Perilaku seksual pada remaja berpacaran ditinjau dari kelekatan terhadap ibu dan rentang usia.

(1)

vii

PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA BERPACARAN DITINJAU DARI KELEKATAN TERHADAP IBU DAN RENTANG USIA

Natan Agung Purwanto

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah kelekatan dengan ibu dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja berpacaran dan bagaimana hubungan kelekatan dengan ibu dan perilaku seksual pada remaja berpacaran dengan rentang usia yang berbeda. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode regresi dan korelasi yang dihitung dengan program SPSS for Windows versi 22.0. Hipotesis pada penelitian ini adalah 1) kelekatan dengan ibu dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja berpacaran, 2) kelekatan terhadap ibu memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan perilaku seksual pada remaja berpacaran yang berusia 10 sampai 18 tahun, 3) kelekatan terhadap ibu memiliki korelasi negatif yang rendah dan signifikan dengan perilaku seksual pada remaja akhir yang berpacaran yaitu remaja yang berusia 19 sampai 22 tahun. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 322 orang yang berpacaran dengan rentang pendidikan mulai dari SMP, SMA/SMK, hingga mahasiswa. Subyek dipilih dengan menggunakan teknik quota sampling dan snowball sampling. Hasil analisis data menunjukan bahwa 1) kelekatan terhadap ibu tidak dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja berpacaran (β= -0.078, p = 0.161, p>0.05), 2) kelekatan terhadap ibu tidak berkorelasi dengan perilaku seksual pada remaja berpacaran yang berusia 10 sampai 18 tahun (r=0.104, p = 0.115, p>0.05), 3) kelekatan terhadap ibu memiliki korelasi negatif yang rendah dan signifikan dengan perilaku seksual pada remaja akhir yang berpacaran yaitu remaja yang berusia 19 sampai 22 tahun (r=-0.184, p = 0.004, p<0.05).


(2)

viii

SEXUAL BEHAVIOR IN DATING ADOLESCENT VIEWED FROM ATTACHMENT TO MOTHER AND RANGE OF AGE

Natan Agung Purwanto

ABSTRACT

The aim of the current study was to see whether attachment to mother can predict sexual behavior in dating adolescence and how the relationship between attachment to mother and sexual behavior in adolescents with different age ranges. This research was quantitative research with regression and correlation technique. The data were calculated using SPSS for Windows version 22.0. The hypothesis of this study were 1) attachment with mother can predict sexual behavior in dating adolescent, 2) attachment to mother has significant negative correlation with sexual behavior in dating adolescent aged 10 to 18 years, 3) attachment to mother has low significant negative correlation with sexual behavior in late adolescents aged 19 to 22 years who are dating. Subjects in this study amounted to 322 dating adolescent ranging from junior high school, senior high school / vocational school, to college students. Subjects were selected using quota sampling technique and snowball sampling technique. The results showed that 1) attachment to the mother is unable to predict sexual behavior in dating adolescent (β = -0078, p = 0161, p> 0.05), 2) attachment to mother is not correlated with sexual behavior in adolescents aged 10 to dating 18 years (r = 0104, p = 0.115, p> 0.05), 3) attachment to the mother has low significant negative correlation with sexual behavior in late adolescents aged 19 to 22 years who are dating (r = -0184, p = 0.004, p <0.05).


(3)

PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA BERPACARAN

DITINJAU DARI KELEKATAN TERHADAP IBU DAN RENTANG USIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Natan Agung Purwanto 119114119

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO

SUFFER THE PAIN OF DISCIPLINE

OR

SUFFER THE PAIN OF REGRET

BIG DREAMS HAVE SMALL BEGINNINGS

THE HARDER YOU WORK, THE LUCKIER YOU GET

DO IT NOW, SOMETIMES “LATER” BECOMES “NEVER”

“IT

DOESN’T

MATTER HOW SLOWLY WE GO,

AS LONG AS WE

DON’T

STOP”

GOOD

GOD = O

“GOOD” without “GOD” means nothing.

Key of life : Love, Hope, and Faith


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji syukur dan terima kasih kupanjatkan ke dalam hadirat-Mu, Tuhan Yesus Kristus.

Tanpa bimbingan dan kekuatan-Mu, aku hanyalah debu.

Jadikanlah hasil karyaku ini berkenan bagi-Mu dan menjadi berkat bagi semua orang yang membaca atau membutuhkannya, amin.

Skripsi ini juga kupersembahkan kepada kedua orang tuaku, Bapak Yohanes Herry Purwanto dan Lilik Dwi Hastuti

Tidak lupa kepada saudara-saudaraku, Daniel Rudita Purwanto dan Yosefin Ratnaingtyas

Pada pacarku, sahabat-sahabatku, teman-teman seperjuanganku, dan kepada semua pihak yang telah membantuku dan mendukungku untuk menyelesaikan

skripsi ini, terima kasih.


(8)

(9)

vii

PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA BERPACARAN DITINJAU DARI KELEKATAN TERHADAP IBU DAN RENTANG USIA

Natan Agung Purwanto

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah kelekatan dengan ibu dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja berpacaran dan bagaimana hubungan kelekatan dengan ibu dan perilaku seksual pada remaja berpacaran dengan rentang usia yang berbeda. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode regresi dan korelasi yang dihitung dengan program SPSS for Windows versi 22.0. Hipotesis pada penelitian ini adalah 1) kelekatan dengan ibu dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja berpacaran, 2) kelekatan terhadap ibu memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan perilaku seksual pada remaja berpacaran yang berusia 10 sampai 18 tahun, 3) kelekatan terhadap ibu memiliki korelasi negatif yang rendah dan signifikan dengan perilaku seksual pada remaja akhir yang berpacaran yaitu remaja yang berusia 19 sampai 22 tahun. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 322 orang yang berpacaran dengan rentang pendidikan mulai dari SMP, SMA/SMK, hingga mahasiswa. Subyek dipilih dengan menggunakan teknik quota sampling dan snowball sampling. Hasil analisis data menunjukan bahwa 1) kelekatan terhadap ibu tidak dapat memprediksi perilaku seksual pada remaja berpacaran (β= -0.078, p = 0.161, p>0.05), 2) kelekatan terhadap ibu tidak berkorelasi dengan perilaku seksual pada remaja berpacaran yang berusia 10 sampai 18 tahun (r=0.104, p = 0.115, p>0.05), 3) kelekatan terhadap ibu memiliki korelasi negatif yang rendah dan signifikan dengan perilaku seksual pada remaja akhir yang berpacaran yaitu remaja yang berusia 19 sampai 22 tahun (r=-0.184, p = 0.004, p<0.05).


(10)

viii

SEXUAL BEHAVIOR IN DATING ADOLESCENT VIEWED FROM ATTACHMENT TO MOTHER AND RANGE OF AGE

Natan Agung Purwanto

ABSTRACT

The aim of the current study was to see whether attachment to mother can predict sexual behavior in dating adolescence and how the relationship between attachment to mother and sexual behavior in adolescents with different age ranges. This research was quantitative research with regression and correlation technique. The data were calculated using SPSS for Windows version 22.0. The hypothesis of this study were 1) attachment with mother can predict sexual behavior in dating adolescent, 2) attachment to mother has significant negative correlation with sexual behavior in dating adolescent aged 10 to 18 years, 3) attachment to mother has low significant negative correlation with sexual behavior in late adolescents aged 19 to 22 years who are dating. Subjects in this study amounted to 322 dating adolescent ranging from junior high school, senior high school / vocational school, to college students. Subjects were selected using quota sampling technique and snowball sampling technique. The results showed that 1) attachment to the mother is unable to predict sexual behavior in dating adolescent (β = -0078, p = 0161, p> 0.05), 2) attachment to mother is not correlated with sexual behavior in adolescents aged 10 to dating 18 years (r = 0104, p = 0.115, p> 0.05), 3) attachment to the mother has low significant negative correlation with sexual behavior in late adolescents aged 19 to 22 years who are dating (r = -0184, p = 0.004, p <0.05).


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan untuk berkat yang luar biasa dan penyertaan yang tiada henti oleh Tuhan Yesus Kristus. Berkat penyertaanNya, saya dapat menyelesaikan skripsi saya yang berjudul Perilaku Seksual Pada Remaja Berpacaran Ditinjau dari Kelekatan Terhadap Ibu dan Rentang Usia dengan baik. Terima kasih Tuhan, karena Engkau selalu beserta saya disaat saya tidak tahu harus bagaimana. Terima kasih atas hikmat-Mu yang selalu hadir dalam berbagai cara yang bahkan tidak saya duga ketika saya ragu. Terima kasih telah menempa saya menjadi lebih baik melalui proses yang saya jalani selama kuliah dan selama menyelesaikan skripsi ini.

Secara spesial, rasa terima kasih saya berikan sebesar-besarnya kepada keluarga saya. Kepada papah dan mamahku tercinta. Tanpa cinta kalian, saya tidak ada di dunia ini. Tanpa kasih sayang kalian, saya tidak akan menjadi seperti ini. Tanpa perhatian, bimbingan, nasehat, dan didikan kalian, saya tidak pernah tahu apa arti salah dan apa arti benar. Terima kasih sudah menjadi orang tua yang hebat dan luar biasa yang selalu memberikan yang terbaik untuk saya. Terima kasih sudah menjadi orang tua yang bisa menerima dan mencintai saya apa adanya. Terima kasih untuk kedua kakakku tersayang. Berkat kalian, saya tahu apa arti saudara. Terima kasih untuk segala yang kalian berikan pada saya, I love you all so much.

Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh jajaran dekanat, Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi dan Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si, selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi.


(13)

xi

Terima kasih juga saya ucapkan untuk semua dosen dan staf dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih untuk ilmu pengetahuan dan didikan yang telah saya dapatkan selama duduk di bangku kuliah. Berkat kalian, saya mampu untuk menempa mental dan mempersiapkan diri saya untuk menghadapi dunia yang lebih luas lagi. Terima kasih kepada Mas Muji dan Mas Doni yang telah menjadi rekan sekerja, mentor, dan sahabat saya selama satu tahun bekerja menjadi Student Staff Laboratorium Psikologi. Terima kasih untuk canda tawa serta berbagai pengalaman yang belum pernah saya dapatkan sebelumnya.

Terima kasih juga saya ucapkan kepada Dosen Pembimbing Skripsi saya yaitu Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi, berserta istri Mba Haksi Mayawati. Terima kasih atas pengalaman yang sudah diberikan dan juga proses pendidikan yang luar biasa. Terima kasih telah dengan sabar membimbing dan membantu saya menyelesaikan skripsi saya ini.

Tidak lupa juga, ucapan terima kasih kepada Dosen Pembimbing Akademik saya Ibu Debri Pristinella, M.Si. Terima kasih telah membantu saya belajar di psikologi dari awal saya masuk sampai akhirnya saya lulus. Terima kasih atas arahan dan saran yang diberikan kepada saya ketika saya bimbang untuk melangkah ke semester selanjutnya sehingga saya bisa menjadi seperti sekarang ini.

