UPAYA PEMBERDAYAAN SENI DI KAMPUNG RAMAH ANAK RW 20, GENDENG, KELURAHAN BACIRO, GONDOKUSUMAN, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

(1)

UPAYA PEMBERDAYAAN SENI DI KAMPUNG RAMAH ANAK RW 20, GENDENG, KELURAHAN BACIRO, GONDOKUSUMAN, PROVINSI

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh :

Elysabeth Ervina Rahayu Kartika Ningrum NIM 11102241004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

ii

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi yang berjudul “Upaya Pemberdayaan Seni di Kampung Ramah Anak RW 20, Gendeng, Kelurahan Baciro, Gondokusuman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” yang disusun oleh Elysabeth Ervina Rahayu Kartika Ningrum NIM 11102241004 ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diujikan.

Yogyakarta, 15 Oktober 2015 Pembimbing

Dr. Sugito, M.A


(3)

iii

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang telah lazim.

Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam halaman pengesahan adalah asli. Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada periode berikutnya.

Yogyakarta, 15 Oktober 2015 Yang menyatakan,

Elysabeth Ervina R.K.N NIM 11102241004


(4)

iv

PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “UPAYA PELESTARIAN KESENIAN DI KAMPUNG

RAMAH ANAK RW 20, GENDENG, KELURAHAN BACIRO,

GONDOKUSUMAN, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA” yang disusun oleh Elysabeth Ervina Rahayu Kartika Ningrum, NIM 11102241004 ini telah dipertahankan di sepan Dewan Penguji pada tanggal 23 Oktober 2015 dan dinyatakan lulus.

DEWAN PENGUJI

Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal

Dr. Sugito, M.A Ketua Penguji ……….. ………

Dr. Puji Yanti Fauziah, M.Pd Sekretaris Penguji ……….. ……… Dr. Sugeng Bayu Wahyono, M.Pd Penguji Utama ……….. ………

Yogyakarta,……….. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Dekan,

Dr. Haryanto, M.Pd


(5)

v MOTTO

 Barangsiapa setia dalam perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara-perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar

(Lukas 16:10)  Pendidikan bisa memberi anda keahlian, tetapi pendidikan budaya mampu

memberi anda martabat

(Ellen Key)  Jalani hari-hari dengan baik, apapun yang diberikan apapun harus dikerjakan,

lakukanlah dengan sebaik-baiknya dengan usaha terbaikmu


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Segala Puji dan Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, akhirnya perjalanan ini telah sampai pada jenjang pendidikan yang tinggi. Skripsi ini saya persembahkan untuk:

1. Kedua orang tuaku, Bapak Sukamto Wigyo Sumarto dan Ibu Inok Sullarni atas kasih sayang, didikan, dan doa yang selalu beliau berikan untuk anak-anaknya.

2. Almamater tercinta Universitas Negeri Yogyakarta terkhusus Jurusan Pendidikan Luar Sekolah.


(7)

vii

UPAYA PEMBERDAYAAN SENI DI KAMPUNG RAMAH ANAK RW 20, GENDENG, KELURAHAN BACIRO, GONDOKUSUMAN, PROVINSI

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Oleh

Elysabeth Ervina Rahayu Kartika Ningrum NIM 11102241004

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: 1) upaya yang di lakukan oleh pekerja sosial masyarakat dalam memberdayakan kesenian di Kampung Ramah Anak RW 20, Gendeng, Kelurahan Baciro, Gondokusuman, Yogyakarta, 2) faktor-faktor penghambat dan pendukung yang di alami pekerja sosial masyarakat dalam membentuk kampung ramah anak dengan adanya perbedaan status sosial, 3) hasil upaya yang di lakukan pekerja sosial masyarakat dalam memberdayakan kesenian budaya melalui program kampung ramah anak.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dan mengambil lokasi di Kampung Ramah Anak RW 20, Gendeng, Baciro, Gondokusuman, Yogyakarta. Subyek dalam penelitian ini adalah pekerja sosial masyarakat Kampung Ramah Anak RW 20. Pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Peneliti merupakan instrumen utama dalam melakukan penelitian, yang dibantu dengan pedoman observasi, dokumentasi, dan wawancara. Teknik yang digunakan dalam melakukan analisis data adalah reduksi data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan. Keabsahan data yang dilakukan untuk menjelaskan data dengan menggunakan triangulasi sumber.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) upaya pekerja sosial RW 20 dalam memberdayakan kesenian di Kampung Ramah Anak RW 20 meliputi: mendirikan stan pendaftaran kesenian, menampilkan karya tari dan hasil lukisan dari Sanggar Angsa Putih yang diselenggarakan oleh RW 20, dan mengajak anak-anak melihat proses pelaksanaan latihan menari, melukis, dan drama. 2) faktor penghambat dari upaya pemberdayaan seni di Kampung Ramah Anak RW 20, Gendeng, Baciro, Gondokusuman, Yogyakarta adalah orangtua belum sepenuhnya mendorong dan mengarahkan anak-anaknya untuk belajar menari di sanggar tari Angsa Putih, kurang adanya rasa kepercayaan diri dalam diri anak-anak ketika mengikuti latihan tari, lukis atau drama, dan pengaruh perkembangan budaya barat yang sedang mewabah pada generasi muda di RW 20. Faktor pendukung adalah Anak-anak dan remaja semakin banyak yang tertarik dan berminat untuk belajar seni di sanggar tari Angsa Putih, dan pekerja sosial dan warga masyarakat RW 20 yang kompak, bekerjasama membantu memfasilitasi seluruh program kegiatan Kampung Ramah Anak RW 20.


(8)

viii

KATA PENGANTAR Salam sejahtera,

Segala Puji dan Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan kasih karunia dan hikmat-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Upaya Pemberdayaan Seni di Kampung Ramah Anak RW 20, Gendeng, Kelurahan Baciro, Gondokusuman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

Selama menyusun skripsi ini, penulis banyak mendapat dukungan serta bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan rekomendasi sehingga mempermudah proses perizinan penelitian.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kelancaran dan kemudahan di dalam proses penyelesaian penelitian ini.

3. Bapak Dr. Sugito, M.A, selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingan, kesabaran, masukan dan saran yang telah diberikan selama penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Puji Yanti Fauziah, M.Pd, selaku Penasehat Akademik yang telah memberikan bimbingan akademik disela-sela waktunya.


(9)

ix

5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan bekal ilmu dalam penyusunan skripsi ini.

6. Pengurus RW 20 dan Pengelola Kampung Ramah Anak RW 20, Gendeng, Kelurahan Baciro, Gondokusuman, Yogyakarta serta seluruh pekerja sosial yang telah memberikan izin penelitian dan bantuan dalam penelitian ini. 7. Eyang Uti, Papa dan Mamaku, serta seluruh keluargaku tercinta yang selalu

dengan sabar memberikan motivasi, dukungan, bantuan moral/materi, doa, kasih sayang dan waktunya disela-sela kesibukannya.

8. Adikku, Elva Christina Titi Mulyani yang menjadi alasan bagi penulis untuk berusaha menjadi kakak yang membanggakan dan patut dicontoh.

9. Masse Prihatinto yang selalu memberikan semangat dan memberikan banyak bantuan untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Ibu Retno, Bapak Anto dan Bapak Kasmin yang selalu memberikan kemudahan dan semangat dalam melakukan penelitian di Kampung Ramah Anak RW 20, serta informasi dan sharing yang telah dibagikan.

11. Seluruh teman-teman mahasiswa PLS 2011, PMK UNY, Keluarga F48ulous, dan Sanggar Tari Yayasan Siswo Ameng Beksa yang selalu memberikan dukungan dan semangat.

12. Seluruh teman-teman kos Wisma Kertonegaran, sahabat Maria Gorety, Agustina Ekwin, Chahya Rosyana, Geng Sondesip; Revi, Aini, Ulfi dan Rayyan yang selalu mendukung dan menemani dalam penyusunan skripsi.


(10)

x

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan skripsi ini.

Oleh karena itu dengan keterbatasan yang ada, penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhirnya penulis berharap, semoga karya kecil ini dapat member manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi kita semua.

Salam sejahtera

Yogyakarta, 15 Oktober 2015 Penulis,

Elysabeth Ervina R.K.N NIM.11102241004


(11)

xi DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori ... 11

1. Budaya Lokal ... 11

2. Modernisasi sebagai Akibat dari Arus Globalisasi di Indonesia ... 14

3. Pelestarian Budaya Lokal ... 20

4. Sanggar Tari ... 26

5. Latar Belakang dan Tujuan Kampung Ramah Anak ... 29

6. Indikator Kampung Ramah Anak ... 38

7. Program Kegiatan Kampung Ramah Anak ... 44


(12)

xii

9. Pemberdayaan Masyarakat ... 49

10. Pemberdayaan Seni ... 52

B. Penelitian yang Relevan ... 55

C. Kerangka Berpikir ... 57

D. Pertanyaan Penelitian ... 60

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 61

B. Subjek dan Objek Penelitian ... 61

C. Waktu dan Tempat Penelitian ... 63

D. Jenis dan Sumber Data ... 64

E. Metode Pengumpulan Data ... 64

F. Teknik Analisis Data ... 68

G. Keabsahan Data... 69

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Kampung Ramah Anak RW 20 ... 70

1. Setting Penelitian ... 70

2. Tugas, Visi dan Misi Kampung Ramah Anak RW 20 ... 71

3. Struktur Organisasi ... 73

4. Indikator Kampung Ramah Anak RW 20 ... 73

5. Program Pelayanan Sosial dan Kesejahteraan Anak di Kampung Ramah Anak RW 20 ... 73

6. Sarana dan Prasarana ... 78

7. Kemitraan ... 79

B. Hasil Penelitian ... 79

1. Sejarah dan Perkembangan Sanggar Tari Angsa Putih RW 20, Gendeng, Baciro, Gondokusuman, Yogyakarta ... 79

2. Upaya Pekerja Sosial dalam Memberdayakan Seni di Kampung Ramah Anak RW 20 ... 91

3. Faktor-faktor Penghambat dan Pendukung yang dialami Pekerja Sosial RW 20 dalam Membentuk Kampung Ramah Anak Berbasis Budaya Lokal dan Kesehatan Lingkungan ... 101


(13)

xiii

4. Hasil Upaya Pekerja Sosial RW 20 dalam Memberdayakan Kesenian

melalui Kampung Ramah Anak ... 108

C. Pembahasan ... 111

1. Sejarah dan Perkembangan Sanggar Tari Angsa Putih RW 20, Gendeng, Baciro, Gondokusuman, Yogyakarta ... 111

2. Upaya Pekerja Sosial dalam Memberdayakan Kesenian di Kampung Ramah Anak RW 20 ... 124

3. Faktor-faktor Penghambat dan Pendukung yang dialami Pekerja Sosial RW 20 dalam Membentuk Kampung Ramah Anak Berbasis Budaya Lokal dan Kesehatan Lingkungan ... 130

