul Skripsi : POTENSI KEBERADAAN MANGSA MACAN TUTUL (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) DI KORIDOR ANTARA GUNUNG HALIMUN DAN GUNUNG SALAK. Nama Mahasiswa : Sutomo

NRP : E03400060

Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Disetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Machmud Thohari, DEA. Ir. Agus P. Kartono, M.Si. NIP : 130 891 377 NIP : 131 953 388

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. NIP : 131 430 799


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Grobogan, Jawa Tengah pada tanggal 11 Agustus 1981, sebagai anak tunggal keluarga Bapak Sukirman dan Ibu Sulastri.

Pendidikan yang pernah diperoleh penulis adalah:

1. Sekolah Dasar Negeri Tegalrejo VI, Wirosari, Grobogan lulus pada tahun 1994.

2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Wirosari, Grobogan lulus pada tahun 1997.

3. Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Citeureup, Bogor lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2000 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan melalui program Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).

Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Cagar Alam Sancang-Papandayan BKSDA Garut, KPH Ciamis (BKPH Pangandaran-BKPH Cijulang-BKPH Ciamis) Perum Perhutani Unit III Jawa Barat pada bulan Juli-Agustus 2003. Penulis melaksanakan Field Trip Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata di Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat pada bulan Februari 2004. Selanjutnya pada bulan Februari-Maret 2004, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di HTI PT. Finnantara, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan penulis melaksanakan penelitian di Taman Nasional Gunung Halimun dalam rangka penyusunan skripsi dengan judul: “Potensi Keberadaan Mangsa Macan tutul (Panthera pardus melas Cuvier 1809) di Koridor Antara Gunung Halimun dan Gunug Salak ” dengan dosen pembimbing Dr.Ir. Machmud Thohari, DEA. dan Ir. Agus P. Kartono, M.Si.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas segala karunia dan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan karya tulis ini.

Karya tulis ini disusun berdasarkan hasil penelitian di bidang konservasi sumberdaya hutan dengan judul “Potensi Keberadaan Mangsa Macan Tutul

(Panthera pardus melas Cuvier, 1809) di Koridor Antara Gunung Halimun

dan Gunung Salak” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua dan yang senantiasa memberikan dorongan semangat, doa dan pengorbanan baik moral maupun materi kepada penulis.

2. Bapak Dr.Ir. Machmud Thohari, DEA. dan Bapak Ir. Agus. P. Kartono, M.Si. selaku pembimbing.

3. Kelurga besar Asrama Sylvalestari yang selalu menjadi sumber inspirasi dan motivasi.

4. Organisasi Wanita Jerman Die Brucke dan PMD (Proyek Masa Depan) yang memberikan bantuan baik material dan spiritual.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik selalu penulis harapkan untuk perbaikan. Semoga tulisan ini dapat memberikan pemahaman.

Bogor, Februari 2006 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 2

C.Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Komunitas Biologi ... 3

B. Kepunahan Spesies ... 4

C. Koridor Habitat ... 5

D. Macan Tutul ... 6

E. Mangsa Macan Tutul ... 10

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Luas dan Letak Kawasan ... 19

B. Topografi dan Jenis Tanah ... 19

C. Iklim ... 19

D. Flora dan Fauna ... 20

IV. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat ... 22

B. Alat dan Bahan ... 22

C. Jenis Data yang Dikumpulkan ... 22

D. Metode Pengumpulan Data ... 22

E. Metode Analisis Data ... 25

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Fisik dan Aksesibilitas di Koridor ... 28

B. Vegetasi di Koridor ... 30

C. Keanekaragaman Satwa di Koridor ... 34

D. Mangsa Macan Tutul di Koridor ... 36

E. Potensi Pakan Mangsa Macan Tutul di Koridor ... 46

F. Keberadaan Macan Tutul di Koridor ... 53

G. Gangguan Habitat di Koridor ... 55

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 63

B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(9)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Ukuran rata-rata tubuh macan tutul yang hidup di pulau jawa ... 7

2. Analisis vegetasi tingkat semai di koridor ... 31

3. Analisis vegetasi tingkat pancang di koridor ... 32

4. Analisis vegetasi tingkat tiang di koridor ... 32

5. Analisis vegetasi tingkat pohon di koridor ... 33

6. Jenis- jenis satwa yang di jumpai di koridor ... 35

7. Vegetasi pakan surili dengan sebaran pertumbuhan merata di koridor ... 47

8. Vegetasi pakan lutung dengan sebaran pertumbuhan merata di koridor ... 48

9. Vegetasi pakan owa jawa dengan sebaran pertumbuhan merata di koridor. ... 49

10. Vegetasi pakan muntjak dan kancil di koridor ... 50


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Lokasi koridor dan kondisi penutupan lahan di koridor ... 21

2. Jalur pengamatan satwa mangsa macan tutul ... 23

3. Petak contoh analisis vegetasi ... 25

4. Jelarang dan kucing hutan di koridor ... 34

5. Babi hutan di koridor... 40

6. Sarang babi hutan di koridor ... 41

7. Kancil di koridor ... 45

8. Nampong dan ilat ayam di koridor ... 50

9. Buah hamerang pakan owa jawa, lutung dan surili di koridor ... 53

10. Macan tutul dari tepi barat dan tepi timur di koridor ... 55

11. Penebangan pohon secara ilegal di koridor ... 57


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Vegetasi yang di temukan di koridor ... 68

2. Analisis vegetasi tingkat semai di koridor ... 73

3. Analisis vegetasi tingkat pancang di koridor ... 76

4. Analisis vegetasi tingkat tiang di koridor ... 78

5. Analisis vegetasi tingkat pohon di koridor ... 79

6. Hasil sensus babi dengan metode terkonsentrasi ... 80

7. Hasil inventarisasi muntak (Muntiacus muntjak) dan kancil (Tragulus javanicus) di koridor ... 81

8. Hasil inventarisasi lutung, surili, owa jawa, trenggiling dan landak di Koridor ... 82

9. Vegetasi pakan surili Unocal Geotermal Indonesia ... 85

10. Vegetasi pakan owa jawa di koridor ... 86

11. Vegetasi pakan lutung di koridor ... 89


(12)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di alam ini tidak ada yang kekal, selalu terjadi perubahan yang merupakan mata rantai sebab akibat mengikuti asas ekologi. Populasi satwaliar juga berubah mengikuti perubahan atau dinamika lingkungan. Perubahan ini setiap saat tergantung pada peranan sumber pengaruhnya (Alikodra, 1990). Ke arah yang lebih baik atau ke arah yang lebih buruk perubahan alam ada peranan manusia sebagai pengelola sumberdaya alam.

Taman Nasional Gunung Halimun memiliki koridor hutan yang berhubungan langsung dengan hutan lindung Gunung Salak. Koridor hutan merupakan kawasan hutan yang menjadi jembatan antara dua habitat yang digunakan untuk penyebaran oleh flora maupun fauna antara dua habitat sehingga memungkinkan terjadinya aliran genetik (Primack et al.,1998).

Koridor hutan Taman Nasional Gunung Halimun memiliki fungsi tertentu bagi satwa di dalam dan di sekitar kawasan. Menurut Cahyadi (2003) koridor hutan dijadikan sebagai tempat mencari makan oleh macan tutul (Panthera pardus melas), elang jawa (Spizaetus bartelsi) dan elang ular (Spilornis cheela). Koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak digunakan sebagai habitat oleh jenis owa jawa (Hylobates moloch moloch), lutung (Trachypithecus cristatus sondaicus), surili (Presbytis aygula aygula), jelarang (Ratufa bicolor), kucing hutan (Felis bengalensis), muntjak (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus scrofa), musang (Paradoxurus hermaproditus) dan burung puyuh gonggong (Arborophylla javanica).

Koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak mengalami penyempitan dan terputus (terfragmentasi). Terjadi penyempitan kawasan seluas 347,52 Ha selama 11 tahun terakhir, dari total 666,51 tahun 1990 menjadi 318,99 Ha tahun 2001, salah satu penyebabnya adalah perluasan areal pertanian di sekitar kawasan. Terjadi fragmentasi karena adanya jalan yang membagi koridor hutan menjadi dua bagian (Cahyadi 2003). Penyempitan dan fragmentasi pada koridor dapat menurunkan fungsi koridor salah satunya adalah fungsi sebagai habitat.

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003 ditetapkan perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Perluasan mencakup Gunung Salak dan koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak.


(13)

Mengingat fungsi penting koridor bagi ekosistem didalamnya, ekosistem di Gunung Halimun dan Gunung Salak maka keberadaannya harus dilindungi. Untuk mendukung perlindungan diperlukan data yang lengkap, dan strategi yang tepat. Salah satu strategi perlindungan dengan mengangkat fungsi penting koridor sebagai tempat mencari makan bagi jenis top predator, jenis langka dan dilindungi yaitu macan tutul. Untuk mengetahui seberapa besar fungsi koridor sebagai tempat mencari makan macan tutul perlu dilakukan studi tentang keberadaan mangsa macan tutul yang mengungkapkan jumlah jenis dan kelimpahan setiap jenisnya.

B. Tujuan

Tujuan penelitian ini menerangkan keberadaan mangsa macan tutul. Menjelaskan baik jenis maupun kelimpahan setiap jenis mangsa macan tutul di koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak.

C. Manfaat

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain:

a. Mendukung konservasi macan tutul di Taman Nasional Gunung Halimun

b. Menggali nilai dan fungsi penting koridor hutan Taman Nasional Gunung Halimun dan

c. Mendukung perlindungan habitat koridor hutan Taman Nasional Gunung Halimun.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Komunitas Biologi

Ekologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara jasad hidup yang satu dan yang lainnya dengan lingkungan (Sorianegara, 1998). Balgooyen (1973) dalam Sorianegara (1998) menyebutkan bahwa yang dipelajari dalam ekologi adalah parameter ruang waktu dan energi yang mempengaruhi penyebaran dan banyaknya populasi jasad hidup yang terdiri satu jenis atau lebih. Ekologi dalam lingkup yang lebih dalam dan luas disebut dengan ekosistem. Ekosistem adalah sistem alam yang terdiri dari komponen-komponen jasad hidup dan lingkungan yang diantaranya terjadi pertukaran zat dan energi yang perlu untuk kelangsungan makluk hidup (Soerianegara, 1998).

Keanekaragaman hayati menurut WWF (1989) dalam Primack et al. (1998) adalah kekayaan hidup di bumi, tumbuhan, hewan dan mikroorganisme, genetika yang ada di dalamnya dan ekosistem yang dibangun menjadi lingkungan hidup. Keanekaragaman dilihat dalam tiga tingkatan: 1) pada tingkat spesies mencakup seluruh organisme di bumi, dari bakteria dan protista melalui dunia hewan tumbuhan dan jamur, 2) pada skala kecil keanekaragaman pada tingkat gen dalam suatu spesies, dan 3) keanekaragaman dalam tingkat variasi komunitas dan ekosisitem dan interaksi antar tingkatan tersebut.

Primack et al. (1998) mendevinisikan komunitas biologi sebagai spesies yang menempati tempat tertentu dan mengalami interaksi antar spesies. Dalam komunitas biologi setiap spesies menggunakan sumber daya yang membentuk relungnya. Relung sendiri didevinisikan sebagai jenis atau tipe penggunaan sumberdaya dalam habitat oleh spesies.