Terima kasih untuk seseorang yang telah menjadi kekasihku, sahabatku, temanku, dan guruku Erlin Sanjaya. Terima kasih untuk relasi yang telah kita


(14)

xii

jalani selama ini. Terima kasih sudah menjadi pribadi yang mau sama-sama belajar untuk menjadi yang terbaik bagi kita masing-masing. Terima kasih atas perhatian, pengertian, dan kasih sayang yang tulus yang sudah ditunjukan dengan tulus untuk saya. Berkat dirimu, saya belajar bagaimana mencintai dengan tulus, memahami orang lain, membina hubungan, menyelesaikan persoalan, dan banyak hal lain yang saya pelajari dari hubungan kita. Terima kasih juga atas segala bentuk dukungan yang telah kamu berikan sehingga saya bisa menyelesaikan kuliah saya dan skripsi saya dengan lancar.

Terima kasih untuk teman-teman riset yang telah memberikan saya pengalaman yang benar-benar baru bagi saya, Mba Dita, Mba Fiona, Dara, Rintha, dan Marlina. Berkat kalian, saya tahu penelitian. Berkat kalian, saya tahu bagaimana rasa berjuang from zero to hero. Berkat kalian pula, Melbourne bukan lagi sekedar impian, tapi kenyataan yang kita wujudkan dalam sebuah perjuangkan bersama. Terima kasih teman-teman.

Terima kasih untuk semua teman-teman dan sahabat saya angkatan 2011 yang sudah menjadi rekan seperjuangan dalam meraih mimpi di Fakultas Psikologi. Berkat kalian semua, saya belajar banyak hal. Berkat kalian, saya mampu mengembangkan karakter saya menjadi lebih baik lewat segala pertemanan dan pertengkaran yang kita alami selama ini. Terima kasih untuk kebersamaan kita selama 4 tahun yang menyenangkan. Semoga kita semua menjadi orang sukses yang diberkati dan mampu memberi berkat bagi orang lain dengan apa yang kita miliki. Kemudian, terima kasih juga saya ucapkan kepada


(15)

xiii

seluruh pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang telah membantu dan mendukung saya selama ini.

Akhir kata, saya berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua orang yang membacanya. Namun, saya menyadari bahwa banyak ketidaksempurnaan dalam diri saya maupun dalam skripsi yang saya tulis ini. Saya sebagai penulis telah berusaha sebaik-baiknya untuk menyempurnakan skripsi ini sesuai dengan kemampuan saya. Maka dari itu, dengan segala kerendahan hati saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi pengembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Sekian dan terima kasih.

Yogyakarta, 7 Juli 2015

Penulis,


(16)

xiv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Manfaat Teoritis ... 10


(17)

xv

BAB II. LANDASAN TEORI ... 12

A. Perilaku Seksual ... 12

1. Definisi Perilaku Seksual ... 12

2. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual dengan Orang Lain ... 14

3. Akibat Perilaku Seksual ... 16

B. Remaja ... 18

1. Definisi Remaja ... 18

2. Tahap Perkembangan Remaja ... 19

3. Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja ... 25

4. Remaja dan Perilaku Seksual ... 26

5. Remaja dan Relasi Berpacaran ... 28

6. Faktor yang Menyebabkan Perilaku Seksual Pada Remaja ... 29

C. Kelekatan Terhadap Ibu ... 34

1. Definisi Kelekatan ... 34

2. Mekanisme Terjadinya Kelekatan dengan Ibu ... 35

3. Aspek Kelekatan ... 37

4. Dampak ... 38

5. Jenis Kelekatan ... 39

6. Pengukuran Kelekatan ... 39

D. Dinamika Antara Kelekatan Terhadap Ibu dengan Perilaku Seksual dan Rentang Usia ... 41

E. Hipotesis ... 46


(18)

xvi

A.Jenis Penelitian... 47

B. Identifikasi Variabel Penelitian... 47

C. Definisi Operasional ... 47

1. Perilaku Seksual ... 47

2. Kelekatan Terhadap Ibu ... 48

D. Subjek Penelitian ... 49

E. Prosedur Penelitian ... 49

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 50

1. Metode ... 50

2. Alat Pengumpulan Data ... 51

a. Kelekatan Terhadap Ibu ... 51

b. Perilaku Seksual ... 52

1. Alasan Pembuatan Skala Perilaku Seksual... 54

G. Validitas dan Reliabilitas ... 55

1. Validitas Skala ... 55

2. Reliabilitas Skala ... 58

H. Metode Analisis Data... 60

I. Teknik Analisis Data ... 62

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 63

A.Persiapan Penelitian ... 63

B.Pelaksanaan Penelitian ... 64

C. Deskripsi Subjek Penelitian ... 65


(19)

xvii

1. Uji Normalitas Residu... 66

2. Uji Linearitas Residu ... 68

3. Uji Homoskesdatisitas ... 69

4. Uji Hipotesis ... 71

5. Deskripsi Data Penelitian ... 75

E. Pembahasan ... 76

F. Keterbatasan Penelitian ... 83

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

A. Kesimpulan ... 84

B. Saran... 84

1. Bagi Orang Tua ... 84

2. Bagi Remaja ... 85

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 87


(20)

xviii

DAFTAR GAMBAR

1. SKEMA 1 KAITAN ANTARA VARIABEL ... 45

2. SKEMA 2 ANALISIS ANTARA VARIABEL ... 61

3. UJI NORMALITAS DENGAN ANALISIS GRAFIK ... 67

4. UJI LINEARITAS DENGAN ANALISIS GRAFIK ... 69


(21)

xix

DAFTAR TABEL

TABEL 1. SKOR JAWABAN SUBJEK PADA SKALA INVENTORY OF PARENT AND PEER ATTACHMENT (MOTHER VERSION) ... 52 TABEL 2. DESKRIPSI RENTANG USIA ... 65 TABEL 3. DESKRIPSI TINGKAT PENDIDIKAN ... 66 TABEL 4. UJI NORMALITAS DENGAN KOLMOGOROV-SMIRNOV .... 68 TABEL 5. NILAI HOMOSKESDATISITAS PADA UJI STATISTIK S .... 70 TABEL 6. NILAI STANDARDIZED COEFFICIENTS... 71 TABEL 7. NILAI KOEFISIEN DETERMINANSI ... 72 TABEL 8. HASIL KORELASI KELEKATAN TERHADAP IBU DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA BERUSIA 10-18 TAHUN ... 73 TABEL 9. HASIL KORELASI KELEKATAN TERHADAP IBU DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA BERUSIA 19-22 TAHUN ... 74 TABEL 10. DATA MEAN EMPIRIS DAN MEAN TEORITIS PADA SKALA IPPA-M DAN PERILAKU SEKSUAL PADA SELURUH SUBJEK ... 75 TABEL 11. DATA MEAN EMPIRIS DAN MEAN TEORITIS PADA SKALA IPPA-M DAN PERILAKU SEKSUAL PADA SUBJEK BERUSIA 10 SAMPAI 18 TAHUN ... 76


(22)

xx

TABEL 12. DATA MEAN EMPIRIS DAN MEAN TEORITIS PADA SKALA IPPA-M DAN PERILAKU SEKSUAL PADA SUBJEK BERUSIA 19 SAMPAI 22 TAHUN ... 76


(23)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. RELIABILITAS SKALA ... 94 LAMPIRAN 2. UJI ASUMSI ... 95 LAMPIRAN 3. UJI HIPOTESIS REGRESI ... 97 LAMPIRAN 4. UJI HIPOTESIS KORELASI ... 98 LAMPIRAN 5. DESKRIPSI DATA PENELITIAN ... 99


(24)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam masa remaja, pemikiran dan perasaan tentang seksualitas mulai muncul seiring dengan pengalaman remaja ketika mengalami cinta pertama, memiliki teman yang aktif secara seksual, dan ketika rasa ingin tahunya tentang seksualitas mulai meningkat (Gianotta, Ciairano, Spruijt, & Spruijt-Metz, 2009). Secara biologis, munculnya pemikiran serta perasaan seksual tersebut juga dikarenakan pubertas yang dialami oleh remaja. Pubertas mempengaruhi sistem hormonal di dalam tubuh termasuk hormon seksual sehingga munculah hasrat seksual. Kondisi tersebut yang menyebabkan remaja memiliki rasa ingin tahu untuk melakukan eksplorasi di area seksualnya. Eksplorasi pada area seksual memang wajar terjadi pada tahap perkembangan remaja. Hampir setiap orang yang memasuki masa remaja akan melakukan hal tersebut (Kincaid, Jones, Sterrett, & McKee, 2012). Namun, terlibat dalam aktivitas seksual menjadi sebuah hal yang patut mendapat perhatian lebih sebagai bagian dari eksplorasi terhadap seksualitas yang dilakukan oleh remaja (Graber, Brooks-Gunn, & Galen, 1998; Mitchell & Wellings, 1998a; Tapert, Aarons, Sedlar, & Brown, 2001). Hal ini dikarenakan seksualitas pada remaja melibatkan aspek fisik dan interpersonal.


(25)

Menjalin hubungan yang intim dengan lawan jenis meupakan aspek interpersonal terkait seksualitas yang menjadi salah satu tahap dari perkembangan remaja (Hurlock, 1973). Salah satu usaha menjalin relasi intim dengan lawan jenis adalah dengan berpacaran. Munculnya dorongan seksual dan rasa cinta membuat remaja ingin selalu dekat dan mengadakan kontak fisik dengan pacar. Kedekatan fisik maupun kontak fisik yang terjadi antara remaja yang sedang pacaran akan berbeda dengan kedekatan fisik atau kontak fisik antara remaja dengan teman dan keluarga. Kedekatan fisik inilah yang akhirnya akan mengarah pada perilaku seksual dalam pacaran (Rahman dan Hirmaningsih, dalam Mayasari, 2000).

Kecenderungan remaja untuk terlibat perilaku seksual dalam pacaran dikarenakan kematangan emosi dan kognitif belum dapat dicapai sepenuhnya pada masa remaja. Someville, Jones, dan Casey (2010) menyatakan bahwa secara neurobiologis, perkembangan jaringan tubuh yang menunjang perkembangan sosioemosinal (amygdala) pada remaja berkembang sangat pesat, namun tidak diimbangi dengan perkembangan jaringan tubuh yang berperan dalam perkembangan kognitif, pembuatan keputusan, penalaran, dan perencanaan (prefrontal cortex). Bagian ini belum mencapai pertumbuhan secara sempurna sampai seseorang memasuki masa dewasa awal. Di sisi lain, perkembangan yang pesat pada aspek sosioemosional pada remaja menyebabkan remaja lebih sensitif terhadap stimulus yang bersifat emosional

seperti munculnya gairah seksual. Padahal, kemampuan untuk


(26)

(Someville dkk, 2010). Hal ini membuat seseorang yang berada pada tahap remaja memiliki kekurangan dalam kontrol diri terhadap rasa ingin tahu yang dimilikinya (Steinberg, 2008). Kombinasi dari meningkatnya sensitivitas remaja terhadap rangsangan emosional serta kurangnya kontrol terhadap diri yang membuat remaja rentan terlibat dalam aktivitas seksual (Someville, Jones, & Casey, 2010) terutama saat berpacaran.