4. Hasil Upaya Pekerja Sosial RW 20 dalam Memberdayakan Kesenian melalui Kampung Ramah Anak ... 142

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 146

B. Saran ... 150

DAFTAR PUSTAKA ... 154


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar 1. Kerangka Berpikir... ... 59


(15)

xv

DAFTAR TABEL

Hal Tabel 1. Data Informan ... 62 Tabel 2. Cara Pengumpulan Data... 67


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1. Pedoman Observasi ... 159

Lampiran 2. Pedoman Wawancara ... 160

Lampiran 3. Pedoman Dokumentasi ... 162

Lampiran 4. Catatan Lapangan ... 163

Lampiran 5. Catatan Wawancara ... 193

Lampiran 6. Reduksi, Display, dan Kesimpulan Hasil Wawancara ... 217

Lampiran 7. Dokumentasi ... 235

Lampiran 8. Struktur Organisasi ... 238

Lampiran 9. Indikator Kampung Ramah Anak RW 20 ... 241


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Saat ini seluruh negara di dunia sedang ada di dalam jaman perkembangan dunia teknologi dan informasi yang semakin modern serta di lengkapi dengan berbagai kemudahan dan fasilitas-fasilitas yang semakin mudah di jangkau oleh manusia, seperti contohnya pada perkembangan handphone atau telepon genggam, fungsi handphone tidak lagi seperti fungsi-fungsi handphone pada jaman sebelum merdeka, handphone sekarang di lengkapi dengan fitur-fitur yang canggih seperti fasilitas wifi yang bisa di gunakan untuk mengambil gambar dengan hanya menyambungkan wifi yang ada di handphone dan wifi yang ada di kamera digital. Hal seperti itu hanya sebagian kecil contoh perkembangan teknologi dibandingkan dengan fasilitas modern yang ada di seluruh dunia ini.

Di lihat dari perilaku anak-anak akhir-akhir ini, anak lebih cenderung tertarik dengan hal-hal yang terkait dengan teknologi, hal ini di buktikan dari tingginya jumlah anak yang tertarik menonton televisi dan video game di banding anak yang tertarik budaya tradisional seperti melukis, menari, bermain teater dan kegiatan lainnya yang lebih produktif.

Kemajuan teknologi juga mempercepat proses penyebaran budaya asing karena anak akan sangat mudah dapat meniru budaya tersebut. Pengaruh dari budaya asing tersebut dapat mudah kita temui di dalam kehidupan sehari-hari misalnya pada perkembangan fashion, gaya bicara , dan tingkah laku seseorang. Kondisi seperti itu, menunjukkan bahwa globalisasi sangat berpengaruh pada kebudayaan lokal di Indonesia. Kebudayaan sangatlah penting bagi suatu bangsa, sebab kebudayaan adalah jati diri dan identitas dari suatu negara. Kebudayaan mencerminkan kekhasan dari


(18)

2

suatu budaya daerah tersebut, itulah sebabnya kebudayaan menjadi sangat penting bagi diri sendiri, masyarakat dan negara supaya nantinya kebudayaan dapat kita wariskan kepada anak cucu kita.

Kebudayaan mempunyai peran penting bagi kehidupan manusia dan masyarakat, karena manusia dan masyarakat hidup di dunia mau tidak mau harus menghadapi kekuatan alam yang tidak selalu baik dengan manusia seperti bencana alam dan kondisi alam. Apabila kita sebagai manusia dapat mempertahankan diri dan menyesuaikan diri dengan alam serta hidup damai dengan sesama manusia lainnya, maka akan timbul keinginan dan perasaan yang ingin di salurkan melalui kegiatan kesenian. Hal ini diperkuat oleh Soerjono Soekanto (2011) menjelaskan bahwa :

“Pentingnya kebudayaan bagi manusia dan suatu kelompok adalah untuk melindungi dari alam dan mengatur tindakan manusia maksudnya adalah manusia hidup berdampingan dengan budaya dan budaya itu mempunyai norma, adat istiadat serta aturan kaidah yang berfungsi untuk mengatur bagaimana manusia bertindak dan berperilaku di lingkungan masyarakat”. Perkembangan teknologi dan informasi yang begitu pesat, masyarakat Indonesia cenderung melupakan warisan budaya lokal yang ada di daerahnya yang mungkin merupakan ciri khas dari daerah tersebut. Kurangnya perhatian masyarakat dalam pelestarian dan pengembangan budaya lokal juga merupakan faktor yang mempercepat penyebaran budaya asing dan adanya sebagian besar masyarakat tidak menghargai budaya lokal yang ada di daerahnya sehingga dapat dengan mudah budaya tersebut di klaim oleh negara lain seperti negara Malaysia yang pernah mengklaim Reog Ponorogo menjadi budayanya. Jamal Ma’mur Asmani (2012: 29) menjelaskan bahwa keunggulan lokal merupakan segala sesuatu yang menjadi ciri khas kedaerahan yang mencakup ekonomi, budaya, teknologi informasi dan komunikasi. Keunggulan lokal di suatu daerah sangatlah penting bagi daerahnya karena dapat memberdayakan penduduknya dan meningkatkan pemasukkan suatu daerah atau Penghasilan Asli


(19)

3

Daerah (PAD) itulah sebabnya penduduk di suatu daerah harusnya bahu-membahu menjaga dan melestarikan kekhasan dari daerahnya supaya tidak tergerus oleh arus globalisasi. Cara untuk mempertahankan keunggulan di daerah tersebut adalah harus mengetahui dahulu potensi-potensi yang ada di daerahnya. Seperti yang terjadi di Kampung Gendeng, RW 20, Kelurahan Baciro, Gondokusuman, Yogyakarta. Wilayah ini memiliki potensi-potensi yang sudah ada dan perlu di lestarikan lagi, adapun potensi tersebut adalah salah satunya pada bidang kesenian yaitu seni tari, lukis dan teater. Di RT 85 RW 20, Gendeng, Kelurahan Baciro, Gondokusuman, Yogyakarta terdapat sebuah kelompok masyarakat yang tinggal di pinggiran sekitar Sungai Gajah Wong. Kelompok masyarakat ini bernama Paguyuban Manunggal Karso yang memiliki potensi kesenian. Awal munculnya kesenian ini karena adanya keluarga seniman yang ahli dalam bidang teater dan seni tari. Mereka membentuk kelompok seni tari dan teater yang memberdayakan masyarakat di pinggiran Sungai Gajah Wong dan mendirikan sebuah sanggar Angsa Putih. Sanggar ini sudah sering tampil di acara kegiatan yang di adakan oleh RW 20 bahkan sudah pernah tampil menari di depan Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Tetapi ada masalah yang sampai saat ini belum teratasi yaitu adanya sebagian besar pemuda dan anak-anak atau remaja kurang tertarik dengan kesenian daerah. Kurangnya ketertarikkan pemuda dan anak-anak terhadap seni daerah disebabkan karena sebagian dari mereka beranggapan bahwa menari dan teater itu sulit. Ada juga pemuda dan anak-anak yang tidak mempunyai cukup waktu untuk belajar menari karena sebagian waktunya telah digunakan untuk mengikuti kegiatan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), pendidikan dan pekerjaannya.

Adanya program dari Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) Kota Yogyakarta tahun 2013, tentang pembentukkan program Kampung


(20)

4

Ramah Anak di Kota Yogyakarta bahwa pada tahun ini KPMP sudah harus membentuk Kampung Ramah Anak di 46 wilayah di kawasan yang berbeda, dengan rincian 14 kampung ramah anak sudah terbentuk pada tahun 2011 dan akan di bentuk 32 wilayah lagi pada tahun ini, KPMP Kota Yogyakarta menunjuk RW 20 sebagai rintisan kampung ramah anak di Kelurahan Baciro, keputusan ini berdasarkan pada rapat sosialisasi bulan September tahun 2014 di Balai RW 20. Keputusan ini diperkuat oleh Lucy Irawati sebagai Kepala KPMP Kota Yogyakarta bahwa alasan KPMP menunjuk RW 20 sebagai Kampung Ramah Anak karena daerah tersebut telah menjunjung hak sipil dan kebebasan untuk anak, lingkungan, keluarga dan pengasuhan alternatif, hak kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, hak perlindungan khusus, budaya serta sarana dan prasarana. Selain itu RW 20 di jadikan sebagai kampung ramah anak karena telah mempunyai program-program kegiatan kemasyarakatan seperti Satuan Paud Sejenis RW, program PKK seperti Bank Sampah, arisan PKK, jam belajar masyarakat, kegiatan TPA, karang taruna, program kegiatan untuk lansia dan akan di bentuknya TBM (Taman Bacaan Masyarakat) untuk anak-anak. Seluruh program kegiatan masyarakat tersebut masih berjalan dengan lancar hingga sekarang di bawah bimbingan Ketua RW 20.

Menurut Peraturan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 menjelaskan pengertian Kota Layak Anak/KLA adalah sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak. Program kampung ramah anak yang akan di laksanakan di wilayah ini merupakan program kampung ramah anak berbasis budaya lokal dan lingkungan dengan pelaksana program dari seluruh pekerja sosial masyarakat yang ada


(21)

5

di RW 20 baik perangkat RW maupun warga masyarakat yang tertarik dengan pembentukkan program kampung ramah anak. Di tunjuknya RW 20 sebagai pelaksana program kampung ramah anak, itu menunjukkan akan besarnya kerja keras dan tanggung jawab para pekerja sosial masyarakat di sana dalam membagi waktu antara pekerjaan mereka yang rata-rata bekerja sebagai pegawai negeri sipil, pegawai swasta dan mengurus proses pelaksanaan kampung ramah anak. Kampung ramah anak juga di harapkan dapat mengubah pola pikir pemuda dan anak terhadap pelestarian budaya lokal, supaya budaya lokal yang ada di RW 20 tetap bertahan dan menjadi ciri khas wilayah RW 20.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk memusatkan perhatian pada upaya pekerja sosial masyarakat dalam memberdayakan kesenian lokal daerah yaitu seni tari, melukis dan teater di kampung ramah anak dan hambatan yang ditemui pekerja sosial masyarakat dalam menjalankan perannya sebagai pekerja sosial di RW 20, Gendeng, Baciro, Gondokusuman, Yogyakarta.