Ricklefs (1993) dalam Primack et al. (1998) menyatakan bahwa komposisi dalam komunitas dipengaruhi oleh kompetisi dan predasi. Pemangsa secara tidak langsung mengurangi spesies yang dimangsanya dan menghilangkan spesies tertentu dari habitatnya. Pemangsa juga secara tidak langsung menambah keanekaragaman di suatu komunitas karena kepadatan spesies mangsa berkurang sehingga kompetisi memperebutkan sumberdaya rendah.

Dalam komunitas biologi keberadaan spesies tertentu mungkin penting dan menentukan kemampuan sejumlah besar komunitas lain untuk bertahan dalam komunitas. Spesies yang mempengaruhi susunan komunitas lebih dari yang diperkirakan berdasarkan jumlah individu atau biomasa (Janzen 1986a dalam


(15)

Primack et al., 1998). Melindungi spesies kunci adalah priroritas bagi usaha konservasi, jika spesies ini hilang dari daerah konservasi maka spesies lain akan hilang juga. Predator utama adalah spesies kunci karena ikut mengontrol jumlah herbivora (Redford 1992 dalam Primack et al., 1998). Memusnahkan sebagian kecil predator yang merupakan bagian kecil spesies biomasa, secara potensial akan menimbulkan perubahan yang dramastis pada vegetasi dan kehilangan besar pada keanekaragaman hayati (McLaren dan Peterson dalam Primack et al., 1998).

B. Kepunahan Spesies

Primack et al. (1998) mendevinisikan kepunahan spesies adalah tidak ada satu anggotapun dari anggota spesies di dunia atau populasi spesies yang ada tidak dapat berkembang dan masa depan spesies tersebut tergantung berapa lama individu yang hidup dapat bertahan. Jika suatu spesies masih ada dalam komunitas tetapi sudah tidak bisa memegang peran penting dalam organisasi komunitas maka spesies tersebut telah mengalami kepunahan secara ekologi. Secara alamiah spesies mengalami kepunahan, kepunahan secara alamiah tidak menimbulkan permasalahan bagi kehidupan manusia. Model kepunahan yang dapat menimbulkan permasalahan kehidupan manusia adalah kepunahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia sendiri.

Menurut Primack et al. (1998) aktifitas manusia yang menyebabkan kepunahan adalah kegiatan perburuan dan perusakan habitat melalui pembakaran dan pembukaan hutan. Secara rinci aktifitas manusia yang mengancam keanakaragaman hayati antara lain: 1) Perusakan habitat, 2) Fragmentasi habitat, 3) Gangguan habitat, 4) Penggunaan spesies oleh manusia secara berlebihan, 5) Introduksi spesies eksotik, dan 6) Penyebaran penyakit.

Cara yang baik untuk melindungi keanekaragaman hayati adalah dengan melindungi habitatnya. Kerusakan terhadap suatu habitat adalah ancaman kepunahan bagi spesies di dalamnya. Ekosistem hutan tropis mudah rusak karena pada umumnya tanahnya tipis miskin hara dan mudah tererosi oleh air hujan. Tingkat penggundulan hutan tropis sangat tinggi, dalam skala global setengah dari kerusakan hutan hujan tropis disebabkan oleh penggunaan lahan perladangan dalam skala kecil yang dilakukan oleh petani di daerah-daerah (Primack et al., 1998)


(16)

Shufer (1990) dalam Primack et al. (1998) membuat devinisi fragmentasi habitat sebagai berikut, fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas diperkecil atau dibagi menjadi dua atau lebih fragmen. Perusakan habitat yang meninggalkan fragmen-fragmen adakalanya terisolasi oleh daerah-daerah yang rusak dan mengalami degradasi. Habitat yang terfragmen berbeda dengan habitat asal dalam dua hal, memiliki daerah tepi yang luas dari habitat asal dan daerah tengah pusat dekat dengan daerah tepi. Ancaman fragmentasi habitat terhadap keberadaan spesies antara lain: 1) Pengecilan potensi suatu spesies menyebar dan kolonisasi, 2) Penurunan kemampuan hewan dalam penyebaran yang juga mempengaruhi penyebaran tanaman tertentu, dan 3) Pengurangan daerah jelajah hewan asli.

Paton (1994) dalam Primack et al. (1998) menjelaskan bahwa fragmentasi memberikan kerentanan fragmen dalam invasi spesies eksotik dan spesies hewan dan tumbuhan pengganggu. Daerah tepi hutan merupakan lingkupan terganggu sehingga spesies pengganggu dapat dengan mudah berkembang dan menyebar ke bagian dalam fragmen hutan. Fragmentasi habitat juga menyebabkan spesies liar dekat dengan tumbuhan atau hewan peliharaan. Penyakit spesies peliharaan ini akan mudah menular pada spesies liar yang tidak mempunyai imunitas tinggi terhadap penyakit tertentu dan keadaan sebaliknya dapat terjadi.

C. Koridor Habitat

Simber et al. (1992) dalam Primack et al. (1998) mendiskribsikan koridor habitat merupakan jalur-jalur yang dilindungi yang menghubungkan suatu cagar alam satu dengan cagar alam lainnya. Habitat yang demikian dikenal dengan koridor konservasi atau koridor perpindahan. Koridor memungkinkan satwa menyebar dari satu cagar ke cagar yang lain, sehingga memungkinkan aliran gen serta kolonisasi lokasi yang sesuai. Koridor juga dapat berfungsi membantu melestarikan satwa yang harus melakukan migran musiman di antara berbagai habitat yang berbeda-beda untuk mendapatkan makanan.

Primack et al. (1998) menyebutkan bahwa untuk meningkatkan jumlah dan keanekaragaman satwa, pengelola hidupan liar sering menciptakan variasi

landscape. Ladang dan semak-semak dibuat dan dibiarkan tumbuh secara kecil-kecilan tanaman buah dipelihara. Keping-keping hutan dipotong dan jalan


(17)

setapak dibuat sepanjang kepingan hutan sehingga menghasilkan suatu kawasan yang beralih dipenuhi tepian-tepian dengan daerah transisi yang jelas.

D. Macan Tutul (Panthera pardus melas Cuvier, 1809)

1. Bio-sistematika

Menurut Anonim (1978) sistematika macan tutul Panthera pardus melas

Cuvier, 1809 sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordota Sub Filum : Vertebrata

Kelas : Mamalia Ordo : Carnifora Famili : Felidae Genus : Phanthera

Spesies : Panthera pardus Linnaeus, 1758 Sub spesies : Panthera pardus melas Cuvier, 1809

Menurut Hoogerwerf (1970) macan tutul di Pulau Jawa dikenal dengan nama Panthera pardus melas. Nama latin lain dan authornya adalah Panthera pardus melas Cuvier, 1809. Panthera tersebar luas di berbagai belahan dunia. Tersebar di Afrika, Asia Kecil, Afganistan, Turkestan, Iran, India, Ceylon, Jawa, Cina, Manchuria, Amur-Suri, dan Afrika Utara. Panthera terbagi menjadi empat sub spesies; Macan tutul (P. pardus), Jaguar (P. onca), harimau (P. tigris) dan singa (P. leo)

Distribusi macan tutul di Pulau Jawa antara lain, di Taman Nasional Ujung Kulon (Gunung Honje, Ranca Danau, Cibodas, Gunung Simpang), Gunung Halimun, Pasir Salam, Meru Betiri, Yang Plateu, Baluran, Alas Purwo, Maelang dan Pulau Kangean (Santiapillai dan Ramono, 1992).

Terdapat 24 sub spesies macan tutul di dunia. Macan tutul dari Amur (P. p. oriental), Cina Utara (Panthera pardus japonensis), India (Panthera pardus fusca), Jawa (P. p. cuvier atau Panthera pardus melas), Srilanka (P. p. kotiya), Nepal (P. p. pernigra), Kashmir (P. p. milliardi), Baluchistan (P. p. sindica), Persia Tengah (P. p. dathei), Persia Utara (P. p. saxicolor), Kaukasia (P. p. ciscaucasia), Asia Kecil (P. p. tuliana), Sinai (P. p. jarvisi), Afrika Utara (P. p. pardus), Eritera (P. p. antinorii), Afrika Timur (P. p. suahelica), Zanzibar (P. p. adersi), Afrika Tengah (P. p. shortridgei), Tanjung Afrika (P. p. melanotica),


(18)

Uganda (P. p. chui), Afrika Barat (P. p. leopardus), dan Kongo (P. p. turiensi) (Grzimek`s, 1972).

2. Ciri Pengenal

Menurut Grzimek`s (1972) satwa ini memiliki berat badan antara 40-60 kg, dengan panjang badan 90-150 cm dan tinggi badan antara 60-95 cm ini memiliki badan yang panjang dan cenderung silinder. Memiliki lengan yang pendek dan berekor panjang dengan ujung ekor berwarna putih. Menurut Hogerwerf (1970) ukuran rata-rata macan tutul yang hidup di Pulau Jawa sebagai berikut.

Tabel 1. Ukuran rata-rata tubuh macan tutul yang hidup di Pulau Jawa. Jenis kelamin Panjang* (cm) Tinggi (cm) Berat (kg)

Jantan Betina

215 185

60-65 60-65

52 39

*) Diukur dari moncong hingga ujung ekor

Macan tutul mengalami dimorphisme warna rambut, warna dasar tubuh coklat kekuningan dan warna dasar tubuh hitam pada satu induk. Satwa dengan warna dasar tubuh hitam disebabkan adanya proses melanisme, adanya dominasi pigmen hitam pada rambut sehingga keseluruhan tubuh berwarna hitam yang disebut dengan macan kumbang (Lekagul dan McNeely, 1977 dalam

Anonim, 1982). Macan tutul memiliki dua jenis variasi warna rambut yaitu pola totol-totol dan hitam polos. Jika diamati dengan seksama terdapat perbedaan pola totol untuk masing-masing individu. Jenis yang berwarna hitam biasa disebut macan kumbang dan jenis yang memiliki pola warna rambut totol-totol disebut macan tutul (Suyanto, 2002).

Menurut Grzimek`s (1975) dalam Lekagul dan McNeely (1977) warna dasar macan tutul pada umumnya adalah kekuning-kuningan atau coklat kekuning-kuningan dengan tutul hitam yang tersusun dalam bentuk kembangan (rosette). Macan tutul dapat dibedakan dari tutul yang berbentuk tungggal pada kepala, kaki dan telapak kaki. Warna dasar tubuh bagian bawah putih atau abu-abu dan ekor sisi bawahnya berwarna putih.

3. Perilaku Makan

Macan tutul mengawali perburuan mangsa dengan perilaku mengintai. Macan tutul mengintai mangsa dari atas pohon atau semak-semak, kemudian dengan meloncat mangsa disergap dengan menerkam bagian tengkuk. Jika


(19)

mangsa tertangkap, lehernya digigit dan kakinya mencabik muka mangsa hingga tidak berdaya (Anonim, 1978).

