Habitat dan penyebaran macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier 1809) di Lansekap Terfragmentasi di Jawa Tengah

(1)

HABITAT DAN PENYEBARAN MACAN TUTUL

JAWA (

Panthera pardus melas

Cuvier, 1809)

DI LANSEKAP TERFRAGMENTASI

DI JAWA TENGAH

HENDRA GUNAWAN

E 061060161

Sekolah Pascasarjana


(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan disertasi yang berjudul :

HABITAT DAN PENYEBARAN MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus

melas Cuvier, 1809) DI LANSEKAP TERFRAGMENTASI DI JAWA

TENGAH

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2010 Yang menyatakan

Hendra Gunawan E 061 060 161


(3)

ABSTRACT

HENDRA GUNAWAN. Habitat and Distribution of Javan Leopard (Panthera

pardus melas Cuvier, 1809) on Fragmented Landscape in Centra Java.

Supervised by Dr. Ir. LILIK BUDI PRASETYO, M.Sc., Prof. Dr. Ir. ANI MARDIASTUTI, M.Sc. and Dr. Ir. AGUS P. KARTONO, M.Si.

Javan leopard (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) is limited distributed in Java Island. Its population is continually decreasing so it listed in Red list by the IUCN as critically endangered species. The decrease was mainly caused by fragmentation and degradation of forest. The objectives of this research are to map the distribution, to identify the metapopulation types and habitat characteristics, to measure the fragmentation of natural forest and to build a spatial model of habitat suitability. The Methods were included GPS mapping of population, metapopulation analyses, habitat analyses, fragmentation analyses using patch analyst and spatial modeling of habitat suitability using Arcview 3.2. The results found that there are 48 locations of javan leopards that distributed in five types of forest, i.e. pines plantation (43,8%), teak plantation (27,1%), natural mountain forest (14,5%), mixed plantation forest (8,3%) and natural lowland forest (6,3%). Javan leopard have preference to certain type of forest (P≤0,05). Total population estimation of the javan leopard in Central Java was 234-383 individuals. There are eight components that crucial for habitat of javan leopard and relevant for spatial modeling of habitat suitability, i.e. patch extent, prey, forest vegetation, climate, water, topography, altitude and status of forest. Fragmentation in the last 16 years has reduced 88,0% of total natural forest area in central Java and fluctuate the number of patches, total edge and edge density. Javan leopards are distributed in non-equilibrium metapopulation (31,25%), mainland-islands metapopulation (22,92%), classic metapopulation (10,42%) and patchy metapopulation (35,42%). Spatial model of habitat suitability result 7,67% patches of low suitability, 36,92% patches of moderate suitability and 55,41% patches of high suitability. The validity of the model is 95,83%.


(4)

RINGKASAN

HENDRA GUNAWAN. Habitat dan Penyebaran Macan Tutul Jawa

(Panthera pardus melas Cuvier 1809) Di Lansekap Terfragmentasi Di Jawa

Tengah. Dibimbing oleh: Dr. Ir. LILIK BUDI PRASETYO, M.Sc., Prof. Dr. Ir. ANI MARDIASTUTI, M.Sc. dan Dr. Ir. AGUS P. KARTONO, M.Si.

Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) merupakan satwa yang dilindungi dan telah masuk dalam Redlist IUCN dengan kategori Critically Endangered serta termasuk dalam Appendix I CITES. Macan tutul Jawa hanya ditemukan di Pulau Jawa, Pulau Kangean, Pulau Nusakambangan dan Pulau Sempu. Di Provinsi Jawa Tengah, macan tutul Jawa sedang mengalami kehilangan habitat, degradasi kualitas habitat dan fragmentasi habitat sehingga populasinya terancam punah. Padahal setelah harimau jawa (Panthera tigris sondaica) punah, macan tutul jawa menduduki puncak rantai makanan (trophic level), sehingga merupakan spesies kunci (keystone species) dalam ekosistem hutan di Pulau Jawa.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik habitat dan penyebaran macan tutul jawa di lansekap yang terfragmentasi di Jawa Tengah. Tujuan khususnya adalah : (a) memetakan penyebaran populasi macan tutul jawa berdasarkan indikator-indikator keberadaannya dan mengetahui indeks seleksi tipe-tipe hutan yang menjadi daerah penyebarannya; (b) mengidentifikasi karakteristik habitat macan tutul jawa terutama untuk mengetahui faktor-faktor atau komponen habitat yang berpengaruh pada keberadaan satwa tersebut di suatu lokasi; (c) mengetahui tingkat fragmentasi hutan alam melalui pengukuran beberapa parameternya dan memelajari pengaruhnya terhadap sebaran macan tutul jawa; dan (d) membuat pemodelan spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa macan tutul jawa tersebar di 48 lokasi dalam 15 wilayah KPH Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah diperkirakan berkisar 234 - 383 ekor, di mana 77,8% diantaranya tersebar KPH kelas perusahaan pinus dan 22,2% di KPH kelas perusahaan jati. Terdapat 17 lokasi macan tutul jawa yang telah mengalami kepunahan lokal, 94% diantaranya ada di hutan produksi dan 82% merupakan hutan tanaman jati. Sebagian besar (86,67%) lokasi macan tutul yang punah lokal ada di ketinggian 0-500 m dpl dan 46,67% memiliki topografi datar. Macan tutul jawa melakukan seleksi terhadap habitatnya (P≤0,05). Hutan alam dataran rendah paling memiliki indeks seleksi Neu tertinggi (w = 8,5560) atau disukai (prefered), diikuti oleh hutan tanaman campuran (w = 5,8911), hutan alam pegunungan (w = 2,9795) dan hutan tanaman pinus (w = 1,1758). Sementara hutan jati memiliki indeks seleksi Neu kurang dari satu (w = 0,4769) atau tidak disukai.

Populasi-populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah tersebar dalam empat tipe metapopulasi yaitu non-equilibrium metapopulation (31,25%), mainland-islands metapopulation (22,92%), classic population metapopulation (10,42%) dan patchy population (35,42%). Non equilibrium metapopulation memiliki resiko kepunahan jangka pendek lebih tinggi dibandingkan tipe metapopulasi lainnya akibat adanya konektivitas antar populasi.

Macan tutul jawa menempati habitat dengan vegetasi hutan jati (27,1%), hutan pinus (43,8%), hutan tanaman campuran (8,3%), hutan alam dataran rendah (6,3%) dan hutan alam pegunungan (14,6%). Beberapa tempat berlindung macan


(5)

tutul jawa memiliki kerapatan tumbuhan bawah lebih dari 300.000 individu per hektar. Mangsa utama (primata dan ungulata) terdapat di semua habitat macan tutul jawa. Indeks keanekaragaman jenis (H’) satwa mangsa di enam lokasi contoh tidak berbeda nyata (P>0,05). Semua habitat macan tutul jawa memiliki sumber air berupa sungai, anak sungai atau mata air. Tipe curah hujan di habitat macan tutul jawa bervariasi dari A sampai E. Terdapat hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan tipe curah hujan (P≤0,05). Topografi habitat macan tutul jawa bervariasi dari datar sampai sangat curam. Terdapat hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan topografi (P≤0,05). Macan tutul jawa paling menyukai lereng curam (w = 2,04) dan sangat curam (w = 1,74) tetapi tidak menyukai lereng datar (w=0,70). Macan tutul jawa tersebar dari 0 m dpl sampai lebih dari 1.000 m dpl. Terdapat hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan ketinggian tempat (P≤0,05), ketinggian tempat.lebih dari 1.000 m dpl memiliki indeks seleksi tertinggi (w = 1,80), sementara ketinggian < 500 m dpl (w = 0,77). Sebagian besar (79,17%) macan tutul jawa ada di hutan produksi, 6,25% di hutan konservasi dan 14,58% di hutan lindung

Hutan alam lahan kering yang merupakan tipe vegatasi yang paling disukai oleh macan tutul jawa (w = 8,5560), kondisinya terus mengalami deforestasi yang menyebabkan fragmentasi. Selama 16 tahun (1990-2006) Provinsi Jawa Tengah kehilangan 88,0% (446.561,09 ha) hutan alam lahan keringnya atau rata-rata sekitar 17.910 hektar per tahun. Terfragmentasinya hutan alam diindikasikan oleh dinamika parameternya yaitu jumlah patches, total edge dan edge density.

Model kesesuaian habitat macan tutul jawa menghasilkan 7,67% patches berkesesuaian rendah, 36,92% kesesuaian sedang dan 55,41% kesesuaian tinggi. Dari segi luasan, areal yang memiliki kelas kesesuaian habitat tinggi adalah 30,86%, kelas kesesuaian habitat sedang 61,24% dan kelas kesesuaian habitat rendah 7,90%. Model kesesuaian ini memiliki validitas 95,83%.


(6)

PRAKATA

Dengan selesainya disertasi ini, selain bersyukur kepada Allah S.W.T atas lindungan, bimbingan dan pertolonganNya, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak (perorangan maupun lembaga) yang telah memberikan dukungan, baik moral maupun material selama penulis menempuh pendidikan S3 hingga selesainya disertasi ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Ayahnda dan Ibunda (almarhumah) yang senantiasa mendoakan, membimbing dan memberikan dorongan spiritual sepanjang hidup saya.

2. Istri saya, yang telah dengan sabar dan setia selalu ada di sisi saya dalam duka maupun suka sehingga mendorong saya untuk terus berjuang demi keluarga. Anak-anak saya (Adhika, Raditya dan Anindita) sumber semangat dan inspirasi untuk terus bekerja tanpa mengenal lelah.

3. Bapak dan Ibu Mertua, Kakak-kakak dan adik ipar yang ikut repot serta membantu dengan doa dan dukungan moral sehingga studi ini bisa selesai. 4. Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra yang memberikan inspirasi dan bersama-sama

menentukan bidang keahlian dan judul disertasi yang harus saya ambil.

5. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. dan Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si. selaku anggota pembimbing.

6. Dr. Ir. Burhanudin Masy’ud, M.S. dan Prof. Riset. Dr. M. Bismark, M.S. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup serta Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. dan Dr. Ir. Harry Santoso selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka.

7. dan Dr. M. Bismark, M.S. selaku dosen penguji.

8. Direksi Perum Perhutani dan instansi vertikalnya (Unit I Jawa Tengah dan KPH-KPH) yang telah memberikan ijin dan memfasilitasi penelitian di wilayah kerjanya.

9. Balai Konservasi Sumberdaya Alam Provinsi Jawa Tengah dan jajarannya yang telah memberikan ijin dan memfasilitasi penelitian di wilayah kerjanya.

10.Pusdiklat Kehutanan selaku pengelola Karyasiswa Departemen Kehutanan reguler.

11.Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam yang telah memberikan dukungan dana dan fasilitas selama penelitian disertasi ini.

12.Laboratorium Remote Sensing dan GIS (Prof. Dr. Ir. I. Nengah Surati Jaya, M.Sc.) yang telah mengijinkan menggunakan fasilitas laboratorium.

13.Eman dan Jaya Atmaja yang telah membantu mengumpulkan data lapangan serta Uus M. Saeful yang telah membantu pengolahan data spasial.

14.Sahabat, handai taulan dan semua yang telah membantu dan memberikan semangat hingga selesainya disertasi ini.

Mudah-mudahan saya dapat membalas semua kebaikan mereka. Apabila saya tidak mampu dan tidak berkesempatan membalasnya, saya mohonkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa kiranya bermurah hati membalas dengan pahala, rejeki, kesehatan, kemudahan dan kebahagiaan kepada mereka. Amin.

Bogor, Agustus 2010


(7)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Hendra Gunawan, lahir di Banjarnegara tanggal 3 April 1964, adalah putra keempat dari enam bersaudara Keluarga ASWOWIKARTO dan ALIMAH (almarhumah). Masa kecil dan pendidikan dasar (SD dan SMP) ditempuh di Kabupaten Bajarnegara. Penulis menamatkan pendidikan SLTA di SMAN 1 Kota Cirebon tahun 1983.