(22)

6 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut:

1. Pemuda dan anak-anak di RW 20 kurang tertarik untuk melestarikan kesenian tari, melukis dan teater yang sudah ada di RW 20. Hal itu disebabkan, mereka beranggapan bahwa belajar seni itu sulit khususnya belajar menari tradisional dan mereka kurang percaya diri sebelum mencoba latihan menari. Pemuda dan anak-anak di RW 20 tidak mempunyai cukup waktu luang karena sebagian waktu mereka di pakai untuk mengikuti kegiatan TPA di wilayah tersebut, urusan pendidikan seperti bimbingan belajar di luar, sekolah dan kuliah, dan kerja hingga sore hari.

2. Pemuda dan anak-anak di RW 20 kurang tertarik dengan tarian tradisional, karena sebagian besar dari mereka lebih tertarik dengan tarian gaya modern dengan alasan tarian modern lebih mudah di pelajari daripada tari tradisional maupun seni teater.

3. Berbagai macam pekerjaan dan latar belakang dari para pekerja sosial, membuat Ketua Kampung Ramah Anak RW 20 sedikit kesulitan mengatur waktu untuk mempertemukan mereka dengan jumlah yang lengkap dalam satu agenda rapat yang berkaitan tentang kampung ramah anak, dikarenakan perbedaan pekerjaan dan kesibukan dari masing-masing pekerja sosial. Hal ini menunjukkan, pekerja sosial memiliki sebuah tanggung jawab dan usaha yang besar dalam mengajak pemuda dan anak-anak untuk mau belajar menari dan melestarikan budaya di RW 20.


(23)

7 C. Batasan Masalah

Berpijak dari latar belakang masalah serta identifikasi masalah, peneliti tidak mengungkapkan semua persoalan yang ada. Mengingat pentingnya persoalan yang ada, maka dalam penelitian ini hanya dibatasi pada studi tentang upaya pemberdayaan seni di kampung ramah anak RW 20, Gendeng, Kelurahan Baciro, Gondokusuman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah yang telah di uraikan di atas, maka peneliti membuat rumusan masalah yang akan di gunakan sebagai acuan penelitian, sebagai berikut:

1. Bagaimana upaya yang di lakukan oleh pekerja sosial masyarakat dalam memberdayakan kesenian di Kampung Ramah Anak RW 20, Baciro, Gondokusuman, Yogyakarta ?

2. Apa faktor penghambat dan pendukung yang di alami pekerja sosial masyarakat dalam membentuk kampung ramah anak yang berbasis budaya lokal dan kesehatan lingkungan ?

3. Bagaimana hasil upaya yang di lakukan pekerja sosial masyarakat dalam memberdayakan kesenian budaya melalui program kampung ramah anak ?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan pada rumusan masalah. Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu:


(24)

8

1. Mendeskripsikan bagaimana upaya yang di lakukan oleh pekerja sosial masyarakat dalam memberdayakan kesenian di Kampung Ramah Anak RW 20, Gendeng, Kelurahan Baciro, Gondokusuman, Yogyakarta.

2. Mendeskripsikan apa saja faktor pendukung dan penghambat yang di alami pekerja sosial masyarakat dalam membentuk kampung ramah anak dengan adanya perbedaan status sosial.

3. Mendeskripsikan bagaimana hasil upaya yang di lakukan pekerja sosial masyarakat dalam memberdayakan kesenian melalui program kampung ramah anak.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat di ambil dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini di harapkan dapat memberikan sumbangan yang sangat berharga dan bermanfaat pada perkembangan ilmu pendidikan, terutama pada upaya kerja keras pemerintah, dan masyarakat termasuk para pekerja sosial masyarakat untuk mengajak para generasi muda Indonesia lebih mencintai kesenian lokal yang ada di daerahnya dan akan berusaha melestarikan kesenian tersebut supaya tidak punah dan tidak di ambil oleh oknum-oknum yang semena-mena dan tidak bertanggung jawab.


(25)

9 2. Manfaat Praktis

a. Bagi Pendidikan Luar Sekolah

1) Memberikan tambahan ilmu pengetahuan tentang Pendidikan Luar Sekolah khususnya tentang peran pekerja sosial masyarakat dalam melestarikan budaya lokal melalui program kampung ramah anak. 2) Memberikan gambaran dan koreksi pada peneliti lain yang berhubungan

dengan masalah penelitian ini.

b. Bagi Masyarakat RW 20

1) Sebagai masukan bagi seluruh masyarakat RW 20 terutama pekerja sosial masyarakat untuk dapat menyatukan visi utama mereka meski dengan adanya perbedaan status sosial, dalam upaya mereka membentuk generasi muda di wilayah ini agar lebih mencintai dan menghargai kesenian lokal daerahnya dan dapat membentuk program Kampung Ramah Anak menjadi semakin lebih baik di mata masyarakat. 2) Membentuk para generasi muda di RW 20 untuk mencintai keseniana

lokal di daerahnya serta dapat memanajemen waktu antara kegiatan rutin dan belajar seni agar kesenian lokal di RW 20 dapat bertahan dari perkembangan arus globalisasi.

c. Bagi Peneliti

1) Sebagai sarana belajar dalam menambah pengalaman berpikir ilmiah melalui penyusunan, penulisan dan penelitian skripsi, mengenai upaya pekerja sosial masyarakat untuk mengenalkan generasi muda khususnya di wilayah RW 20 agar mencintai kesenian lokal daerahnya pada


(26)

10

pelaksanaan program Kampung Ramah Anak sehingga dapat menambah pengetahuan, dan wawasan dalam bidang kemasyarakatan khususnya pada bidang pendidikan non formal.

2) Sebagai bahan acuan dalam menerapkan program pemberdayaan seni di masyarakat lainnya.

d. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan perbendaharaan dokumen-dokumen akademik yang berguna untuk dijadikan acuan bagi civitas akademika.


(27)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teoritik

1. Budaya Lokal

Menurut ilmu antropologi, Koentjaraningrat (2009: 144) dalam F.X Rahyono (2009: 45) menjelaskan pengertian kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dimiliki oleh manusia dengan usaha belajar. Poespowardojo (1986: 32) dalam F.X Rahyono (2009: 4) pada tulisannya yang berjudul “Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi” menjelaskan bahwa kebudayaan diartikan sebagai seluruh usaha dan hasil usaha manusia dan masyarakat untuk mencukupi segala kebutuhan serta hasratnya untuk memperbaiki hidupnya. Senada dengan pemikiran tersebut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi dalam Elly Setiadi (2006: 28) menjelaskan pengertian kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Berbeda dengan pengertian diatas, Masinambow (2004: 5-6) dalam F.X Rahyono (2009: 42) menyatakan bahwa kebudayaan memiliki dua konsep yakni konsep matrealistis dan idealistis.

“Konsep matrealistis mendefinisikan kebudayaan sebagai sistem yang merupakan hasil adaptasi pada lingkungan alam atau suatu sistem yang berfungsi untuk mempertahankan kehidupan masyarakat. Kebudayaan yang bersifat idealistis memandang semua fenomena eksternal sebagai manifestasi suatu sistem internal. Artinya ialah kebudayaan merupakan suatu fenomena sosial yang tidak dapat dilepaskan dari perilaku dan tindakan masyarakat yang mendukung atau menghayatinya”.

Selain itu, Elly Setiadi (2006: 28) pengertian kebudayaan menurut Ralph Linton adalah kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, dimana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.


(28)

12

Herkovits juga menyatakan bahwa kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia.

Meskipun terdapat perbedaan dari pengertian beberapa tokoh tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat keadaan yang sama, yakni kebudayaan yang ada di tengah-tengah masyarakat muncul karena kebudayaan tersebut dipelajari dan diciptakan bukan sebagai kebudayaan yang terlahir secara kebetulan. Kebudayaan merupakan hasil karya manusia yang mempunyai nilai seni yang tinggi. Kebudayaan bukan hanya sekedar sebuah karya seni, adat istiadat, tradisi ataupun yang bersifat tradisional. Namun kebudayaan mencakup segala aspek pada kehidupan manusia. Setiap etnis yang tumbuh di lingkungan geografis yang berbeda menghasilkan kebudayaan yang berbeda pula. Mengingat kebudayaan di Indonesia sangat beragam sudah selayaknya kebudayaan di Indonesia dikelola secara sadar dan mandiri. Karena kebudayaan bila diberdayakan dengan sungguh-sungguh akan meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

Kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia baik materil maupun non materil. Dan sebagian besar ahli memaknai kebudayaan seperti dipengaruhi oleh evolusionisme yaitu teori yang mengatakan bahwa kebudayaan berkembang dari tahapan sederhana ke tahapan yang kompleks. Dari hasil pemikiran tersebut Koentjaraningrat dalam Munanndar Sulaeman (2012: 37) menjelaskan dimensi wujud kebudayaan memiliki tiga wujud yaitu sistem budaya bersifat abstrak, terdiri dari kompleks gagasan, konsep dan pikiran manusia. Sistem budaya terdiri dari kompleks aktivitas, dimana manusia saling berinteraksi yang tingkah laku mereka dapat diamati. Dan wujud yang ketiga yaitu benda, aktivitas manusia yang saling


(29)

13

berinteraksi sehingga tidak terlepas dari penggunaan sebagai hasil karya manusia berbagai peralatan untuk mencapai tujuannya.

Indonesia merupakan negara bagian timur yang dijuluki sebagai negara maritim pada jaman nenek moyang, karena Indonesia memiliki beribu-ribu pulau dan diapit oleh dua samudra yakni samudra pasifik dan samudra hindia. Pada kala itu, hampir seluruh sistem perdagangan di Indonesia menggunakan transportasi air. Selain dijuluki sebagai negara kepulauan, Indonesia di juluki sebagai negara penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Banyak pedagang asing datang ke Indonesia hanya untuk membeli rempah-rempah. Indonesia juga memiliki beragam kebudayaan yang unik dan jarang ditemui di negara lain. Keunikan kebudayaan tersebut terletak pada perbedaan di tiap daerah seperti suku, pakaian adat, rumah adat, tarian, lagu daerah, adat istiadat, senjata tradisional, makanan khas dan sebagainya. Adanya keragaman budaya ini menyebabkan munculnya latar belakang, pemikiran, prinsip, serta karakter masyarakat yang berbeda juga.