Hasil dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa remaja memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk terlibat dalam aktivitas seksual dibandingkan dengan orang dewasa. Lebih parahnya lagi, remaja cenderung melakukan perilaku berisiko dalam aktivitas seksualnya. Berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui bahwa semakin dewasa seseorang, maka keterlibatannya dalam perilaku-perilaku berisiko semakin berkurang. Berkurangnya perilaku-perilaku berisiko tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa hal, seperti berkurangnya konsumsi minuman keras (Fleming dkk., 2000 dalam Searle, 2009) dan berkurangnya kesempatan untuk terlibat cinta satu malam karena orang dewasa lebih berfokus pada bagaimana mempertahankan suatu hubungan (Szielasko, Symons, dan Price, 2013). Orang dewasa juga cenderung untuk terlibat dalam hubungan jangka panjang yang berkomitmen dibandingkan dengan remaja. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kecenderungan untuk terlibat dalam perilaku seksual berisiko. Penelitian sebelumnya (Waller, 1937 dalam Searle, 2009) juga menemukan bahwa remaja cenderung mencari hubungan yang bersifat jangka pendek daripada cinta romantis yang bersifat jangka panjang. Tujuan


(27)

mereka terlibat dalam suatu hubungan hanya untuk mencari gairah dan eksploitasi pada area seksual.

Peneliti melihat bahwa remaja tidak bisa begitu saja mengekspresikan dorongan seksual dalam dirinya karena norma yang ada. Akan tetapi, libido yang sangat kuat tetap membuat remaja melakukan perilaku seksual walaupun ada norma yang mengatur. Maka dari itu, salah satu caranya adalah dengan melakukan perilaku seksual dengan pacar. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 oleh DKT Indonesia (salah satu produsen merek kondom). DKT Indonesia melakukan survey terkait perilaku seksual remaja dengan 663 responden berusia 15-25 tahun di lima kota besar yaitu Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. Hasilnya, bahwa rata-rata responden berhubungan seks pertama pada usia 19 tahun. Pada umumnya, mereka berhubungan seks dengan pacar (88 persen), yang wanita dengan sesama jenis (9 persen), dan yang pria bersama pekerja seks (8 persen) (dalam www.lifestyle.okezone.com, diakses pada 11 Mei 2015).

Perilaku seksual memiliki dampak negatif yang besar bagi kehidupan remaja dan lingkungan di sekitarnya apabila dilakukan tanpa pengetahuan yang cukup. Kehamilan dini, aborsi, penularan penyakit menular seksual (Goodson, Evans, Edmunson, 1997; Kothick, Shaffer, Forehand, 2001), meningkatnya kejahatan, penggunaan alkohol, narkoba (Donovan & Jessor, 1985; Hockaday dkk., 2000; Tapert dkk., 2001, Naimi, Lipscomb, Brewer, & Gilbert, 2003 dalam Gianotta, dkk, 2009) dan meningkatnya angka kelahiran anak-anak tidak diinginkan (Bukatko, 2008) adalah beberapa contoh akibat


(28)

dari perilaku seksual. Namun, dampak negatif justru semakin terlihat seiring bertambahnya usia remaja. Melihat dampak perilaku seksual pada remaja tentang penyakit menular seksual contohnya di Yogyakarta sungguh memprihatinkan. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DIY mencatat 2588 kasus HIV/AIDS dari tahun 1993 sampai Maret 2014. Berdasarkan data tersebut, 41 kasus dialami oleh remaja berusia 14-15 tahun sedangkan 890 kasus dialami oleh remaja berusia 20-29 tahun (dalam www.aidsyogya.or.id, diakses pada 11 Mei 2015). Hal ini didukung dengan survey sebelumnya yang dilakukan oleh Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan (LSCK) pada tahun 2002 dengan subjek mahasiswa. Hasilnya, sebanyak 97,5% dari total responden berjumlah 1660 orang, mengaku telah kehilangan keperawanannya

karena seks pranikah dengan pasangan (dalamwww.sosbud.kompasiana.com,

diakses pada 11 Mei 2015).

Dampak yang timbul karena perilaku seksual juga memiliki pengaruh jangka panjang yang buruk pada remaja. Kehamilan pada masa remaja yang disebabkan karena perilaku seksual berkaitan dengan pencapaian akademik yang rendah, depresi, dan self-esteem yang rendah (Corcoran, Franklin, & Bennett, 2000; Hockaday, Sedahlia, Shelley, & Stockdale, 2000). Selain itu, efek jangka panjang yang cukup membahayakan bagi remaja adalah timbulnya perasaan bersalah, depresi, dan marah (Simkins, 1984 dalam Sarwono 2011). Regulasi emosi remaja yang belum matang berpotensi membuat remaja sulit mengatasi perasaan bersalah karena melakukan hubungan seksual.


(29)

Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa komunikasi, terutama dengan ibu, adalah faktor protektif yang paling konsisten. Beberapa penelitian sebelumnya melaporkan bahwa ibu adalah sosok yang paling sering disebutkan sebagai orang yang berkomunikasi dengan remaja terkait masalah seksualitas (Miller, Levin, Whitaker, & Xu, 1998 dalam Aspy, 2007). Ketika ibu memberitahu anak remajanya untuk tidak terlibat dengan perilaku seksual, mereka cenderung untuk tidak terlibat dalam perilaku seksual bahkan ketika ada pengaruh dari orang lain untuk aktif secara seksual (Dittus & Jaccard, 2000; Whitaker & Miller, 2000 dalam Aspy, 2007). Remaja yang orang tuanya mengizinkan atau tidak mengkomunikasikan penolakannya terhadap perilaku seksual cenderung lebih aktif secara seksual (Todd, Fisher, Hill, Walker, 2008; Jaccard, Dittus, & Gordon, 1998; Sieving, McNeely, & Blum, 2000 dalam Kincaid, Jones, Sterrett, McKee 2012).

Berdasarkan teori di atas, peneliti berasumsi bahwa seharusnya ketika seorang anak dekat dengan ibunya maka anak akan terhindar dari perilaku seksual pada masa remaja karena memungkinkan terjadinya komunikasi yang intensif. Namun, berdasarkan hasil observasi di lapangan, peneliti menemukan fenomena dimana anak yang tinggal dan dekat dengan ibunya tetap terlibat perilaku seksual. Hal ini berarti ada sesuatu yang lebih mendasar daripada keberadaan figur seorang ibu dan komunikasi yang dibangun terkait seksualitas. Peneliti menduga bahwa ikatan emosional atau kelekatan merupakan dasar yang penting dalam hubungan antara anak dengan orang tuaya. Hubungan tanpa ikatan emosional tidak memberikan rasa aman pada


(30)

anak. Apalagi jika dalam berinteraksi anak mendapat tekanan dari orang tua, akan membuat anak merasa tidak dekat dan tidak menjadikan orang tuanya

sebagai ”role model”. Anak akan lebih percaya kepada "peer group"nya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif (Eliasa. 2011).

Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya keterkaitan antara hubungan orang tua dengan anak yang positif dengan berkurangnya keterlibatan remaja dalam perilaku seksual. (Wight D dan Abraham C, 2005; Aspy dkk., 2007). Hubungan yang positif terbentuk dari komunikasi dan kelekatan aman yang terjalin antara anak dengan orang tua (Pearson, Muller, dan Frisco, 2006). Kelekatan adalah ikatan emosional yang terbentuk antara orang tua dengan anaknya (Bowlby, 1969). Menurut Bowlby (1969, 1973) dan peneliti lainnya (Ainsworth dkk., 1978; Sroufe, 1988 dalam Peluso dkk, 2004), kelekatan yang aman ditunjukkan dengan perasaan intim yang kuat, perasaan aman dan nyaman ketika berada dekat dengan orang tua. Seorang anak yang mendapatkan kelekatan yang aman akan merasakan kehangatan dan kualitas hubungannya dengan orang tua akan menjadi positif. Mereka akan merasa dirinya aman dan tidak cemas untuk menjalin relasi dengan teman dan pacar sehingga anak-anak seperti ini tidak rentan terhadap perilaku seksual. Selain itu, kelekatan aman memungkinkan terjadinya komunikasi yang intim dengan orang tuanya (Ainsworth dkk., 1978). Seorang anak yang dengan bebas dapat berkomunikasi terutama tentang seksualitas dengan orang tuanya akan cenderung terhindar dari perilaku seksual berisiko di masa remaja karena orang tua dapat menjadi “role model” untuk memberikan


(31)

konseling dan pendidikan seks kepada anaknya (Pearson, Muller, & Frisco, 2006 ; Ajidahun & Akoko, 2013; Dittus dan Jaccard, 2000; Lammers, Ireland, Resnick, dan Blum, 2000 dalam Regnerus & Luchies 2006). Akan tetapi, peneliti tidak menemukan studi yang membahas kelekatan terhadap ibu secara spesifik berkaitan dengan perilaku seksual.

Di sisi lain, terjadi kontradiksi antara beberapa penelitian sebelumnya terkait kelekatan dan perilaku seksual berdasarkan studi literatur yang dilakukan oleh Buhi dan Goodson (2007). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa tidak ada korelasi antara kedekatan anak kepada orang tua dengan perilaku seksual di masa remaja (Diiorio C, Dudley, Soet, McCarty, 2004; Roche, Mekos, Alexander, dkk., 2005; Cleaveland, 2003; French, 2003). Beberapa penelitian lainnya menunjukkan hasil lain seperti kedekatan dengan ibu dan waktu yang dihabiskan dengan ibu dapat mencegah perilaku seksual hanya kepada anak perempuan saja, tidak dengan laki-laki, komunikasi dengan orang tua memiliki efek yang berbeda pada laki-laki dan perempuan, pengawasan dari orang tua tidak memiliki hubungan (Ramirez-Valles, Zimmerman, Juarez, 2002; Ream, Savin-Williams, 2005; Davis, Friel 2001; Rose, Bhaskar, & dkk., 2005; Biddlecom, Awusabo-Asare, Bankole, 2009). Inkonsistensi hasil dalam penelitian sebelumnya terjadi karena penelitian sebelumnya menggunakan konstruk kedekatan dengan orang tua namun dengan pemahan konsep yang berbeda sehingga pengukuran kedekatan dengan orang tua menggunakan instrumen atau metode penskalaan yang berbeda-beda. Selain itu, reliabilitas dan validitas dari data yang digunakan


(32)

belum teruji. Hal ini dikarenakan beberapa penelitian sebelumnya tidak menggunakan sampel dalam jumlah besar yang dapat mewakili seluruh populasi. Selain itu, peneliti sebelumnya hanya menggunakan analisis statistik univariat dibandingkan menggunakan analisis statistik bivariat yang mampu menganalisis beberapa variabel bebas dan variabel terikat sehingga hasil analisis dari data tersebut tidak mencerminkan kompleksitas dari perilaku seksual. Keterbatasan ini membuat hasil penelitian sebelumnya tidak dapat digeneralisir karena hubungan sebab akibat antar variabel tidak dapat dibangun dan kurangnya kontrol terhadap bias (Buhi & Goodson, 2007).