Tahun 1988 penulis menamatkan studi S1 di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) jurusan Konservasi Sumbedaya Hutan dan mendapatkan sponsorship dari WWF untuk skripsinya. Tahun 1998 dengan Beasiswa Departemen Kehutanan, penulis menempuh pendidikan S2 di IPB pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) dan tamat tahun 2000. Tahun 2006 penulis kembali mendapat beasiswa dari Departemen Kehutanan untuk menempuh pendidikan S3 di IPB pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK), Departemen Konservasi Biodiversitas Tropika dengan disertasi

berjudul HABITAT DAN PENYEBARAN MACAN TUTUL JAWA

(Panthera pardus melas Cuvier 1809) DI LANSEKAP TERFRAGMENTASI

DI JAWA TENGAH.

Penulis pernah bekerja di sebuah perusahaan Hak Pengusahaan Hutan di Aceh Barat (1989-1991), menjadi dosen luar biasa di Institut Pertanian Malang (1991/1992), menjadi peneliti di Balai Penelitian Kehutanan Sulawesi di Makassar (1992-2003) dan kemudian pindah ke Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam di Bogor (2004 – sekarang).

Sepanjang karirnya sebagai peneliti, penulis telah menghasilkan lebih dari 100 karya tulis ilmiah dan populer yang diterbitkan dalam jurnal, buletin, majalah maupun prosiding. Sebagian besar karya tulisnya berkenaan dengan konservasi satwaliar, pengelolaan kawasan konservasi serta sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sekitar kawasan konservasi.

Penulis juga pernah bekerja sebagai peneliti, pengajar, pembimbing dan penguji mahasiswa, narasumber dan anggota tim teknis/ahli pada beberapa lembaga antara lain: Sekolah Kehutanan Menengah Atas, Balai Diklat Kehutanan, UNHAS, IPB, INHUTANI I, CIFOR, BAPPENAS, BAPLAN, PHKA, dan Badan Litbang Kehutanan.

Penulis menikahi Retno Widianingsih dan telah dikaruniai dua orang putera dan seorang puteri yaitu Priyahita Adhika Putera Rendra, Pradnya Paramarta Raditya Rendra dan Sistha Anindita Pinastika Heningtyas.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

RIWAYAT HIDUP PENULIS ii DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 6

1.5 Kerangka Pemikiran ... 6

1.6 Hipotesis ... 7

1.7 Kebaruan (Novelty) ... 7

1.8 Pemilihan Lokasi Penelitia ……….. 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Macan Tutul ... 10

2.1.1 Taksonomi ... 10

2.1.2 Deskripisi Fisik ... 10

2.1.3 Penyebaran Geografis ... 12

2.1.4 Habitat ... 14

2.1.5 Daerah Jelajah dan Teritori ... 15

2.1.6 Makanan dan Kebiasaan Makan ... 16

2.1.7 Kebiasaan dan Perilaku ... 18

2.1.8 Perkembangbiakan dan Perilaku Berkembangbiak ... 22

2.1.9 Masa Hidup ... 26

2.2. Habitat, Relung, Daerah Jelajah dan Teritori ... 26

2.2.1 Habitat ... 26

2.2.2 Relung (Niche) ... 28

2.2.3 Daerah Jelajah dan Teritori ... 29


(9)

2.3. Ekologi Lanskap ... 32

2.3.1 Matrix ... 33

2.3.2 Patch ... 34

2.3.3 Edge ... 34

2.3.4 Koridor ... 34

2.3.5 Fragmentasi ... 35

2.3.6 Mengukur Fragmentasi ... 39

2.5 Metapopulasi ... 41

2.6. Seleksi Habitat ... 46

2.7. Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability) ... 48

III. METODOLOGI ... 51

3.1 Lokasi dan Waktu ... 51

3.2 Alat dan Bahan ... 51

3.3 Prosedur Penelitian ... 52

3.4 Pengumpulan Data ... 53

3.4.1. Lokasi Indikasi Keberadaan Macan Tutul ... 54

3.4.2. Struktur Cover ... 56

3.4.3. Inventarisasi Jenis Mangsa Macan Tutul Jawa ... 56

3.4.4. Kuesioner ... 57

3.5 Pengolahan Data ... 57

3.5.1 Sebaran dan Perkiraan Populasi... 57

3.5.2. Keanekaragaman Jenis Mangsa ... 59

3.5.3. Seleksi/Preferensi Habitat ... 60

3.5.4. Uji Kebebasan ... 61

3.5.5. Analisis Fragmentasi ... 62

3.5.6. Identifikasi Tipe-Tipe Metapopulasi 62 3.5.7. Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Macan Tutul ... 63

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 69

4.1. Penyebaran Populasi Macan Tutul Jawa ... 69

4.1.1. Penyebaran Menurut Wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) ... 69

4.1.2. Penyebaran Menurut Tipe Hutan ... 74


(10)

4.1.4. Populasi yang Mengalami Kepunahan Lokal ... 80

4.2. Seleksi Habitat ... 84

4.3. Karaketristik Habitat ... 86

4.3.1. Luas Ruang (Space) Habitat ... 86

4.3.2. Vegetasi ... 86

4.3.3. Mangsa ... 94

4.3.4. Sumber Air ... 100

4.3.5. Iklim ... 100

4.3.6. Status Fungsi Kawasan ... 102

4.3.7. Topografi ... 104

4.3.8. Ketinggian Tempat (Altitude) ... 107

4.4. Fragmentasi Hutan Alam ... 110

4.5. Metapopulasi ... 116

4.6. Model Spasial Kesesuaian Habitat ... 131

4.6.1. Model Pemanfaatan Habitat Macan Tutul Jawa ... 131

4.6.2. Model Kerawanan Habitat Macan Tutul Jawa ... 134

4.6.3. Model Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability) Macan Tutul Jawa ... 137

4.7. Implikasi Pengelolaan ... ... 140

4.7.1. Pengelolaan Habitat ... 140

4.7.2. Pengelolaan Metapopulasi ... 145

4.7.3. Penetapan Mainland Population sebagai Kawasan Konservasi ... 149

4.7.4. Penataan Ruang Wilayah ... 150

4.7.5. Kebijakan Nasional Konservasi Macan Tutul Jawa ... 151

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 152

5.1. Simpulan ... 152

5.2. Saran ... 153

DAFTAR PUSTAKA ... 155


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1. Ukuran rata-rata tubuh macan tutul yang hidup di Pulau Jawa 11 Tabel 3.1. Data yang diperlukan dan sumbernya ... 53 Tabel 3.2. Kriteria tingkat kepercayaan kebenaran laporan keberadaan

macan tutul Jawa berdasarkan Laporan Bulanan Margasatwa

Resort Pemangkuan ... 55 Tabel 3.3. Indeks Seleksi Neu ... 61 Tabel 3.4. Contoh tabel kontingensi untuk uji kebebasan antara

kepunahan lokal dengan ketinggian tempat ... 61 Tabel 3.5. Argumen ilmiah sebagai pertimbangan dalam pembobotan

faktor penyusun model kesesuaian habitat macan tutul jawa . 64 Tabel 3.6. Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam pembuatan

model kesesuaian habitat macan tutul jawa ... 66 Tabel 3.7. Skoring faktor penyusun model kesesuaian dan keamanan

habitat ... 68 Tabel 4.1. Keberadaan macan tutul jawa menurut wilayah Kesatuan

Pemangkuan Hutan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah ... 70 Tabel 4.2. Sebaran populasi macan tutul jawa menurut unit areal

pengelolaan hutan terkecil, satuan ekosistem, ketinggian tempat, kelas lereng dan tipe curah hujan di Provinsi Jawa

Tengah ... 71 Table 4.3. Sebaran populasi macan tutul jawa menurut tipe hutan di

Provinsi Jawa Tengah ... 74 Tabel 4.4. Luas, sebaran dan fungsi kawasan hutan tanaman pinus

(Pinus spp.) di Provinsi Jawa Tengah ... 75 Tabel 4.5. Ketinggian, iklim dan topografi habitat macan tutul di

lansekap hutan pinus ... 76 Tabel 4.6. Kepadatan populasi macan tutul jawa menurut ketinggian di

Provinsi Jawa tengah ... 79 Tabel 4.7. Lokasi yang pernah dilaporkan ada populasi macan tutul

jawa tetapi sekarang telah mengalami kepunahan lokal ... 81 Tabel 4.8. Tabel kontingensi uji kebebasan faktor topografi dengan


(12)

Tabel 4.9. Tabel kontingensi uji kebebasan faktor ketinggian tempat dengan kepunahan lokal populasi macan tutul jawa ... 83 Tabel 4.10. Tabel kontingensi uji kebebasan faktor tipe hutan (vegetasi)

dengan kepunahan lokal populasi macan tutul jawa ... 84 Tabel 4.11. Rekapitulasi perhitungan χ2 untuk uji signifikansi seleksi

tipe hutan oleh macan tutul jawa ... 85 Tabel 4.12. Indeks seleksi Neu untuk habitat macan tutul Jawa di

Provinsi Jawa Tengah ... 86 Tabel 4.13. Hasil inventarisasi satwa yang potensial menjadi mangsa

macan tutul di enam lokasi contoh ... 95 Tabel 4.14. Rekapitulasi Indeks keanekaragaman jenis (H’) dan indeks

keseragaman (e) komunitas mangsa macan tutul di tiga tipe habitat di hutan produksi kelas perusahaan Jati ... 96 Tabel 4.15. Rekapitulasi indeks keanekaragaman jenis (H’) dan indeks

keseragaman (e) mangsa macan tutul di tiga lokasi hutan produksi kelas perusahaan pinus ... 96 Tabel 4.16. Rekapitulasi uji t pembandingan indeks keanekaragaman

jenis satwa mangsa macan tutul jawa antar sembilan kombinasi pasangan lokasi ... 97 Tabel 4.17. Rekapitulasi indeks kemiripan komunitas satwa mangsa di

enam lokasi contoh habitat macan tutul jawa ... 98 Tabel 4.18. Kriteria kelas kekayaan jenis mangsa macan tutul jawa di

wiilayah kerja Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah ... 99 Tabel 4.19. Rekapitulasi kelas kekayaan jenis mangsa di 20 KPH Perum

Perhutani Unit I Jawa Tengah ... 99 Tabel 4.20. Kelas tipe curah hujan untuk kesesuaian habitat macan tutul

Jawa di 20 KPH Perum Perhutani Uni1 I Jawa Tengah ... 101 Tabel 4.21. Hasil perhitungan χ2

untuk menguji hubungan antara kondisi iklim dengan wilayah sebaran macan tutul jawa ... 102 Tabel 4.22. Hasil perhitungan χ2 untuk menguji hubungan antara kondisi

kelerengan dengan sebaran macan tutul jawa ... 105 Tabel 4.23. Indeks neu untuk preferensi macan tutul jawa terhadap

kondisi kelerengan habitatnya ... 106 Tabel 4.24. Klasifikasi dan skoring kelas lereng untuk pemodelan


(13)

Tabel 4.25. Hasil perhitungan χ2 untuk menguji hubungan antara ketinggian tempat dengan sebaran macan tutul jawa ... 108 Tabel 4.26. Indeks neu untuk preferensi macan tutul jawa terhadap

ketinggian tempat di atas permukaan laut ... 108 Tabel 4.27. Klasifikasi dan skoring ketingian tempat untuk penyusunan

model kesesuaian habitat macan tutul jawa ... 110 Tabel 4.28. Tipe metapopulasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa

Tengah ... 129

Tabel 4.29. Luas dan jumlah patches habitat menurut tingkat

kesesuaiannya berdasarkan peta interpretasi citra satelit tahun 2006 ... 131 Tabel 4.30. Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas

pemanfaatan habitat ... 132

Tabel 4.31. Jumlah dan luas patches habitat menurut kelas

kerawanannya berdasarkan peta interpretasi citra satelit tahun 2006 ... 134 Tabel 4.32. Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut tingkat

kerawanan habitat ... 134 Tabel 4.33. Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa yang mengalami

kepunahan lokal menurut kelas kerawanan habitatnya ... 135 Tabel 4.34. Jumlah dan luas patches habitat menurut kesesuaian

berdasarkan peta interpretasi citra satelit tahun 2006 ... 137 Tabel 4.35. Distribusi lokasi indikasi macan tutul jawa menurut kelas

kesesuaian habitatnya ... 137 Tabel 4.36. Jumlah dan luas kantong-kantong habitat menurut kelas


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1. Rumusan masalah penelitian ... 5 Gambar 1.2. Kerangka pemikiran penelitian ... 7 Gambar 2.1. Kiri: Macan tutul yang mengalami melanisme; kanan:

macan tutul dengan pola warna normal (kanan) ... 12 Gambar 2.2. Sejarah penyebaran macan tutul di dunia ... 13 Gambar 2.3. Jumlah jenis relatif pada (a) pulau-pulau kecil, dekat, (b)

pulau besar, jauh atau kecil, dekat, dan (c)

pulau-pulau besar, dekat ... 32 Gambar 2.4 Model konseptual pengaruh fragmentasi ... 38 Gambar 2.5. Tipe-tipe metapopulasi ... 43 Gambar 2.6. Sekumpulan patch hutan yang ditempati oleh

populasi-populasi penghuni hutan. Tebal tipisnya panah menunjukkan laju pertukaran individu antar populasi (panah tebal menunjukkan lebih banyak pertukaran ... 45 Gambar 2.7. Penghunian sekumpulan patch hutan yang mendukung

suatu metapopulasi spesies penghuni hutan pada dua waktu yang berbeda. Patch hitam ditempati dan patch putih tidak ditempati ... 45 Gambar 3.1. Lokasi penelitian ... 51 Gambar 3.2. Urutan tahapan prosedur penelitian ... 52 Gambar 3.3. Bentuk dan ukuran jejak kaki macan tutul serta cara

pengukurannya untuk identifikasi individu ... 56 Gambar 3.4. Prosedur pembuatan model spasial kesesuaian habitat

macan tutul jawa ... 67 Gambar 4.1. Peta indikasi sebaran macan tutul jawa (Panthera pardus

melas) di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 ... 73 Gambar 4.2. Lokasi sebaran populasi macan tutul jawa (Panthera

pardus melas) di lima tipe hutan di Provinsi Jawa Tengah .. 74 Gambar 4.3. Perkiraan populasi macan tutul jawa di 15 KPH Perum


(15)

Gambar 4.4. Taksiran minimum dan maksimum sebaran populasi macan tutul jawa menurut kelas perusahaan KPH Perum Perhutani

Unit I Jawa Tengah berdasarkan hasil inventarisasi ... 79 Gambar 4.5. Proporsi sebaran macan tutul jawa yang punah lokal

menurut ketinggian tempat (A) dan kelas lereng (B) ... 82 Gambar 4.6. Diagram profil hutan tanaman jati (Tectona grandis) umur

40 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Daruponon, KPH Kendal... 87 Gambar 4.7. Diagram profil hutan tanaman jati (Tectona grandis) umur

30 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Jatisari Utara, KPH Kendal ... 88 Gambar 4.8. Diagram profil hutan tanaman campuran habitat macan

tutul di RPH Besokor, KPH Kendal ... 89 Gambar 4.9. Diagram profil hutan alam dataran rendah sekunder habitat

macan tutul jawa di Cagar Alam Pagerwunung, RPH Darupono, KPH Kendal ...

90 Gambar 4.10. Diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus merkusii

umur 33 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Mandirancan, KPH Banyumas Timur ... 91 Gambar 4.11. Diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus oocarpa

umur 30 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Dukuh Tengah, KPH Pekalongan Barat ... 91 Gambar 4.12. Diagram profil vegetasi hutan tanaman Pinus oocarpa

umur 20 tahun habitat macan tutul jawa di RPH Pesahangan, KPH Banyumas Barat ... 92 Gambar 4.13. Diagram profil vegetasi hutan alam pegunungan habitat

macan tutul jawa di Gunung Slamet, RPH Dukuh Tengah,

KPH Pekalongan Barat ... 93 Gambar 4.14. Kerapatan tumbuhan bawah di berbagai tipe hutan habitat

macan tutul jawa ... 94 Gambar 4.15. Komposisi sebaran macan tutul jawa menurut status fungsi

kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah ... 104 Gambar 4.16. Sebaran indikasi macan tutul jawa menurut kelas lereng di

Provinsi Jawa Tengah ... 105

Gambar 4.17. Sebaran indikasi macan tutul jawa menurut kelas

ketinggian (altitude) di atas permukaan laut di Provinsi Jawa Tengah ... 107


(16)

Gambar 4.18. Perubahan tutupan hutan alam lahan kering di Provinsi Jawa Tengah (A) tahun 1990; (B) tahun 2000; (C) tahun 2006 ... 111 Gambar 4.19. Perkembangan luas hutan alam lahan kering di Provinsi

Jawa Tengah dari tahun 1990 – 2006 ... 113 Gambar 4.20. Perkembangan jumlah patches hutan alam lahan kering di

Provinsi Jawa Tengah dari tahun 1990 – 2006... 113 Gambar 4.21. Perkembangan Total Edge (TE) hutan alam lahan kering di

Provinsi Jawa Tengah ... 114 Gambar 4.22. Perkembangan Edge Density hutan alam lahan kering di

Provinsi Jawa Tengah ... 114 Gambar 4.23. Beberapa penyebab fragmentasi hutan di Provinsi Jawa

Tengah: (a) sistem tebang habis; (b) perambahan hutan; (c) jaringan jalan raya; (d) jaringan listrik SUTET; (e) pertanian; (f) jaringan irigasi ... 116 Gambar 4.24. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di

Gunung Muria dan sekitarnya (KPH Pati) ... 117 Gambar 4.25. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di

RPH Mandirancan (KPH Banyumas Timur) dan sekitarnya 118 Gambar 4.26. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di

beberapa gunung di Jawa Tengah ... 119 Gambar 4.27. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di

Gunung Lawu, Gunungkidul dan Kulonprogo ... 120 Gambar 4.28. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jwa di

KPH Kendal dan sekitarnya ... 121 Gambar 4.29. Tipe non equilibrium metapopulation macan tutul jawa di

KPH Kedu Selatan ... 122 Gambar 4.30. Tipe mainland-islands metapopulation macan tutul jawa di

Gunung Slamet dan sekitarnya ... 123 Gambar 4.31. Tipe classic metapopulation macan tutul jawa di Jawa

Tengah bagian timur ... 124 Gambar 4.32. Tipe patchy population macan tutul jawa di kelompok

hutan Salem, KPH Pekalongan Barat dan kelompok hutan Majenang, KPH Banyuas Barat ... 126 Gambar 4.33. Tipe patchy population macan tutul jawa di KPH


(17)

Gambar 4.34. Tipe Patchy population macan tutul jawa di KPH Pemalang dan sekitarnya ... 128 Gambar 4.35. Peta analisis resiko kepunahan lokal macan tutul jawa

berdasarkan tipe metapopulasinya ... 130 Gambar 4.36. Peta pemanfaatan habitat macan tutul Jawa (Panthera

pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah ... 133 Gambar 4.37. Peta kerawnan habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus

melas) di Provinsi Jawa Tengah ... 136 Gambar 4.38. Peta kesesuaian habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Posisi geografis (GPS) lokasi indikasi macan tutul jawa

(Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah ... 166 Lampiran 2. Perkiraan populasi macan tutul jawa di daerah sebarannya

di Provinsi Jawa Tengah ... 168 Lampiran 3. Daftar populasi macan tutul jawa dan tingkat resiko

kepunahan lokalnya ... 171 Lampiran 4. Prioritas pengelolaan populasi macan tutul jawa yang

memiliki resiko kepunahan lokal tinggi dan sedang. 173 Lampiran 5. Lokasi indikasi sebaran macan tutul jawa menurut kelas

pemanfaatan, kelas kerawanan dan kelas kesesusaian


(19)

(20)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010

Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(21)

HABITAT DAN PENYEBARAN MACAN TUTUL

JAWA (

Panthera pardus melas

Cuvier, 1809)

DI LANSEKAP TERFRAGMENTASI

DI JAWA TENGAH

HENDRA GUNAWAN

E 061060161

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(22)

Penguji Luar Komisi

Ujian Tertutup : Dr. Ir. Burhanudin Masy’ud, M.S.

(Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB)

: Prof. Riset. Dr. M. Bismark, M.S.

(Peneliti Utama, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam)

Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S.

(Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB) : Dr. Ir. Harry Santoso

(Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan)


(23)

Judul Disertasi : HABITAT DAN PENYEBARAN MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) DI LANSEKAP TERFRAGMENTASI DI JAWA TENGAH

Nama : Hendra Gunawan

NIM : E061060161

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. Dr. Ir. Agus P. Kartono, M.Si.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(24)

Disertasi ini aku persembahkan untuk kedua orang tuaku:

yang dengan ketelatenannya mendidikku, dengan kegigihannya mendukungku, dengan kebijaksanaannya membimbingku dan dengan kesabarannya

mendoakanku,

hingga aku mencapai prestasi ini

Dengan dukungan kasih dari:

Retno Widianingsih Priyahita Adhika Putera Rendra Pradnya Paramarta Raditya Rendra Sistha Anindita Pinastika Heningtyas

Serta doa dari :

Gunarso dan Soanah, adik-adikku


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) merupakan sub spesies

macan tutul (Panthera pardus Linnaeus, 1758) yang memiliki morfologi dan genetika

sangat berbeda dengan sub spesies lainnya. Sebaran macan tutul jawa sangat terbatas,

hanya di Pulau Jawa (Santiapillai & Ramono, 1992; Meijaard 2004), Pulau Kangean

(Direktorat PPA, 1978; 1982), Pulau Nusakambangan (Gunawan, 1988) dan Pulau Sempu (Surabaya Post Hot News, Selasa, 17/09/1996).

Macan tutul jawa merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999. IUCN (International Union for Conservation of

Nature & Natural Resources) memasukkan macan tutul jawa ke dalam Redlist dengan kategori Critically Endangered (Ario et al., 2008). Macan tutul jawa juga termasuk dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna & Flora) (Soehartono & Mardiastuti, 2002).

Sebaran dan kelimpahan populasi macan tutul di Pulau Jawa belum pernah diteliti namun diperkirakan terus menerus mengalami penurunan sehingga status kelangkaannya dalam Redlist IUCN (International Union for Conservation of Nature & Natural Resources) terus meningkat dari Vulnerable (1978) menjadi Threatened (1988), Indeterminate (1994), Endangered (1996) dan akhirnya menjadi Critically Endangered pada 2008 (IUCN-The World Conservation Union, 1996; Ario et al., 2008).

Perusakan habitat yang mencakup juga hilangnya habitat, degradasi kualitas dan fragmentasi habitat merupakan penyebab paling signifikan dari kepunahan populasi dan spesies (Hanski, 1998). Perusakan habitat banyak disebabkan oleh kegiatan manusia

yang mengubah tutupan lahan (land cover) atau penggunaan lahan (land use) seperti

pengembangan pertanian, pemukiman, industri, jaringan tranportasi, jaringan listrik dan lain-lain. Hal tersebut kemudian menyebabkan degradasi habitat (habitat degradation),

kehilangan habitat (habitat loss) dan fragmentasi habitat (habitat fragmentation)

(Bureau of Land Management, 2004)

Fragmentasi habitat terjadi secara evolusi pada suatu lansekap yang dicirikan

oleh pengurangan jumlah total ketersediaan habitat yang sesuai (habitat loss) dan


(26)

(McGarigal & Marks, 1995). Suatu model dinamika populasi pada habitat yang terfragmentasi pertama dikemukakan oleh Levins (1969b) sebagai teori metapopulasi. Suatu metapopulasi terdiri atas sekelompok populasi dari spesies yang sama yang

terpisah secara spasial dan berinteraksi pada beberapa level. Fragmentasi dapat

menyebabkan pemecahan suatu populasi menjadi sub-sub populasi dalam pulau-pulau habitat (habitat islands) kecil yang lebih rawan tarhadap kepunahan lokal.