Salah satu cara untuk mempertahankan budaya yang ada di Indonesia adalah dengan menjunjung tinggi kearifan lokal didaerahnya dan bersama-sama melestarikan kebudayaan itu. F.X Rahyono (2009 : 3) menjelaskan kearifan lokal merupakan kecerdasan yang dihasilkan berdasarkan pengalaman yang dialami sendiri sehingga menjadi milik bersama. Maksudnya adalah mempelajari dan menghayati budayanya sendiri akan menghasilkan kecerdasan bagi pelakunya, karena mereka terlibat langsung dalam penciptaan budayanya, melalui pengalaman hidup yang dijalaninya. Selain itu, Eko A. Meinarno (2011: 98) menjelaskan kearifan lokal merupakan cara dan praktik yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat yang berasal dari pemahaman


(30)

14

mendalam mereka akan lingkungan setempat yang terbentuk dari tinggal di tempat tersebut secara turun-temurun. Munculnya kearifan lokal berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, disebarluaskan secara non-formal, dimiliki secara kolektif oleh masyarakat bersangkutan, dikembangkan secara bergenerasi dan mudah diadaptasi, dan tertanam di dalam cara hidup masyarakat sebagai sarana untuk bertahan hidup. Poespowardojo (1986: 33) dalam F.X Rahyono (2009: 9) menjelaskan kearifan lokal merupakan pembentuk identitas yang inheren sejak lahir dan dapat meningkatkan martabat bangsa dan negara.

Maka dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat yang menjunjung tinggi kearifan lokal pada budayanya sendiri, adalah masyarakat yang sedang menuju ke tahap pencerdasan bangsa. Dan keuntungan bila menjunjung tinggi kearifan lokal adalah dapat menjadi kekuatan sekaligus tantangan bagi masyarakat dan dalam praktiknya dapat digunakan secara selaras supaya kebudayaan di tiap daerah tidak punah serta dapat menciptakan masyarakat yang semakin sejahtera.

2. Modernisasi sebagai Akibat dari Arus Globalisasi di Indonesia

Menurut asal katanya, “globalisasi” diambil dari kata global yang berarti universal. Nurul Atiqah (2011: 58) menjelaskan, pengertian globalisasi menurut Achmad Suparman adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Globalisasi juga dipandang sebagai suatu proses sosial, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara semakin terikat satu sama lain. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih, menyebabkan dunia menjadi semakin sempit, dan waktu menjadi


(31)

15

sangat relatif. Dinding pembatas antarbangsa menjadi semakin terbuka bahkan mulai hanyut oleh arus perubahan. Oleh karena itu, Indonesia harus menghadapi kewajiban ganda, disatu pihak melestarikan budaya bangsa dan di pihak lain membangun kebudayaan nasional yang modern.

Sejarah awal modernisasi dimulai pada abad ke-15 di Italia dan kemudian tersebar ke sebagian besar dunia bagian barat dalam lima abad berikutnya. Kini pengaruh modernisasi telah menjalar ke seluruh dunia. Modernisasi sangat diharapkan oleh masyarakat, supaya arus pembaharuan dalam kehidupan semakin terarah. Elly Setiadi (2006: 60) menjelaskan pengertian modernisasi menurut Koentjaraningrat adalah usaha penyesuaian hidup dengan konstelasi dunia sekarang ini. Modernisasi yang dilandasi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya bersifat fisik materil saja, melainkan dilandasi oleh sikap mental yang mendalam. Selain itu, Smith (2013) menyatakan pengertian modernisasi adalah proses yang dilandasi dengan seperangkat rencana dan kebijaksanaan yang disadari untuk mengubah masyarakat ke arah kehidupan masyarakat yang kontemporer yang menurut penilaian lebih maju dalam derajat kehormatan tertentu. Berbeda dengan uraian Koentajaraningrat dan Smith, Schorll (2013) menjelaskan modernisasi adalah suatu proses penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi kedalam semua segi kehidupan manusia dengan tingkat berbeda-beda, tetapi tujuan utamanya mencari taraf hidup yang lebih baik dan nyaman, sepanjang masih dapat diterima oleh masyarakat yang bersangkutan.

Dari beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa modernisasi adalah merupakan hal yang wajar, yang pasti akan selalu terjadi di setiap


(32)

16

negara, dan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat. Demi memperoleh hidup yang lebih baik.

Perkembangan zaman modern, mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala bidang, termasuk dalam hal kebudayaan. Mau tidak mau ke budayaan yang dianut suatu kelompok sosial akan bergeser. Cepat atau lambat pergeseran ini akan menimbulkan konflik antara kelompok yang menghendaki perubahan dengan kelompok yang tidak menghendaki. Dalam berbagai peristiwa di kehidupan masyarakat, kebudayaan seringkali menjadi unsur pembentuk sekaligus alat ukur jatidiri bangsa. Peran kebudayaan yang sebagai pembentuk jatidiri sebuah bangsa, sering kali terjadi persentuhan atau interfensi dari budaya asing terhadap budaya asli Indonesia. Pesatnya laju teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi sarana difusi budaya yang ampuh, sekaligus juga sebagai jalan alternatif pilihan hiburan yang lebih beragam bagi masyarakat luas. Akibatnya masyarakat tidak tertarik lagi menikmati berbagai seni pertunjukan tradisional yang sebelumnya akrab dengan kehidupan mereka, dan fenomena inilah yang disebut globalisasi budaya. F.X Rahyono (2009: 9) menjelaskan pengertian globalisasi budaya adalah

“Globalisasi yang mempengaruhi kebudayaan-kebudayaan yang ada di masyarakat yang telah dibawa oleh nenek moyang/leluhur sejak dahulu kala. Selain dampak positif yang diberikan globalisasi untuk manusia dan bangsa didunia ini ,globalisasi pun juga mempunyai dampak negatif antara manusia dan bangsa didunia ini .salah satunya adalah globalisasi kebudayaan yang sedikit demi sedikit menghilangkan kebudayaan nenek moyang/leluhur di Indonesia.”


(33)

17

Berbeda dengan pendapat tersebut, Hanny Puspita (2012) menjelaskan, contoh lunturnya kebudayaan Indonesia akibat budaya asing adalah pada kesenian tradisional wayang orang Bharata, pertunjukkan Wayang Orang Bharata Jakarta kini tampak sepi seolah-olah tak ada pengunjungnya. Hal ini sangat disayangkan mengingat wayang merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional Indonesia yang sarat dan kaya akan pesan-pesan moral, dan merupakan salah satu agen penanaman nilai-nilai moral yang baik. Kamal Pasha (2000 :98) menjelaskan perubahan budaya asli ke budaya modern terjadi karena perubahan dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka dari nilai-nilai yang bersifat homogen ke nilai-nilai pluralisme. Dan peristiwa transkultural yang berpengaruh pada eksistensi kesenian tradisional Indonesia.

Munandar Sulaeman (2012: 60) mengemukakan terjadinya perubahan budaya disebabkan oleh beberapa hal, yakni berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaannya sendiri, dan perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup. Masyarakat yang sistem hidupnya terbuka, dan berada dalam jalur hubungan dengan masyarakat dan kebudayaan lain, cenderung dapat berubah secara lebih cepat. Dari waktu ke waktu, kebudayaan berkembang seiring dengan majunya teknologi komunikasi yang saat ini menjadi sangat berperan bagi kehidupan setiap manusia. Elly Setiadi (2006: 44) mengemukakan ada beberapa faktor yang menjadi penyebab perubahan kebudayaan, yaitu

“Perubahan lingkungan alam, perubahan yang disebabkan adanya kontak dari kelompok lain, perubahan karena adanya penemuan baru, perubahan yang terjadi karena suatu masyarakat atau bangsa mengadopsi beberapa elemen kebudayaan materil yang telah dikembangkan oleh bangsa lain di


(34)

18

tempat lain, dan perubahan yang terjadi karena suatu bangsa memodifikasi cara hidupnya dengan mengadopsi suatu pengetahuan atau kepercayaan baru, atau karena perubahan dalam pandangan hidup dan konsepsinya tentang realitas”.

Pengadopsian budaya asing juga terlihat dari cara berpakaian yang ketat dan terbuka, cara berbicara yang sok kebarat-baratan, pergaulan yang tidak bisa membedakan antara beda gender, tata krama dan sopan santun sebagai orang Indonesia telah luntur di sebagian masyarakat khususnya generasi muda. Mereka tidak lagi menyukai hal-hal yang berkaitan dengan budaya Indonesia, hal tersebut terjadi karena terlalu banyaknya informasi yang mereka serap melalui media massa modern, dan menyebabkan generasi muda tidak bisa memilah mana budaya yang pantas untuk di adopsi dan yang tidak boleh. Keyakinan atas kebudayaan asing mewujud menjadi sebuah aturan yang mulai diterapkan di dalam kehidupan masyarakat. Dan membuat pandangan yang salah terhadap kebudayaan Indonesia, seperti penganggapan bahwa budaya Indonesia kuno dan terlalu pakem. Pengaruh budaya asing yang semakin berkembang dan dengan mudahnya diterima di suatu masyarakat, membuat nilai nilai budaya Indonesia luntur dan terganti dengan nilai budaya modern. Nilai budaya yang seharusnya dianut oleh masyarakat tidak selayaknya dijadikan sebagai parameter atau alat ukur untuk menilai keunggulan atau kelemahan budaya lain. Dampak yang terjadi demikian adalah pengagungan atau pembanggaan terhadap budaya asing yang dianggapnya menjadi budaya baru yang terkini.

Perkembangan globalisasi budaya yang sedang terjadi di Indonesia tidak sepenuhnya berdampak negatif bagi masyarakat Indonesia, hal itu terjadi tergantung pada setiap individu masing-masing dalam menyikapi adanya


(35)

19

perubahan globalisasi budaya yang sedang terjadi. Globalisasi budaya juga memiliki dampak positif bagi masyarakat, seperti yang dikemukakan Eka Meinarno (2011: 67) menjelaskan perubahan budaya tidak selamanya negatif bagi masyarakat Indonesia, perubahan budaya juga memiliki dampak positif, contohnya yaitu

a. Mudah memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsungnya adalah jika kita pergi keluar kota yang ada di Indonesia atau pun keluar negeri kita datang ke suatu tempat yang sedang mengadakan acara-acara festival dan di pertunjukan di depan umum kita bisa mendapatkan informasi dan pengetahuan lebih tentang kota/negara tersebut. Secara tidak langsungnya adalah kita dapat mengetahui tentang informasi dan ilmu pengetahuan lebih serta keanekaragaman budaya yang ada diluar kota indonesia /diluar negeri yaitu dengan cara lewat media cetak, media elektronik dan jejaring sosial tanpa harus pergi jauh-jauh keluar kota atau bahkan keluar negeri yang dapat menghabiskan banyak uang

b. Banyak imigrasi datang ke Indonesia

Banyaknya turis mancanegara yang sengaja berimigrasi dikarnakan tertarik/suka dengan kebudayaan-kebudayaan yang beraneka ragaman yang ada didunia ini, mungkin itulah salah satu faktor terjadinya imigrasi dari suatu negara ke nagara lain.

c. Berkembangnya turisme dan pariwisata

Banyak negara-negara didunia ini yang mendongkrak keuntungan untuk negaranya dengan cara meningkatkan tempat pariwisata. Contohnya dinegara Indonesia pariwisata yang terkenalnya adalah di Bali. Banyak turis mancanegara yang kurang mengetahui bahwa Indonesia kaya akan alam dan pariwisata yang indah dan jika dimanfaatkan dengan baik pasti bisa memajukan bangsa dan tidak kalah bersaing dengan negara-negara maju didunia.

Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perubahan budaya lama ke budaya modern terjadi karena terbukanya masyarakat akan hal-hal baru yang menganut nilai-nilai pluralisme, dan disebabkan adanya hubungan kontak langsung dengan kelompok lain, sehingga masyarakat akan dengan mudah meniru dan mengadopsi beberapa kebudayaan kelompok lain untuk diterapkan pada kebudayaan di Indonesia. Tetapi, tidak semua perubahan budaya


(36)

20

berdampak negatif bagi generasi muda Indonesia, adanya perubahan budaya atau globalisasi budaya dapat menambah keuntungan dan manfaat yang banyak bagi Indonesia, hanya tergantung pada generasi muda yang menyikapi adanya perubahan kebudayaan tersebut.

3. Pelestarian Budaya Lokal

Budaya atau kebudayaan di pahami sebagai tri potensi manusia dalam berpikir, berkemauan, dan berperasaan yang terjelma dalam kumpulan ilmu pengetahuan, kaidah-kaidah sosial dari kesenian. Dalam pengertian ini, Nurul Atiqah (2011: 65) menjelaskan kebudayaan tergambar tri potensi manusia karena adanya proses yang menjadikan manusia-individu dan masyarakat sebagai wadah pembentukan potensi yang dijelmakan dalam bentuk logika, etika, dan estetika. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), asal kata melestarikan berasal dari kata “lestari” yang bermakna tetap seperti keadaan semula. Dalam kebudayaan, kata “melestarikan” diartikan sebagai upaya mempertahankan, menjaga, serta mengembangkan suatu budaya.

Nia Kurmasih Pontoh (1992: 36), mengemukakan pengertian pelestarian adalah konservasi, yaitu upaya melestarikan dan melindungi sekaligus memanfaatkan sumber daya suatu tempat dengan adaptasi terhadap fungsi baru, tanpa menghilangkan makna kehidupan budaya. Selain itu, Sumargo (1990) istilah kegiatan pelestarian, yaitu segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi segala kegiatan pemeliharaan dan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dapat pula mencakup preservasi, restorasi, rekontruksi, adaptasi dan revitalisasi. Berbeda dengan kedua pendapat diatas, F.X Rahyono (2009: 18)


(37)

21

menyatakan pelestarian budaya adalah upaya menjaga kehadiran produk-produk (karya) budaya masa lalu tetap seperti wujud semula. Dari ketiga pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelestarian budaya merupakan usaha yang dilakukan secara sadar oleh sekelompok manusia demi menjaga dan mempertahankan suatu kebudayaan asli daerahnya baik budaya dalam bentuk fisik maupun non fisik seperti tarian, adat istiadat, dan lagu daerah, guna mempertahankan ciri khas bangsa Indonesia dalam skala global sebagai negara kesatuan yang mempunyai aneka ragam keunikan budaya.

Kebudayaan di setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru yang saat ini sedang trend supaya manusia dapat melanjutkan kehidupannya dan menghindari kehancuran dirinya atau kehilangan eksistensi. Hal ini diperkuat oleh pendapat Mochtar Lubis dalam Arief Karseno (2004: 131) yang menyatakan bahwa sejak tahun 1977, Indonesia sudah mengalami krisis budaya pada bangsanya sendiri. Krisis tersebut terjadi pada sifat kejujuran yang mulai tidak dihargai, ketekunan yang mulai diabaikan, arogansi kekuasaan mulai dijalankan, moral mulai tersingkirkan, dan target kemakmuran semu mulai dicanangkan oleh setiap lapisan masyarakat.

Arief Karseno (2004: 132) mengemukakan sebuah bangsa yang mulai luntur dengan budayanya, lama-lama bangsa tersebut akan menjadi bangsa yang rapuh yang tidak memiliki harga diri dan sulit mencari jati dirinya. Berbeda dengan pendapat Arief Karseno, F.X Rahyono (2009: 18) mengemukakan akibat dari krisis kebudayaan disebabkan karena munculnya pengagungan


(38)

22

kebudayaan masa lalu yang menimbulkan sebuah pernyataan tentang “pelestarian budaya”. Perubahan atau garapan-garapan baru terhadap sebuah karya atau benda-benda budaya, yang telah diyakini sebagai budaya yang adiluhung (agung) sering dinilai merusak sebuah pakem atau kaidah pada hasil kebudayaan tersebut. Misalnya pada garapan seni tari klasik, dimana gerakan dan musik tari klasik sudah pakem dan dilestarikan secara turun-temurun. Namun, garapan tari dari Bagong Kusudiardjo yang mengatakan bahwa ia ingin melepaskan norma-norma dan tradisi tari gaya Yogya, masyarakat menyebutnya sebagai perusak kesenian Indonesia, khususnya tari Jawa. Kusudiardjo (1984: 23) dalam F.X Rahyono (2009: 19). Hal tersebut mengakibatkan, masyarakat Yogyakarta tidak mau belajar tarian dari karya Bagong Kusudiardjo, karena dianggap telah merusak dan menghilangkan budaya tari klasik gaya Yogya yang sudah pakem. Disini, dapat diambil kesimpulan bahwa krisis kebudayaan di Indonesia terjadi, akibat manusia yang sudah terlebih dahulu menolak perkembangan kebudayaan lama, masyarakat sudah terlalu nyaman dengan kebudayaan lama sehingga pengembangan dari kebudayaan lama atau budaya baru ditolak oleh sebagian masyarakat.

Kebudayaan merupakan sesuatu yang sangat perlu dipertahankan dan dikembangkan keberadaannya karena jika tidak, nilai yang terkandung di dalamnya akan berubah, dan nilai itu akan hilang seiring dengan perubahan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Dan jika tidak dikembangkan serta disesuaikan dengan perkembangan waktu, suatu budaya akan dapat menghambat kemajuan kehidupan masyarakat. Nurul Atiqah (2011: 62) menyatakan bahwa adapun ciri-ciri berkembangnya globalisasi pada bidang kebudayaan yaitu: berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional,


(39)

23

penyebaran prinsip multiculturalism, dan kemudahan individu dalam mengakses kebudayaan lain di luar kebudayaan Indonesia, semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain, dan berkembangnya mode berskala global seperti pakaian, dan film. Menurut, F.X Rahyono (2009: 15) menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan alat pemersatu kelompok dalam komunikasi dan interaksi antar anggota masyarakat pendukung kebudayaan. Kebudayaan harusnya dianut dan dihayati bersama supaya dapat dijadikan sebagai sebuah pranata hidup yang harus dipatuhi dan dijaga bersama. Dalam hal ini, pentingnya pelestarian budaya lokal lebih ditujukan untuk menjadi suatu alat dalam mengolah transformasi dan revitalisasi di lingkungan setempat, yang dapat bertujuan untuk memberikan kualitas kehidupan kepada masyarakat sekitar ke arah yang lebih baik berdasarkan pada kekuatan aset lama, serta pembentukkan program-program yang menarik dan kreatif. Pendapat ini diperkuat lagi oleh Nurul Atiqah (2011: 66) yang menyatakan bahwa tujuan pelestarian budaya lokal adalah untuk mengembangkan aset lama yang dimiliki Indonesia, dan memberi pemaknaan baru terhadap budaya yang sudah ada sehingga dapat dimanfaatkan sebagai upaya alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Kegiatan upaya pelestarian budaya ini dapat berbentuk preservasi, pembangunan dan pengembangan restorasi, replikasi, rekonstruksi, revitalisasi atau penggunaan fungsi baru terhadap aset budaya masa lalu. (Sumargo, 1990).

Rumusan UUD 1945 juga memperkuat pendapat dari Nurul Atiqah dan Sumargo. Pada UUD 1945 Pasal 32 ayat 1 menyatakan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan


(40)

nilai-24

nilai budayanya”. Hal ini berarti bahwa negara telah memberikan kebebasan pada masyarakat untuk melestarikan budayanya masing-masing dan mengembangkan budayanya itu dengan ide kreatif dari tiap masyarakat. Menurut peraturan TAP MPR No. II Tahun 1998 menyatakan bahwa

“Indonesia memiliki kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya”.

Selain itu, menurut Jamal Asmani (2012: 18-19) menyatakan, Departemen Pendidikan Nasional memutuskan akan membuat kebijakan tentang desentralisasi kurikulum pada lembaga pendidikan formal. Supaya dengan adanya kebijakan tersebut, daerah dapat dengan mudah mengembangkan potensi wilayahnya sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Salah satu kebijakan yang dapat dikembangkan adalah membuat kurikulum sekolah yang berbasis keunggulan lokal dan global. Dengan adanya kurikulum tentang pendidikan berbasis budaya yang dicanangkan pemerintah. Maka, setiap daerah hendaknya perlu menggali, meningkatkan dan mempromosikan potensinya di sekolah. Supaya tidak ada lagi anak-anak daerah yang asing dengan budaya daerahnya sendiri. Sehingga, anak-anak bisa mengembangkan dan memberdayakan potensi daerahnya sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Rantau Indramawan (2014) upaya pelestarian budaya lokal dapat dilakukan dengan dua bentuk yaitu, culture experience dan culture knowledge.

Culture experience adalah pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara terjun langsung kedalam sebuah pengalaman kultural. Contohnya,


(41)

25

membentuk sanggar kesenian seperti tari, teater, dan drama. Sedangkan culture knowledge adalah pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara membuat suatu pusat informasi mengenai kebudayaan yang dapat difungsionalisasikan kedalam bentuk, supaya generasi muda dapat mengetahui tentang kebudayaannya sendiri. Misalnya pembangunan museum atau cagar budaya”.