Berdasarkan pemaparan teoritis penulis di atas, penulis menduga bahwa jika kelekatan orang tua (khususnya ibu) dapat diukur dengan alat ukur yang mampu menampung konsep kelekatan yang digunakan pada penelitian sebelumnya, serta jumlah subjek diperluas pada berbagai kelompok remaja, maka kelekatan terhadap ibu memiliki suatu keterkaitan dengan perilaku seksual sekaligus dapat menjadi prediktor keterlibatan remaja dalam perilaku seksual. Selain itu, penulis juga menduga bahwa rentang usia selama masa remaja memiliki keterkaitan dengan kelekatan terhadap ibu dan perilaku seksual. Maka dari itu, penulis merasa perlu melakukan penelitian tentang perilaku seksual pada remaja berpacaran terkait rentang usia dan kelekatan terhadap ibu untuk melihat bagaimana hubungan variabel-variabel tersebut.


(33)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan menjadi pertanyaan yang merumuskan masalah dari penelitian ini yaitu : apakah kelekatan terhadap ibu dapat memperediksi perilaku seksual pada remaja? Apakah ada kaitan antara perbedaan rentang usia pada remaja dan kelekatan terhadap ibu dengan perilaku seksual pada masa remaja?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah kelekatan ibu dengan anak dapat menjadi prediktor untuk perilaku seksual pada masa remaja secara keseluruhan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat bagaimana hubungan perilaku seksual ditinjau dari rentang usia dan kelekatan dengan ibu pada remaja.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam bidang psikologi sosial dan perkembangan bahwa kelekatan anak dengan ibu memiliki kaitan yang penting dengan keterlibatan anak dalam perilaku seksual di masa remaja terutama saat remaja mulai membangun relasi berpacaran.


(34)

2. Manfaat Praktis

Dapat memberikan informasi bagi orang tua, terutama ibu, untuk lebih memperhatikan hubungan yang dibangun dengan anak. Hal ini dikarenakan dengan ikatan emosional yang baik dalam suatu hubungan dapat membentuk komunikasi yang baik dan perasaan nyaman pada anak sehingga terhindar dari periaku seksual sebelum waktunya ketika memasuki masa remaja.


(35)

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PERILAKU SEKSUAL 1. Definisi Perilaku Seksual

Perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia. Perilaku juga dapat diartikan sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun kompleks serta mempunyai sifat diferensial, artinya satu stimulus dapat menimbulkan lebih dari satu respon yang berbeda dan beberapa stimulus yang berbeda dapat saja menimbulkan satu respon yang sama (Azwar ,1995). Salisa (2010) menjelaskan pandangannya mengenai perilaku sebagai suatu keadaan jiwa atau berpikir dan sebagainya dari seseorang untuk memberikan respon atau tanggapan terhadap situasi di luar subjek tersebut. Respon atau tanggapan ini terdiri dari dua macam yaitu bersifat aktif (dengan tindakan sehingga dapat dilihat) dan bersifat pasif (tanpa tindakan sehingga tidak dapat dilihat). King (2010) juga memberikan definisi yang serupa dengan Salisa. Perilaku didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan dan dapat diamati secara langsung. Perilaku tersebut disertai dengan proses mental yaitu perilaku yang tidak dapat diamati secara langsung seperti berpikir. Dengan demikian, perilaku dapat diartikan sebagai manifestasi dari proses internal yang terjadi dalam diri individu karena adanya rangsangan dari dalam maupun dari luar


(36)

individu yang diwujudnyatakan dalam suatu tindakan atau respon tertentu dan dapat diukur secara langsung atau tidak langsung.

Sedangkan seks dalam kamus bahasa berarti jenis kelamin. Segala sesuatu yang berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan disebut seksual. Chaplin (dalam Farisa 2013) menjelaskan bahwa seksual menyinggung hal reproduksi atau perkembangbiakan lewat penyatuan dua individu yang berbeda yang masing-masing menghasilkan sel telur dan sel sperma. Secara umum, menyinggung perilaku, perasaan, atau emosi yang berasosiasi dengan perangsangan alat kelamin, daerah-daerah erogenous, atau dengan proses perkembangbiakan. Maka, perilaku dan seks memiliki keterkaitan satu sama lain karena seks juga menyinggung perilaku seseorang.

Sarwono (2011), mendefinisikan perilaku seksual sebagai segala bentuk perilaku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Kartono dan Amrillah (dalam Salisa, 2010) juga menjelaskan bahwa perilaku seks adalah mekanisme bagi manusia untuk melanjutkan keturunan. Selain itu, perilaku seksual merupakan hal yang menimbulkan sensasi yang menyenangkan ketika kedua pasangan sama-sama siap (Miron & Miron,


(37)

2006). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual adalah suatu tindakan yang didasari oleh hasrat seksual sebagai manifestasi dari proses internal yang terjadi dalam diri individu karena adanya rangsangan dari dalam maupun dari luar individu dan dilakukan oleh pasangan yang sejenis maupun berbeda jenis dengan tujuan reproduksi atau untuk mendapat kepuasan baik secara fisik maupun psikologis.

2. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual dengan Orang Lain

Menurut Nevid, Rathus dan Rathus (2008), terdapat beberapa bentuk perilaku seksual, yaitu foreplay yang dimulai dari 1) Berciuman (kissing), ciuman dapat menjadi bentuk afeksi seseorang terhadap pasangannya, teman atau kerabatnya. Untuk itu ciuman bisa sebatas pada pipi, atau yang lebih jauh lagi yaitu ciuman pada bibir. Berciuman bibir dapat dengan adanya gerakan lidah pada mulut pasangan (deep kissing), atau hanya sekedar menempelkan bibir pada pasangan. Pada setiap deep kissing hampir selalu disertai dengan adanya gerakan erotis tangan pada tubuh pasangan. 2) Stimulasi payudara antara lain mencium, menghisap atau menjilati payudara pasangan. Bagian tubuh lain yang biasanya juga dicium termasuk tangan dan kaki, leher dan lubang telinga, paha dalam, dan alat kelamin. 3) Menyentuh (touching) dan stimulasi oral genital, menyentuh atau meraba daerah erotis dari pasangan dapat menimbulkan rangsangan. Perempuan dan pria secara umum memilih stimulasi oral (mulut) atau manual (tangan) terhadap alat


(38)

kelaminnya. Sampai pada tahap intercourse yaitu aktivitas seksual antara laki-laki dan perempuan dimana alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan.

Menurut Vener dan Stewart (dalam Nophira 2010), perilaku seksual itu dimulai dari saling berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, necking, petting, hingga ke senggama dan pada akhirnya melakukan senggama pada banyak orang. Hasil penelitian Sahabat Remaja (1987) dalam Nophira 2010, menunjukkan bahwa perilaku seksual bertahap mulai dari saling berpegangan tangan, berciuman, saling berpelukan, menempelkan alat kelamin dengan atau tanpa alas sampai pada puncaknya yaitu melakukan senggama. Menurut Sarwono (2011) bentuk tingkah laku seks bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik, pacaran, kissing, kemudian sampai intercourse meliputi:

a. Kissing

Ciuman yang dilakukan untuk menimbulkan rangsangan seksual, seperti di bibir disertai dengan rabaan pada bagian-bagian sensitif yang dapat menimbulkan rangsangan seksual. Berciuman dengan bibir tertutup merupakan ciuman yang umum dilakukan. Berciuman dengan mulut dan bibir terbuka, serta menggunakan lidah itulah yang disebut french kiss. Kadang ciuman ini juga dinamakan ciuman mendalam/soul kiss.


(39)

b. Necking

Berciuman di sekitar leher ke bawah. Necking merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan ciuman di sekitar leher dan pelukan yang lebih mendalam.

c. Petting

Perilaku menggesek-gesekkan bagian tubuh yang sensitif, seperti payudara dan organ kelamin. Petting merupakan langkah yang lebih mendalam dari necking. Ini termasuk merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan termasuk lengan, dada, buah dada, kaki, dan kadang-kadang daerah kemaluan, baik di dalam atau di luar pakaian.

d. Intercourse

Bersatunya dua orang secara seksual yang dilakukan oleh pasangan pria dan wanita yang ditandai dengan penis pria yang ereksi masuk ke dalam vagina untuk mendapatkan kepuasan seksual.

Dari keseluruhan uraian di atas, maka bentuk perilaku seksual dapat dikelompokkan dari tahap yang ringan seperti berpegangan tangan, berpelukan, ciuman di pipi atau kening, sampai tahap yang berat seperti necking, petting (melakukan stimulasi di daerah erotis seperti dada atau alat kelamin), dan intercourse (senggama).

3. Akibat Perilaku Seksual

Perilaku seksual sebelum waktunya yang tidak diimbangi dengan pengetahuan memiliki risiko sebagai berikut :


(40)

a. Terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (Copper dkk, 1998, dalam Dawson, Shih, Moor, & Shrier, 2008; Nevid, Rathus & Rathus, 2008). Hal ini dapat membuat remaja terpaksa menikah padahal mereka belum siap secara mental, sosial, dan ekonomi.

b. Secara psikososial, akibat dari perilaku seksual berisiko adalah munculnya ketegangan mental, penolakan dari masyarakat, dan kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba berubah jika seorang gadis tiba-tiba hamil. Selain itu, ada juga akibat lain seperti putus sekolah dan akibat-akibat ekonomi karena diperlukan biaya perawatan dan lain-lain (Sanderowitz & Paxman, 1985 dalam Sarwono, 2011). c. Secara emosional, perilaku seksual berisiko dapat menimbulkan

perasaan bersalah, depresi, dan marah (Simkins, 1984 dalam Sarwono 2011).

d. Pengguguran kandungan (aborsi), apabila hal ini dilakukan oleh orang yang belum terlatih dapat membahayakan atau bahkan menyebabkan kematian bagi sang ibu (Nevid, Rathus & Rathus, 2008).

e. Terkena penyakit menular seksual (HIV/AIDS, raja singa, dan lain-lain), khususnya bagi remaja yang sering berganti-ganti pasangan atau yang sering melakukan hubungan seksual dengan penjajah seks (Dawson, Shih, Moor, & Shrier, 2008).


(41)

B. REMAJA

1. Definisi Remaja

Remaja adalah salah satu tahap perkembangan manusia dimana terjadi perubahan yang besar pada manusia muda (Santrock, 2002). Pada waktu inilah perubahan secara fisik terjadi dengan sangat cepat. Perubahan fisik yang jelas terlihat adalah perubahan bentuk tubuh baik pada laki-laki maupun perempuan. Perubahan fisik yang lain juga terjadi pada organ reproduksi. Pada masa remaja, organ reproduksi mulai matang. Kematangan organ reproduksi ditandai dengan terjadinya pubertas (Santrock. 2002). Biasanya, terjadinya pubertas pada remaja disertai dengan kesibukan remaja untuk mengenali tubuh mereka dan mengembangkan citra dirinya mengenai gambaran tubuh mereka. Pubertas sendiri adalah suatu periode pada masa remaja dimana kematangan kerangka tubuh dan seksual terjadi secara pesat. Salah satu perubahan fisik yang terjadi selama masa pubertas adalah menarche atau haid pertama pada perempuan dan mimpi basah pada laki-laki.