Beberapa lokasi sebaran macan tutul jawa diperkirakan telah mengalami penurunan kualitas dan kesesuaiannya sebagai habitat satwa tersebut, bahkan di beberapa lokasi lainnya telah ditinggalkan karena tidak sesuai lagi sebagai habitatnya. Mengevaluasi habitat-habitat yang masih tersisa dan memperkirakan lokasi-lokasi yang masih memiliki kesesuaian sebagai habitat macan tutul jawa merupakan pekerjaan penting dalam rangka konservasi satwa tersebut.

Pemodelan spasial kesesuaian habitat secara kuantitaif sangat penting untuk pengelolaan populasi satwaliar dan perencanaan strategi konservasi pada skala lansekap

(U.S. Fish and Wildlife Service, 1980; 1981; Osborne et al., 2001). Model kesesuaian habitat (habitat suitability) merupakan metode yang efisien dan murah serta cepat untuk menilai kualitas habitat satwaliar (Brooks 1997; Schamberger et al., 1982; Cole & Smith, 1983).

Geographic Information System (GIS), merupakan alat yang handal untuk menilai dan mengevaluasi pola-pola lansekap dan perubahannya pada wilayah yang luas (Sessions et al., 1994). GIS banyak diaplikasikan untuk menilai fragmentasi habitat dan membuat pemodelan distribusi spesies (Apan, 1996; Jorge & Garcia 1997; He et al.,

1998). Model-model kesesuaian habitat tersebut didasarkan pada hubungan fungsional

antara satwaliar dan variabel-variabel habitat (U.S. Fish and Wildlife Service, 1980; 1981).

Penelitian macan tutul jawa sangat penting dilakukan karena setelah harimau

jawa (Panthera tigris sondaica Temminck, 1844) punah, macan tutul jawa menduduki

puncak rantai makanan (trophic level) dalam ekosistem hutan di Pulau Jawa, sehingga. macan tutul jawa juga merupakan spesies kunci (keystone species) yang sangat penting bagi keseimbangan ekosistem. Di sisi lain keberadaan macan tutul jawa semakin terancam punah. Informasi tentang macan tutul jawa juga belum banyak terungkap (Ario, 2008), bahkan perkembangan populasi dan penyebarannya selama beberapa


(27)

dekade terakhir di Pulau Jawa tidak terpantau dengan baik. Meijaard (2004) menyarankan agar pengelola kawasan konservasi memberikan perhatian khusus pada macan tutul jawa, antara lain dengan survei satwa tersebut secara menyeluruh sebagai langkah pertama dalam upaya konservasi.

Macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah menghadapi ancaman lebih besar dibandingkan di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Banten karena hutan yang menjadi habitatnya di Provinsi Jawa Tengah 83,84% merupakan hutan produksi (Perum Perhutani, 2006) yang setiap saat terancam oleh tebang habis atau konversi. Provinsi Jawa Tengah juga memiliki laju deforestasi yang tinggi, yaitu pada periode 2000-2005 rata-rata 142.560 ha per tahun. Dari segi luasan, deforestasi di Jawa Tengah (2003-2006) merupakan yang terbesar yaitu 5.073,2 ha atau 80,6% dari total deforestasi di Pulau Jawa (Departemen Kehutanan, 2007a)

1.2 Perumusan Masalah

Degradasi kuantitas dan kualitas hutan merupakan akumulasi dampak dari berbagai kegiatan dan perilaku manusia. Sebagai contoh, kebijakan penataan ruang yang tidak mempertimbangkan ekosistem sebagai satu kesatuan dan hanya mempertimbangkan beberapa kepentingan sektoral secara parsial serta kebijakan perolehan pendapatan yang bertumpu pada eksploitasi sumberdaya alam hutan telah mengakibatkan tingginya tingkat kerusakan, kehilangan dan fragmentasi hutan. Hal ini pada gilirannya akan mengancam kelestarian keanekaragaman hayati. Ancaman ini semakin nyata dan mengkhawatirkan terutama sejak gerakan reformasi digulirkan dan otonomi daerah diimplementasikan.

Di sisi lain, hutan juga mengalami kerusakan dan fragmentasi akibat pembalakan liar dan perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat akibat tekanan ekonomi sejak krisis moneter tahun 1998 yang telah melahirkan jutaan masyarakat miskin dan pengangguran. Tekanan dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati satwaliar umumnya dan macan tutul jawa khususnya, bukan hanya disebabkan oleh degradasi hutan yang merupakan habitat utamanya, tetapi juga disebabkan oleh perburuan. Masyarakat memburu dan membunuh macan tutul jawa karena satwa ini masuk kampung memangsa ternak dan dianggap mengancam keselamatan manusia.


(28)

Padahal, perilaku menyimpang dari satwa ini disebabkan oleh kerusakan habitat yang dibuat oleh manusia itu sendiri.

Perburuan juga terjadi pada satwa-satwa yang menjadi mangsa macan tutul jawa, seperti kijang (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus scrofa), monyet (Macaca fascicularis), kancil (Tragulus javanicus), landak (Hystrix brachyura) dan lain-lain. Perburuan terhadap satwa mangsa macan tutul jawa dilakukan karena satwa-satwa tersebut dianggap sebagai hama tanaman atau untuk diperdagangkan sebagai tambahan penghasilan.

Kebijakan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan bersama-sama dengan tekanan sosial-ekonomi serta sikap dan perilaku masyarakat tersebut secara simultan dan akumulatif telah mengakibatkan: (1) hilangnya atau berkurangnya luasan

habitat (habitat loss) sehingga tidak mampu lagi mendukung kehidupan macan tutul

jawa, (2) degradasi kualitas habitat (habitat degradation) sehingga tidak sesuai lagi bagi

macan tutul jawa dan (3) fragmentasi habitat (habitat fragmentation) yang

meningkatkan resiko kepunahan macan tutul jawa akibat isolasi dan mekanisme inbreeding.

Dampak akhir dari berbagai penyebab tersebut terhadap macan tutul jawa adalah: (1) menurun hingga hilangnya kesesuaian habitat; (2) menurunnya populasi secara regional dan beberapa punah secara lokal, serta (3) berkurangya daerah sebaran dan terisolasinya beberapa populasi. Secara skematis, rumusan masalah macan tutul jawa yang melandasi penelitian ini disajikan pada Gambar 1.1.

Penelitian ini penting untuk dilakukan karena dapat menghasilkan informasi tentang bagaimana semua faktor penyebab bekerja. Walaupun satwa yang diteliti macan tutul jawa, tetapi hasilnya dapat digeneralisir sebagai permasalahan yang dihadapi oleh semua satwa langka yang terjadi di berbagai daerah. Dengan demikian melalui penelitian ini dapat dirumuskan rekomendasi kebijakan umum konservasi satwa langka, khususnya di luar kawasan konservasi yang rawan fragmentasi.


(29)

Gambar 1.1. Rumusan masalah penelitian.

1.3 Tujuan Penelitian

Peneltian ini memiliki lima tujuan khusus yaitu:

a. Memetakan penyebaran populasi macan tutul jawa berdasarkan indikator-indikator

keberadaannya dan mengetahui indeks seleksi tipe-tipe hutan yang menjadi daerah penyebarannya.

b. Mengidentifikasi tipe-tipe metapopulasi macan tutul jawa dan menganalisis resiko

kepunahan dari masing-masing metapopulasi.

c. Mengidentifikasi karakteristik habitat macan tutul jawa terutama untuk mengetahui

komponen habitat yang berpengaruh pada keberadaan macan tutul jawa dan relevan sebagai faktor penyusun model kesesuaian habitat.

d. Mengetahui tingkat fragmentasi hutan alam melalui pengukuran beberapa

parameternya dan mempelajari pengaruhnya terhadap sebaran macan tutul jawa.

e. Membuat pemodelan spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa.

Tekanan Sosial-Ekonomi-Budaya Masyarakat

Kebijakan pembangunan tidak berwawasan lingkungan

Tata ruang tidak terpadu, konversi dan eksploitasi hutan

Perambahan, pembalakan liar dan perburuan macan tutul dan

ƒPenurunan kualitas habitat (habitat degradation)

ƒHilangnya habitat (habitat loss)

ƒFragmentasi habitat (habitat fragmentation)

Kesesuaian habitat menurun atau hilang (tidak sesuai) Populasi menurun secara regional dan beberapa populasi

punah lokal


(30)

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian meliputi daerah penyebaran populasi, seleksi habitat,

metapopulasi, tipe-tipe habitat dan karakteristiknya (mangsa, cover, air, iklim,

topografi, altitude dan status kawasan), fragmentasi hutan alam dan pemodelan spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa.

1.5 Kerangka Pemikiran

Hutan-hutan di Pulau Jawa umumnya dan Jawa Tengah khususnya merupakan habitat utama macan tutul jawa. Dari waktu ke waktu kuantitas dan kualitas hutan ini terus berubah dengan kecenderungan menurun. Hal ini antara lain disebabkan oleh penebangan, kebakaran, perambahan, dan konversi untuk kepentingan pembangunan jalan, irigasi, listrik, pemukiman dan pembangunan non kehutanan lainnya, sehingga menimbulkan dampak primer berupa perubahan lansekap hutan. Lansekap hutan yang sebelumnya utuh dan berkualitas baik, luas dan kompak terus mengalami degradasi kualitas, penurunan luasan dan terfragmentasi.

Dampak lanjutan (sekunder) dari degradasi kualitas, penurunan luas dan fragmentasi hutan adalah : (1) tidak sesuai lagi atau berkurang kesesuaiannya sebagai habitat macan tutul jawa; (2) menurunnya populasi macan tutul jawa secara regional dan beberapa mengalami kepunahan lokal; dan (3) berkurangnya daerah penyebaran macan tutul jawa dan beberapa mengalami isolasi populasi.

Dari dampak primer dan sekunder tersebut dapat teridentifikasi lima aspek yang relevan dan penting untuk diteliti guna mendukung konservasi macan tutul jawa, yaitu:

a. Daerah penyebaran dan seleksi habitat macan tutul jawa

b. Metapopulasi

c. Karakteristik habitat macan tutul jawa

d. Fragmentasi hutan dan kaitannya dengan keberadaan macan tutul jawa

e. Model spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat disusun suatu rencana tinduk pengelolaan konservasi macan tutul jawa di habitat-habitat yang tersisa sesuai dengan karakteristik habitat dan kelas kesesuaiannya. Kerangka pemikiran penelitian ini secara skematis diperlihatkan pada Gambar 1.2.


(31)

Gambar 1.2. Kerangka pemikiran penelitian.

1.6 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian yang akan diuji atau dibuktikan adalah :

a. Dalam penyebarannya, macan tutul jawa melakukan seleksi terhadap

komponen-komponen habitat tertentu seperti vegetasi, topografi dan ketinggian.

b. Macan tutul Jawa hidup di berbagai tipe habitat yang satu dengan lainnnya memiliki karakteristik fungsi serupa.

c. Fragmentasi hutan berpengaruh pada pola penyebaran populasi macan tutul jawa

sampai pada punahnya beberapa populasi secara lokal.

d. Habitat-habitat macan tutul jawa dapat diklasifikasikan kesesuaiannya dengan

pemodelan spasial dan proporsi sebaran populasi macan tutul jawa mengikuti proporsi sebaran kesesuaian habitat.