Pendapat lain mengatakan Hasnindar (2013) menyatakan usaha mempertahankan budaya Indonesia ditengah arus globalisasi dapat dilakukan di empat tingkat yakni; pada tingkat keluarga, dengan cara mengenalkan budayanya melalui keluarga, yaitu mengajak anak melihat seni pertunjukkan yang sedang berlangsung yang ada di sekitar masyarakat. Dengan begitu, anak akan merasa ingin tahu tentang sejarah kesenian tersebut. Pada tingkat sekolah, Departemen Pendidikan Nasional telah sepakat memberikan kurikulum mata pelajaran kesenian pada tingkat pendidikan formal dan non formal tentang budaya misalnya untuk mata pelajaran seni budaya pada jenjang pendidikan formal dan mengikutsertakan anak dan pemuda untuk ikut berpartisipasi pada sanggar tari atau musik dan teater pada jalur pendidikan non formal, sehingga para peserta didik dan warga belajar di jalur pendidikan formal dan non formal dapat mengetahui beberapa contoh warisan kebudayaan Indonesia.

Pada tingkat masyarakat, generasi muda dapat mengadakan semacam pentas seni kebudayaan daerah secara rutin sesuai kebudayaan daerahnya masing - masing sehingga budaya seakan menjadi satu dengan darah yang mengalir dalam tubuh rakyat Indonesia. Dan pada tingkat pemerintahan, dapat membantu dalam memberikan bantuan dana terhadap pelestarian budaya seperti pembangunan fasilitas museum dan pemanfaatan cagar budaya serta membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelestarian warisan budaya Indonesia.


(42)

26

Dikutip dari Radar Jogja (2015), usaha mempertahankan budaya lokal di Indonesia dapat dilakukan dengan cara mengajak warga negara asing untuk ikut berpartisipasi ke dalam kegiatan kebudayaan seperti yang di lakukan oleh mahasiswa FIB dari UGM Yogyakarta. Sejumlah mahasiswa dari Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta mengadakan kegiatan pementasan kebudayaan Indonesia dalam kegiatan yang bertajuk AIESEC Faculty #2 Fun Art, Culture and Charity di Taman Budaya Yogyakarta pada tanggal 26 Februari 2015. Mereka mengadakan kegiatan budaya tersebut dengan mengajak beberapa mahasiswa asing seperti Thailand, Tiongkok dan Taiwan untuk ikut menjadi salah satu pemain dalam pementasan ketoprak dan seni lainnya. Menurutnya dengan melibatkan mahasiswa asing kedalam kegiatan ini, diharapkan mereka dapat mengetahui dan memahami kebudayaan asli Indonesia dan disebarkan ke negara-negara lain sehingga turut membantu Indonesia dalam menjaga warisan budaya Indonesia.

Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan, bahwa kebudayaan lokal Indonesia adalah kebudayaan yang hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia dan setiap kebudayaan mempunyai ciri khas masing-masing. Dan sebagai masyarakat Indonesia kita wajib menjaga budaya tersebut, dengan cara semua lapisan masyarakat bersama-sama mempertahankan dan mengembangkan budayanya. Dan dari hasil kebudayaan daerahnya masing-masing dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

4. Sanggar Tari

Seni merupakan istilah yang identik dengan keindahan, kesenangan, dan rekreasi. Saat mendengar kata seni maka yang mungkin muncul dalam benak


(43)

27

kita adalah suatu karya seni yang dapat berupa benda, musik, bangunan, lukisan atau benda-benda indah lainnya yang dihasilkan oleh seorang seniman yang sangat berbakat dan memiliki kreativitas yang tinggi. Dalam seni, setiap orang dinilai memiliki kreatifitas dan kecerdasannya masing-masing. Seni dapat memfasilitasi setiap orang untuk menuangkan atau mencurahkan segala kreativitas berdasarkan kehendak masing-masing orang itu sendiri.

Mempelajari sebuah seni dapat dilakukan oleh setiap orang baik dari usia dini maupun dewasa. Seni dengan mudah dipelajari bila seseorang memiliki niat untuk belajar dan berjiwa kreatif. Mempelajari seni dapat dilakukan dimana saja dan kapanpun, tetapi akan lebih baik bila belajar seni di dukung oleh fasilitas yang memadai dan memenuhi seluruh kebutuhan orang yang akan belajar seni, termasuk sebuah sanggar seni. Sanggar adalah salah satu contoh organisasi yang ada di masyarakat, sesuai bentuknya sanggar merupakan organisasi profesi, karena organisasi yang bercirikan terbentuk karena tujuan khusus yang saling berkaitan dengan permasalahan dengan kepentingan dalam suatu profesi. Hal yang menyatukan anggota dalam organisasi ini adalah tujuan, kepentingan dan visi yang sama. Menurut Nursabilah Al Hazmi (2011) menyatakan pengertian sanggar adalah tempat atau wadah yang digunakan sebagai tempat berkumpul atau bertemu untuk bertukar pikiran (pembahasan dan pengolahan) tentang suatu bidang ilmu atau bidang kegiatan tertentu. Rusliana (1994: 13) menjelaskan pengertian sanggar adalah wadah kegiatan dalam membantu menunjang keberhasilan penguasaan keterampilan. Berbeda dengan Nursabilah dan Rusliana, Koentjaraningrat (1984: 38) menyatakan pengertian sanggar adalah sebuah lembaga pendidikan non formal, yaitu


(44)

28

pendidikan yang diterima dalam keluarga, yang berbentuk lembaga berupa sekolah atau masyarakat.

Dari ketiga pendapat tersebut, maka disimpulkan bahwa sanggar adalah sebuah tempat atau wadah berbentuk lembaga pendidikan non formal, yang dihadiri oleh sekelompok manusia dalam satu komunitas tertentu, yang kegiatannya diadakan secara teratur dan berkala, untuk membahas mengenai suatu kegiatan tertentu.

Sanggar kesenian sudah berdiri sejak zaman dahulu. Terbukti dari beberapa sanggar seni yang kini tersebar di Kota Yogyakarta, khususnya seni tari. Sanggar tari muncul pertama kali di Yayasan Sasmita Mardawa Yogyakarta, sanggar ini didirikan oleh Romo Sas yang masih ada keturunan dengan keluarga Keraton Yogyakarta. Sejak berdirinya sanggar tari Yayasan Pamulangan Beksa Sasmita Mardawa, muncul beberapa sanggar seni tari di sekitar Kota Yogya seperti Yayasan Ameng Beksa di Keraton, Dini Nini Thowok, sanggar kesenian Bagong Kusudiarjo dan lain sebagainya. Nursabilah Al Hazmi (2011) menjelaskan pengertian sanggar tari adalah tempat atau wadah dimana para seniman-seniman mengolah seni guna untuk suatu pertunjukan. Selain itu, di dalam sanggar ini pula ada kegiatan-kegiatan yang sangat penting berupa kegiatan pembelajaran tentang seni, yang meliputi proses dari pembelajaran, penciptaan hingga produksi dan semua proses hampir sebagian besar dilakukan di dalam sanggar.

Berbeda dengan pendapat diatas, Nainul Khutniah (2012) juga menjelaskan pengertian sanggar tari adalah suatu tempat atau sarana yang digunakan oleh suatu komunitas atau sekumpulan orang untuk melakukan suatu kegiatan pelatihan seni tari yaitu kegiatan yang lebih memfokuskan pada bidang


(45)

29

tari, baik tari tradisi maupun tari modern. Ikut terjun langsung ke dalam dunia seni tari ada manfaatnya, hal ini seperti yang dikemukakan oleh Fatturahman (2013) menjelaskan beberapa manfaat dari seseorang belajar seni tari di sebuah sanggar seni adalah digunakan sebagai tempat pernyataan jati sendiri yaitu, melalui karya seni yang seseorang bawa dapat mengungkapkan perasaan dan karakter seseorang. Sanggar seni digunakan sarana pendidikan, sarana inspiratif yaitu sebagai tempat yang damai dan nyaman bagi seseorang yang sedang mencari sebuah inspirasi serta sebagai tempat simbolik penyatuan unsur budaya magis, khususnya bagi kesenian tari.

Berdasarkan dari beberapa uraian tersebut maka disimpulkan bahwa pengertian sanggar tari adalah suatu tempat atau sarana yang sengaja di dirikan supaya dapat digunakan oleh sekumpulan orang yang sedang mempelajari suatu kesenian tari. Dan merupakan salah satu bentuk lembaga pendidikan non formal yang melakukan kegiatan secara terorganisasi dan mengutamakan penguasaan ketrampilan menari bagi anggota belajarnya.

5. Latar Belakang dan Tujuan Kampung Ramah Anak

Kondisi era globalisasi yang semakin cepat berkembang pesat, terjadi di seluruh negara di dunia termasuk di negara berkembang seperti Indonesia. Pengaruh era globalisasi telah mempengaruhi hampir di seluruh aspek seperti bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Akibat dari pengaruh era globalisasi, manusia di tuntut untuk masuk ke dalam era global yang cepat dan praktis. Paulus Hariyono (2010: 197) menjelaskan pengertian globalisasi adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebutkan perubahan ekonomi dunia dan perubahan sosial yang menghasilkan pertumbuhan perdagangan


(46)

30

yang dramatis dan perubahan kebudayaan. Sedangkan menurut Komang Suarnatha (2011) menjelaskan globalisasi adalah serangkaian proses dimana relasi sosial menjadi relatif terlepas dari wilayah geografis. Salah satu bentuk dari era globalisasi adalah dari segi sosial dan globalisasi budaya. Seperti yang dituliskan oleh Anthony McGrew (2001: 22) dalam Safril Mubah (2011) menyatakan, globalisasi adalah sebagai suatu proses dan mempunyai empat karakteristik yaitu pertama, rentangan pada aktivitas di dunia ekonomi, sosial, dan politik melintasi batas-batas politik; kedua, intensifikasi dan interkoneksitas di semua bidang sosial; ketiga, akselerasi proses dan interaksi global; dan keempat, peningkatan ekstensifitas dan intensifitas global yang ditandai dengan maraknya kasus kejahatan dan tindakan asusila di masyarakat.

Dari uraian diatas, maka disimpulkan bahwa globalisasi adalah situasi atau keadaan dimana tatanan kehidupan manusia dan pembangunan mulai berkembang baik dari segi ekonomi, sosial dan kebudayaan tetapi lebih cenderung mengembangkan nilai-nilai modern dari negara luar dan menyingkirkan nilai-nilai tradisional.