Macan tutul sering menyimpan sisa makanannya dengan cara menutupi dengan serasah rumput atau ranting. Untuk menghindari binatang pemakan bangkai kadang-kadang makanan disimpan di atas pohon (Grzimek`s, 1975). Macan tutul kembali ketempat penyimpanan makanan setelah 2 atau 3 hari, kadang-kadang lebih dari 3 hari (Goudrian 1948 dalam Hoogrewerf, 1970). Macan tutul akan kembali ketempat sisa penyimpanan makanan setelah gagal dalam berburu (Logan 1927 dalam Hoogerwerf, 1970).

Grzimek`s (1975) menyebutkan bahwa macan tutul begitu memahami teritorinya dan tidak akan tersesat walau bepergian jauh. Tinggal bisa bertahun-tahun dalam satu wilayah dengan catatan makanan tersedia cukup. Macan tutul sering berburu sendirian, hanya jenis di India yang melakukan perburuan bersama-sama. Macan menyukai hati, ginjal dan membuang bagian dalam (abdomen). Mangsa macan di Afrika antara lain: babon, babi, antelop pilihan mangsa jatuh pada yang terlemah. Binatang kecil juga menjadi mangsa, diantaranya: kelinci, pengerat, burung dan ikan. Kadang-kadang macan memakan buah yang manis. Di Asia mangsa macan antara lain: rusa, kerbau, kambing liar, rusa hitam, jenis kerbau-kerbauan lainnya, babi, jenis pengerat dan primata. Beberapa jenis macan hanya memilih jenis mangsa tertentu yang disukai antara bangsa kera dan babi hutan. Untuk jenis macan yang sudah tua mereka tidak memilih makanan apa yang terlihat dan dia sanggup mendapatkanya maka akan dimakan.

Menurut Harahap dan Sakaguchi (2003) jenis hewan yang biasa dimakan oleh macan tutul yaitu kubung malaya (Cyanocephalus variegatus), surili (P. aygula aygula), lutung (T. cristatus sondaicus), babi hutan (S. scrofa), pelanduk (T. javanicus), muntjak (M. muntjak), trenggiling (Manis javanica), landak jawa (Histrix brachyura). Menurut Hoogerwerf (1970) macan tutul di Pulau Jawa memangsa berbagai jenis satwa dari kelelawar hingga jenis rusa. Jenis satwa-satwa tersebut antara lain; muntjak (M. muntjak), monyet ekor panjang (M. fascicularis), surili (P. a. aygula), babi hutan (S. scrofa), pelanduk (T. javanicus), kadang-kadang memangsa owa jawa (H. m. moloch). Jika habitat macan tutul dekat dengan pemukiman maka sering memangsa hewan piaraan seperti kambing, anjing, dan ayam.


(20)

4. Reproduksi

Macan tutul adalah satwa yang soliter, di luar masa kawin atau masa memelihara anak, binatang ini akan selau sendiri dalam melakukan aktivitas harian. Mengalami masa kehamilan selama 87-89 hari (Hoogerwerf, 1970).

Menurut Grzimek’s (1972) di hutan tropis macan tutul tidak mempunyai musim kawin, perkawinan terjadi sepanjang tahun. Macan tutul mengandung selama 90-105 hari, melahirkan 1-4 ekor anak tetapi biasanya 2-4 ekor dalam satu kali kehiran. Anak baru membuka mata setelah enam hari kelahiran. Masa sapih anak-anaknya ± 2 tahun. Anak macan akan tumbuh giginya setelah berumur 5 bulan dan dewasa pada umur 3 tahun dan mencapai lebih dari 23 tahun umurnya.

5. Perilaku Populasi

Macan tutul memiliki sistem teritori. Kawasan teritori ditandai dengan cakaran, kencing dan feses. Macan tutul berpindah tempat dengan jarak yang cukup jauh dan memiliki wilayah jelajah harian (home range) yang sangat luas. Menurut Sunquist (1981) seperti harimau jawa atau kucing besar lain macan tutul mempunyai home range yang luas, 60-72 km2. Macan tutul membutuhkan home range yang luas untuk memenuhi kebutuhan pakan dan mendukung reproduksi. Rata-rata aktivitas harian dalam berpindah tempat sejauh 2 km. Macan tutul jantan dewasa memiliki teritori 27-37 km2 (Robinowitz, 1989).

6. Habitat

Macan tutul dapat hidup di habitat hutan primer dan hutan sekunder (Suyanto, 2002). Macan tutul memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap habitatnya, dapat hidup di hutan savana yang panas, sampai hutan hujan yang lembab dan dingin. Macan tutul tidak memilih-milih habitat selama mangsa ada dan mencukupi. Di tempat yang kering jenis ini mampu bertahan, sering minum dari titik air pagi hari, dalam 2-3 hari hanya sekali minum (Grzimek’s, 1972). Di Taman nasional Gunung Halimun macan tutul tersebar di kawasan Gunung Botol, Gunung Panenjoan, dan Cikaniki (Suyanto, 2002).


(21)

E. Mangsa Macan Tutul

1. Lutung (Trachypithecus cristatus sondaicus)

Menurut Napier dan Napier (1967) lutung memiliki tinggi total 415-787 mm dengan berat badan 3650-13620 gr untuk jantan dan betina memiliki tinggi total 432–695 mm dengan berat badan 4767-11350 gr. Lutung (T. c. sondaicus) memiliki punggung yang berwarna hitam atau kemerahan dan bagian bawah (perut) berwarna hitam sampai coklat. Memiliki rambut pada pipi yang panjang, lebih panjang dari bagian wajah yang lain (Suyanto, 2002).

Lutung beraktivitas pada siang hari (diurnal). Menurut Nursal (2001) lutung aktif sejak pukul 05.10-18.05 yaitu sejak bangun tidur dan kembali tidur. Alokasi pembagian waktu aktifitas lutung yaitu pagi pukul 06.00-10.00, siang 10.00-14.00, dan sore hari 14.00-8.00. Pagi dan sore hari digunakan oleh lutung untuk berpindah, siang hari untuk istirahat.

Lutung hidup berkelompok. Dalam satu kelompok terdapat satu jantan; artinya hanya ada satu jantan dewasa yang berperan sebagai pimpinan kelompok. Kehidupan berkelompok tidak hanya pada aktivitas penjelajahan tetapi juga tercermin dari aktivitas memelihara bayi, tidak hanya induk betina tetapi individu muda anggota kelompok juga berperan sebagai pengasuh bayi yang ada dalam kelompok (Rowe, 1996).

Aktivitas lutung dalam habitat dilakukan pada wilayah yang menjadi daerah jelajah. Menurut Rowe (1996) daerah jelajah lutung berkisar antara 2,5-8 hektar (rataan 5 hektar). Pada umumnya lutung tinggal di habitat hutan primer, begitu juga di Taman Nasional Gunung Halimun lutung tinggal di kawasan hutan primer dan hutan sekunder. Di Taman Nasional Gunung Halimun, lutung dapat di jumpai di Gunung Malang, Gunung Botol, Gunung Andam, Gunung Panenjoan, Gunung Bapang, Gunung Kendeng, dan Ciawi Tali (Suyanto, 2002).

2. Surili (Presbytis aygula aygula)

Tubuh surili (P. a. aygula) bagian atas (punggung), memiliki warna rambut hitam. Tubuh bagian bawah berwarna hitam sampai coklat. Memiliki rambut pada pipi yang lebih panjang dari pada rambut pada bagian muka yang lain (Suyanto, 2002). Rambut di kepala membentuk jambul, berat badan jantan 5500-7037 gr berat badan betina 5500-7000 gr (Napier dan Napier, 1967).

Menurut Fleagle (1988) surili aktif pada siang hari, banyak memakan dedaunan (Suyanto, 2002). Surili termasuk golongan satwa yang tinggal dalam


(22)

kelompok. Fungsi dari kelompok yang dibentuk adalah untuk mempermudah dalam mencari makan, mempermudah akses reproduksi dan mempertahankan anak. Surili berasosiasi dengan tumbuhan dengan menggunakan strata tajuk A, B, dan C dengan ketinggian antara 9-26 m (Siahaan, 2002).

Menurut Suyanto (2002) surili hidup di habitat berupa hutan primer. Kepadatan populasi surili di berbagai tempat bervariasi, berkisar antara 4-35 individu/km2 yang dipengaruhi oleh keadaan habitat (Supriyatna, 1994a)

Menurut Sugarjito et al. (1998) dalam Suyanto (2002) surili menempati habitat Gunung Malang, Gunung Botol, Gunung Andam, Gunung Panenjoan, Gunung Ciawitali, Gunung Bapang, Gunung Kendeng, dan Cimara.

3. Babi Hutan (Sus scrofa)

Grzimek`s (1972) menyatakan babi hutan memiliki sebaran paling luas diantara jenis yang lain. Sebarannya meliputi Eropa dan Asia. Memiliki tinggi badan antara 30-100 cm dengan panjang badan 35-50 cm dan berat badan antara 50-350 kg.

Babi hutan (S. scrofa) memiliki tubuh buntak (memiliki kaki yang kecil dengan tubuh yang bulat dan besar, tidak proporsional), rambut kasar agak lebat dan berwarna hitam sampai agak keabu-abuan, memiliki surai dari tengkuk berjalan hingga ke punggung. Babi hutan memiliki ekor pendek dan gundul, pada waktu anakan memiliki garis membujur berwarna coklat kekuningan (Suyanto, 2002).

Menurut Grzimek`s (1972) indra penglihatan babi hutan tidak berkembang sebaik indra penciuman. Perkembangan indra penciuman mendukung aktivitas mencari makanan yang beberapa jenis berada di bawah permukaan tanah. Dengan indra penciuman tersebut babi hutan dapat mengenali adanya bahaya, baik bau keringat pemburu atau bau besi pada jebakan. Dengan taring yang tajam babi bertahan atau pun menyerang lawan.

Babi hutan memakan beraneka jenis makanan (omnivora). Babi hutan memakan cacing, larva serangga, ubi-ubian, dedaunan, dan bangkai binatang. Babi hutan termasuk binatang yang aktif pada malam hari (nocturnal). Babi hutan hidup di habitat hutan primer dan hutan sekunder (Suyanto, 2002).

Grzimek`s (1972) menyebutkan bahwa babi hutan tidak selektif dalam hal habitat. Jika menemukan makanan air dan tempat berlindung ia akan tinggal di situ. Dari stepa yang kering, rawa dan hingga di atas ketinggian 4000 m dapat


(23)

dijumpai babi hutan. Akan tetapi preferensi habitat babi dari lapangan kebanyakan jenis babi menyukai tinggal dekat dengan perladangan atau pemukiman. Babi hutan tidak meninggalkan habitatnya jika memang karena kondisi yang tidak memungkinkan.

Dalam habitat kecuali babi hutan jantan dewasa, babi hutan hidup berkelompok sepanjang tahun. Babi hutan memiliki teritori, terluas adalah jenis jantan yang soliter dan teritori yang paling sempit untuk kelompok yang terdiri dari induk dan anak-anaknya. Satuan kelompok terdiri dari beberapa betina dan anakan mereka, biasanya terdiri dari 6-10 individu atau lebih. Jika anak jantan telah dewasa akan meninggalkan kelompok dan soliter.