1.7 Kebaruan (Novelty)

Penelitian tentang macan tutul jawa belum banyak dilakukan. Di Institut Pertanian Bogor sampai saat ini baru ada tujuh skripsi S-1 dan satu tesis S-2 tentang

Konversi, pembangunan jalan,

perkampungan, dll

Kawasan berhutan Habitat macan tutul jawa

Degradasi Kualitas

Hilang atau Luas Berkurang

Fragmentasi Penebangan,

Perambahan, Kebakaran

Kesesuaian habitat macan tutul berkurang

atau hilang (tidak sesuai)

ƒPopulasi macan tutul menurun secara regional dan beberapa punah secara lokal

ƒDaerah sebaran macan tutul berkurang dan beberapa terisolasi

Karakteristik Habitat

Model Kesesuaian Habitat

Penyebaran Populasi

Fragmentasi Habitat

Penelitian yang diperlukan Keterangan:

Tujuan Penelitian

Analisis Metapopulasi


(32)

penelitian macan tutul jawa. Sementara tulisan tentang macan tutul jawa sampai saat ini baru dapat penulis temukan enam judul. Semua penelitian tersebut umumnya mempelajari satu aspek tunggal seperti habitat, sebaran, genetika dan taksonomi.

Penelitian macan tutul jawa sebagai disertasi program S-3 di Indonesia khususnya dan Asia umumnya merupakan hal baru. Dari aspek dan cakupan penelitian pun belum pernah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, unsur kebaruan dari disertasi ini antara lain mencakup:

a. Pemetaan penyebaran macan tutul jawa dengan memanfaatkan teknologi GIS di

Jawa Tengah.

b. Seleksi habitat oleh macan tutul jawa

c. Analisis metapopulasi sebagai dasar prediksi resiko kepunahan

d. Identifikasi komponen habitat yang penting bagi macan tutul dan relevan sebagai

faktor penyusun model kesesuaian habitat.

e. Hubungan antara fragmentasi hutan dengan penyebaran macan tutul jawa di Jawa

Tengah

f. Pembuatan model spasial kesesuaian habitat macan tutul jawa di Jawa Tengah.

1.8. Pemilihan Lokasi Penelitian

Pemilihan lokasi penelitian di Provinsi Jawa Tengah didasari pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

a. Hutan di Provinsi JawaTengah mengalami kerusakan yang cukup parah dengan laju

deforestasi (2000 – 2005) rata-rata 142.560 hektar per tahun (Departemen Kehutanan, 2007a).

b. Provinsi Jawa Tengah termasuk miskin hutan konservasi, disamping luasannya

kecil, lokasinya juga berjauhan (terfragmentasi) dengan luas keseluruhan hanya 16.413 ha (2,54% dari total luas kawasan hutan yang ada) dan sudah banyak yang mengalami kerusakan akibat penjarahan dan perambahan.

c. Hutan produksi di Jawa Tengah luasnya mencapai 546.290 ha (84,42% dari total

luas kawasan hutan di Jawa Tengah) dan semuanya merupakan hutan tanaman dengan jenis utama jati (Tectona grandis) dan pinus (Pinus spp.). Dengan demikian kelestarian satwaliar di Jawa Tengah sangat tergantung pada keberadaan dan cara pengelolaan hutan produksi tersebut. Dengan perkataan lain, hutan produksi di


(33)

Jawa Tengah memiliki peranan yang sangat penting dalam mengkonservasi satwaliar.

d. Konservasi satwaliar di hutan produksi bukanlah fokus atau tujuan utama

pengelolaan perusahaan (Perum Perhutani), sehingga nasib satwaliar di hutan produksi dari tahun ke tahun dipertanyakan, apalagi sistem tebang habis dengan tanaman buatan setiap saat dapat menghilangkan habitat dan memutus konektivitas antar kantong habitat.

e. Dalam rangka pengelolaan hutan lestari, sertifikasi, ecolabel dan HCVF (High

Conservation Value Forest) serta implementasi Best Management Practices, maka diperlukan berbagai penelitian yang mendukung program-program tersebut. Penelitian spesies kunci, seperti macan tutul jawa akan sangat bermanfaat bagi pihak pengelola hutan produksi (Perum Perhutani).


(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Macan Tutul 2.1.1 Taksonomi

Macan tutul merupakan salah satu jenis kucing besar dari genus Panthera dalam

famili Felidae. Spesies macan tutul adalah Panthera pardus Linnaeus, 1758.

Berdasarkan analisis taksonomi moderen ada delapan atau sembilan sub spesies, salah

satunya adalah macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) yang hanya

terdapat di Pulau Jawa1. Di beberapa daerah di Indonesia macan tutul dikenal dengan nama lokal, misalnya di Jawa dikenal dengan nama macan, sima, macan tutul, seruni, kombang, gogor, pogoh, bungbak; di Jawa Barat disebut meong hideung, kerud anjing, rimau lalat, meong krut; di Madura dikenal dengan nama macan totol (Direktorat PPA, 1978).

Di Indonesia, macan tutul jawa sudah menjadi satwa yang dilindungi sejak tahun 1970 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 421/Kpts/Um/8/1970. Pada tahun 1999 status perlindungannya dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa.

Sejak tahun 1978 macan tutul telah dimasukkan ke dalam Red list IUCN

(International Union for Conservation of Nature & Natural Resources) dengan kategori Vulnerable. Sejak itu kategorinya terus berubah, tahun 1988 menjadi Threatened, tahun

1994 menjadi Indeterminate, pada tahun 1996 menjadi Endangered dan pada tahun

2008 menjadi Critically Endangered (IUCN-The World Conservation Union, 1996;

Ario et al., 2008).

2.1.2 Deskripsi Fisik

Wilayah dan habitat memiliki pengaruh pada penampilan macan tutul. Di Afrika, macan tutul yang hidup di daerah berbukit cenderung lebih besar daripada yang hidup di dataran rendah (Guggisberg, 1975; Nowak, 1997). Secara umum ukuran tubuh macan tutul jantan 20 – 40 % lebih besar daripada betina (Garman, 1997). Ukuran rata-rata tubuh macan tutul yang hidup di Pulau Jawa disajikan pada Tabel 2.1 (Hoogerwerf, 1970).


(35)

Tabel 2.1. Ukuran rata-rata tubuh macan tutul yang hidup di Pulau Jawa.

Jenis Kelamin Panjang Total (cm)* Tinggi (cm) Berat (Kg)

Jantan 215 60 – 65 52

Betina 185 60 - 65 39

Sumber : Hoogerwerf (1970)

Keterangan : *) diukur dari ujung moncong sampai ke ujung ekor.

Macan tutul memiliki cakar yang dapat ditarik masuk, berkait dan tajam. Hal ini memungkinkannya untuk memanjat pohon dengan mudah, merobek daging mangsanya serta menangkap dan menjatuhkan mangsanya. Macan tutul memelihara ketajaman cakarnya dengan mencakar batang kayu yang membantunya melepaskan lapisan kuku bagian luar2.

Warna dasar kulit sangat bervarasi tergantung pada lokasi, mulai dari kuning keemasan di padang rumput terbuka, kuning-krem di daerah padang pasir sampai kuning gelap di pegunungan dan daerah berhutan (Guggisberg, 1975; Nowak, 1997). Variasi juga terjadi pada panjang rambut3. Di daerah tropis rambut mereka cenderung lebih pendek dan lebih halus, sementara di daerah dengan iklim yang lebih dingin rambut mereka lebih panjang dan padat (Guggisberg, 1975; Nowak 1997).

Tutul-tutul hitam pada macan tutul tersusun dalam bentuk kembangan (rosette)

atau seperti bunga mawar. Bentuk kembangan ini terbatas pada punggung dan rusuk, sedangkan tutul-tutul tunggal terdapat di kepala, kaki, telapak kaki, bagian bawah tubuh yang warna dasarnya putih atau abu-abu dan ekor yang sisi bawahnya berwarna putih (Grzimek, 1975; Lekagul & McNeely, 1977).

Terdapat kecenderungan melanisme (warna hitam) pada macan tutul (Guggisberg, 1975; Nowak, 1997) dan yang mengalami melanisme dinamakan macan

kumbang (black panther) (Gambar 2.1). Macan kumbang masih memiliki tutul rosette

walaupun tersamar oleh warna rambut yang gelap dan hanya terlihat di bawah cahaya yang kuat (Lekagul & McNeely, 1977; Garman, 1997). Menurut Garman (1997) macan tutul yang mengalami melanisme kebanyakan ditemukan di hutan yang lebat dan basah,

2

http://www.lioncrusher.com/animal.asp?animal=57 3


(36)

dimana warna ini bermanfaat dalam perburuan. Di Jawa sebagian besar macan tutul mengalami melanisme4.

Robinson (1969) dalam Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa bila fase tutul

kawin dengan fase tutul maka perbandingan anak-anaknya adalah tiga tutul dan satu kumbang, bila fase tutul kawin dengan fase kumbang maka perbandingan anak-anaknya adalah satu tutul dan satu kumbang, dan bila fase kumbang kawin dengan fase kumbang maka seluruh anaknya adalah kumbang.

Gambar 2.1. Kiri: Macan tutul yang mengalami melanisme; kanan: macan tutul dengan pola warna normal (kanan).

2.1.3 Penyebaran Geografis

Macan tutul memiliki daerah penyebaran yang paling luas di antara jenis kucing

(Guggisberg, 1975; Lekagul & McNeely, 1977). Dari Afrika (melampaui Sahara

Tengah), macan tutul menyebar ke Asia Kecil, Afganistan, Turki, Iran, India, Srilanka, Jawa, China termasuk China Utara (Manchuria), hingga Amar Ussuri (Grzimek, 1975; Nowak, 1997; Sanderson, 1972). Ke arah utara macan tutul menyebar ke Rusia Timur Jauh5.

Di Indonesia, macan tutul jawa (Panthera pardus melas) hanya ditemukan di

Pulau Jawa dan Pulau Kangean (Direktorat PPA, 1978; 1982). Sisa fosil yang ditemukan menunjukkan umur satu juta tahun (Hemmer & Schutt, 1973). Van Helvoort et al. (1985) memperkirakan macan tutul diintroduksi ke Pulau Kangean yang letaknya

4

http://www.felidtag.org/pages/Educational/factSheets/leopard.htm

Sumber : UCN - The World Conservation Union (1996)

Sumber : http://globalcrossing.net/∼brendel/leopard.htm (2007)


(37)

lebih jauh dari Jawa dibandingkan Pulau Bali, di mana macan tutul tidak ada. Macan tutul tidak terdapat di Sumatera, Kalimantan maupun Bali (Hoogerwerf, 1970). Seidensticker (1986) berspekulasi bahwa macan tutul (dan harimau) mungkin tidak ada di Pulau Borneo karena tidak adanya mangsa utama berupa ungulata besar dan macan tutul tidak ada di Pulau Bali karena adanya harimau Bali dan tidak ada di Sumatra karena melimpahnya anggota Felidae lainnya (tujuh spesies). Pada tahun 1996 ekspedisi yang dilakukan oleh Konservasi Satwa bagi Kehidupan (KSBK) di Cagar Alam Pulau Sempu (Kabupaten Malang) menemukan macan kumbang di pulau seluas 877 ha tersebut (Surabaya Post Hot News, Selasa, 17/09/1996).

Sumber : http://commons.wikimedia.org/wiki/Image:Panthera_pardushistoric_distribution.gif

Gambar 2.2. Sejarah penyebaran macan tutul di dunia.

Di Jawa Tengah macan tutul terdapat di Randublatung, Pati, Kendal, Semarang, Telawa, Gunung Muria dan Gunung Lawu (Hoogerwerf, 1970). Menurut Direktorat Jenderal PHPA (1987) daerah penyebaran macan tutul di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebagai berikut: Pulau Nusa Kambangan, Batang, Banjarnegara, Kendal, Cepu, Sragen, Kebasen, Notog, Jatilawang, Gunung Slamet, Gunung Muria, Gunung Kidul, Gunung Merapi dan Kulon Progo.