Globalisasi adalah suatu proses yang tidak dapat dicegah atau dihindari, tetapi bila masyarakat tidak dapat memilah hasil yang baik dari globalisasi, maka yang akan terjadi seluruh komponen identitas asli sebagai warga negara Indonesia lenyap. Dampak globalisasi juga terjadi pada anak-anak, karena anak juga merupakan bagian dari manusia yang terpengaruh oleh globalisasi modern. Di Indonesia, sudah sering kita jumpai anak menjadi korban kekerasan, dan yang terjerumus ke dalam hal-hal negatif. Hal itu terjadi, karena anak hanya dijadikan obyek dari akibat globalisasi modern. Dari segi anak, dia tidak bisa mengendalikan dan mengontrol dirinya untuk membatasi


(47)

31

pengetahuannya tentang perkembangan globalisasi. Tak jarang, anak-anak zaman sekarang, menjadi korban dampak negatif dari globalisasi tersebut. Rachmat Sentika (2007) menjelaskan fakta-fakta kasus kekerasan pada anak semakin meningkat seperti pekerja anak dibawah usia 18 tahun masih tinggi; anak jalanan sulit dikendalikan; dan anak dengan narkoba meningkat tajam. Sementara itu, Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2014) mencatat 154 bayi terinfeksi HIV/AIDS dan ratusan anak remaja terinfeksi HIV/AIDS karena tindakan free sex di usia remaja.

Sejak isu globalisasi mengalir dari Benua Utara seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat. Globalisasi telah membuat batas-batas dunia menjadi mencair. Perluasan lahan produk-produk dari budaya barat dengan mudahnya masuk ke negara-negara bagian selatan atau negara berkembang. Contohnya pada industri perfilman, drama korea dan telenovela dengan mudahnya bisa terkenal di seluruh dunia termasuk di Indonesia, tetapi kesenian Indonesia seperti tari tayub, ketoprak dan wayang kulit sangat sulit menembus Benua Utara. Dari pandangan tersebut, negara-negara bagian selatan termasuk Indonesia mau tidak mau harus menyerap produk-produk dari Barat. Negara bagian Selatan nyaris tidak mampu melakukan negosiasi, karena hampir semua modal, SDM, akses dan teknologi, dan pusat-pusat informasi dikuasai oleh negara-negara Barat. Dampak globalisasi juga mengancam dunia pendidikan di Indonesia, peserta didik semakin dijauhkan dari nilai budaya bangsa, baik budaya lokal maupun nasional. Perangkat teknologi seperti handphone dan internet telah memberikan ruang yang luas bagi peserta didik untuk mengakses informasi dari seluruh belahan dunia dengan waktu beberapa detik saja. Akibatnya berbagai budaya asing dapat saja dikenali dalam waktu cepat.


(48)

32

Sumaryadi (2008) menjelaskan pengaruh globalisasi mengakibatkan lunturnya kepemilikan bahasa daerah. Rasa khawatir kepada generasi muda yang sudah tidak kenal lagi dengan bahasa daerahnya. Dan penerapan nilai-nilai budaya seperti etos kerja, gotong royong, dan rasa serta sikap ‘senasib seperjuangan sepenanggungan’ adalah sesuatu yang teramat urgens. Senada dengan pemikiran tersebut, Safril Musbah (2011) menjelaskan, globalisasi menyebabkan melunturnya nilai-nilai identitas kultural. Bukti nyata dapat disaksikan pada gaya bahasa, berpakaian, pola konsumsi, dan teknologi informasi. Dahulu, bahasa Indonesia dijadikan alat komunikasi utama, tetapi sekarang penggunaan bahasa persatuan ini dicampuradukkan dengan bahasa Inggris sehingga muncul kata-kata “dicancel”, “didelay”, “disoundingkan”, “menchallenge”, “mengendorse”, dan banyak kata campuran lainnya. Di berbagai kesempatan seringkali terlihat masyarakat lebih senang menggunakan bahasa Inggris karena dipandang lebih modern. Hal tersebut dapat menyebabkan rusaknya moral dan sistem moralitas generasi muda yang masih duduk di bangku sekolah. Terlebih lagi, bila dalam kehidupan keluarga tidak memperkenalkan kearifan, falsafah atau pandangan hidup bangsa kita, budaya masyarakat kita, yang mempunyai keluhuran budi. Ade Putra Panjaitan, dkk (2014: 118) menjelaskan pengaruh globalisasi mampu membawa masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari Ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Bila hal tersebut terjadi. Akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang.

Dari uraian diatas, maka disimpulkan bahwa identitas kultural dan nilai-nilai budaya pada generasi muda mulai luntur. Generasi muda telah dirusak


(49)

33

dari berbagai cara, dari banyak jalur, dan anak-anak lepas dari kontrol pihak keluarga. Secara perlahan, generasi muda telah dirusak dengan budaya kekerasan, narkoba dan game online yang terjadi di sekitar kehidupan kita. Oleh karena itu, sangatlah penting memadukan nilai-nilai kebudayaan dengan dunia pendidikan dan dalam keluarga.

Pemerintah merumuskan beberapa peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak dari dampak negatif perkembangan globalisasi. Sebagaimana tertulis pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 4, Pasal 10 dan Pasal 24. Pada Pasal 4 dijelaskan “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” . Pasal 10 dijelaskan “Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan”. Dan pada Pasal 24 dijelaskan bahwa “Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak”. Dari ketiga pasal di atas “Peraturan perundang-undangan tersebut dijadikan sebagai dasar hukum bagi kehidupan anak di Indonesia”. (Ika Pasca Himawati, 2013). Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Racmat Sentika (2007) menjelaskan bahwa melalui Konvensi Hak Anak yang diselenggarakan oleh PPB tahun 1990, merumuskan setiap negara berhak memenuhi 31 hak untuk anak salah satunya adalah hak mendapatkan perlindungan dari keluarga, dan kegiatan budaya lokal melalui pendidikan dan keluarga.


(50)

34

Maka, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setiap anak wajib mendapatkan perlindungan dari negara, serta mendapatkan bimbingan penuh dari keluarga dan masyarakat khususnya pada bidang pendidikan, kehidupan sosial dan kegiatan budaya. Bila ada anak yang belum mendapatkan haknya, maka negara wajib memperjuangkan hak anak tersebut untuk kehidupan yang layak. Dan bila ada anak, yang tidak melaksanakan haknya, pihak keluarga dapat memberikan peringatan dan bimbingan khusus supaya anak mau melaksanakan hak-haknya.

Untuk menyikapi dan mengatasi kasus sosial yang melibatkan anak sebagai korban maupun pelaku, serta permasalahan globalisasi budaya yang mengakibatkan generasi muda meninggalkan, melupakan, dan berpaling dari nilai budaya lokal. Pemerintah merumuskan peraturan perundang-undangan dan membentuk program Kota Layak Anak di seluruh Indonesia sebagaimana tercantum pada Peraturan Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 mengenai aturan Kebijakan/Kota Layak Anak. Eka Arifa Rusqiyati (2013) menjelaskan tujuan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia membuat Peraturan tentang Kebijakan/Kota Layak Anak, ditujukan kepada pemerintah desa dan kelurahan untuk membuat lingkungannya menjadi suatu lingkungan yang infrastrukturnya layak bagi tumbuh kembang anak secara sehat. Untuk itu diharapkan pemerintah dapat membentuk desa ramah anak yang memihak pada kepentingan dan kebutuhan anak serta masyarakatnya ramah pada anak-anak. Pemikiran tersebut, juga diperkuat oleh Rachmat Sentika (2007) yang menjelaskan bahwa PBB pada pertemuan untuk anak ((UNGASS on Children), Mei 2002), PBB merekomendasikan kepada Walikota seluruh dunia untuk:


(51)

35

Pertama, mengembangkan rencana aksi untuk kota mereka menjadi kota ramah dan melindungi hak anak. Kedua, mempromosikan partisipasi anak sebagai aktor perubah dalam proses pembuatan keputusan di kota mereka terutama dalam proses pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pemerintah kota.

Dari pemikiran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa adanya peraturan tentang Kebijakan/Kota Layak Anak dan keputusan dari PBB pada UNGASS on Children untuk membangun suatu kota/desa ramah anak dapat membantu memberantas kemiskinan dengan menanamkan investasi pada anak khususnya pada nilai-nilai budaya lokal; melindungi anak dari penganiayaan, eksploitasi dan peperangan; memberantas anak dari HIV/AIDS; dan meningkatkan partisipasi anak kepada tingkat nasional maupun internasional.

Menurut Peraturan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 menjelaskan pengertian Kota Layak Anak/KLA adalah

“Kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak.”

Pada peraturan disini di jelaskan bahwa anak merupakan modal pembangunan dan awal kunci kemajuan bangsa di masa depan. Karena sepertiga dari total penduduk Indonesia adalah anak-anak. Anak-anak terbukti mampu membuat perubahan dan menyelesaikan masalah secara lebih kreatif, sederhana, dan ringkas. Berbeda dengan pemikiran tersebut, Rudi Subiyakto (2012) menjelaskan Kota Layak Anak adalah

Satuan program yang dilakukan oleh warga yang tergabung dalam rukun kampung berupa usaha pemenuhan hak sipil anak untuk memberikan kesempatan tumbuh dan berkembang berdasarkan kondisi


(52)

36

realistik menuju kampung yang mampu memberi kenyamanan, layak huni, dan layak kembang dengan dasar kesehatan, pendidikan serta perlindungan hukum berdasarkan inisiatif mandiri. Program ini dilaksanakan terintegrasi dengan kegiatan rukun wilayah dan rukun tetangga sebagai pemenuhan kebutuhan dasar hidup.”

Oleh karenanya, pemerintah melindungi dan menjadikan anak sebagai generasi yang tangguh merupakan sebuah keniscayaan. Namun, kenyataan yang terjadi di Indonesia jauh dari harapan. Artinya, bangsa Indonesia masih belum-untuk tidak mengatakan kurang-peduli terhadap perkembangan dan masa depan anak. Dari uraian tersebut, maka disimpulkan bahwa Kota Layak Anak/Desa Ramah Anak adalah upaya pemenuhan hak-hak anak agar mereka dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Teguh Yoga Fitra (2013) menjelaskan, tujuan di buatnya Desa Ramah Anak (DRA) supaya pemerintah, desa, dan kelurahan dapat ikut andil dalam melaksanakan perlindungan terhadap hak-hak anak melalui bidang pembangunan dan infrastruktur daerah dalam mewujudkan Kota Layak Anak (KLA). Selain tujuan diatas, Teguh Yoga Fitra juga menjelaskan, tujuan Kota Layak Anak/Desa Ramah Anak adalah salah satunya untuk mempertahankan nilai-nilai budaya dan warisan budaya yang ada di setiap desa atau wilayah tersebut dengan cara menanamkan pendidikan budaya melalui anak-anak. Karena bisa dilihat selama ini, anak-anak yang masih duduk dikelas 1 SD pun sudah fasih dengan lagu-lagu barat, pop Indonesia bahkan lagu dangdut, yang seharusnya lagu tersebut tidak layak konsumsi bagi mereka. Pendapat lain, juga


(53)

37

dikemukakan oleh Ika Pasca Himawati (2013) yang menjelaskan tujuan Kota Layak Anak/Desa Ramah Anak adalah

“Untuk membangun inisiatif wilayah yang mengarah pada upaya transformasi Konvensi Hak-hak Anak dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan, dalam bentuk: kebijakan, program dan kegiatan pembangunan, dalam upaya pemenuhan hak-hak anak, pada suatu dimensi wilayah kabupaten/kota”.