Remaja tidak hanya ditandai dengan perubahan fisik saja, tetapi remaja juga mengalami perubahan pada aspek kognitif, sosio/emosional, dan interpersonal. Secara kognitif, rasa ingin tahu remaja terhadap suatu hal muncul karena pada masa remaja seseorang mulai mengembangkan pemikiran operational formal (Piaget, dalam Santrock 2002). Pada fase ini, seseorang mulai dapat berpikir dengan abstrak, logis, dan berusaha menarik kesimpulan dari informasi-informasi yang didapatnya dari


(42)

lingkungan di sekitarnya. Ketika remaja bertumbuh dan berkembang, interaksi interpersonal remaja mendapat banyak pengaruh dari pihak luar seperti orang tua, teman sebaya, komunitas, budaya, agama, lingkungan sekolah, dan media (AACAP, 2003 dalam Spano, 2004).

Menurut WHO, remaja adalah orang-orang yang berusia 10 sampai 20 tahun (Sarwono, 2011). Menurut Spano (2004), masa remaja secara global terjadi pada usia 10 sampai 21 tahun. Sedangkan Santrock (2007) membagi remaja menjadi dua rentang usia. Pertama adalah masa remaja awal dengan rentang usia 10 tahun hingga 13 tahun. Kedua adalah masa remaja akhir dengan rentang usia 18 tahun hingga 22 tahun. Santrock membedakan masa remaja awal dengan akhir karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa. Senada dengan Santrock, Steinberg (2002) juga melakukan periodisasi pada masa remaja. Remaja dibagi menjadi tiga periode, yaitu remaja awal berusia 10 sampai 13 tahun, remaja tengah berusia 14 sampai 18 tahun, dan remaja akhir berusia 19 sampai 22 tahun. Berdasarkan pendapat beberapa ahli yang telah dipaparkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja adalah seseorang yang berusia 10 hingga 22 tahun.

2. Tahap Perkembangan Remaja

Santrock (2002), menjelaskan bahwa masa remaja adalah peralihan dari masa anak ke masa dewasa yang ditandai dengan berubahnya fisik maupun kognitif seseorang. Spano (2004) melihat tahap perkembangan remaja berdasarkan rentang usia dan mengkategorikan perkembangan


(43)

tersebut ke dalam lima area perkembangan yaitu pergerakan menuju kemandirian, ketertarikan masa depan/perkembangan kognitif, seksualitas, perubahan fisik, dan etika dan norma diri. Tahapan perkembangan remaja menurut Spano adalah sebagai berikut :

a. Remaja awal (10-14 tahun)

1) Pergerakan menuju kemandirian.

Konsep identitas mulai muncul pada diri remaja dan akan terus dibentuk dari waktu ke waktu. Remaja juga mulai belajar untuk mengekspresikan perasaannya melalui tindakan. Pada masa ini, perhatian terhadap orang tua mulai menurun dan digantikan dengan ketertarikan untuk bergabung dengan teman sebaya yang dekat dengan dirinya. Pergaulan ini memiliki pengaruh yang besar karena remaja mulai menyadari bahwa orang tuanya tidak sempurna sehingga remaja pada masa ini mencoba mencari sosok lain yang dapat memberikan cinta selain orang tua. Kecenderungan untuk kembali ke perilaku kekanak-kanakan masih cukup besar ketika remaja mengalami konflik. 2) Ketertarikan masa depan/perkembangan kognitif.

Secara kognitif, pada masa ini remaja mulai mengembangkan kemampuan untuk berpikir abstrak. Remaja pada masa ini lebih banyak tertarik pada apa yang ada dihadapannya saat ini. Namun, ketertarikan terhadap karir atau mimpi di masa depan mulai muncul. Pada masa ini juga kemampuan untuk bekerja atau melakukan suatu kegiatan sangat besar.


(44)

3) Seksualitas.

Dalam hal seksualitas, perempuan matang lebih cepat dibanding laki-laki. Namun, pada masa ini, baik laki-laki dan perempuan mulai memunculkan ketertarikan akan tubuh. Mulai timbul rasa malu dan ingin melakukan eksplorasi tubuh dengan privasi. Biasanya muncul perilaku masturbasi sebagai bentuk eksplorasi seksual.

4) Perubahan fisik.

Pada masa ini, secara fisik, tubuh mulai bertambah tinggi dan besar. Selain itu, mulai muncul rambut pada ketiak atau kemaluan, rambut pada wajah (khususnya pria), kumis, mulai muncul minyak di wajah atau kulit, dan suara membesar (pada pria). Testis dan penis berkembang dan pria mengalami mimpi basah. Sedangkan pada wanita, rahim berkembang, buah dada membesar serta mengalami menstruasi. 5) Etika dan norma diri.

Pada masa ini, remaja mulai memahami suatu aturan. Di sisi lain, kecenderungan untuk mencoba suatu hal di luar peraturan yang diyakini juga mulai muncul. Biasanya, perilaku yang muncul adalah mencoba rokok atau alkohol.

b. Remaja pertengahan (15-16 tahun) 1) Pergerakan menuju kemandirian.

Kesadaran terhadap diri mulai meningkat, di sisi lain remaja juga mulai menyadari perasaan cemas yang timbul karena kegagalan dan harapan yang tidak realistis. Remaja lebih bersikap mandiri dan merasa


(45)

terganggu bila ada campur tangan orang tua. Oleh karena itu, remaja pada masa ini cenderung menarik diri dari orang tua dan mengeluarkan usaha lebih besar untuk mencari teman baru. Remaja pada masa ini juga akan memberi perhatian lebih pada kelompok dimana dia bergabung. Pada masa ini, remaja mulai mencoba memahami pengalaman yang terjadi dalam dirinya dan biasanya pengalaman tersebut dituliskan dalam bentuk buku harian (diary). Selain itu, remaja pada masa ini juga sangat memperhatikan penampilan dan tubuhnya.

2) Ketertarikan masa depan/perkembangan kognitif.

Remaja pada masa ini sudah tertarik dengan hal-hal yang bersifat intelektual dan kemampuan untuk berpikir visioner semakin berkembang. Oleh karena itu, remaja mulai belajar untuk mengarahkan energi psikisnya pada kreatifitas yang dimiliki untuk menunjang ketertarikan remaja terhadap suatu bidang karir tertentu. Di sisi lain, rasa cemas terhadap kemampuan akademik di sekolah juga mulai timbul pada remaja di masa ini.

3) Seksualitas.

Selain tubuh dan penampilan, daya tarik seksual juga menjadi hal yang sangat diperhatikan oleh remaja pada masa ini. Hal ini dikarenakan orientasi seksual pada remaja mulai jelas terlihat pada masa ini dan remaja mulai menumbuhkan perasaan cinta, nafsu, dan malu terhadap lawan jenis. Namun, kemampuan untuk mempertahankan hubungan belum terbentuk sehingga remaja pada masa ini cenderung tidak stabil


(46)

dalam satu hubungan. Konflik internal juga bisa saja terjadi pada remaja yang memiliki orientasi seksual homoseksual.

4) Perubahan fisik.

Pada usia ini, fisik laki-laki terus tumbuh sedangkan fisik perempuan pertumbuhannya mulai melambat. Perempuan hanya tumbuh 2,5 sampai 5 sentimeter setelah periode menstruasi yang pertama.

5) Etika dan norma diri.

Remaja juga mengembangkan kemampuan untuk memilih role model

yang sesuai dengan idealisme dirinya, mulai tertarik dengan moralitas, dan kemampuan untuk menentukan tujuan hidupnya semakin meningkat.

c. Remaja akhir (17-21 tahun)

1) Pergerakan menuju kemandirian.

Remaja yang mencapai masa ini memiliki identitas diri yang lebih kokoh dan mampu untuk membuat keputusan yang mandiri. Remaja juga lebih tertarik untuk menjadi stabil. Dari segi emosional, kestabilan tersebut ditandai dengan kemampuan menunda kegembiraan atau kepuasan pribadi (delayed gratification). Selain itu, remaja pada fase ini memliki kemampuan untuk mengembangkan ide-ide. Kemampuan

tersebut ditunjang dengan munculnya kemampuan untuk

mengekspresikan ide tidak hanya melalui tindakan tetapi juga melalui kata-kata. Bahkan, tidak hanya berhenti pada kemampuan untuk bertindak saja tetapi remaja pada masa ini sudah memunculkan rasa


(47)

bangga terhadap hasil kerjanya. Kemudian, kepercayaan diri pada masa remaja ini semakin terbangun. Kemampuan untuk berkompromi dengan orang lain juga muncul sehingga remaja juga lebih memiliki perhatian terhadap orang lain.

2) Ketertarikan masa depan/perkembangan kognitif.

Pada masa ini, pola kerja semakin terbentuk. Selain itu, remaja juga lebih memperhatikan masa depannya dan lebih memikirkan tentang peranan diri dalam hidupnya.

3) Seksualitas.

Seksualitas remaja pada masa ini dalam hal berelasi dengan orang lain semakin matang karena lebih memperhatikan hubungan yang serius. Identitas seksualnya juga sudah jelas. Kemudian, remaja pada masa ini juga lebih memiliki kapasitas untuk mencintai dengan tulus, kehangantan, dan gairah.

4) Perubahan fisik.

Sebagian besar wanita yang memasuki fase ini, organ tubuhnya telah berkembang secara penuh dan mencapai kematangan. Namun, pada laki-laki, tubuh tetap bertambah tinggi, besar, dan masa otot juga semakin bertambah.

5) Etika dan norma diri.

Remaja mampu menggunakan wawasan yang luas (insight), lebih fokus pada gengsi dan harga diri. Selain itu, remaja pada masa ini sudah mampu untuk mengatur dirinya, menyusun tujuan-tujuan hidup, dan


(48)

mengambil tindakan untuk mencapai tujuan tersebut. Secara sosial, remaja sudah mampu menerima tradisi atau budaya yang ada di sekitarnya.

3. Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1978) tugas perkembangan pada masa remaja ada sebagai berikut :

a. Mencapai relasi yang baru dan lebih dewasa dengan teman sebaya baik dengan laki-laki maupun perempuan.

b. Mencapai peran sosial baik maskulin atau feminin.

c. Menerima keberadaan tubuhnya dan menggunakan tubuh secara

efektif.

d. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.

e. Mencapai kepastian ekonomi yang mandiri.

f. Memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan.

g. Mempersiapkan diri dalam kehidupan pernikahan dan berkeluarga.

h. Mengembangkan kemampuan intelektual dan konsep yang dibutuhkan

untuk kehidupan sosial.

i. Memiliki perilaku yang bertanggung jawab secara sosial.

j. Memperoleh nilai-nilai dan etika dalam hidup sebagai panduan untuk


(49)

4. Remaja dan Perilaku Seksual

Santrock (2002) secara umum menyimpulkan bahwa pada masa remaja ini, sebagian perkembangan anak-anak masih dicapai seperti pertumbuhan tinggi badan dan sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai seperti kematangan organ reproduksi. Kematangan organ reproduksi ditandai dengan pubertas. Pubertas adalah suatu periode dimana kematangan kerangka dan seksual terjadi secara pesat terutama pada awal masa remaja (Santrock, 2002).

Pubertas dapat dilihat dari munculnya tanda-tanda seksual sekunder maupun primer. Tanda-tanda seksual tersebut dipengaruhi oleh hormon-hormon seksual yang mulai aktif dan bahkan meningkat sangat drastis konsentrasinya pada masa remaja. Perubahan suara dan perubahan bentuk tubuh merupakan tanda seksual sekunder. Sedangkan tanda seksual primer adalah haid pertama (menarche) pada perempuan dan mimpi basah pada laki-laki. Kedua tanda tersebut muncul pada remaja yang mulai memasuki masa pubertas yang menjadi awal munculnya ketertarikan seksual pada remaja

Hormon-hormon dalam tubuh yang berkembang tidak hanya menyertakan sejumlah perubahan fisik saja, tetapi juga perubahan psikologis pada remaja. Perubahan fisik remaja menjadi lebih besar dianggap oleh masyarakat sebagai tanda bahwa remaja akan menjadi dewasa (Windy, 2009; Becnel 2013). Tuntutan-tuntutan secara sosial


(50)

mulai muncul membuat remaja mengalami krisis identitas ketika remaja tidak mampu menghadapinya (Erikson, 1968 dalam King 2010).

Krisis identitas adalah tahap dimana remaja dihadapkan dengan banyak peranan baru dan status dewasa baik dari segi pekerjaan maupun percintaan, namun remaja sulit untuk membuat keputusan terhadap permasalahan-permasalahan tersebut untuk menentukan identitas dirinya (King, 2010). Dalam rangka menyelesaikan krisis identitas ini, remaja memunculkan banyak minat dan mencari berbagai alternatif. Salah satu minat yang muncul adalah minat terhadap seks dan perilaku seksual (Windy, 2009). Sehingga, minat remaja terhadap seks tidak hanya terjadi karena perubahan hormon saja, tetapi juga sebagai bagian dari perkembangan sosio-emosional remaja.

Meningkatnya minat terhadap seks membuat remaja berusaha untuk mencari informasi lebih banyak mengenai seks. Namun, karena lingkungan sekolah atau perguruan tinggi yang tidak memungkinkan bagi remaja untuk mencari informasi, remaja cenderung akan membahas masalah seks dengan temannya atau mencari melalui buku dan bahkan melakukan percobaan dengan jalan masturbasi, bercumbu, atau bersenggama (Hulrock, 1980, h.226 dalam Windy 2009). Maka dari itu, perilaku seksual menjadi suatu hal yang wajar terjadi dalam masa perkembangan remaja (Miron & Miron, 2006).


(51)

5. Remaja dan Relasi Berpacaran

Salah satu tanda seseorang memasuki masa remaja adalah dengan terbentuknya relasi romantis dengan orang lain atau relasi berpacaran (Collins, Welsh, Furman, 2009). Dorongan untuk membentuk relasi romantis atau berpacaran dengan orang lain memang secara alami sudah ada dalam diri remaja karena hal tersebut merupakan salah satu tugas perkembangan dalam masa remaja (Hulrock, 1978; Sullivan dalam Steinberg 2002). Hubungan pacaran bukan hanya sekedar menghabiskan waktu bersama atau melakukan kegiatan bersama, melainkan ada unsur rasa senang dan bergelora yang timbul ketika bertemu dengan pasangan (Gunarsa & Gunarsa, 2012). Ketika dua orang remaja menghasbiskan waktu bersama dan melakukan suatu kegiatan hanya berdua, belum tentu mereka menjalin relasi berpacaran. Istilah relasi berpacaran merujuk pada hubungan timbal balik yang berjalan dengan sukarela dan ditandai dengan adanya ekspresi afeksi yang mendalam. Dikatakan demikian karena jika dibandingkan dengan relasi pertemanan, hubungan pacaran lebih memiliki intensitas dan keintiman khusus (Collins, Welsh, Furman, 2009).

Hubungan pacaran mendasari banyak tujuan pada masa remaja. Pada masa remaja awal, memiliki pacar identik dengan perasaan ingin dilihat oleh orang lain atau ingin terkenal diantara teman sebayanya. Namun, berbeda halnya pada remaja akhir yang lebih mengedepankan unsur emosional. Berpacaran merupakan sebuah langkah untuk


(52)

membangun kemandirian emosional dari orang tua, mengembangkan kelekatan dengan individu selain orang tua, mengembangkan identitas gender lebih lanjut, dan mempelajari orang lain sebagai pasangan (Steinberg, 2002). Selain itu, berpacaran juga merupakan usaha untuk mengenal lebih dalam demi menambah pengetahuan tentang pribadi pasangan sebelum keduanya terikat dalam tali perkawinan (Viasti, 2014). Menurut Loevinger (dalam Viasti, 2014), hubungan pacaran diawali dengan munculnya rasa tertarik dalam diri individu pada orang lain yang ingin dijadikan pasangan. Rasa tertarik tersebut kemudian berkembang dan memunculkan keinginan untuk melakukan tindakan pendekatan sebagai upaya pengenalan lebih jauh yang berupa berkencan. Selama berkencan, remaja akan melakukan berbagai kegiatan bersama sebagai bentuk dari proses pendekatan, termasuk terlibat dalam perilaku seksual.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa remaja yang berpacaran adalah remaja yang sedang menjalin relasi timbal balik yang sifatnya intim dan intens dengan orang lain yang ditandai dengan adanya proses untuk saling mengenal dan memahami lebih dalam melalui interaksi atau kegiatan yang dijalani bersama dan juga ditandai dengan perasaan senang atau bahagia yang mendalam ketika bersama.

6. Faktor yang Menyebabkan Perilaku Seksual Pada Remaja

Faktor yang menyebabkan perilaku seksual pada remaja menurut Sarwono 2011, hal 188-205 :


(53)

1) Pengetahuan

Pada umumnya, seseorang yang memasuki usia remaja pengetahuan tentang kesehatan reproduksi tergolong masih kurang. Padahal, kematangan seksual remaja sudah hampir berkembang secara lengkap. Selain itu, kurangnya pengarahan dari orang tua yang mentabukan dan mengambil jarak mengenai seks atau kesehatan reproduksi khususnya tentang akibat-akibat perilaku seks pranikah, membuat mereka sulit mengendalikan rangsangan-rangsangan yang muncul dari dirinya karena fantasi yang mereka buat atau pengaruh lingkungan. Ditambah lagi, banyak kesempatan untuk melihat pornografi melalui media massa yang membuat mereka melakukan perilaku seksual secara bebas tanpa mengetahui risiko-risiko yang dapat terjadi seperti kehamilan yang tidak diinginkan dan penyebaran penyakit menular seksual.

2) Meningkatnya libido seksual

Seorang remaja akan menghadapi tugas-tugas perkembangan yang berkaitan dengan fisik dan peran sosial pada dirinya. Tugas-tugas perkembangan tersebut antara lain, menerima kondisi fisik, memanfaatkan teman sebaya dengan berbagai jenis kelamin, menerima peran seksual masing-masing, dan mempersiapkan perkawinan (Jensen, 1985:44-45). Di dalam upaya mengisi peran sosial tersebut, seorang remaja mendapatkan motivasi dari meningkatnya energi seksual atau libido. Menurut Freud, energi


(54)

seksual ini berkaitan erat dengan kematangan fisik. Kematangan fisik yang dicapai remaja akan diikuti dengan meningkatnya aktivitas seksual pada usia-usia dini.

3) Media informasi

Teknologi saat ini yang semakin canggih seperti, internet, majalah, atau televisi, membuat penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa menjadi lebih mudah. Remaja memiliki sikap cenderung ingin tahu, ingin mencoba-coba, dan ingin meniru apa yang dilihat atau didengarnya. Padahal, informasi yang didapatkannya dari berbagai sumber termasuk teman sebayanya belum tentu benar dan hanya sedikit remaja yang mau membicarakan informasi mengetahui masalah seksual yang didapatkannya secara lengkap kepada orang tuanya.

4) Penundaan usia perkawinan

Norma-norma yang ada seperti agama, adat, atau hukum yang berlaku membuat batasan-batasan bagi remaja untuk menyalurkan hasrat seksualnya dalam ikatan perkawinan yang sah. Misalnya saja, norma agama tidak memperbolehkan berhubungan seksual seperti suami istri sebelum menikah. Tetapi, sepasang muda mudi secara hukum boleh menikah setelah laki-laki dan perempuan mencapai batasan usia tertentu. Remaja yang tidak dapat menahan diri akan mempunyai kecenderungan melanggar larangan tersebut.


(55)

5) Orang tua

Masih banyak orang tua yang menganggap seks adalah nafsu dan bertentangan dengan moralitas yang ada. Hal ini mengakibatkan kurangnya komunikasi orang tua dengan anak terkait masalah seks. Bahkan, orang tua yang tidak tahu cenderung menabukan pembicaraan tentang seks dan membuat jarak dengan anak. Akibatnya, pengetahuan remaja tentang seksualitas sangat kurang. Padahal peran orang tua sangatlah penting, terutama dalam hal pemberian pengetahuan tentang seksualitas.

6) Pergaulan semakin bebas

Gejala ini banyak terjadi di kota-kota besar karena kebebasan dalam pergaulan antar jenis dapat dengan mudah terjadi dan disaksikan di kota-kota besar. Rex Forehand (1997) mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pemantauan orang tua terhadap anak remajanya, semakin rendah kemungkinan perilaku menyimpang yang menimpa remaja. Selain itu, komunikasi dan tingkat kepercayaan yang baik antara anak dengan orang tua membuat anak lebih mampu bercerita dengan orang tua dan orang tua dapat memantau pergaulan anaknya.

Dawson, Shih, Moor, dan Shrier (2008), melihat faktor yang menyebabkan remaja terlibat dalam perilaku seksual dari segi tujuan remaja itu sendiri. Tujuan remaja terlibat dalam perilaku seksual dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu aspek fisik, psikis, dan interpersonal.


(56)

Selain menjadi mekanisme melanjutkan keturuanan, mendapatkan kepuasan secara fisik merupakan tujuan dari perilaku seksual. Dalam hubungan seksual, kepuasan fisik dirasakan baik oleh perempuan maupun laki. Akan tetapi, berdasarkan penelitian sebelumnya laki-laki lebih banyak disebutkan sebagai pihak yang menjadikan kepuasan fisik sebagai tujuan utama untuk berhubungan seksual dibandingkan perempuan (Brigman & Knox, 1992; Browning et al., 2000; Meston & Buss, 2007; Randolph & Winstead, 1988).