Di Jawa Timur macan tutul terdapat di Taman Nasional Meru Betiri, TN. Baluran, Tuban, Ponorogo, Padangan, Saradan, Jember, Blitar, Jatirogo, Madiun dan Gundih. Di Jawa Barat macan tutul terdapat di Cianjur Selatan, Gunung Gede, Gunung Pangrango, Cirebon dan Taman Nasional Ujung Kulon (Hoogerwerf, 1970). Suatu


(38)

penelitian yang dilakukan oleh tim LIPI, PHPA dan JICA berhasil memotret macan tutul di TN. Gunung Halimun (Departemen Kehutanan, 1997).

Gunawan (1988) menemukan bukti keberadaan macan tutul berupa feces, jejak

dan bekas cakaran di pohon serta garukan di tanah di Cagar Alam (CA) Pringombo (Kab. Banjarnegara), hutan jati BKPH Subah (Kab. Batang), Serang (Kab. Purbalingga) dan CA. Nusa Kambangan Timur (Kab. Cilacap). Sementara Di Gunung Kidul tidak berhasil diperoleh bukti keberadaan macan tutul.

2.1.4 Habitat

Macan tutul menempati berbagai tipe habitat dengan toleransi yang tinggi terhadap variasi iklim dan makanan (Guggisberg, 1975; Lekagul & McNeely, 1977). Macan tutul merupakan spesies yang sangat mudah beradaptasi. Mereka ditemukan di setiap tipe hutan, savana, padang rumput, semak, setengah gurun, hutan hujan tropis berawa, pegunungan yang terjal, hutan gugur yang kering, hutan konifer sampai sekitar pemukiman (Cat Specialist Group, 2002).

Di Asia macan tutul terdapat di hampir semua tipe lingkungan6. Macan tutul

sangat tangguh menghadapi perkembangan pemukiman manusia, akibat meningkatnya kepadatan populasi manusia di sekitar hampir seluruh habitatnya. Macan tutul masih ditemukan di seluruh Jawa meskipun dalam jumlah yang sedikit, padahal pulau ini

merupakan salah satu pulau terpadat penduduknya di dunia (IUCN - The World

Conservation Union, 1996).

Macan tutul lebih toleran daripada harimau terhadap temperatur ekstrim dan lingkungan yang kering (Santiapillai & Ramono, 1992), sebagai contoh, mereka lebih

umum di hutan monsoon tropika yang kering musiman daripada harimau, yang

tergantung pada sumber air permanen (Kleiman & Eisenberg, 1973; Sunquist, 1981;

Johnsingh, 1983; Rabinowitz, 1989).

Di Afrika macan tutul lebih menyukai semak yang tebal di lingkungan berbatu dan hutan tepi sungai untuk habitat mereka7. Macan tutul sangat menyukai daerah yang memiliki pohon untuk aktivitas berlindung dan mengintai karena mereka merupakan pemanjat yang menakjubkan8.

6

http://www.felidtag.org/pages/Educational/factSheets/leopard.htm 7


(39)

Betina harus memiliki tempat untuk bersarang di dalam home range-nya (Bailey, 1993). Tempat bersarang biasanya vegetasi tebal atau singkapan batu. Sarang sangat penting untuk kelangsungan hidup anak-anaknya karena melindung mereka dari pemangsa9.

2.1.5 Daerah Jelajah dan Teritori

Macan tutul jantan memiliki home range yang sering overlap dengan beberapa home range betina. Home range macan tutul umumnya terpusat di sekitar badan air di mana mangsa terkonsentrasi (Seidentsicker and Susan, 1991). Home range macan tutul jantan lebih besar karena mangsanya biasanya lebih besar daripada mangsa macan tutul

betina (Sunquist, 2001). Ukuran home range macan tutul sangat bervarasi dan sangat

tergantung pada ketersediaan jumlah dan penyebaran satwa mangsa (IUCN - The World

Conservation Union, 1996).

Aspek-aspek seperti pelindung, perburuan serta penyebaran dan kelimpahan mangsa adalah penting dalam menentukan ukuran jelajah karnivora pada umumnya, khususnya Felidae. Semua daerah jelajah memiliki sedikitnya satu badan air dan beberapa lainnya memiliki lebih dari satu badan air, tetapi macan tutul tampaknya tidak menggunakan sungai baik secara eksklusif ataupun sebagai batas alam jelajahnya10.

Ukuran home range macan tutul jantan berkisar antara 30 – 78 km2 dan betina

23 – 33 km2 di kawasan yang dilindungi (Bailey, 1993). Home range mungkin jauh

lebih besar ketika ketersediaan makanan berkurang. Sebagai contoh, home range

berkisar antara 338 - 478 km2 ditemukan Norton & Lawson (1985) di dataran tinggi. Bothma and Knight (1997) menemukan bahwa di Kalahari Selatan yang kering dan

miskin mangsa, rata-rata home range macan tutul jantan dewasa adalah 2.182 ± 492

km2 dan betina dewasa 489 ± 293 km2. Sementara di Taman Nasional Royal Chitwan,

Nepal, yang memiliki kepadatan populasi ungulata sangat tinggi, home range macan

tutul betina hanya 6 – 13 km2 dan di Taman Nasional Serengeti dan Tsavo, Afrika

Timur, teritori mereka berkisar antara 11 – 121 km2 (IUCN - The World Conservation Union, 1996).

Penelitian pada sebuah ranch di Laikipia, Kenya seluas 200 km2 menunjukkan

bahwa macan tutul betina memiliki home range eksklusif rata-rata 14,0 km² dan

9

http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2004/bunton/bunton.html#social 10


(40)

beberapa diantaranya overlap dengan betina dewasa muda. Home range macan tutul jantan rata-rata 32,8 km² dan tidak overlap antar sesama jantan tetapi overlap dengan teritori-teritori betina (Mizutani & Jewell, 1998). Macan tutul muda tidak memiliki home range tetap sampai mendapatkan home range karena yang dewasa mati11.

Macan tutul mempertahankan teritorinya dari individu lain sesama jenis kelamin. Jantan dan betina menandai tertorinya dengan menyemprotkan urin dan meninggalkan tanda cakaran pada batang pohon di pinggiran teritori mereka12. Menurut Grzimek (1975) macan tutul tidak akan keluar dari teritorinya jika makanan cukup tersedia dan mudah didapat.

2.1.6 Makanan dan Kebiasaan Makan

Menurut Prater (1965) dalam Hoogerwerf (1970), macan tutul akan membunuh

dan makan apa saja yang mudah ditangkapnya. Kebanyakan mangsa macan tutul

adalah satwa yang masih anak-anak (infant/juvenile) atau yang sudah tua karena

biasanya keadaannya lemah dan mudah ditangkap (Grzimek, 1975). Macan tutul lebih

menyukai ungulata dengan berat tubuh 20 sampai 50 kg13, tetapi kadang-kadang

berburu mangsa yang jauh lebih besar14.

Mangsa macan tutul di Jawa antara lain : babi hutan, kijang, rusa, monyet,

landak, lutung dan burung (Direktorat PPA, 1978). Menurut Bartels (1929) dalam

Hoogerwerf (1970) macan tutul memangsa teledu, musang dan owa abu-abu. Grzimek (1975) menyatakan bahwa satwa-satwa kecil seperti kelinci, binatang pengerat, ikan dan burung juga dimangsa macan tutul, bahkan juga buah-buahan yang manis.

Menurut Prater (1965) dalam Hoogerwerf (1970) macan tutul memangsa

binatang melata dan ketam, bahkan menurut Schaller (1969) dalam Lekagul & McNeely

(1977), macan tutul juga memangsa serangga. Westra (1931) dalam Hoogerwerf (1970)

menjumpai macan tutul memburu dan memangsa kelelawar. Sementara menurut Direktorat PPA (1982) macan tutul memangsa penyu laut yang sedang atau baru selesai bertelur di pantai. Di daerah yang kepadatan mangsanya rendah, macan tutul juga

11

http://www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm 12

http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_Information.htm 13


(41)

memakan landak, trenggiling, burung merak, ayam hutan, monyet di pohon dan anjing yang tersesat di pinggiran desa15.

Bila di lingkungan hidupnya persediaan makanan sudah sangat berkurang, macan tutul kadang-kadang masuk ke perkampungan di sekitar hutan dan memangsa hewan ternak (Direktorat PPA, 1978). Hewan ternak yang sering dimangsa oleh macan tutul adalah unggas dan kambing (Veevers-Carter, 1978). Seperti kebanyakan predator besar, macan tutul dapat menjadi satwa kanibal (Hoogerwerf, 1970).

Menurut Goudriaan (1948) dalam Hoogerwerf (1970) macan tutul di Jawa

memakan korbannya mulai dari jantung, hati dan bagian-bagian lunak lainnya. Giginya mengagumkan dan efisien untuk membunuh; taringnya membuat gigitan mematikan

dan merobek menembus kulit jangat, sementara molar-nya yang setajam pisau cukur

dan lidahnya yang kasar membuat daging cepat tertelan16.

Macan tutul kadang-kadang menyimpan sisa makanannya dengan cara menutupinya dengan daun, ranting, rumput atau serasah. Sering pula sisa makanannya disimpan di atas pohon untuk menghindari jangkauan binatang pemakan bangkai (Van

Dooren, 1949 dalam Hoogerwerf, 1970; Grzimek, 1975). Macan tutul mampu

mengangkat mangsa seberat 125 kg (2 – 3 kali beratnya) ke atas pohon setinggi 5,8 m (Hamilton, 1976).

Menurut Goudriaan (1948) dalam Hoogerwerf (1970), macan tutul kembali ke

tempat penyimpanan sisa makanannya setelah dua atau tiga hari, bahkan kadang-kadang

lebih. Home (1927) dalam Hoogerwerf (1970) mengatakan bahwa macan tutul kembali

ke tempat penyimpanan sisa makanannya setelah lelah dan gagal dalam berburu. Kebiasaan memakan bangkai yang disimpannya memungkinkan macan tutul mudah keracunan (Bailey, 1993)

Bailey (1993) menemukan interval rata-rata antara pemangsaan ungulata berkisar 7 – 13 hari dan konsumsi harian rata-rata macan tutul dewasa jantan adalah 3,5 kg dan betina 2,8 kg. Menurut Hart et al. (1996) komposisi makanan macan tutul terdiri atas 53,5 % ungulata dan 25,4 % primata dengan rata-rata berat mangsa 24,6 kg. Menurut Karanth & Melvin (1995) mangsa macan tutul berimbang antara ungulata dan primata yaitu 89-98 %. Setelah makan, macan tutul biasanya mencari air untuk minum. Macan tutul dapat bertahan hidup dengan baik pada musim kering yang panjang

15

http://www.katzenseite.net/infos/habitat.htm

16


(42)

walaupun hanya minum tiap 2 - 3 hari sekali (Grzimek, 1975). Macan tutul tidak membutuhkan banyak air karena cairan yang terkandung pada mangsanya sudah cukup untuknya17.

2.1.7 Kebiasaan dan Perilaku a. Kebiasaan

Macan tutul termasuk satwa yang gemar mengembara dan kurang bersifat menetap, tetapi suka kembali ke tempat persembunyiannya semula (Direktorat PPA, 1978). Macan tutul pemalu, cerdik dan berbahaya, khususnya ketika terluka18.

Seperti halnya harimau loreng (Panthera tigris), macan tutul biasanya hidup

menyendiri (soliter), kecuali pada musim kawin dan masa mengasuh anak. Di Jawa

tidak ada peneliti yang menyebutkan adanya kelompok macan tutul yang lebih dari dua ekor atau seekor induk yang diikuti oleh lebih dari dua ekor anak (Hoogerwerf, 1970).

Walaupun mungkin merupakan pemangsa paling nokturnal, tetapi macan tutul juga berburu di siang hari19. Di siang hari yang panas, macan tutul berteduh, baik di pohon, gua maupun naungan batu. Pohon dan batu berfungsi ganda sebagai tempat yang baik untuk mengamati areal perburuan dan untuk berlindung. Macan tutul kadang-kadang berjemur matahari pagi20.