Tujuan tersebut akan di wujudkan ke dalam program-program kegiatan di tiap kampung yang di pimpin oleh Ketua RW atau Kepala Dukuh sebagai penanggung jawab utama program kegiatan. Program kegiatan yang dirancang dan dilaksanakan akan di gunakan sebagai wadah pembentukkan karakter dan pengembangan diri anak. Melalui program kegiatan di kampung ramah anak, anak-anak di ajarkan sejak dini untuk memahami hak-hak mereka dan membantu menemukan bakat yang ada di dalam diri anak tersebut. Pemahaman hak-hak anak bertujuan supaya anak dapat terhindar dari kasus kekerasan, pelecehan seksual, eksploitasi anak dan diskriminasi. Selain itu, program kampung ramah anak dapat dimanfaatkan sebagai wadah pengembangan diri anak tentang budaya lokal di sekitarnya. Anak diperkenalkan sejak dini, kebudayaan asli mereka, dan menanamkan nilai-nilai budaya melalui keluarga. Sebab, pengenalan budaya lokal melalui pendidikan formal pun belum cukup. Untuk itu, Ika Pasca Himawati (2013) mengajak setiap keluarga di Indonesia baik di kota hingga pelosok daerah supaya dapat mengenalkan ragam budaya dan norma-norma sosial kepada anak-anaknya sejak dini.

Dari uraian tersebut, maka disimpulkan bahwa keluarga menjadi faktor keberhasilan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa yang mempunyai karakter, norma sosial dan yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lokal


(1)

241

Lampiran 9. Indikator Kampung Ramah Anak

INDIKATOR KAMPUNG RAMAH ANAK

KOTA YOGYAKARTA

DATA AWAL

Catatan : Data yang disajikan adalah data dalam bentuk 1 tahun sebelumnya

1. RW

: 20

2. Kelurahan

: Baciro

3. Kecamatan

: Gondokusuman

4. Jumlah KK

: 226

5. Jumlah Penduduk

: 865

6. Jumlah PUS

: 117

7 Jumlah kader untuk pemenuhan hak

anak

: 29

8. Jumlah Anak Berkebutuhan Khusus

: 3

9. Jumlah anak putus sekolah

: 3

10. Jumlah anak yg menikah dibawah

usia 18 th

: 3

11. Jumlah Pemegang KMS

a. Fakir Miskin

: -

b. Miskin

: 14

c. Hampir Miskin

: -

12. Jumlah Anak

a. Usia 0 - 12 bulan

b. Usia 1 - 5 tahun

c. Usia 6 - 12 tahun

d. Usia 13 - 16 tahun

e. Usia 17 - 18 tahun

Kelompok Hak Anak

No

Indikator

KOMITMEN

WILAYAH

1

% kader di wilayah yang berperan untuk pemenuhan hak anak ( cth : Kader posyandu, kader PAUD, Kader Bina Keluarga Balita, Pekerja Sosial Masyarakat, Kader pendamping ibu hamil, Pusat Linformasi Kespro-Remaja, Gugus tugas, Remaja masjid, kelompok kesenian, Sekolah Sepak Bola, Kelompok olah raga, dll ) = 80 %

2

Jumlah tokoh masyarakat di wilayah yang berkomitmen terhadap pemenuhan hak anak ( tidak termasuk Kader, Ketua dan pengurus RT/RW di wilayah ) = 5 orang

3

Jml peraturan / kesepakatan tertulis di wilayah yang berpihak kepada pemenuhan hak anak contoh : keputusan RW tentang jam belajar masyarakat, tentang kawasan bebas rokok = 3

4

% swadaya murni masyarakat yang dialokasikan untuk pemenuhan hak anak di


(2)

242

Misal : sumbangan masyarakat untuk kegiatan pemenuhan hak anak, posyandu, PMT Balita, Infaq TPA, sekolah minggu, 17 san, dll = 90 %

HAK SIPIL DAN

KEBEBASAN

5

Ada profil anak: data anak dengan usia, golongan darah, jenis kelamin, tingkat pendidikan, kepemilikan identitas, aktivitas, prestasi, kebutuhan khusus = belum

6

Jumlah anak memiliki Akte Kelahiran = 131

7

Jumlah anak memiliki kartu Identitas Anak ( KIA ) = 27

8

Ada dan berjalannya Forum Anak kampung yg memiliki SK Lurah, Sekretariat, program, kepengurusan dan anggota = belum

Kelompok Hak Anak

No

Indikator

9

Jml anak yang terlibat ( wakil kelompok anak usia 13 musrenbang tingkat RW = belum ada – 18 tahun ) dalam pra

10

Jumlah usulan Forum Anak yang diakomodir dalam Pra Musrenbang tingkat RW dibawa ke Kelurahan = belum ada

11

Tersedia fasilitas informasi untuk anak ( koran dinding, taman bacaan masyarakat, majalah dinding dll ) = belum ada

LINGKUNGAN

KELUARGA DAN

PENGASUHAN

ALTERNATIF

12

Jumlah anak yang menikah dibawah usia 18 tahun = 3 anak

13

Tersedianya data anak berkebutuhan khusus ( ABK ) = 3 anak

14

Jml keluarga yang ikut menangani/membantu/mendampingi anak berkebutuhan khusus ( ABK ) di bidang pendidikan dan kesehatan = 5 keluarga

15

Tersedia data anak yang berhadapan dengan hukum ( ABH ) = tidak ada

16

Jml keluarga berhadapan dengan hukum ( ABH ) = belum ada yang ikut menangani/membantu/mendampingi dengan anak

17

Tersedia data anak yatim piatu terlantar = tidak ada

18

Jml keluarga yang ikut menangani/membantu/mendampingi dengan anak yatim piatu terlantar = tidak ada

19

Jml keluarga yang ikut menangani/membantu/mendampingi dengan anak dari keluarga miskin = 12 keluarga


(3)

243

20

Ada dan berfungsinya keluarga/kelompok peduli anak di wilayah RW, seperti mitra keluarga atau lembaga konsultasi = --

21

Jumlah kelompok kegiatan simpan pinjam/koperasi/usaha bersama = 4 kelompok

22

Jumlah kematian bayi = --

23

Jumlah kematian balita = --

24

Jumlah kematian ibu melahirkan = --

25

Jml balita dengan status gizi buruk/bawah garis merah = --

26

Jml balita dengan status gizi kurang = 1 anak

27

Jml balita dengan status gizi lebih (obesitas) = --

28

Jumlah anak mendapat imunisasi dasar lengkap : BCG, DPT, Polio, Hepatitis, Campak = 90 %

29

Jumlah balita yang pernah mendapatkan ASI eksklusif = 3 balita

30

Strata Posyandu = madya

31

Rata-rata jumlah bayi dan balita datang ke posyandu setiap bulan = 40 balita

32

Jumlah kunjungan ibu hamil ke pelayanan kesehatan (K4) = 5

Kelompok Hak Anak

No

Indikator

33

Jml anak (13 HIV AIDS = belum ada – 18 tahun) yang memiliki pengetahuan tentang kespro, NAPZA dan

34

Jumlah Anak yang memiliki jaminan kesehatan = 27 anak

35

Ada dan berfungsinya “Ambulan Desa” = tidak ada

36

Tersedianya data pendonor darah di wilayah = belum ada

37

Jml keluarga/rumah tangga yang memiliki MCK (mandi, cuci, kakus) dan akses air bersih = 90 %

38

Jml keluarga/rumah tangga yang mengelola limbah rumah tangga sesuai standar

kesehatan = 70 %


(4)

244

40

Ada kawasan bebas asap rokok termasuk kawasan sekolah, tempat ibadah dan fasilitas umum lainnya = ada

41

Jml rumah yang memiliki tanaman perindang, TOGA (tanaman obat keluarga) atau tabulapot (tanaman buah dalam pot) = 50 tanaman, 16 Toga

42

Ada jadwal kerja bakti rutin untuk kebersihan lingkungan = Ada, sebulan sekali

43

Jml kesertaan program KB aktif bagi PUS (Pasangan Usia Subur) / orang tua anak

PENDIDIKAN,

PEMANFAATAN

WAKTU LUANG

DAN KEGIATAN

SENI BUDAYA

44

Jml anak usia sekolah yang sekolah di sekolah formal =

45

Jumlah anak putus sekolah yang sekolah di non formal (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) = 2 anak

46

Ada dan berfungsinya kelompok anak/komunitas anak (kelompok belajar, Taman Pendidikan Al Qur’an, sanggar, Taman Bacaan Masyarakat dll) = ada dan berfungsi

47

Ada dan berfungsinya Satuan PAUD Sejenis Pos PAUD RW = ada dan berfungsi

48

Ada dan berfungsinya SPS Pos PAUD Inklusi = ada

49

Jml anak berkebutuhan khusus (ABK) di lingkungan setempat yang terlayani pendidikannya = 3 anak

50

Ada dan berjalannya Jam Belajar Masyarakat di lingkungan = ada, blm berjalan

51

Jml anak yg bisa mengakses jaminan pendidikan (bea siswa, Kartu Menuju Sejahtera) = 18 anak

HAK

PERLINDUNGAN

KHUSUS

52

Jumlah anak yang merokok = 15 anak

53

Jumlah anak yang minum-minuman beralkohol = --

54

Jumlah anak yang menggunakan NAPZA = --

55

Jumlah kasus kekerasan anak di lingkungan/keluarga = --

SARANA DAN

PRASARANA

56

Ada tempat bermain yang aman dan nyaman bagi anak (ruang publik) = 3 lokasi

57

Ada rambu-rambu, spanduk, baliho dan plangisasi tentang promosi hak-hak anak = belum ada

58

Ada jalur evakuasi apabila terjadi bencana alam = belum ada

59

Ada dan berfungsinya fasilitas umum yang aman dan ramah bagi anak = ada

60

Ada dan berfungsinya fasilitas MCK umum yang ramah anak dan terpisah antara laki-laki dan perempuan (lantai tdk licin, bak mandi & kloset sesuai fisik anak, air bersih dll)tempat bermain yang aman dan nyaman bagi anak (ruang publik) = ada


(5)

(6)