Masa pubertas saat usia 8 sampai 10 bulan, tergantung juga dengan tingkat ketersediaan pakan. Jika telah tiba masa birahi maka berlomba-lomba jenis jantan baik dari satu keluarga atau pejantan dari keluarga lain. Satu pejantan bisa mengawini hingga 3 betina. Masa kehamilan untuk induk yang pertama akan melahirkan dan induk yang telah pernah melahirkan sebelumnya berbeda. Masa kehamilan betina tua 133-140 hari sedangkan masa kehamilan betina remaja relatif lebih cepat kira-kira mencapai 2 minggu,114-130 hari. Setelah hamil, induk tersebut menyingkir ketempat yang cukup aman dan dekat dengan pakan. Babi yang hamil mambuat sarang berupa tanah lapang dengan digali dan atasnya ditutup dengan daun-daunan yang sebelumnya diberi rangka berupa cabang atau kayu-kayu muda yang bisa dipatahkan atau dirobohkan. Babi meninggalkan sarang maksimal 2 minggu setelah itu tidak dipake lagi. Setelah masa dua minggu anak telah bisa makan sendiri. Babi hutan bisa hidup lebih dari 15 tahun (Grzimek`s, 1972).

Suyanto (2002) menerangkan berdasarkan informasi penduduk dan tangkapan kamera jebak binatang ini tersebar merata di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Keberadaan Babi hutan jawa (S. verrucasus) di Taman Nasional Gunung Halimun masih diragukan.

4. Muntjak (Muntiacus muntjak)

Dalam Animal Encyclopedia, Grzimek`s (1972) memberi penjelasan tentang morfologis serta beberapa perilaku dari jenis muntjak. Muntiacus muntjak panjang badan 13-23 cm, tinggi badan 40-65 cm dengan berat badan antara 15-35 kg. Pada dasarnya memiliki ranggah yang panjang. Ranggah terlihat pendek karena adanya percabangan yang kadang-kadang hingga 3 percabangan.


(24)

Muntjak adalah pelari yang cepat, memiliki pinggang yang sangat ramping. Menyukai tipe habitat berupa semak–semak . Muntjak memiliki suara lolongan yang keras, yang menjadi tanda bahaya akan keberadaan predator atau pemburu. Masa kehamilan selama 6 bulan, setiap kelahiran hanya 1 anak jarang sekali sampai 2 anak (Grzimek`s, 1972).

Permukaan tubuh muntjak (M. muntjak) berwarna trengguli atau merah bercambur abu-abu. Memiliki warna kehitaman membujur sepanjang punggung.

Permukaan tubuh bawah (daerah sekitar perut) berwarna putih bercampur abu-abu. Muntjak jantan memiliki tanduk yang panjang, biasanya memiliki satu cabang. Muntjak hidup di habitat yang berupa hutan sekunder. Berdasarkan informasi penduduk dan tangkapan kamera jebak binatang ini tersebar merata di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (Suyanto, 2002).

5. Owa jawa (Hylobates moloch)

Menurut Napier dan Napier (1967) owa jawa (H. Moloch) memiliki telapak tangan dan pergelangan tangan yang panjang, sedangkan menurut Grizimek’s (1972) owa termasuk kelompok kera yang tidak berekor, mempunyai kepala kecil dan bulat, hidung tidak menonjol, dan rahang kecil pendek tidak menonjol. Owa jawa memiliki suara yang lantang dan khas (Suyanto, 2002).

Grzimek`s (1972) menyatakan jenis owa memiliki tinggi tubuh antara 46-64 cm dengan berat antara 10-20 kg. Owa jawa mengalami pubertas pada usia 7 tahun. Masa kehamilan ± 210 hari dengan normal 1 anak setiap kelahiran. Dalam satu kelompok terdiri dari satu jantan dengan satu sampai dua betina dan beberapa anakan dengan berbagai usia. Betina sangat toleran terhadap anak-anaknya yang dalam masa perkembangan walaupun sedang memelihara anak yang baru. Masa perkembangan yang dimaksud adalah masa pubertas jadi setiap anak berkumpul dalam keluarga rata-rata sampai umur 7 tahun.

Ray dalam Grzimek`s (1972) bahwa owa jawa memiliki teritori yang diperkirakan 12-20 ha. Luasan teritori ini menyamai dengan jangkauan suaranya. Mereka memakan buah-buahan, bunga, serangga dan buah. Setelah selesai makan mereka kembali ke teritorinya. Owa jawa tidak membuat sarang tetapi memiliki preferensi untuk pohon tempat tidur dan tidak ada toleransi bagi keluarga lain untuk menggunakan pohon tempat tidur.

Owa jawa aktif hanya di siang hari (diurnal). Owa jawa dalam berbiak mempunyai pasangan tetap (monogamy). Owa hidup dengan membentuk


(25)

kelompok kecil (koloni) yang terdiri dari satu pasanganya dengan anak-anaknya yang belum dewasa. Setiap kelompok kecil memiliki daerah jelajah yang dipertahankan (territory). Owa jawa bergerak dengan menggelantung pada cabang-cabang pohon (arboreal) (Suyanto, 2002).

Menurut Leigton (1987) owa jawa memang hidup berkelompok namun kadang ada yang hidup soliter terutama individu muda yang belum menemukan pasangan, yang diusir dari kelompok induknya. Menurut Supriyatna et al(1994a) owa jawa hidup dengan sistem sosial berkelompok. Satu kelompok owa jawa terdiri atas 2 - 6 individu dengan jumlah rata-rata 3,2 individu perkelompok.

Owa jawa tinggal di habitat hutan primer dan hutan sekunder (Suyanto, 2002). Berdasarkan hasil penelitian Wibisono (1995) di Gunung Honje, Taman Nasional Ujung Kulon yang melaporkan bahwa kepadatan populasi owa jawa di hutan primer (13,5 individu/km2) yang lebih tinggi dibandingkan dengan di hutan sekunder (2,4 individu/km2). Di Taman Nasional Gunung Halimun owa jawa dijumpai di Gunung Malang, Gunung Botol, Gunung Andam, Cimara, Gunung Panenjoan, Ciawitali, Gunung Bapang, dan Gunung Kendeng (Suyanto, 2002).

6. Trenggiling (Manis javanica)

Menurut Lekagul dan McNeely (1977) trengiling dewasa memiliki panjang dari kepala-badan 340-470 mm. Kaki belakang 79-90 mm, telinga 15-22 mm dengan bobot 5-7 kg.

Trenggiling merupakan bangsa pholidota (mamalia bersisik). Seluruh tubuh bersisik kecuali moncong, pipi, perut dan bagian tubuh dalam. Sisik merupakan modifikasi dari rambut yang melebur seperti halnya cula badak. Pada umumnya memiliki tungkai pendek dan tubuh meruncing pada ujung ekor. Saat berjalan ujung ekor tidak menyentuh tanah. Ekor pada trenggiling bersifat

prehensil artinya digunakan untuk memegang. Tidak mempunyai gigi, sebagai gantinya memiliki lidah berkelenjar yang mengeluarkan cairan pekat untuk menangkap serangga yang menjadi makanannya. Termasuk jenis nocturnal, aktif pada malam hari. Makan semut dan rayap yang ditangkap langsung dalam sarang dengan cara membongkar sarang dengan cakarnya kemudian dengan lidahnya yang memiliki cairan seperti lem menangkap semut dan rayap. Trengiling tingal di hutan primer dan sekunder (Suyanto, 2002).

Menurut Grzmek`s (1975) bahwa tenggiling tersebar luas di Indonesia. Persebaran yang luas terkait dengan ketersediaan pakan. Trenggiling hanya


(26)

makan semut dan rayap, jika di suatu daerah terdapat kedua serangga di atas maka trenggiling tidak akan meninggalkan daerah tersebut. Dalam perut trenggiling pernah ditemukan 12 jenis semut. Dalam satu malam trenggiling memakan 150-200 gr semut dan rayap dan total ada 21 jenis serangga yang jadi makanannya.

Trenggiling jenis yang sangat unik. Telinga tidak berkembang dengan baik. Tidak mempunyai gigi, dengan lidah yang rekat menjadikan semut atau rayap menempel sehingga jika lidah ditarik dalam mulut maka serangga-serangga yang menempel ikut masuk dalam mulut dan langsung ditelan. Seperti beberapa jenis burung, teridentifikasi trenggiling memakan kerikil dan pasir untuk membantu pencernaannya (Grzimek`s, 1975).

Grzimek`s (1975) menyebutkan bahwa sulit untuk menangkarkan trenggiling. Untuk jenis yang baru ditangkap dari alam tidak akan mau langsung menerima pakan pengganti. Butuh hingga 8 minggu agar mau menerima pakan pengganti, waktu yang relatif lama sehingga kemungkinan besar trenggiling akan mati dulu sebelum dapat beradaptasi. Dalam pemeliharaan trenggiling dapat hidup lebih dari delapan tahun. Belum diketahui tentang masa kehamilan jenis ini. Jantan dan betina bersama-sama saat musim kawin. Setelah beberapa waktu muncul satu individu muda, untuk jenis yang ada di Asia rata-rata sekali melahirkan 3 ekor anak.

Trenggiling mempertahankan diri dengan membentuk lingkaran dan bergerak cepat sambil menyemburkan air kencing. Trenggiling dapat bergerak secara arboreal maupun terestrial. Secara terestrial trenggiling mampu berjalan dengan kecepatan 5 km/jam. Untuk bergerak lebih dari 1 meter hanya membutuhkan waktu 1 detik. Berjalan dengan setiap saat berhenti mengawasi sekeliling dengan cara mengangkat kaki depan dan bertumpu dengan tungkai kaki belakang dan ekor lalu dengan penglihatan dan penciuman ia mendeteksi kemungkinan bahaya yang mengancam (Grzimek`s, 1975).

Trenggiling termasuk jenis pemanjat. Cara memanjat menyerupai ulat, kaki depan mencengkeram pohon kemudian kaki belakang diangkat sama-sama merapat ke kaki depan setelah tumpuan kuat kaki depan bergerak kembali. Dapat bergelantung dengan ekor yang prehensil, untuk mengambil dan memeriksa sarang di pohon. Ekor trenggiling berfungsi juga untuk pegangan anakan yang turut memanjat (alat gendong). Trenggiling melindungi diri dengan menggulung badan menyerupai bola, rapat-rapat dengan ekor menutup kepala.


(27)

Dengan posisi tersebut pemangsa dihadapkan dengan bola yang terlindung dengan kulit berupa sisik yang keras (MacKinnon, 1983).

7. Landak (Histrix brachyura)

Menurut Lekagul dan McNeely (1977) landak memiliki panjang badan dan kepala 45,5-64,4 cm, ekor 9,2-14,0 cm. Panjang kaki 8,2-9,4 cm telinga 3,2-5,7 cm dan memiliki bobot 5,9-10,76 kg.

Landak memiliki ciri pengenal yang khas. Seluruh permukaan tubuh mulai dari kepala sampai ekor berduri. Separuh badan belakang memiliki duri yang lebih panjang dari bagian lain. Landak tinggal pada lubang-lubang batu atau liang tanah yang dibuatnya sendiri. Landak dapat hidup di setiap tipe hutan dan dapat pula hidup di areal perkebunan. Selain di Taman Nasional Gunung Halimun landak terdapat di Bali dan Nusa Tenggara kecuali flores (Suyanto, 2002).

