Taksonomi Hasil Belajar Hasil Belajar

kualitas pembelajaran dapat dilihat dari hasil penilaiannya. Sistem penilaian yang baik akan mendorong guru untuk menggunakan strategi belajar yang baik dan mampu memotivasi siswa untuk belajar lebih baik. Menurut Sudjana 2009 : 9 mengatakan bahwa penilaian hasil belajar harus dilakukan senantiasa atau setiap saat terjadi proses pembelajaran. Penilaian hasil belajar yang berkesinambungan akan memberikan hasil penlilaian yang teratur.

2.1.2.2. Taksonomi Hasil Belajar

Purwanto 2009 : 50-51 mengungkapkan taksonomi hasil belajar ada 3 yaitu, hasil belajar kognitif, hasil belajar afektif, dan hasil belajar psikomotorik. Hasil belajar kognitif adalah perubahan perilaku yang terjadi dalam kawasan kognisi. Proses belajar yang melibatkan kognisi meliputi kegiatan menerima stimulus eksternal, penyimpanan dan pengolahan data di otak hingga penggunaan kembali hasil olahan data untuk menyelesaikan masalah. Hasil belajar kognitif tidak merupakan kemampuan tunggal, karena perubahan perilaku kognitif meliputi beberapa tingkat atau jenjang. Para ahli seperti Bloom megklasifikasikan tingkatan dalam ranah kognitif, diantaranya : hafalan knowledge, pemahaman comprehension, penerapan application, analisis analysis, evaluasi evaluation. Tarlinton, Anderson dan Krathwohl dalam Supratiknya, 2012 : 8 merevisi taksonomi hasil belajar kognitif miliknya Bloom, yaitu : menghilangkan tahap kelima yaitu sintesis, kemudian mengeser tahap keenam evaluasi dan menambahkan tahap mencipta menjadi tahap keenam. Selain itu dalam revisi Anderson dan Krathwohl juga mencakup dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif. Krathwohl dalam Purwanto 2009 : 51 - 52 membagi hasil belajar afektif menjadi 5 tingkatan yaitu penerimaan, partisipasi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Penerimaan adalah kesedian memberikan perhatian pada rangsangan yang datang. Partisipasi adalah kesedian memberikan respon dengan bentuk partisipasi. Penilaian adalah kesedian menentukan pilihan sebauh nilai untuk rangsangan. Organisasi adalah kesediaan mengelompokkan nilai-nilai yang dipilih sebagai pedoman yang mantap dalam perilaku. Internalisasi nilai adalah menjadikan pengelompokan nilai bukan hanya sekedar menjadi pedoman tetapi sebagai bagian dalam diri individu tersebut. Supratiknya 2012 : 12 - 14 mengacu pada taksonomi tahap afektif milik Krathwohl, Bloom, dan Masia. Taksonomi ini mengelompokan emosi aau perasaan siswa terhadap penggalaman belajar mereka baik di dalam maupun di luar kelas, atau cara siswa menanggapi orang, benda, atau situasi dengan menggunakan perasaan. Tahapan taksonomi hasil belajar afektif tersebut meliputi : menginternalisasi nilai-nilai, mengorganisaasikan nilai-nilai, memberikan nilai atau memandang bernilai, memberikan respon terhadap fenomena tertentu, menerima fenomena tertentu. Harrow dalam Purwanto 2009 : 52 - 53 membagi hasil belajar psikomotorik menjadi 6, yaitu : gerak refleks, gerak fundamental, kemampuan perseptual, kemampuan fisis, gerakan keterampilan, dan komunikasi tanpa kata. Sedangkan menurut Simpson dalam Purwanto 2009 membagi hasil belajar psikomotorik menjadi 6, yaitu : persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, dan kreativitas. Taksonomi ranah psikomotor mencakup kemampuan menggunakan aneka keterampilan motor, koordinasi, dan gerakan fisik. Pengembangan keterampilan ini harus dilakukan praktik atau latihan, dan hasilnya dapat diukur dari peningkatan kecepatan, ketepatan, jarak, prosedur, atau teknik dalam melaksanakan tugas atau aktivitas motor tertentu. Taksonomi ranah psikomotorik ini hanya bisa dikembangkan oleh timnya Bloom secara terbatas, karena tim Bloom tidak memiliki pengalaman mengajarkan ranah keterampilan psikomotorik ini. Namun, ada ahli lain yang lebih ahli di binang ini, yaitu Simpson. Simpson mengembangkan taksonomi ranah psikomotorik yang mencakup tujuh kategori untuk menuntaskan gagasan Bloom dan kawan-kawan Supratiknya, 2012 : 7 - 23. Taksonomi tujuan pengajaran ranah kognitif menurut Simpson yaitu : mampu menghasilkan gerakan baru, mampu beradaptasi, mampu melakukan respon kompleks secara lancar, mampu melaksanakan respon secara mekanik, mampu melakukan respon tertentu dengan bimbingan guru, memiliki kesiapan untuk bertindak, mampu mempresepsikan. Dari kedua ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki taksonomi hasil belajar yang sama. Isi taksonomi hasil belajar mereka juga hampir mirip, namun ada beberapa hal yang berbeda. Seperti pada ranah kognitif dalam Purwanto tidak ada tahapan mencipta namun, dalam Supratiknya ada tahapan mencipta dan menghilangkan tahap sintesis.

2.1.2.3. Prinsip-prinsip dasar evaluasi hasil belajar