dikembangkan dengan mengaplikasikan sistem pendidikan keterampilan Depag RI, 2003.
Pengelompokkan pesantren tersebut kemudian dirinci Daulay 2007 ke dalam pola pesantren yang terdiri dari lima pola. Pesantren yang menerapkan pola
I dan II merupakan pola pesantren salafi. Sedangkan pola III, IV, dan V termasuk pola pesantren khalafi. Pesantren pola I merupakan pesantren yang masih terikat
kuat dengan dengan sistem pendidikan Islam sebelum zaman pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren pola II tidak jauh berbeda dengan
pesantren pola I, hanya saja dalam pola II sistem yang digunakan adalah sistem klasikal, pengetahuan seseorang tidak diukur dari sejumlah kitab-kitab yang telah
dipelajarinya. Pesantren yang menerapkan pola III, IV, dan V merupakan jenis pesantren khalafi. Pesantren pola III adalah pesantren yang menyelenggarakan
pendidikan formal yang berciri Islam seperti MA Madrasah Aliyah dan MTs Madrasah Tsanawiyah. Pesantren pola IV, pesantren yang mengutamakan
pengajaran ilmu-ilmu keterampilan di samping ilmu-ilmu agama dan bentuk pendidikannya adalah nonformal. Pesantren pola V, merupakan pesantren yang
mengintegrasikan sistem pendidikan pada pesantren pola III dan pola IV.
2.1.2 Pendidikan Wirausaha Agribisnis di Pesantren
Pemaknaan pendidikan pesantren terdahulu hanya sebagai pusat pendidikan Islam yang bertempat langgar masjid atau rumah sang guru, di mana
murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari agar tidak mengganggu
pekerjaan orang tua sehari-hari. Akan tetapi, dari tempat-tempat pendidikan Islam no
nformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren
” Zuhairini, 1997. Dalam perkembangannya, pesantren banyak mengalami perubahan terutama pada sistem pendidikannya. Proses modernisasi
pesantren adalah upaya dalam menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Pondok pesantren saat ini mempunyai kecenderungan baru
kemudian beliau guru akan memberikan komentar dan bimbingan yang dianggap perlu oleh santri. Depag RI, 2003.
2 Metode bandongan atau wetonan adalah cara penyampaian kitab kuning dimana seorang ustadz, kyai membacakan dan menjelaskan isi ajaran kitab kuning, sementara santri
mendengarkan, memaknai, dan menerima. Ibid.
dalam rangka renovasi sistem pendidikan yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan dapat dilihat di pesantren modern antara lain adanya
metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program, kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah
dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat Hasbullah, 2006. Salah satu bentuk renovasi pendidikan di pesantren adalah diterapkannya
pendidikan yang mengajarkan peserta didik santri tentang keterampilan dan berwirausaha. Pendidikan tersebut di pesantren dikenal dengan pendidikan
wirausaha kejuruan.
Pendidikan keterampilan
kejuruan wirausaha
dikembangkan di pondok pesantren untuk kepentingan dan kebutuhan para santri sebagai modal menjadi pengusaha yang mandiri, berkompeten, dan
berkepribadian Islam Depag RI, 2003. Sedangkan menurut Sudrajat 2001 pendidikan wirausaha bertujuan untuk membentuk manusia secara utuh holistik,
sebagai insan yang memiliki karakter, pemahaman dan keterampilan sebagai wirausaha. Tujuan pendidikan wirausaha tersebut selaras dengan tujuan
pendidikan pesantren menurut Mastuhu 1994, yaitu untuk menumbuhkan dan mengembangkan kepribadian muslim, yakni kepribadian yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat seperti halnya
seorang Rasul, mampu berdiri sendiri, bebas, dan teguh dalam keyakinan, menyebarkan agama Islam ke tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu
dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Pendidikan wirausaha terintegrasi dalam proses pembelajaran. Artinya,
pendidikan wirausaha merupakan penginternalisasian nilai-nilai kewirausahaan kedalam pembelajaran sehingga hasil yang diperoleh adalah kesadaran akan
pentingnya nilai-nilai, terbentuknya karakter wirausaha, dan pembiasaan nilai- nilai kewirausahaan ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari. Pada
dasarnya kegiatan pembelajaran wirausaha, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk
menjadikan peserta didik mengenal, menyadari, dan menginternalisasi nilai-nilai kewirausahaan serta menjadikannya perilaku Sudrajat, 2011.
Pendidikan wirausaha yang diterapkan di pesantren lebih banyak mengarahkan pada bidang agribisnis. Karena lokasi pesantren yang mayoritas
berada di daerah pedesaan. Sebagaimana yang disebutkan Depag RI, 2003, mengenai ketersediaan lahan yang menjadi modal dalam penerapan pendidikan
wirausaha agribisnis dan adanya dukungan pemerintah dalam pengembangan perekonomian pedesaan melalui hasil-hasil pertaniannya. Pendidikan wirausaha
agribisnis tersebut meliputi pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan, dan perkebunan.
Jenis pendidikan pesantren yang menitikberatkan pada aspek keterampilan merupakan jenis pendidikan nonformal. Makna pendidikan pesantren yang
nonformal oleh Mastuhu 1994 merupakan komplemen dan suplemen pada keterampilan dan kemampuan yang telah dimiliki oleh anak didik agar lebih
mampu melayani kebutuhan yang semakin meningkat sehubungan dengan semakin kompleksitasnya tantangan pekerjaan yang dihadapinya. Dari makna
pendidikan pesantren tersebut, maka pendidikan pesantren nonformal lebih mengacu pada sistem pendidikan orang dewasa. Sistem pendidikan ini
didefinisikan Darkenwald dan Merriam 1982 dalam Mugniesyah 2006 bukan hanya sebagai pendidikan dewasa yang menyiapkan orang untuk hidup, tetapi
lebih kepada membantu orang dewasa untuk hidup lebih berhasil. Karenanya pendidikan orang dewasa dimaksudkan untuk membantu orang dewasa dalam
meningkatkan kompetensi. Pendidikan orang dewasa menurut Torrens Valley Institute 1997 dalam
Mugniesyah 2006 mempunyai tujuh prinsip dalam proses belajar mengajar yaitu Pertama, prinsip belajar aktif yang merupakan prinsip belajar mengajar dimana
peserta didik akan belajar lebih cepat dan efektif jika mereka dilibatkan dalam proses belajar secara efektif atau
“learning by doing”. Kedua, prinsip materi belajar bermakna, peserta didik akan efektif jika dapat menghubungkan materi
pelajaran yang dipelajarinya dengan pengetahuan yang mereka miliki. Ketiga, prinsip belajar multi-indera, yaitu metode belajar yang akan efektif jika
menggunakan dua atau lebih indera. Keempat, prinsip kesan pertama dan terakhir, kecenderungan peserta didik dalam mengingat sesuatu yang mereka pelajari
adalah pada waktu pertama dan terakhir pengajaran. Kelima, prinsip praktek dan
penguatan, proses belajar mengajar akan efektif jika penerapan keterampilan dan pengetahuan dilakukan secara lebih sering. Keenam, prinsip umpan balik, belajar
efektif akan terdorong jika pendidik dan peserta didik pembelajar berbagi umpan balik satu sama lain. Prinsip terakhir adalah prinsip imbalan reward, pemberian
imbalan kepada peserta didik dalam proses belajar mengajar.
2.1.3 Santri dan Karakteristiknya