Grzimek`s (1975) menjelaskan diskripsi morfologi dan beberapa perilaku landak. Landak memiliki 18 gigi dengan berat badan di atas 15 kg. Memiliki indra penciuman dan pendengaran yang berkembang dengan baik berlawanan dengan kondisi indra penglihatan yang tidak berkembang. Landak dapat mengetahui jenis buah dan tempat dimana buah itu berada dari suara jatuhnya. Masa kehamilan 2 bulan, dalam satu tahun bisa melahirkan 2 sampai 3 kali dengan jumlah anak 1-4 untuk satu masa melahirkan, tetapi seringnya yang lahir 2 ekor anak. Landak menyukai habitat-habitat berupa hutan terbuka dan stepa. Pada siang hari landak beristirahat dalam lubang-lubang tanah atau celah-celah bebatuan yang menjadi tempat tidurnya. Landak muda yang baru lahir memiliki bulu–bulu yang lembut yang nantinya berganti dengan rambut yang permanen seperti induknya. Di alam yang biasanya menjadi pemangsa landak antara lain: elang, ular, macan dan manusia.

Landak termasuk jenis nokturnal, pada siang hari tidur di sarang pada malam hari keluar mencari makanan. Makanan landak termasuk akar-akar yang kaya zat tepung termasuk ketela pohon jika tak sengaja masuk kekebun. Kadang-kadang landak mengumpulkan tulang dan diangkut dalam sarang, landak mengerkah tulang tersebut untuk mendapatkan kalsium (MacKinnon, 1983)

Landak merupakan jenis herbivora, kadang-kadang memakan daging seperti kebanyakan pengerat. Di kebun binatang landak memakan kentang, wortel, buah hijauan dan pakan anjing. Landak liar memakan ubi-ubian,


(28)

tumbuhan berduri, akar, berbagai tanaman, dedaunan, buah, jagung dan kulit kayu (Grzimek`s, 1972).

8. Kubung Malaya (Cyanocephalus variegatus)

Menurut Payne dan Francis (1985) dalam Suyanto (2002) kubung memiliki panjang badan dan kepala 241-245 mm kaki belakang 65-73 mm dan bobot 925-300 gr. Kubung malaya di habitatnya bergelantungan menyerupai kalong. Memiliki selaput kulit antara kaki depan dan kaki belakang. Memiliki warna tubuh abu-abu dengan bercak hitam putih. Kubung aktif pada malam hari, kadang kala bisa dijumpai pada pagi dan senja hari. Memakan buah-buahan hutan. Kubung selalu bergelantungan baik sedang makan maupun sedang bergerak. Masa kehamilan 3 bulan, anak yang baru lahir menyerupai binatang berkantung. Kubung tinggal di habitat hutan primer dan sekunder selalu berada di pepohonan. Selain di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun kubung juga dijumpai pada perkebunan kelapa dan karet (Suyanto, 2002).

9. Kancil (Tragulus javanicus)

Suku tragulidae termasuk anggota ruminansia. Di indonesia suku ini memiliki marga tunggal yang terdiri 2 jenis. Ciri ruminansia ini tidak mempunyai rangga, tetapi memiliki taring yang panjang pada jantan. Memiliki ukuran tubuh terkecil dibandingkan dengan artiodactila yang lain. Morfologi kancil yang dapat dikenal antara lain permukaan tubuh yang berwarna tengguli kecuali sepanjang punggung yang berwarna lebih hitam. Permukaan bawah badan, dari pangkal kaki depan hingga ujung perut berwarna putih (Suyanto, 2002)

Grzimek`s (1972) menyebut kancil sebagai kelinci besar. Kancil merupakan famili tragulidae yang bisa melompat seperti lompatan kelinci. Memiliki tinggi 45-55 cm dari permukaan tanah dengan panjang badan 2,5-5 cm dengan berat badan antara 2,25-2,70 kg. Memiliki 34 dengan 2 taring panjang pada jantan dewasa. Hidup soliter, berpasangan saat musim kawin dan dijumpai lebih dari satu jika mengasuh anaknya. Masa kehamilan 6 bulan dan biasanya melahirkan 2 ekor anak dalam satu waktu kelahiran. Pada siang hari banyak menghabiskan waktu di tempat perlindungan beraktivitas pada malam hari. Kancil hidup di daerah kering atau habitat berbatu-batu, di hutan primer dan hutan mangrove.

MacKinon (1986) menyatakan bahwa kancil binatang ungulata yang terkecil di dunia. Memiliki tubuh yang sebesar kelinci dengan berat badan 0,7-2


(29)

kg. Memakan buah-buahan yang jatuh di lantai hutan dan semak-semak yang rendah. Binatang cerdik dapat mengelabuhi pemangsa. Hidup soliter berpasangan hanya saat musim kawin dan terlihat lebih dari satu saat pengasuhan.


(30)

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Luas dan Letak Kawasan

Luas areal koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak 318,99 Ha. Secara geografis koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak terletak pada koordinat 6044`00``- 60 46`30`` LS dan 106035`30``- 106037`30`` BB, pada wilayah administrasi kabupaten Sukabumi dan kabupaten Bogor. Koridor dapat dicapai melalui kecamatan Leuwiliang kabupaten Bogor, atau dari arah selatan melalui kecamatan Kabandungan kabupaten Sukabumi. Koridor Gunung Halimun-Gunung Salak merupakan bagian dari wilayah pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun. Lokasi dan keadaan penutupan lahan koridor disajikan pada Gambar 1.

B. Topografi dan Jenis Tanah

Koridor memiliki ketinggian berkisar antara 892-1.144 mdpl. Kelerengan koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak berkisar 0%-90% dengan kelerengan rata-rata antara 0%-30%. Tipe tanah di areal koridor berdasarkan peta tanah tinjau Propinsi Jawa Barat skala 1:250.000 tahun 1996 adalah Latosol dengan macam tanah Latosol Coklat.

C. Iklim

Koridor Gunung Halimun-Gunung Salak masih dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Iklim Koridor mengikuti kondisi iklim pada Taman Nasional Gunung Halimun. Berdasarkan klasifikasi Schimidt dan Ferguson, curah hujan Taman Nasional Gunung Halimun tergolong tipe B, musim kering dimulai pada bulan Mei dan berakhir pada bulan Oktober dengan curah hujan tertinggi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus. Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun memiliki variasi curah hujan antara 4.000-6.000 mm/tahun (Cahyadi, 2003).

D. Flora dan Fauna

Menurut Cahyadi (2003) vegetasi di koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu vegetasi yang termasuk tumbuhan bawah dan tumbuhan jenis pepohonan. Jenis-jenis tumbuhan bawah


(31)

antara lain: harendong (Clidema hirta), pakis (Diplazium asperum), aawian (Dinocholoa scandens), dan hareu(Rubus chrysophyllus). Jenis-jenis pepohonan antara lain: pasang (Quercus sundaicus), saninten (Castanopsis argentea),

puspa (Schima walichii), dan rasamala (Althingia exelsa).

Menurut Cahyadi (2003) terdapat 12 jenis satwa di koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak. Satwa-satwa tersebut antara lain macan tutul (P. p. melas), elang jawa (S. bartelsi) dan elang ular (S. cheela). Koridor digunakan sebagai habitat oleh jenis owa jawa (H. m. moloch), lutung (T. c. sondaicus), surili (P. a. aygula), jelarang (R. bicolor), kucing hutan (F. bengalensis), muntjak (M. muntjak), babi hutan (S. scrofa), musang (P. hermaphroditus) dan burung puyuh (A. javanica)

Menurut Cahyadi (2003) kawasan koridor merupakan tempat bersarang, cover, dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi kucing hutan, musang, babi hutan, muntjak, puyuh gonggong jelarang, lutung, surili, dan owa jawa; sedangkan bagi elang jawa, elang ular, dan macan tutul adalah sebagai tempat mencari makan (feeding ground).


(32)

(33)

IV. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan yaitu Maret 2005 sampai dengan Mei 2005. Kegiatan penelitian dilakukan di koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak, Taman Nasional Gunung Halimun.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain: peta lapangan, GPS, buku identifikasi satwa, kompas, binokuler, alat penghitung, meteran, kamera, pathok, tally sheet pengamatan dan alat tulis.

Bahan yang jadi kajian penelitian adalah populasi satwa mangsa antara lain populasi muntjak, owa jawa, babi hutan, surili dan populasi lutung.

C. Jenis Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan ada dua jenis, data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang langsung diperoleh dari pengamatan lapangan, sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari studi literatur.

Data primer yang dikumpulkan meliputi kelimpahan populasi owa jawa, kelimpahan populasi surili, kelimpahan populasi lutung, kelimpahan populasi babi hutan dan kelimpahan populasi muntjak. Jenis data sekunder yang dikumpulkan meliputi kondisi umum lokasi penelitian seperti letak, luas, status lokasi penelitian, flora dan fauna di lokasi penelitian.

D. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpaulkan antara lain data kelimpahan satwa mangsa dan data vegetasi. Metode pengumpulan data kelimpahan satwa mangsa dilakukan dengan sensus langsung dan sensus tidak langsung yang disesuikan dengan satwa target. Sensus langsung dengan metode garis transek dan metode terkonsentrasi sedang sensus tidak langsung dengan metode jejak. Kombinasi juga dilakukan dengan pengamatan jejak pada jalur garis transek. Pengumpulan data vegetasi dilakukan dengan analisis vegetasi. Berikut ini diskripsi metode pengumpulan data yang digunakan:


(34)

1. Metode Garis Transek (Lebar Jalur Sama)

Satwa mangsa yang disensus dengan metode ini adalah lutung, surili dan owa jawa. Menurut Broockelman dan Ali (1987) dalam Alikodra (1990) metode garis transek dengan lebar jalur sama dapat dipergunakan untuk sensus primata dan dikuatkan oleh pengalaman dengan metode yang sama oleh Broockelman dan Ali (1987) dapat menghitung populasi P. obscura dan M. fascicularis di Suaka Marga Satwa Krau, Malaysia.

Wilayah studi memiliki luas 318,985 ha. Sensus yang dilakukan dengan metode jalur, sistematik sampling with random start, IS 16 %. Sensus dilakukan pada 4 jalur dengan panjang rata-rata 1,27 km. Bentuk jalur pengamatan disajikan pada Gambar 2.

Keterangan: di = Lebar kanan-kiri jalur Li =Panjang jalur

Gambar 2. Jalur pengamatan satwa mangsa macan tutul

2. Metode Terkonsentrasi

Menurut Alikodra (1990) setiap satwa liar memiliki model pergerakan yang berbeda-beda. Agar mendekati kebenaran pendugaan dalam metode ini langkah-langkah yang harus dilakukan sebagai berikut:

1. Melakukan pengamatan pola pergerakan pada setiap wilayah jelajah.

2. Melakukan pengamatan terhadap struktur populasi serta tanda-tanda lainnya untuk menghindari penghitungan ulang.

3. Perlu diperhatikan kemungkinan adanya anggota populasi yang berada di dalam hutan atau lokasi lain sehingga tak terhitung dalam wilayah studi. Pengamatan dengan metode terkonsentransi dilakukan untuk menghitung kelimpahan babi hutan. Lokasi pengamatan dilakukan pada derah-daerah yang

(d

i

)


(35)

diserang oleh babi. Semua daerah berada di tepi kawasan, kebun teh dan pertanian penduduk.