Tujuan lain terkait dengan kondisi psikologis. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa bahwa seseorang, terutama remaja, yang menunjukkan gejala psikologis cenderung menggunakan hubungan seksual sebagai media untuk regulasi emosi mereka (Cooper dkk., 1998; Cooper dkk., 2000; Wills & Hirky, 1996; Wills dkk., 1999). Gejala psikologis yang dimaksud terkait dengan melakukan hubungan seksual karena perasaan cinta pada pasangan, perasaan romantisme yang dominan (Rosenthal, dkk, 2001), dan harga diri yang rendah. Seseorang dengan harga diri yang rendah cenderung melakukan hubungan seksual sebagai media coping untuk mengatasi perasaan negatif seperti cemas dan depresi yang muncul dalam diri mereka. (Dawson, Shih, Moor, dan Shrier, 2008).

Perilaku seksual juga memiliki keterkaitan dengan hubungan interpersonal. Terlepas dari kepuasan fisik yang didapatkan, seks bukan hanya perkembangan dan fungsi primer dari tubuh saja, tetapi juga


(57)

termasuk gaya dan cara berperilaku kaum laki-laki dan perempuan dalam hubungan interpersonal atau sosial. Weinstein dan Rosen (1991) dalam Dawson, Shih, Moor, dan Shrier, (2008) berpendapat bahwa kebutuhan untuk membangun hubungan interpersonal yang intim merupakan bagian dari perkembangan kehidupan manusia. Kebutuhan tersebut tidak hanya berhenti pada membangun persahabatan dengan orang lain, tetapi berkembang menjadi perasaan cinta kepada pasangan untuk membangun relasi romantis. Perilaku seksual sering kali menjadi media untuk meningkatkan intimasi dengan pasangan, memuaskan pasangan, atau mendapatkan afeksi dari pasangan (Copper dkk, 1998).

Dengan melihat berbagai faktor yang menyebabkan perilaku seksual pada remaja, dapat disimpulkan bahwa ada dua faktor besar yang mempengaruhi remaja untuk terlibat perilaku seksual, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal terkait dengan pengetahuan remaja, meningkatnya libido seksual saat masa remaja, perasaan cemas atau depresi, perasaan ingin dicintai, dan kepuasan. Faktor ekternal terkait dengan media informasi, orang tua, pergaulan bebas, dan relasi romantis dengan pasangan.

C. KELAKATAN TERHADAP IBU

1. Definisi Kelekatan

Kelekatan adalah ikatan emosional yang terbentuk antara dua orang yang selalu memiliki kedekatan dan menawarkan keamanan fisik serta


(58)

psikologis (Santrock, 2002). Kelekatan dibentuk sejak bayi dan menjadi dasar dalam membentuk relasi dengan orang lain (Santrock, 2002). Selain itu, menurut Bowlby (1969,1979) kelekatan adalah suatu ikatan emosional yang terbentuk antara bayi dan pengasuhnya dan hubungan ini akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia. Kelekatan sendiri lebih umum terjadi pada ibu, karena ibu dianggap sebagai figur yang dapat memberikan kepuasan oral atau kebutuhan akan ASI pada bayi (Freud dalam Santrock, 2002; Ainsworth dalam King, 2010).

Pola kelekatan secara luas dicirikan sebagai aman dan tidak aman (Ainsworth, Blehar, Waters, & Wall, 1978, dalam Peluso, Peluso, White, & Kern, 2004). Pola aman terlihat ketika bayi mencari dan menerima perlindungan, jaminan, dan kenyamanan dari pengasuh. Pola kelekatan yang aman menjadi dasar akan rasa aman untuk mengeksplorasi lingkungannya. Sedangkan pola tidak aman berkembang ketika kelekatan dipenuhi oleh penolakan, inkonsistensi, atau bahkan ancaman dari sosok pengasuh, seperti meninggalkan bayi sehingga menimbulkan kecemasan pada bayi.

2. Mekanisme Terjadinya Kelekatan dengan Ibu

Kelekatan dengan ibu di tahun pertama menyediakan dasar yang sangat penting bagi perkembangan seseorang di kemudian hari. Bowlby (1969) berteori bahwa bayi dan ibunya secara naluriah menjalin kelekatan. Bowlby (dalam Eliasa 2001) juga percaya bahwa perilaku awal sudah diprogam secara biologis. Bayi yang baru lahir secara alami dibekali untuk


(59)

merangsang ibu untuk memberikan tanggapan melalui tangisan, memegang erat, tersenyum, atau menggumam. Bahkan, bayi akan merangkak atau berjalan mendekat dengan tujuan agar bayi selalu berada di dekat ibunya. (Bowlby, 1969 dalam King, 2010). Ibu yang tanggap, akan segera memberikan perlindungan atau kebutuhan bagi bayinya.

Sebaliknya bayi juga dipersiapkan untuk merespon tanda, suara dan perhatian yang diberikan ibu. Hasil dari respon biologis yang terprogram ini adalah anak dan ibu akan mengembangkan hubungan kelekatan yang saling menguntungkan (mutuality attachment) dan memunculkan tingkah laku lekat diantara keduanya. Tingkah laku lekat merupakan bentuk perilaku yang dihasilkan dari usaha seseorang untuk mempertahankan kedekatan dengan seseorang yang dianggap mampu memberikan perlindungan dari ancaman lingkungan terutama saat seseorang merasa takut, sakit, atau terancam (Eliasa, 2001).

Proses ini akan meningkatkan hubungan ibu dan anak dan anak akan menyimpan pengetahuannya mengenai suatu hubungan khususnya pengetahuan mengenai keamanan dan bahaya dalam mekanisme yang disebut internal working model. Internal working model selanjutnya akan menggiring dan menentukan perilaku dan perasaan anak dalam berinteraksi di masa depan di luar pengalaman sadar. Anak yang memiliki ibu yang mencintai, dapat memenuhi kebutuhannya, dan memberikan perlindungan akan mengembangkan model hubungan yang positif yang didasarkan pada rasa percaya (trust). Tetapi, anak yang memiliki ibu tidak


(60)

tanggap akan mengembangkan model hubungan yang negatif dan penuh kecurigaan (mistrust) sehingga membuat anak menjadi pencemas serta kurang mampu menjalin hubungan sosial.

3. Aspek Kelekatan

Aspek kelekatan anak terhadap ibu terbagi menjadi tiga yaitu kepercayaan, komunikasi, dan keterasingan (Greenberg, 2009).

a) Kepercayaan

Suatu rasa percaya memerlukan kenyamanan fisik dan sejumlah kecil rasa khawatir dan pemahaman akan masa depan (Santrock, 2002). Kepercayaan yang terbentuk pada bayi akan membuatnya melihat dunia sebagai suatu tempat tinggal yang aman, baik dan menyenangkan (Erickson, 1968 dalam Santrock 2007).

b) Komunikasi

Komunikasi merupakan interaksi antara anak dengan pengasuh yang melibatkan sentuhan kasih sayang dan perhatian serta mendengarkan cerita anak secara penuh (Zolten & Long, 2006, dalam Putri 2014). c) Keterasingan

Perasaan keterasingan adalah suatu perasaan yang dapat muncul karena adanya penolakan dan pengabaian dari orang tua. Selain itu, perceraian yang terjadi pada orang tua juga menjadi salah satu penyababnya. Hal tersebut yang menimbulkan jarak secara emosional antara anak dengan ibu (Garber, 2004).


(61)

4. Dampak

Kelekatan yang terbentuk terhadap ibu memiliki dampak dalam kehidupan anak, antara lain :

a. Rasa percaya yang timbul karena kelekatan aman yang terbentuk antara anak dengan ibu dapat menyebabkan anak mampu mengeksplorasi lingkungan secara optimal, akibatnya perkembangan perilaku, emosi, sosial, kognitif dan kepribadian anak juga akan menjadi optimal (Stams dkk,2002).

b. Secara akademis, seorang anak yang mempunyai kelekatan aman

memperoleh nilai yang lebih baik dan terlibat aktif dalam kegiatan di sekolahnya (Eliasa 2001).

c. Komunikasi antara anak dengan ibu yang dibangun dengan penuh kehangatan membuat anak lebih mudah untuk menceritakan segala hal sehingga dapat membantu anak dalam menentukan perilakunya saat ini atau di masa yang akan datang (Aspy dkk, 2007).

d. Alienasi atau keterasingan yang dilakukan oleh orang tua berperan penting dalam terbentuknya kelekatan anak (Lowenstein, 2010 dalam Damanik 2014). Rasa keterasingan menyebabkan anak rentan terhadap penyalahgunaan narkoba, penggunaan alkohol (Sutherland, 2011), harga diri yang rendah, depresi, kehilangan kepercayaan, tidak mengenali diri, dan bahkan sulit untuk mempertahankan suatu hubungan (Baker, 2005 dalam Putri 2014).


(62)

5. Jenis Kelekatan

Jenis kelekatan ini berdasarkan aspek-aspek kelekatan terhadap ibu yang dikembangkan oleh Armsden dan Greenberg (1987), yaitu kepercayaan, komunikasi dan pengasingan. Jenis-jenis dari kelekatan tersebut adalah :

a) Kelekatan aman yang tinggi

Kelekatan aman yang tinggi terhadap ibu terjadi apabila tingkat keterasingan dari ibu rendah, sedangkan tingkat kepercayaan dan komunikasi terhadap ibu tinggi atau sedang (Armsden & Greenberg, 1987).

b) Kelekatan aman yang rendah

Kelekatan aman yang rendah terhadap ibu terjadi apabila tingkat keterasingan dari ibu tinggi, sedangkan tingkat kepercayaan dan komunikasi terhadap ibu itu tinggi atau sedang. Kelekatan aman yang rendah terhadap ibu juga dapat terjadi jika salah satu dari aspek kepercayaan atau komunikasi berada pada tingkat rendah, sedangkan aspek keterasingan dari ibu berada pada tingkat yang tinggi (Armsden & Greenberg, 1987).

