Model Alternatif Metode Analisis Data

akan mempunyai e dengan varians yang konstan. Untuk mengatasi terjadinya heteroskedastisitas yang terdapat dalam model, dapat dilakukan transformasi ke dalam bentuk logaritma. Transformasi model dalam bentuk logaritma dapat mengurangi masalah heteroskedastisitas, hal ini disebabkan karena transformasi yang memampatkan skala untuk pengukuran variabel, mengurangi perbedaan nilai dari sepuluh kali lipat menjadi perbedaan dua kali lipat Gujarati, 1991. Model produksi beras yang diperoleh dengan mentransformasi model dalam bentuk logaritma natural adalah: Ln-PBt = a + a 1 ln-LPt + a 2 ln-HGt + a 3 ln-PUt + a 4 ln-CHt + e t Model ekspor beras yang diperoleh dengan mentransformasi model dalam bentuk logaritma natural adalah: Ln Xt = a + a 1 ln-PBt + a 2 ln-ERt + a 3 ln-HEt + a 4 ln-CPt + e t Manfaat tambahan dari transformasi logaritma bahwa koefisien kemiringan a i mengukur elastisitas variabel endogen terhadap variabel eksogen, yaitu persentase perubahan dalam variabel endogen untuk persentase perubahan dalam variabel eksogen.

V. POTENSI PRODUKSI DAN EKSPOR BERAS

5.1 Kondisi Perberasan Indonesia

Indonesia merupakan negara agraris sehingga sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah sebagai petani. Hal ini didukung oleh keadaan alam indonesia yang sangat potensial dijadikan lahan pertanian untuk komoditi pertanian daerah tropis. Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam tatanan perekonomian Indonesia karena sesuai dengan predikat Indonesia sebagai negara agraris. Hal itu terbukti pada saat Indonesia mengalami krisis multidimensional hanya sektor pertanian yang mampu survive bahkan mampu menjadi penyangga sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki peranan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peranan penting sektor pertanian di dalam perekonomian Indonesia adalah terutama dalam bentuk penyediaan kesempatan kerja dan kontribusinya terhadap pembentukan PDB dan ekspor Tambunan, 2003. Oleh karena itu sektor petanian merupakan suatu sektor penting yang harus dipertahankan dan dikembangkan di Indonesia. Indonesia menyandang predikat sebagai negara produsen beras terbesar ke tiga di dunia Sawit, 2006. Hal ini didukung oleh potensi alam, iklim, dan topografi yang sangat potensial untuk dilakukannya usahatani padi di Indonesia. Selain itu menurut Rachman et al., 2004, Indonesia juga memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam memproduksi beras. Dari sisi usahatani, produktivitas padi per hektar Indonesia merupakan yang tertinggi setelah China, sementara dari sisi biaya produksi per kilogram, usahatani padi Indonesia termasuk yang efisien, yaitu sekitar Rp.688 per kg beras atau setara dengan US 81 per ton kurs 1 US = Rp.8500. Dengan biaya usahatani yang relatif rendah dan produktivitas per hektar yang relatif tinggi, maka usahatani padi Indonesia cukup kompetitif dibandingkan dengan negara- negara penghasil beras lainnya. Luas pertanaman padi di Indonesia diperkirakan mencapai 11–12 juta ha, yang tersebar di berbagai tipologi lahan seperti sawah 5,10 juta ha, lahan tadah hujan 2,10 juta ha, ladang 1,20 juta ha, dan lahan pasang surut. Lebih dari 90 produksi beras nasional dihasilkan dari lahan sawah Badan Pusat Statistik 2000, dan lebih dari 80 total areal pertanaman padi sawah telah ditanami varietas unggul Badan Pusat Statistik, 2000. Dari sisi ketersediaan lahan, menurut Hutapea dan Mashar 2003, lahan kering yang tersedia di Indonesia pada saat ini sebesar 11 juta hektar yang sebagian besar berupa lahan tidur dan lahan marginal sehingga tidak produktif untuk tanaman pangan. Di Pulau Jawa yang padat penduduk, rata-rata pemilikan lahan usaha tani berkisar hanya 0,2 haKK petani. Namun, banyak pula lahan tidur yang terlantar. Ada 300.000 ha lahan kering terbengkalai di Pulau Jawa dari kawasan hutan yang menjadi tanah kosong terlantar. Luas lahan pasang surut dan Lebak di Indonesia diperkirakan mencapai 20,19 juta hektar dan sekitar 9,5 juta hektar berpotensi untuk pertanian serta 4,2 juta hektar telah di reklamasi untuk pertanian Ananto, E.,2002 dalam Hutapea dan Mashar 2003. Hal ini mengindikasikan bahwa masih banyak potensi alam Indonesia yang belum dimanfaatkan secara optimal.