3. Metode Jejak

Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan satwa mangsa yang sulit untuk dijumpai secara langsung. Jenis satwa yang menjadi target metode ini adalah muntjak dan kancil. Dari metode ini dapat diduga jumlah populasi muntjak dan kancil. Pendugaan populasi dengan pengamatan jejak kaki dilakukan dua kali penghitungan berturut-turut pada plot contoh yang dibuat. Ukuran plot contoh 1 x 1 m2 pada daerah-daerah yang menjadi jalur pergerakan satwa.

4. Analisis Vegetasi

Pengambilan data vegetasi menggunakan metode petak contoh dalam jalur, dengan Intensitas Sampling (IS) 10 %. Dibuat 8 jalur pengamatan, dalam setiap jalur terdapat 10 petak contoh. Bentuk jalur dan petak contoh serta ukuran seperti Gambar 3. Objek pengamatan adalah vegetasi pada pertumbuhan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Data yang dicatat dalam analisis vegetasi antara lain jenis dan untuk tingkat pertumbuhan pohon dicatat diameter setinggi dada (dbh), tinggi bebas cabang dan tinggi total.

Gambar 3. Petak contoh analisis vegetasi

l

c

b

a

Keterangan:

a: Petak contoh analisis vegetasi tingkat semai, ukuran 2 x 2 m2 b: Petak contoh analisis vegetasi tingkat semai, ukuran 5 x 5 m2 c: Petak contoh analisis vegetasi tingkat semai, ukuran 10 x 10 m2 d: Petak contoh analisis vegetasi tingkat semai, ukuran 20 x 20 m2


(36)

E. Analisis Data

1. Metode Garis transek (Lebar Jalur Sama)

Analisis data metode jalur akan menghasilkan kelimpahan mangsa macan tutul per hektar. Pendugaan kepadatan satwa mangsa dilakukan dengan persamaan sebagai berikut:

Intensitas sampling (IS):

Nilai kepadatan per jalur (yi):

Keragaman populasi contoh (Sy2):

Nilai dugaan titik rata-rata kepadatan populasi per jalur ( ):

Keragaman rata-rata contoh (S 2):

N

n

IS

=

Keterangan:

IS = Intensitas sampling n = Luas jalur yang diamati N = Luas areal pengamatan

i

n

i

x

i

y

=

Keterangan:

yi = Nilai kepadatan per jalur

ni = Luas jalur pengamatan ke-i

xi = Jumlah individu satwa pada pengamatan ke-i

n

i

y

y

=

1

2

)

(

2

2

=

n

n

i

y

i

y

Sy

Keterangan:

Sy2 = Keragaman populasi contoh yi = Nilai kepadatan per jalur

n = jumlah jalur

Keterangan:

= Rata-rata kepadatan populasi per jalur yi = Nilai kepadatan per jalur

n = Jumlah jalur pengamatan

)

1

(

2

2

IS

n

Sy

y

S

=


(37)

Nilai pendugaan selang contoh pada selang kepercayaan 70 %:

Nilai populasi total ( ) individu:

Keragaman nilai dugaan (S 2):

Nilai pendugaan selang populasi total pada selang kepercayaan 70%:

Koefisien variasi (CV):

Keterangan:

S 2 = Keragaman rata-rata contoh Sy2 = Keragaman populasi contoh n = Jumlah jalur pengamatan IS = Intensitas sampling

Keterangan:

S 2 = Keragaman rata-rata contoh tα/2;n-1 = Nilai pada tabel

= Jumlah rata-rata populasi perjalur

Keterangan:

= Nilai populasi total

A = Luas total lokasi penelitian

= Jumlah rata-rata populasi per jalur

×

=

y

A

Y

2

1

;

2

±

y

S

n

t

y

α

Keterangan:

S 2 = Keragaman nilai dugaan A = Luas total

S 2 = Keragaman rata-rata contoh

2

2

2

×

=

y

S

A

Y

S

2

1

;

2

/

±

y

S

n

t

Y

α

Keterangan:

= Nilai populasi total tα/2;n-1 = nilai tabel

S 2 = Keragaman nilai dugaan

%

100

2

1

;

2

/

×

=

Y

Y

S

n

t

CV

α


(38)

Ketelitian = 100%-CV

2. Metode Terkonsentrasi

Hasil pengamatan ditabulasi berdasarkan 4 kategori pengelompokkan yaitu: jantan, betina, tidak teridentifikasi dan anak. Pendugaan populasi dilakukan secara langsung dari hasil rata-rata sensus per lokasi pengamatan setiap waktunya.

3. Metode Jejak

Pendugaan populasi dengan analisis jejak dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

4. Analisis Vegetasi

Data hasil pengukuran vegetasi di analisis untuk mengetahui Indeks Nilai Penting (INP). Nilai INP menunjukkan tingkat dominasi, kerapatan dan frekwensi jenis. Dari nilai INP juga dapat diketahui kemerataan pertumbuhan vegetasi. Besarnya nilai INP ditentukan oleh Kerapatan Relatif (KR), Dominasi Relatif (DR) dan Frekwensi Relatif (FR). Untuk pohon INP= KR+FR+DR, untuk semai, pancang dantiang INP= KR+FR

1. Kerapatan : Jumlah individu suatu jenis/luas unit contoh

2. Kerapatan Relatif : (Kerapatan suatu jenis/kerapatan total jenis) x 100% 3. Frekwensi : Jumlah plot ditemukannya jenis/total plot

4. Frekwensi Relatif : (Frekwensi suatu jenis/total frekwensi) x 100% 5. Dominasi : Luas bidang dasar suatu jenis/luas unit contoh 6. Dominasi Relatif : (Dominasi suatu jenis/dominasi seluruh jenis) x 100%

Keterangan:

CV = Koefisien variasi tα/2;n-1 = Nilai tabel

S 2 = Keragaman nilai dugaan

= Nilai populasi total

n

h

n

i

p

i

P

=

=

1

keterangan:

P = Jumlah populasi rata-rata

pi= Jumlah jejak pada pengamatan ke-i


(39)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Fisik dan Aksesibilitas Koridor

Secara geografis koridor antara Gunung Halimun dan Gunung Salak terletak pada koordinat 6044`00``-6046`30`` LS dan 106035`30``-106037`30`` BB. Secara administratif koridor berada di Kec. Leuwiliang, wilayah Kab. Bogor dan Kec. Cipeteuy, Kab. Sukabumi. Sebelah selatan berbatasan dengan perkebunan teh dan lahan pertanian penduduk, sebelah utara berbatasan dengan perkebunan teh, kampung Padajaya, Cigarehong, Cisurupan, Cimapag, dan Pasir pari. Koridor sebelah barat berbatasan dengan Gunung Halimun dan bagian timur berbatasan dengan Gunung Salak.

Koridor berada pada ketinggian antara 892-1144 mdpl. Kelerengan berkisar antara 0%-90% dengan rata-rata antara 0%-30%. Kelerengan rata-rata mencapai 30% termasuk kategori kemiringan rumit dan berbukit daerahnya sangat curam, memiliki limpasan air cepat sampai sangat cepat sehingga rawan erosi jika vegetasi rusak (Purwowidodo, 2003). Berdasarkan peta tanah tinjau Provinsi Jawa Barat skala 1:250.000 tahun 1996, jenis tanahnya adalah Latosol dengan macam tanah Latosol Coklat. Tanah latosol coklat merupakan jenis tanah dewasa dengan proses pembentukan horison B, kemampuan produksi tinggi karena unsur-unsur hara dalam tanah cukup tersedia. Tanah ini memiliki drainase baik tidak pernah terendam air sehingga tata udara dalam tanah berlangsung baik (Hardjowigeno, 1995).

Koridor merupakan rangkaian perbukitan penghubung habitat Gunung Halimun dan Gunung Salak yang sekaligus batas alam Kab. Bogor dan Kab. Sukabumi. Rangkaian perbukitan sebelah selatan antara lain, jalur bagian selatan mulai dari Growek, Geblegan, Cipicung, Cipongpok, Pasir bedil, Tanah beureum, Cisarua, Cikuya, Cipanas, Lisung Buruk, Raksamala 5, Batu Kitab, Pasir Andam, Cilodor, Citamiang, Ciawi Tali, Sukana Galih, dan Cisalimar. Rangkaian sebelah utara antara lain; Pasir pari, Batu sisir, Cimapag, Cisaladah 2, Tanah Beureum, Pasir Panjang, Pojok Adul, Pasir Kiara, Pasir Palahlar, Kebon Sepuluh, Pojok Goong, Growek, Puspa, dan Ciherang.

Koridor merupakan daerah sumber air bagi kawasan di bawahnya. Ada 13 aliran sungai di dalam kawasan koridor. Sungai-sungai yang ada di koridor memiliki lebar yang bervariasi antara 0,5-2,5 m . Ada 6 sungai besar dari 13 yang ada, 7 sungai yang lain berfungsi sebagai hulu dengan resapan berada di


(40)

lembah-lembah bukit di tengah koridor yang pada muaranya terbentuk sungai besar. Daerah sumber berupa rembesan pada cekungan-cekungan lembah antara 2-3 bukit, dari ujung tanah lembab kemudian becek dan terbentuk aliran kecil yang apabila dirunut membesar–membesar mencapai lebar aliran 0,5 hingga 2,5 meter. Lima sungai mengalir ke arah utara (Kab. Bogor) antara lain, Cipongpok, Cisaladah, Cimapag, Cikawung. Sungai-sungai yang mengalir kearah selatan antara lain, Ciwerkip, Cipicung, Ciherang, Cisarua, Cikuya, Cipanas dan Cilodor. Satu aliran sungai kering yaitu sungai Cisarua yang berjarak 30 m dari jalan potong utama. Penduduk yang tinggal di Kec. Cipeteuy dan daerah Leuwiliang diantaranya Kelurahan Cigarehong dan Cianten memanfaatkan aliran sungai dari mata air di koridor untuk keperluan irigasi dan beberapa kampung menggunakan untuk keperluan sehari-hari.

Formasi vegetasi memanjang di kiri-kanan sepanjang aliran sungai. Dari hulu sungai ditemui formasi tajuk yang masih kontinyu pada lereng-lereng bukit. Menuju kehilir kontinyuitas tajuk mulai berkurang digantikan formasi semak belukar dan tegakan muda bekas penebangan. Di sepanjang aliran sungai ini menjadi daerah jelajah beberapa jenis primata dan mamalia karena paling banyak tersedia sumber pakan.

Koridor menjadi jalur mobilitas penduduk disekitarnya. Kondisi perekonomian penduduk sebelah utara secara umum tertinggal jika dibanding sebelah selatan koridor (Cipeteuy) yang statusnya sebagai daerah kecamatan. Dengan jarak yang lebih dekat dibanding ke Leuwiliang penduduk sebelah utara lebih sering bepergian untuk memenuhi kebutuhannya ke daerah selatan, dengan menyeberang koridor.Di sepanjang koridor total ada 5 jalan tembus dari perkampungan sisi utara dan selatan. Jalan yang paling lebar (3 m), jalan potong di tengah koridor. Empat jalan lainnya dengan lebar rata-rata 1,5 meter menjadi pembatas kedua ujung koridor dengan habitat Gunung Halimun dan Gunung Salak. Perpotongan oleh satu jalan utama di tengah koridor dengan dua di ujung barat dan timur membentuk koridor menjadi dua pulau habitat.