Macan tutul membuang kotoran (feces) tanpa disembunyikan, tetapi diletakkan

di tempat-tempat terbuka misalnya di atas batu-batu besar (Medway, 1975). Gunawan (1988) mendapati kotoran macan tutul di tengah-tengah persimpangan jalan di hutan jati Perum Perhutani di Subah (Kabupaten Batang) dan batas kawasan Cagar Alam Pringombo (Kabupaten Banjarnegara).

Macan tutul adalah perenang yang baik tetapi tidak akan berendam dalam air seperti harimau, bahkan macan tutul menghindari genangan air seperti kucing rumah yang tidak senang menjadi basah21. Seperti halnya kucing besar lainnya, secara umum macan tutul menghabiskan waktu sekitar dua per tiga waktu untuk istirahat dan

17

http://www.katzenseite.net/infos/habitat.htm 18

http://www.sa-venues.com/wildlife/wildlife_leopard.htm 19

http://www.dataid.com/junglegallery.htm 20


(43)

mempelajari lingkungannya (Seidentsicker and Susan, 1991). Sebagian besar waktunya untuk berbaring di pohon, di atas batu besar atau di sarangnya22.

Macan tutul adalah satwa arboreal, yang berarti mereka makan, tidur, kawin dan memburu mangsanya dari atas pohon (Alderton, 1998). Mata mereka sangat spesialis untuk melihat pada malam hari dengan lapisan pemantul di belakang matanya yang

disebut tapetum lucidum yang membuat cahaya melewati mata dua kali, menciptakan

image yang lebih cemerlang bahkan di cahaya yang redup (Kitchener, 1991). Seperti halnya banyak kucing lainnya, macan tutul menggunakan kumisnya untuk merasakan jalan mereka ketika melewati semak yang lebat di malam yang gelap (La Brasca, 2007).

b. Perilaku Berburu

Macan tutul merupakan pemburu soliter23. Pada umumnya macan tutul mencari

mangsa pada senja hingga malam hari, jarang mereka berburu pada siang hari (Grzimek,

1975). Menurut Goudriaan (1948) dalam Hoogerwerf (1970), waktu aktif macan tutul

mengadakan perburuan adalah antara pukul 15.00 sampai 20.00 dan antara pukul 03.00 sampai 06.00, jadi tidak selalu dalam keadaan gelap. Tidak ada kecenderungan yang kuat baik pada aktivitas nokturnal maupun diurnal (Rabinowitz, 1989). Di Afrika macan tutul berburu pada siang hari untuk menghindari kompetisi dengan singa dan hyena (Guggisberg, 1975; Leyhausen & Tonkin, 1979). Dalam beberapa kasus, macan tutul di Pulau Jawa juga berburu pada siang hari.

Macan tutul adalah pemburu dan penyergap yang berburu dengan indera penglihatannya, suaranya dan penciumannya. Macan tutul mengincar atau mengintai mangsanya dari atas pohon atau dari balik semak-semak (Direktorat PPA, 1978). Ketika mengintai, macan tutul merundukkan badannya ke tanah dan ekornya horisontal, sementara matanya melokalisir mangsanya menggunakan penglihatan malamnya yang tajam, berdiam jika mangsanya menengok ke sekitar karena curiga; kemudian macan tutul menyergap dengan tepat dan cepat24.

22

http://www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm 23

http://library.thinkquest.org/11234/leopard.html 24


(44)

Macan tutul memburu mangsanya pada jarak pendek (umumnya kurang dari 30

m) dengan meloncat mangsanya disergap dan diterkam bagian tengkuknya25. Jika

mangsa tertangkap, lehernya digigit dan moncongnya dicakar dengan kaki depan serta diserangnya sampai mangsa tidak berdaya (Direktorat PPA, 1978). Mangsa dibunuh dengan mencekik atau menggigit bagian belakang kepala sehingga memutuskan saluran syaraf tulang belakang26.

c. Perilaku Berkomunikasi

Macan tutul umumnya pendiam. Karakteristik suaranya paling banyak adalah suara geraman parau, batuk serak berulang-ulang dalam interval, yang mirip dengan suara gergaji mesin (chainsaw). Panggilan serak biasanya dikeluarkan oleh macan tutul jantan untuk mengumumkan teritorinya yang akan dibalas oleh macan tutul lainnya, jika ada individu lain di sekitarnya maka akan terus berulang-ulang mengeluarkan suara tersebut sampai individu lain itu pergi. Macan tutul mempunyai suara individual yang berbeda dan ini mungkin menguntungkan bagi satwa soliter seperti macan tutul untuk mengenali satu dengan lainnya dari kejauhan melalui suara seperti juga mereka saling menghindar satu sama lain. Dua macan tutul jantan teritorial akan selalu saling menggeram. Macan tutul betina akan memanggil bila sedang oestrus. Macan tutul juga dikenal mendengkur selama makan27.

Penandaan teritori oleh macan tutul juga merupakan cara yang penting dalam komunikasi intra spesifik28. Batas-batas teritori secara teratur ditandai dengan urin, feces, kemunculan/kehadiran, cakaran di tanah dan pohon29.

d. Perilaku Sosial

Sistem sosial merupakan cara adaptasi macan tutul, karena macan tutul merupakan karnivora berukuran sedang sehingga tidak memiliki banyak pemangsa dan dapat berburu sendiri dengan efisien. Cara berburu mereka membuat mereka harus hidup menyendiri tanpa tergantung pada saudara kandung atau induknya untuk keberhasilan perkembangbiakan. Tekanan seleksi utama yang membentuk sistem sosial

25

http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_Information.htm 26

http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_Information.htm 27

http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_Information.htm 28


(45)

macan tutul adalah lingkungan. Keanekaragaman jenis mangsa macan tutul merupakan penyumbang utama sistem sosial ini. Karena macan tutul tidak tergantung pada satu jenis sumber makanan, maka jumlah pesaingnya sedikit30.

Dalam sistem sosial, macan tutul jantan mempertahankan teritorinya yang dapat mencakup teritori dari dua atau tiga macan tutul betina. Macan tutul jantan mempertahankan teritori dari jantan lain, dan betina mempertahankan teritori dari betina lain. Tampaknya anak betina membangun teritorinya di dalam teritori induknya, sementara anak jantan dikeluarkan dari teritori induk jantan sampai membentuk teritori di luar tempat kelahirannya31.

Karena macan tutul soliter, pertemuan para dewasa dari jenis kelamin yang sama umumnya jarang. Macan tutul dewasa dari jenis kelamin yang sama dan memiliki daerah jelajah bersebelahan atau overlap biasanya saling menghindar, tetapi perkelahian bisa terjadi khususnya untuk memperebutkan mangsa32.

Interaksi antara macan tutul dan spesies pemangsa besar lainnya sangat kompleks (Bertram, 1982). Macan tutul cenderung menghindari daerah kekuasaan

harimau33. Keberadaan pohon atau batu sebagai tempat menyelamatkan diri

memungkinkan macan tutul dapat hidup bersama (co-exist) dengan pesaing-pesaing

besarnya. Macan tutul dapat masuk dalam teritori singa yang kosong (Bertram 1982). Dimana ada harimau, macan tutul cenderung sedikit (Schaller, 1967; 1972; M.K. Ranjitsinh pers. comm.dalam La Brasca, 2007), tetapi ini bukan aturan yang baku. Di Taman Nasional Chitwan, Nepal, macan tutul dan harimau co-exist dengan cara berburu pada waktu yang berbeda dan mangsa yang berbeda serta menggunakan komplek vegetasi yang berbeda (Seidensticker, 1976). Macan tutul makan mangsa yang lebih kecil (biasanya kurang dari 75 kg) (Seidensticker, 1976; Johnsingh, 1983), pembagian mangsa juga terjadi antara singa dan macan tutul di Serengeti (Bertram, 1982) dan Gir Forest (R. Chellam in litt., 1993 dalam La Brasca, 2007).

30

http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2004/bunton/bunton.html#social 31

http://www.travelafricamag.com/content/view/176/56 32

http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2004/bunton/bunton.html#social 33


(1)

degradasi hutan

31.

RPH Winduasri

Rendah

Relatif aman

32.

RPH Indrajaya

Rendah

Relatif aman

33.

RPH Cikuning

Rendah

Relatif aman

34.

RPH Kretek

Rendah

Relatif aman

35.

RPH Sirampok

Rendah

Relatif aman

36.

RPH Kalikidang

Rendah

Relatif aman

37.

RPH Igiriklanceng

Rendah

Relatif aman

38.

RPH Dukuh Tengah

Rendah

Relatif aman

39.

RPH Guci

Rendah

Relatif aman

40.

RPH Karangsari

Rendah

Relatif aman

41.

RPH Kalibakung

Sedang

Ada hambatan konektifitas ke

patch

hutan sekitarnya karena

degradasi hutan

42.

RPH Moga

Sedang

Ada hambatan konektifitas ke

patch

hutan sekitarnya (Gunung

Slamet) karena ada penggunaan

lahan lainnya.

43.

RPH Cipero – RPH Dukuhrandu

Rendah

Relatif aman

44.

RPH Mangunsari

Rendah

Relatif aman

45.

RPH Kenyere

Rendah

Relatif aman

46.

RPH Lobongkok

Tinggi

Habitat kecil terisolasi

47.

RPH Kejene

Rendah

Relatif aman


(2)

Lampiran 4. Prioritas pengelolaan populasi macan tutul jawa yang memiliki resiko

kepunahan lokal tinggi dan sedang.

No. Lokasi Populasi* Resiko Kepunahan Lokal

Ancaman/ Permasalahan

Pilihan Rekomendasi Pengelolaan

1. RPH Lobongkok Tinggi Habitat kecil terisolasi

Petak hutan (patch) ditetapkan sebagai HCVF; tidak melakukan tebang habis dalam patch hutan ini; membuat koridor dengan patch hutan di dekatnya. 2. RPH Mandirancan –

RPH Kebasen

Tinggi Habitat kecil

terisolasi; penggarapan lahan olrh masyarakat.

Petak hutan (patch) ditetapkan sebagai HCVF atau hutan lindung; tidak melakukan tebang habis; penanaman kembali areal yang digarap masyarakat. 3. RPH Cimanggu Tinggi Habitat kecil

terisolasi

Petak hutan (patch) ditetapkan sebagai HCVF; tidak melakukan tebang habis dalam patch hutan ini; membuat koridor dengan patch hutan di dekatnya. 4. RPH Pringombo Tinggi Habitat terdegradasi

berat

CA. Pringombo I dan II perlu diberi penyangga di sekitarnya; hutan penyangga tidak ditebang tetapi sebagai kawasan lindung setempat; Tumpangsari atau PHBM hendaknya tidak permanen, tetapi dibatasi sampai umur tertentu; jenis tanaman tumapangsari hendaknya tanaman semusim; perlu pemeliharaan hutan yang merupakan koridor macan tutul ke petak hutan di sekitarnya.

5. RPH Karangsambung

Tinggi Habitat terdegradasi

berat

Petak hutan (patch) ditetapkan sebagai HCVF atau hutan lindung; rehabilitasi hutan segera dilaksanakan; memulihkan dan memelihara hutan yang menjadi koridor macan tutul ke petak hutan di sekitarnya

6. RPH Karangwinong Tinggi Habitat terdegradasi berat

Petak hutan (patch) ditetapkan sebagai HCVF atau hutan lindung; rehabilitasi hutan segera dilaksanakan; memulihkan dan memelihara hutan yang menjadi koridor macan tutul ke petak hutan di sekitarnya

7. BKPH Sambirejo Tinggi Habitat terdegradasi berat

Petak hutan (patch) ditetapkan sebagai HCVF atau hutan lindung; rehabilitasi hutan segera dilaksanakan; memulihkan dan memelihara hutan yang menjadi koridor macan tutul ke petak hutan di sekitarnya

8. RPH Besokor Tinggi Habitat kecil dan terisolasi

Petak hutan (patch) ditetapkan sebagai HCVF atau hutan lindung; membuat koridor dengan patch hutan di dekatnya yaitu (1) blok hutan Sojomerto yang dapat menghubungkan ke BKPH Bodri dan ke populasi macan tutul jawa di Darupono dan (2) blok hutan Alas Roban (Subah) dimana ada populasi macan tutul jawa di RPH Jatisari Utara.