6. Pengukuran Kelekatan

Berikut ini adalah beberapa instrumen yang mengukur kelekatan terhadap significant-others :

a. The Parental Bonding Instrument (Parker dkk, 1979) melihat kelekatan melalui dua aspek yaitu pemeliharaan orang tua (parental


(63)

nurturance) dan perlindungan berlebih dari orang tua (parental overprotection). Kedua aspek tersebut diukur berdasarkan ingatan pada pengalaman pengasuhan yang dialami seseorang pada masa remaja. b. The Experiences in Close Relationships Scale–Revised (ECR–R)

Questionnaire (Fraley, Waller, & Brennan, 2000), adalah instrumen yang mengukur kegelisahan (attachment anxiety) atau kecemasan dan penghindaran (attachment avoidance) dalam kelekatan.

c. The Adult Attachment Interview (AAI; George, Kaplan, & Main, 1996), adalah pengukuran kelekatan dengan metode wawancara berfokus pada ingatan akan pengalaman masa kecil yang terbentuk dengan orang tua. Tingkat kelekatan diukur dengan melihat tiga aspek yaitu Secure, Dismissing, dan Preoccupied berdasarkan sistem yang dibentuk oleh Main dan Goldwyn (1998).

d. The Attachment Concerns Questionnaire (ACQ, Mayseless, Danielli, & Sharabany, 1996), adalah alat ukur yang didesain untuk melihat pola kelekatan pada masa dewasa. Alat ini diadaptasi dari kuesioner

kelekatan milik Collins dan Read’s (1990). Kelekatan diukur berdasarkan lima aspek yaitu Fear of dependency, Fear of Closeness, Fear of Abandonment, Caregiving, dan Control.

e. Inventory of Parent and Peer Attachment (Mother Version) (Greenberg & Armsden, 2009). IPPA-M adalah alat ukur yang dikembangkan untuk melihat persepsi remaja baik positif dan negatif terhadap dimensi afektif dan kognitif dari hubungan mereka dengan orang


(64)

tuanya, terutama sejauh mana figur ibu menjadi sumber rasa aman secara psikologis. IPPA mengukur tiga dimensi yaitu tingkatan mutual dari rasa percaya, kualitas komunikasi, dan tingkat rasa marah (keterasingan) (Greenberg & Armsden, 2009).

Berdasarkan beberapa alat ukur di atas, peneliti memilih Inventory of Parent and Peer Attachment (Mother Version) (Greenberg & Armsden, 2009). Peneliti memilih IPPA-M karena skala ini memiliki nilai konsistensi internal yang tinggi (α=.87). Selain itu, skala ini telah teruji reliabilitasnya dengan metode test-retest yang dilakukan 3 minggu dan menunjukkan korelasi yang tinggi (r=.93). Selain itu, skala ini secara spesifik dapat mengungkapkan dimensi afektif dan kognitif remaja terhadap ibu yang dilihat dari 3 dimensi yaitu tingkat kepercayaan ibu terhadap anak, kualitas komunikasi ibu terhadap anak, dan keterasingan yang dirasakan anak karena perlakuan ibunya (Greenberg & Armsden, 2009).

D. Dinamika Antara Kelekatan Terhadap Ibu dengan Perilaku Seksual dan Rentang Usia

Bowlby menggambarkan kelekatan sebagai sistem kontrol motivasi yang memiliki tujuan untuk mengusahakan keselamatan dan perasaan aman pada masa bayi dan kanak-kanak melalui hubungan anak dengan ibu (Bowlby, 1969). Dalam mengusahakan keselamatan dan perasaan aman, bayi akan menunjukkan perilaku seperti menangis, memanggil, menempel,


(65)

mencari, dan perilaku lainnya. Perilaku tersebut muncul pada saat muncul bahaya atau bayi merasa stress. Ibu yang responsif, akan selalu ada untuk melindungi dan menghibur ketika ancaman atau stressor itu datang. Hal tersebut akan menghasilkan kedekatan serta kontak dengan ibu. Anak yang memiliki orang tua, terutama ibu, yang mencintai dan dapat memenuhi kebutuhannya akan mengembangkan model hubungan yang positif dan kelekatan yang didasarkan pada rasa percaya (trust). Kebutuhan anak yang terpenuhi secara intensif, konsisten, dan kelekatan aman dengan ibu akan menjadi dasar bagi anak untuk mengembangkan internal working model yang aman dimana anak merasa bahwa dirinya berharga dan diterima (Bowlby, 1969, 1973, 1980; Sroufe, 1990).

Menurut Bowlby (1973), seorang anak yang tumbuh dengan kelakatan aman dan memiliki internal working model yang aman ketika bayi, memiliki konsep diri, keyakinan, dan kepercayaan dalam dirinya bahwa dia adalah pribadi yang dicintai dan dapat mencintai. Anak dengan pribadi seperti ini cenderung mengembangkan resiliensi diri yang seimbang dan mampu untuk menempatkan dirinya ketika menjalin ikatan emosional dengan orang lain saat beranjak dewasa. Selanjutnya, secara terus-menerus anak akan mengembangkan model yang serupa dalam dirinya. Model ini selanjutnya akan digeneralisasikan anak dari orang tua pada orang lain, misalnya pada guru dan teman sebaya. Anak akan berpendapat bahwa guru dan teman adalah orang yang dapat dipercaya (Eliasa, 2001).


(66)

Sebaliknya, jika kebutuhan anak tidak terpenuhi atau mendapat penolakan dari orang tua, maka anak akan mengembangkan rasa curiga (mistrust), terasing, cemas, sedih, depresi, dan bahkan rasa marah (Bowlby 1969/1982, 1973, 1980). Hal ini akan menjadi dasar terbentuknya internal working model yang tidak aman dan hal ini dapat membuat anak merasa takut serta ragu bahwa ia akan diterima dan didukung oleh sekitarnya (Bowlby, 1969, 1973, 1980; Sroufe, 1990). Anak yang tumbuh dengan kecurigaan juga akan menjadi pencemas dan kurang mampu menjalin hubungan sosial (Eliasa, 2001). Anak yang tumbuh dengan penuh kecemasan seperti ini tidak memiliki konsep diri yang baik dan membuat dirinya kurang mampu menempatkan diri ketika mencari ikatan emosional di tahap selanjutnya seperti pada tahap berpacaran. Akibatnya, ketika terlibat dalam sutau hubungan sosial seperti relasi berpacaran, anak tersebut lebih rentan terlibat aktivitas seksual demi mendapatkan ikatan emosional dari pasangannya atau orang lain sebagai kompensasi dari perasaan kurang kasih sayang yang dirasakannya (Rosenthal, dkk, 2001 dalam Dawson, Shih, Moor, dan Shrier, 2008). Selain itu, ketika anak merasa cemas atau depresi mereka juga cenderung untuk melakukan perilaku seksual bahkan cenderung berisiko sebagai media untuk mengurangi perasaan-perasaan tersebut (Dawson, Shih, Moor, dan Shrier, 2008).

Berbeda halnya dengan anak yang memiliki kelekatan aman dengan ibu. Anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan dicintai sehingga anak tersebut tidak mudah terlibat dalam perilaku seksual demi mencari cinta dan kasih sayang dari pasangannya. Anak dengan kelekatan aman juga lebih baik


(67)

dalam regulasi emosi sehingga anak tersebut tidak terlibat perilaku seksual untuk mengatasi perasaan negatif yang dirasakannya. Selain itu, kelekatan yang aman pada anak memungkinkan anak menjadi lebih terbuka pada ibu, sehingga anak bisa dengan bebas menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas (Miller, Levin, Whitaker, & Xu, 1998 dalam Aspy, dkk, 2007). Ketika interaksi ini terjadi, ibu dapat berdiskusi pada anaknya untuk tidak terlibat pada perilaku seksual di usia dini sehingga anak dapat terhindar dari perilaku seksual pada masa remaja (Mathew dan Curtin, 1998 dalam Ajidahun dan Akoko, 2013; Blake, dkk, 2001). Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa anak yang dapat mendiskusikan bersama ibunya untuk tidak terlibat aktivitas seksual, mereka dapat memegang prinsip tersebut meskipun ada pengaruh dari teman sebaya atau pacar untuk ikut terlibat aktif secara seksual (Dittus & Jaccard, 2000; Whitaker & Miller, 2000). Berdasarkan penjabaran teori ini, peneliti menduga bahwa kelekatan anak dengan ibu dapat memprediksi keterlibatan remaja dalam perilaku seksual.

Kelekatan yang terbentuk dengan orang tua memang mendasari relasi seseorang dengan orang lain di masa mendatang. Akan tetapi, anak yang memasuki masa remaja mulai membentuk ikatan baru dengan figur lekat selain orang tua, yaitu dengan teman sebaya dan pacar (Rosenthal dan Kobak, 2010). Kelekatan tersebut dimulai sejak remaja awal dan semakin menguat

pada masa remaja akhir karena pada usia ini remaja mulai

mempertimbangkan relasinya dengan teman sebaya atau pacar. Maka dari itu, usia pada remaja juga menjadi faktor yang memiliki keterkaitan dengan


(1)

Lampiran 1 : Reliabilitas Skala

a.

Reliabilitas Skala

Inventory of Parent and Peer Attachment - Mother Version

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized

Items N of Items

.770 .811 8

b.

Reliabilitas Skala Perilaku Seksual

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized

Items N of Items


(2)

Lampiran 2 : Uji Asumsi

a.

Uji Normalitas Residu

1.

Analisis Grafik

2.

Kolmogorov-Smirnov

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 322

Normal Parametersa Mean .0000000

Std. Deviation 2.36590570 Most Extreme Differences Absolute .076

Positive .068

Negative -.076

Kolmogorov-Smirnov Z 1.358


(3)

b.

Uji Linearitas Residu

c.

Uji Homoskesdatisitas

1.

Analisis Grafik

2.

Uji Statistik S

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 2.495 1 2.495 2.237 .136b

Residual 356.976 320 1.116


(4)

Lampiran 3 : Uji Hipotesis Regresi

Variables Entered/Removeda

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method

1 TS_IPPA_Mb . Enter

a. Dependent Variable: TS_PS b. All requested variables entered.

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .078a .006 .003 2.36960

a. Predictors: (Constant), TS_IPPA_M

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 11.064 1 11.064 1.970 .161b

Residual 1796.801 320 5.615 Total 1807.865 321

a. Dependent Variable: TS_PS b. Predictors: (Constant), TS_IPPA_M

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 13.692 .993 13.789 .000

TS_IPPA_M -.016 .011 -.078 -1.404 .161


(5)

Lampiran 4 : Uji Hipotesis Korelasi

a.

Subjek Remaja 10-18 Tahun

Correlations

TS_IPPAM TS_PS TS_IPPAM Pearson Correlation 1 .118

Sig. (1-tailed) .104

N 115 115

TS_PS Pearson Correlation .118 1

Sig. (1-tailed) .104

N 115 115

b.

Subjek Remaja 19-22 Tahun

Correlations

TS_IPPA_M TS_PS TS_IPPA_M Pearson Correlation 1 -.184**

Sig. (1-tailed) .004

N 207 207

TS_PS Pearson Correlation -.184** 1

Sig. (1-tailed) .004

N 207 207


(6)

Lampiran 5 : Deskripsi Data Penelitian

a.

Deskripsi data penelitian pada seluruh subjek

Variabel

Mean

N

Empiris

Teoritis

Kelekatan Terhadap Ibu

87.7

75

322

Perilaku Seksual

12.31

12

322

b.

Deskripsi data penelitian pada subjek berusia 10 sampai 18 tahun

Variabel

Mean

N

Empiris

Teoritis

Kelekatan Terhadap Ibu

82.64

75

115

Perilaku Seksual

12.13

12

115

c.

Deskripsi data penelitian pada subjek berusia 19 sampai 22 tahun

Variabel

Mean

N

Empiris

Teoritis

Kelekatan Terhadap Ibu

82.64

75

115