Bentuk koridor berupa strep memanjang membuat luasnya daerah tepi yang bersinggungan dengan tanah milik yang di kawasan ini adalah perkebunan teh. Aktivitas pengelolaan perkebunan memobilisasi orang dalam jumlah besar secara periodik. Kegiatan ini antara lain memetik daun, penyemprotan, pembabatan, penyiapan lahan untuk tanaman baru dan pemeliharaan dari gulma. Dari setiap aktivitas manusia di sekitar kawasan memberi efek positif dan


(41)

negatif terhadap habitat koridor beserta isinya. Aktifitas orang dalam jumlah tertentu secara langsung membatasi jelajah satwa yang menggunakan areal perkebunan sebagai bagian dari habitatnya.

B. Vegetasi di Koridor

Berdasarkan klasifikasi Burtt dan Davy (1938) dalam Soerianegara dan Indrawan (1998), hutan koridor termasuk hutan tropika basah (moist)

berdasarkan formasi iklim termasuk hutan hujan tropis sub montana (tropical lower mountain evergreen rain forest). Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998), formasi hutan merupakan satuan vegetasi yang besar. Untuk daerah tropika pembedaan formasi-formasi hutan berdasarkan pada pembedaan iklim, fisiognomi (struktur hutan) tanah dan letak tinggi, dan sejarah perkembanganya).

Sejarah dan perkembangan koridor menyebabkan perbedaan satuan-satuan formasi hutan (asosiasi hutan) yang sangat ekstrim. Berdasarkan sejarahnya hutan koridor merupakan gabungan dari kawasan hutan tanaman Perhutani dan kawasan hutan lindung Gunung Salak. Tujuan pengelolaan yang berbeda mendasari terbentuknya asosiasi yang berbeda nyata dalam Koridor. Perbedaan nyata terlihat dari asosiasi puspa yang merupakan tanaman Perhutani, asosiasi kaliandra merupakan tumbuhan pada bekas areal PHBM. Untuk areal yang sejarahnya kawasan lindung diantaranya asosiasi damar, mara, batarua dan kayu afrika. Perkembangan yang terjadi di kawasan berupa perusakan dalam bentuk perkebunan dan penebangan liar menghasilkan asosiasi semak belukar.

Di dalam masyarakat tumbuh-tumbuhan seperti hutan terjadi persaingan antara individu-individu dalam satu jenis atau berbagai jenis. Persaingan terjadi karena kebutuhan sumberdaya yang sama. Dampak dari persaingan ini adanya dominasi jenis-jenis tertentu. Dominasi jenis-jenis tertentu secara vertikal terlihat adanya strata–strata tajuk dalam hutan. Berdasarkan analisis secara vertikal tingkat pertumbuhan pohon, hutan koridor memiliki tiga strata tajuk. Strata A (30 m ke atas) dengan tajuk rata 31,3 m, strata B (20-30 m) dengan tajuk rata-rata 23 m dan strata-rata C (4-20 m) dengan tajuk rata-rata-rata-rata 10 m. Jenis-jenis strata-rata A antara lain batarua dan kurai, strata B (ki beusi, puspa dan pasang) dan strata C (puspa, afrika, kihiur dan kecapi). Perbandingan antar strata secara berurutan 1:5:99. Jumlah strata A cukup kecil dari perbandingan ini, hal ini terjadi karena


(42)

adanya gangguan berupa penebangan pohon sehingga proses suksesi menuju klimaks terganggu.

Pengetahuan tentang banyaknya distribusi atau frekwensi dari permudaaan jenis-jenis pohon adalah sebagai dasar untuk menduga komposisi dalam tegakan hutan. Berdasarkan Indek Nilai Penting (INP) tumbuhan semak, perdu dan tumbuhan bawah mendominasi petak pengamatan semai. Dari 10 INP terbesar pada Tabel 2, hanya tiga jenis yang termasuk dalam pepohonan. Clidemia hirta

memiliki kepadatan tertinggi (0,8464/3,2 ha). Dalam plot pengamatan yang sering dijumpai jenis Clidema hirta, Diplazium asperum, Argestoma montanum. Jenis permudaan yang termasuk dalam 10 besar INP tingkat semai kaliandra (Calliandra callothirsusa ) mara (Macaranga tanarius) dan balaka toa. Dominasi tingkat semai karena adanya rumpang-rumpang yang terisi oleh semak belukar. Semak belukar ini banyak dijumpai di koridor bagian tengah (Palahlar kearah barat hinga perbatasan dengan G. Halimun. Hal ini mengindikasikan proses regenerasi tingkat pohon tidak berjalan dengan baik.

Tabel 2. Analisis vegetasi tingkat semai di koridor

No Jenis Nama latin Famili K KR F FR INP

1 Harendong Clidema hirta Melastomaceae 0,85 11,49 0,61 8,09 19,58 2 Pakis Diplazium asperum Polypodiaceae 0,49 6,64 0,39 5,12 11,75 3 Rende badak Argostemma montanum Acanthaceae 0,38 5,19 0,26 3,47 8,66 4 Paku kadal Blechnum orientale Blechnaceae 0,19 2,55 0,25 3,30 5,85 5 Kaliandra Calliandra callothirsus Fabaceae 0,24 3,28 0,15 1,98 5,26 6 Mara Macaranga tanarius Euphorbiaceae 0,13 1,79 0,24 3,14 4,92 7 Andam Dicranoptris dichotoma Gleicheniaceae 0,25 3,45 0,10 1,32 4,77 8 Aawian Dinochloa scandens Paceae 0,24 3,28 0,09 1,16 4,43 9 Lolo Fryeycetia javanica Myritaceae 0,13 1,70 0,20 2,64 4,34 10 Rotan Calamus javanensis Palmae 0,12 1,62 0,18 2,31 3,93

Vegetasi tingkat pertumbuhan pancang didominasi ole mara (Macaranga tanarius), kaliandra (Calliandra callothirsus), jirak (Sympolocos fasiculata) dan puspa (Schima walichii) memiliki INP (29,0700; 16,2355; 13,3586; 10,7716) terbesar di antara 68 jenis pancang yang teridentifikasi dalam 80 plot contoh. Mara merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan memiliki kerapatan terbesar. Hasil analisis vegetasi untuk 10 INP terbesar tingkat pertumbuhan pancang disajikan pada tabel 3.


(43)

Tabel 3. Analisis vegetasi tingkat pancang di koridor

No Jenis Nama latin Famili K KR F FR INP

1 Mara Macaranga tanarius Euphorbiaceae 0,11 15,25 0,26 13,82 29,07 2 Kaliandra Calliandra callothirsus Fabaceae 0,09 12,29 0,08 3,95 16,24 3 Jirak Sympolocos fasiculata Symplocaceae 0,05 6,78 0,13 6,58 13,36 4 Puspa Schima walichii Theaceae 0,04 5,51 0,10 5,26 10,77 5 Afrika Maesopsis emini Rhamnaceae 0,03 4,66 0,08 3,95 8,61 6 Kihiur Costanea javanica Fagaceae 0,03 3,81 0,04 1,97 5,79 7 Benying Ficus fustilosa Moraceae 0,02 2,12 0,06 3,29 5,41 8 Huru leer Phoebe xcelsa Lauraceae 0,02 2,12 0,06 3,29 5,41 9 Kisapi Gordonia exelsa Gordoniaceae 0,02 2,12 0,06 3,29 5,41 10 Huru batu Phirenaria acuminata Planch Theaceae 0,02 2,12 0,05 2,63 4,75

Pada tingkat pertumbuhan tiang komposisi vegetasi didominasi kaliandra (Calliandra callothirsus) kayu afrika (Maesopsis emini), Jirak (Sympolocos fasiculata), damar (Agathis damara) danSampang (Evodia latifolia) memiliki INP terbesar di antara 51 jenis tiang yang teridentifikasi dalam 80 plot contoh. Kaliandra merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan memiliki kerapatan terbesar. Daftar hasil analisis vegetasi tingkat pertumbuhan tiang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Analisis vegetasi tingkat tiang di koridor

No Jenis Nama latin Famili K KR F FR INP

1 Kaliandra Calliandra callothirsus Fabaceae 0,14 20,27 0,14 8,148 28,42 2 Afrika Maesopsis emini Rhamnaceae 0,09 13,06 0,16 9,630 22,69 3 Jirak Sympolocos fasiculata Sympolocaceae 0,05 6,76 0,15 8,889 15,65 4 Damar Agathis damara Araucariaceae 0,06 8,56 0,08 4,444 13,00 5 Sampang Evodia latifolia Rutaceae 0,03 4,96 0,10 5,926 10,88 6 Mara Macaranga tanarius Euphorbiaceae 0,03 4,05 0,11 6,667 10,72 7 Puspa Schima walichii Theaceae 0,03 4,51 0,10 5,926 10,43 8 Kiwates Eurya japonica Theaceae 0,03 4,05 0,06 3,704 7,76 9 Batarua Platea exelsa Fagaceae 0,02 3,15 0,06 3,704 6,86 10 Hamerang Ficus toxicasia Moraceae 0,02 3,15 0,04 2,222 5,38

Puspa mendominasi vegetasi tingkat pertumbuhan pohon. Puspa dapat dijumpai dari ujung barat kawasan sampai ujung timur kawasan. Puspa merupakan jenis lokal, menjadi tanaman pilihan perhutani selain damar dan pinus. Jenis-jenis komersial yang dijumpai di plot contoh antara lain; pasang

(Quercus sundaicus), saninten (Castanopsis argentea), puspa (Schima walichii), dan kayu afrika (Maesopsis emini). Di plot contoh yang dahulu bekas areal PHBM dijumpai jenis nangka. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon seperti pada Tabel 5.