9. RPH Jatisari Utara Sedang Terisolasi tetapi besar

Petak hutan (patch) ditetapkan sebagai HCVF ; CA Ulolanang perlu dibuat penyangga di sekitarnya; penyangga tidak ditebang dan tidak untuk tumpangsari atau


(3)

No. Lokasi Populasi* Resiko Kepunahan Lokal

Ancaman/ Permasalahan

Pilihan Rekomendasi Pengelolaan

PHBM; membuat dan memelihara koridor untuk macan tutul ke petak hutan di sekitarnya.

10. RPH Darupono Sedang Tekanan aktifitas manusia

Petak hutan (patch) ditetapkan sebagai HCVF ; CA. Pagerwunung perlu dibuatkan penyangga; penyangga tidak ditebang dan tidak digarap tumpangsari maupun PHBM; memelihara koridor untuk macan tutul ke petak di sekitarnya terutama ke BKPH Bodri dan ke arah Gunung Ungaran.

11. Cagar Alam Nusakambangan

Sedang Terisolasi tetapi

besar

CA Nusakambangan Timur dan Nusakambangan Barat perlu dibuat hutan penyangga di sekitarnya untuk menambah luas patch habitat macan tutul; penyangga tidak dieksploitasi, baik pohon maupun tambang kapurnya.

12. Bagian Hutan Muria Sedang Terisolasi tetapi besar

Petak hutan (patch) ditetapkan sebagai HCVF atau hutan lindung; petak HCVF perlu dibuatkan penyangga yang tidak ditebang dan tidak digarap

tumpangsari/PHBM; bila memungkinkan dibuat koridor dari Gunung Muria ke petak hutan terdekat di sekitarnya; perlu inventarisasi untuk mengetahui kemungkinan kelebihan populasi dalam rangka translokasi.

13. RPH Kwadungan Sedang Terisolasi tetapi besar

Petak hutan (patch) ditetapkan sebagai HCVF atau hutan lindung; petak HCVF perlu dibuatkan penyangga yang tidak ditebang dan tidak digarap

tumpangsari/PHBM; bila memungkinkan dibuat koridor dari Gunung Sindoro ke petak-petak hutan di sekitarnya. 14. RPH Kemloko -

RPH Kecepit

Sedang Terisolasi tetapi

besar

Petak hutan (patch) ditetapkan sebagai HCVF atau hutan lindung; petak HCVF perlu dibuatkan penyangga yang tidak ditebang dan tidak digarap

tumpangsari/PHBM; bila memungkinkan dibuat koridor dari Gunung Sumbing ke petak-petak hutan di sekitarnya. 15. RPH Gempol Sedang Terisolasi tetapi

besar

Petak hutan (patch) ditetapkan sebagai HCVF atau hutan lindung; petak HCVF perlu dibuatkan penyangga yang tidak ditebang dan tidak digarap

tumpangsari/PHBM; bila memungkinkan dibuat koridor dari Gunung Ungaran ke petak-petak hutan di sekitarnya. 16. Taman Nasional

Merapi

Sedang Terisolasi tetapi

besar

Rehabilitasi hutan yang bekas digarap oleh masyarakat; perlu dibuat penyangga taman nasional untuk membendung tekanan masyarakat terhadap kawasan hutan; perlu dibuat koridor yang menghubungkan ke Gunung Merbabu

17. Taman Nasional Merbabu

Sedang Terisolasi tetapi

besar

Rehabilitasi hutan yang bekas digarap oleh masyarakat; perlu dibuat penyangga taman


(4)

No. Lokasi Populasi* Resiko Kepunahan Lokal

Ancaman/ Permasalahan

Pilihan Rekomendasi Pengelolaan

nasional untuk membendung tekanan masyarakat terhadap kawasan hutan; perlu dibuat koridor yang menghubungkan ke Gunung Merapi.

18. BKPH Lawu Utara - BKPH Lawu Selatan

Sedang Terisolasi tetapi besar

Petak hutan (patch) ditetapkan sebagai HCVF atau hutan lindung; petak HCVF perlu dibuatkan penyangga yang tidak ditebang dan tidak digarap

tumpangsari/PHBM; bila memungkinkan dibuat koridor dari Gunung Lawu ke petak-petak hutan di sekitarnya.

19. RPH Soko Sedang Ancaman degrdasi

habitat

Petak hutan (patch) ditetapkan sebagai HCVF; petak HCVF perlu dibuatkan penyangga yang tidak ditebang dan tidak digarap tumpangsari/PHBM; bila memungkinkan dibuat koridor ke petak-petak hutan di sekitarnya

20. RPH Cabak Sedang Ancaman degrdasi

habitat

Petak hutan (patch) ditetapkan sebagai HCVF ; CA Cabak perlu dibuatkan penyangga untuk memperluas habitat macan tutul;

21. BKPH Ngandang-BKPH Sale

Sedang Ancaman degrdasi

habitat

Petak hutan (patch) ditetapkan sebagai HCVF; petak HCVF perlu dibuatkan penyangga yang tidak ditebang dan tidak digarap tumpangsari/PHBM; bila memungkinkan dibuat koridor ke petak-petak hutan di sekitarnya.


(5)

Lampiran 5. Lokasi indikasi sebaran macan tutul jawa menurut kelas pemanfaatan,

kelas kerawanan dan kelas kesesusaian habitatnya di Jawa Tengah.

No. Lokasi Indikasi Macan Tutul Jawa Kelas Pemanfaatan Kelas Kerawanan Kelas Kesesuaian

Kategori Skor Kategori Skor Kategori Skor

1 RPH Mandirancan – RPH Kebasen Sedang 3.17-5.83 Sedang: 0.63-1.07 Sedang: 3.8-6.9

2 RPH Tunjungmuli Tinggi 5.83-8.50 Sedang 0.63-1.07 Tinggi 6.9-10

3 RPH Pesahangan Tinggi 5.83-8.50 Tinggi: 0.20-0.63 Tinggi 6.9-10

4 RPH Mejenang Tinggi 5.83-8.50 Tinggi 0.20-0.63 Tinggi 6.9-10

5 RPH Cimanggu Tinggi 5.83-8.50 Tinggi 0.20-0.63 Tinggi 6.9-10

6 Cagar Alam Nusakambangan Tinggi 5.83-8.50 Tinggi 0.20-0.63 Tinggi 6.9-10

7 RPH Pringombo Tinggi 5.83-8.50 Sedang 0.63-1.07 Tinggi 6.9-10

8 RPH Karangsambung Sedang 3.17-5.83 Sedang 0.63-1.07 Sedang 3.8-6.9

9 RPH Kwadungan Sedang 3.17-5.83 Rendah 1.07-1.50 Sedang 3.8-6.9

10 RPH Kemloko - RPH Kecepit Sedang 3.17-5.83 Rendah 1.07-1.50 Sedang 3.8-6.9

11 RPH Gempol Tinggi 5.83-8.50 Rendah 1.07-1.50 Tinggi 6.9-10

12 Taman Nasional Merapi Rendah 0.5-3.17 Rendah 1.07-1.50 Rendah 0.70-3.8

13 Taman Nasional Merbabu Tinggi 5.83-8.50 Rendah 1.07-1.50 Tinggi 6.9-10

14 RPH Kenjuran Tinggi 5.83-8.50 Rendah 1.07-1.50 Tinggi 6.9-10

15 BKPH Lawu Utara - BKPH Lawu Selatan Tinggi 5.83-8.50 Rendah 1.07-1.50 Tinggi 6.9-10

16 RPH Karangwinong Sedang 3.17-5.83 Tinggi 0.20-0.63 Sedang 3.8-6.9

17 BKPH Sambirejo Sedang 3.17-5.83 Tinggi 0.20-0.63 Sedang 3.8-6.9

18 RPH Soko Tinggi 5.83-8.50 Tinggi 0.20-0.63 Sedang 3.8-6.9

19 RPH Cabak Tinggi 5.83-8.50 Tinggi 0.20-0.63 Sedang 3.8-6.9

20 BKPH Ngandang-BKPH Sale Tinggi 5.83-8.50 Tinggi 0.20-0.63 Sedang 3.8-6.9

21 Bagian Hutan Muria Sedang 3.17-5.83 Rendah 1.07-1.50 Sedang 3.8-6.9

22 RPH Darupono Tinggi 5.83-8.50 Tinggi 0.20-0.63 Sedang 3.8-6.9

23 RPH Besokor Rendah 0.5-3.17 Tinggi 0.20-0.63 Rendah 0.70-3.8

24 RPH Jatisari Utara Tinggi 5.83-8.50 Tinggi 0.20-0.63 Sedang 3.8-6.9

25 RPH Brondong Sedang 3.17-5.83 Tinggi 0.20-0.63 Sedang 3.8-6.9

26 RPH Pedagung Sedang 3.17-5.83 Tinggi 0.20-0.63 Sedang 3.8-6.9

27 RPH Paninggaran Tinggi 5.83-8.50 Tinggi 0.20-0.63 Tinggi 6.9-10

28 RPHWinduaji Tinggi 5.83-8.50 Tinggi 0.20-0.63 Tinggi 6.9-10

29 RPH Jolotigo Sedang 3.17-5.83 Tinggi 0.20-0.63 Sedang 3.8-6.9

30 RPH Lemah Abang Sedang 3.17-5.83 Tinggi 0.20-0.63 Sedang 3.8-6.9

31 RPH Winduasri Tinggi 5.83-8.50 Sedang 0.63-1.07 Tinggi 6.9-10

32 RPH Indrajaya Tinggi 5.83-8.50 Tinggi 0.20-0.63 Sedang 3.8-6.9

33 RPH Cikuning Sedang 3.17-5.83 Sedang 0.63-1.07 Sedang 3.8-6.9

34 RPH Kretek Tinggi 5.83-8.50 Sedang 0.63-1.07 Tinggi: 6.9-10

35 RPH Sirampok Tinggi 5.83-8.50 Sedang 0.63-1.07 Tinggi 6.9-10

36 RPH Kalikidang Tinggi 5.83-8.50 Sedang 0.63-1.07 Tinggi 6.9-10

37 RPH Igiriklanceng Tinggi 5.83-8.50 Sedang 0.63-1.07 Tinggi 6.9-10


(6)

No. Lokasi Indikasi Macan Tutul Jawa Kelas Pemanfaatan Kelas Kerawanan Kelas Kesesuaian

Kategori Skor Kategori Skor Kategori Skor

39 RPH Guci Tinggi 5.83-8.50 Sedang 0.63-1.07 Tinggi 6.9-10

40 RPH Karangsari Tinggi 5.83-8.50 Sedang 0.63-1.07 Tinggi 6.9-10

41 RPH Kalibakung Tinggi 5.83-8.50 Tinggi 0.20-0.63 Tinggi 6.9-10

42 RPH Moga Tinggi 5.83-8.50 Sedang 0.63-1.07 Tinggi 6.9-10

43 RPH Cipero – RPH Dukuhrandu Tinggi 5.83-8.50 Tinggi 0.20-0.63 Sedang 3.8-6.9

44 RPH Mangunsari Tinggi 5.83-8.50 Sedang 0.63-1.07 Tinggi 6.9-10

45 RPH Kenyere Tinggi 5.83-8.50 Sedang 0.63-1.07 Tinggi 6.9-10

46 RPH Lobongkok Sedang 3.17-5.83 Tinggi 0.20-0.63 Sedang 3.8-6.9

47 RPH Kejene Tinggi 5.83-8.50 Sedang 0.63-1.07 Tinggi 6.9-10