(1)

Lampiran 8. Lanjutan

Keragaman nilai dugaan (S ^2) dan pendugaan selang populasi total

Jenis A^2 (S ^2) (S ^2) tα/2;n-1 (ind) (S ^2)^0,5 Y±tα/2;n-1(S ^2)^0,5

Landak 101754,6201 0,008324982 847,1053582 1,25 49,503125 29,11 13,12 85,8845

Lutung 101754,6201 0,024375176 2480,286788 1,25 196,737625 49,80 134,48 258,991

Owa 101754,6201 0,003816964 388,3937508 1,25 37,025625 19,71 12,39 61,6603

Surili 101754,6201 0,013348907 1358,312931 1,25 110,61575 36,86 64,55 156,685

Trenggiling 101754,6201 0,003722603 378,7920389 1,25 43,02025 19,46 18,69 67,3485

Koefisisen variasi (CV) dan ketelitian

Jenis tα/2;n-1 (S ^2)^0,5 (ind) Cv (%) Ketelitian

Landak 1,25 0,091241338 49,503125 0,230392874 0,769607126

Lutung 1,25 0,156125514 196,737625 0,099196528 0,900803472

Owa 1,25 0,061781585 37,025625 0,208577118 0,791422882

Surili 1,25 0,115537469 110,61575 0,130561729 0,869438271

Trenggiling 1,25 0,061013137 43,02025 0,177280283 0,822719717

Jumlah individu, kisaran, kepadatan dan ketelitian

Jenis Jumlah ind Kisaran Kerapatan Ketelitian(%)

Landak ±50 13-86 0,16 77

Lutung ±197 134-259 0,62 90

Owa ±37 12-62 0,12 79

Surili ±111 65-157 0,35 87


(2)

Lampiran 9. Vegetasi pakan surili di koridor

No Jenis Nama Latin Famili Habitus Bagian INP

S Pc T Ph

1 Areui berem Ficus cuspidata Moraceae Liana D 0,21 0,00 0,00 0,86 2 Areui tanah Ficus recurva Moraceae Liana D 0,80 0,00 0,00 0,00

3 Beunying Ficus fustilosa Moraceae Pohon Bh 0,21 5,41 2,38 0,00

4 Darangdan Ficus melinocarpa Moraceae Pohon Ba 0,21 0,00 0,00 0,00 5 Gompong Schifera aromatica Araliaceae Pohon D 0,21 0,00 0,00 0,84 6 Hamerang Ficus toxicasia Moraceae Pohon Bh 0,00 0,00 5,38 5,53 7 Harendong Clidema hirta Melastomaceae Pohon Bh,D 19,58 0,00 0,00 0,88 8 Harendong gula Cinnamomoum sp. Lauraceae Pohon Bh,D,Ba 0,21 0,00 0,00 0,00 9 Haruman Pytecelobium montanum Sympolocaceae Pohon D 0,00 1,08 1,19 0,00 10 Jirak Sympolocos fasiculata Sympolocaceae Pohon D 1,91 13,36 15,65 7,20 11 Kanyere Bridelia monoica Euphorbiaceae Pohon Bh,D 0,21 3,67 1,19 1,98 12 Kibarera Tetrastigma dictomum Vitaceae Pohon Bh,D 0,59 0,00 2,09 0,00 13 Kihujan Engelhardtia spicata Junglandaceae Pohon D 0,42 1,08 1,19 0,86 14 Kisampang Evodia latifolia Rutaceae Pohon D 0,21 1,08 1,19 2,69 15 Kisirem Eugenia tenercuspis Myritaceae Pohon Bh 0,21 0,00 0,00 2,30 16 Kopo Eugenia formosa Myritaceae Pohon Bh 0,59 0,00 0,00 0,00 17 Manggong Macaranga rizinoides Euphorbiaceae Pohon D 0,00 1,08 1,19 0,00 18 Mara Macaranga tanarius Euphorbiaceae Pohon D 4,92 29,07 10,43 0,00 19 Pasang Quercus sundaicus Fagaceae Pohon Bh,D 0,42 1,08 1,19 11,62 20 Paku tiang Alsophphyla glauca Pakeraceae Paku D 0,50 0,00 2,83 0,00 21 Puspa Schima walichii Theaceae Pohon Bh,D 3,05 10,77 10,43 88,84 22 Ramo giling Scefflera longifolia Araliaceae Pohon D 1,17 3,01 1,19 0,84 23 Rasamala Althingia exelsa Hammamelidae Pohon Bh,D 0,00 0,00 1,19 1,75 24 Saninten Castanopsis argentea Fagaceae Pohon Bh,D 0,42 1,08 1,19 12,77 25 Seuseureuhan Piper aduncum Piperaceae Pohon D 0,00 1,08 1,19 0,00 26 Suren Pandanus furcatus Pandanaceae Pohon D 0,00 1,93 1,19 0,00 27 Teureup Arthocarpus elastica Moraceae Pohon Bh 0,00 2,59 0,00 5,78

28 Walen Ficus ribes Moraceae Pohon D 0,34 1,08 0,00 0,00


(3)

Lampiran 10. Daftar vegetasi pakan owa jawa di koridor

No Jenis Nama Latin Famili habitus Bagian INP

S Pc T Ph

1 Batarua Platea exelsa Fagaceae Pohon Bj 0,21 1,74 6,86 12,72 2 Beunying Ficus fustilosa Moraceae Pohon Bh 0,21 5,41 2,38 0,87

3 Burunungul Castanopsis argentea Fagaceae Pohon Bj 0,00 0,00 0,00 2,18 4 Cempaka Michelia montana Magnoliaceae Pohon Bh, D 0,46 1,08 2,38 3,18 5 Ceri Garcinia dioicia Gultiferae Pohon Bh, D 0,00 1,08 0,00 0,00 6 Darangdan Ficus melinocarpa Moraceae Pohon Bh 0,21 0,00 0,00 0,00 7 Hamerang Ficus toxicasia Moraceae Pohon Bh, D 0,00 0,00 5,38 5,53 8 Hampelas Ficus ampelas Moraceae Pohon Bh 0,21 0,00 0,00 0,00 9 Hantap Sterculia coccinea Sterculiaceae Pohon Bh 0,62 1,08 0,00 0,00 10 Harendong Astonia spectabilis Melastomaceae Pohon Bh 19,58 0,00 0,00 0,88 11 Harendong gula Melastoma polyanthheus Melastomaceae Pohon Bh 0,21 0,00 0,00 0,00 12 Jirak Sympolocos fasiculata Sympolocaceae Pohon Bh 1,91 13,36 15,65 7,20 13 Kalapa cium Heritera javanica Sterculiaceae Pohon Bh 0,00 3,01 0,00 0,00 14 Kali morat Lithocarpus teysmanii Fagaceae Pohon Bh 0,29 0,00 1,19 0,00 15 Kanyere Bridelia monoica Euphorbiaceae Pohon D 0,21 3,67 1,19 1,98 16 Kawoyang Prunus arborea Rosaceae Pohon Bh 0,42 4,33 3,57 1,20 17 Kecapi Chisocheton divergens Meliaceae Pohon Bh 0,00 0,00 1,19 0,88 18 Kiara Scheflera macrostachya Araliaceae Pohon Bh 0,00 0,00 0,00 0,87 19 Kibarera Tetrastigma dictomum Vitaceae Liana Bh, D 0,59 0,00 2,09 0,00 20 Kibonteng Platea latifolia Icacinoceaa Pohon Bh 0,67 0,00 1,19 0,87 21 Kibulu Gironniera subaequalis Ulmaceae Liana Bh 1,71 0,00 0,00 0,00 22 Kihaji Dysoxylum alliaceum Meliaceae Pohon Bh 0,00 0,00 0,00 2,59 23 Kihiur Costanea javanica Fagaceae Pohon Bh 0,25 5,79 3,57 18,28 24 Kihujan Engelhardtia spicata Junglandaceae Pohon Bh 0,42 1,08 1,19 0,86 25 Kisirem Eugenia tenercuspis Myritaceae Pohon Bh 0,21 0,00 0,00 0,13 26 Kokopian Nyssa javanica Cornaceae Pohon Bh 0,21 0,00 0,00 0,00 27 Kokosan monyet Losianthus sp. Euphorbiaceae Pohon Bh 0,21 0,00 0,00 3,63 28 Kopo Eugenia formosa Myritaceae Pohon Bh 0,59 0,00 0,00 0,00 29 Manggong Macaranga rizinoides Euphorbiaceae Pohon Bh 0,00 1,08 1,19 0,00


(4)

Lampiran 10. Lanjutan

No Jenis Nama Latin Famili habitus Bagian INP

S Pc T Ph

30 Nanangkaan Planchonella aboveta Sapotaceae Pohon Bh, D 0,67 0,00 0,00 0,84 31 Pasang Quercus sundaicus Fagaceae Pohon Bh 0,42 1,08 1,19 11,62

32 Puspa Schima walichii Theaceae Pohon D 3,05 10,77 10,43 88,84

33 Rasamala Althingia exelsa hammamelidae Pohon Bh, D 0,00 0,00 1,19 0,38

34 Rotan Calamus sp. Palmae Liana Bj 3,93 0,00 0,00 0,00

35 Saninten Castanopsis argentea Fagaceae Pohon Bj 0,42 1,08 1,19 12,77 36 Sauhen Orophea hexandria Annonaceae Pohon Bh 3,73 0,00 0,00 0,00 37 Teureup Arthocarpus elastica Moraceae Pohon Bh 0,00 2,59 0,00 5,78 38 Tunggerek Castanopsis tungurut Fagaceae Pohon Bh 0,00 0,00 0,00 4,10

39 Walen Ficus ribes Moraceae Pohon Bh 0,34 1,08 0,00 0,00

Total jenis 145 66 49 53


(5)

Lampiran 11. Vegetasi pakan lutung di koridor

No Jenis Nama Latin Famili Habitus Bagian INP

S Pc T Ph

1 Beunying Ficus fustilosa Moraceae Pohon D 0,21 5,41 2,38 0,87 2 Calik angin Maltatus paniculatus Euphorbiaceae Pohon D 0 0 1,19 5,71 3 Cecengkehan Urophyllum arboreum Rubiaceae Pohon D 2,41 2,16 2,38 0 4 Darangdan Ficus melinocarpa Moraceae Pohon D, Ba 0,21 0 0 0 5 Gompong Schifera aromatica Araliaceae Pohon D 0,21 0 0 0,84 6 Hamerang Ficus toxicasia Moraceae Pohon D, Ba 0 0 5,38 5,53 8 Ipis kulit Kibezzia azura Melastomaceae Pohon D 0 2,16 4,02 6,15 9 Kaliandra Calliandra callothirsus Fabaceae Pohon D 5,26 16,26 28,42 0 10 Kanyere Bridelia monoica Euphorbiaceae Pohon D 0,21 3,67 1,19 1,98 11 Kareumi Omalanthus populneus Euphorbiaceae Pohon D 0,42 1,08 1,19 0 12 Kawoyang Prunus arborea Rosaceae Pohon D, Ba 0,42 4,33 3,57 1,20 13 Kiara Scheflera macrostachya Araliaceae Pohon D, Ba 0,00 0 0 0,90 14 Kibonteng Platea latifolia Icacinoceaa Pohon D 0,67 0 1,19 0,87

15 Kiseer Antidesma momantum Euphorbiaceae Pohon D 0,21 1,08 0 0 16 Kokopian Nyssa javanica Cornaceae Pohon D, Ba 0 1,08 1,19 0 17 Manggong Macaranga rizinoides Euphorbiaceae Pohon D 0,21 0 0 0 18 Pisang cole* Musa accuminatissima Musaceae Pohon Ba 0,21 0 0 0 19 Ramo giling Scefflera longifolia Araliaceae Pohon D 1,17 3,01 1,19 0,84 20 Rasamala Althingia exelsa hammamelidae Perdu D,Pc 0 0 1,19 1,75 21 Saninten Castanopsis argentea Fagaceae Pohon D, Ba,Pc 0,42 1,08 1,19 12,77 22 Seuseureuhan Piper aduncum Piperaceae Pohon D, Pc 0 1,08 1,19 0 23 Walen Ficus ribes Moraceae Pohon D 0,34 1,08 0 0 Sumber Paulina, 2005


(6)