71
ke tingkat diatasnya sampai ketingkat raja di pamatang. Sistem peradilan ini hanya ditemukan di Simalungun, tidak ada di Toba atau daerah Batak lainnya.
51
Keputusan akhir berada ditangan raja sebagai hakim pemutus perkara. Istilah ini diterjemahkan sebagai kesatuan administrasi kampung yang disebut dengan
Nagori yang dikepalai oleh Pangulu kepala desa dengan membawahi gamot kepala dusun dalam sistem admisnistrasi pemerintahan nagori di Kabupaten
Simalungun.
52
Pembagian kekuasaan distribution of power yang diterapkan di Indonesia melalui lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif telah dimulai sejak Indonesia
merdeka pada tahun 1945. Sebagai negara yang baru merdeka , proses membentuk lembaga-lembaga tinggi negara bukanlah hal yang mudah.
Pembagian kekuasaan dan sistem pemerintahannya tidaklah langsung berjalan dengan sempurna, namun berbagai perubahan demi perubahan dicapai untuk
Istilah-istilah dalam administrasi pemerintahan nagori tersebut kemudian disahkan dengan dikeluarkannya Perda no. 13 tahun 2006 tentang nagori.
Disamping penggunaan kata nagori, pangulu dan gamot dalam administrasi pemerintahan nagori pengubahan nama juga dilakukan untuk sebutan perangkat
nagori yang diganti menjadi “ tungkot nagori” dan juga Badan Permusyawaratan Desa menjadi “maujana nagori”.
II.7 Fase Historis Pemerintahan Daerah
51
J. C. Vergowen. 2004. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba terjemahan. Yogyakarta: Lkis. Hlm. 130
52
Ibid. Hal. 40
72
mencapai hasil yang lebih baik. Untuk mengetahui perubahan terhadap hubungan pangulu dengan maujana nagori, berikut dipaparkan:
Pada masa orde baru penyelenggaraan pemerintahan desa masih bersifat sentralistik dimana kepala desa sebagai pusat kekuasaan dalam pelaksanaan
pemerintahan desa. Dengan ditetapkannya UU nomor 5 tahun 1979 maka penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa bercorak nasional yang
menjamin terwujudnya demokrasi pancasila dengan dibentuknya Lembaga Musyawarah Desa LMD sebagai lembaga legislatif yang disamping sebagai
sarana demokratisasi didalam desa juga difungsikan sebagai pengontrol terhadap kinerja kepala desa dengan perangkatnya dalam pelaksanaan pemerintahan desa.
53
Berdasarkan pasal 17 UU nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, keanggotaan Lembaga Musyawarah Desa terdiri dari kepala-kepala dusun,
Dalam UU nomor 5 tahun 1979 disebutkan bahwa masa jabatan kepala desa adalah 8 delapan tahun terhitung sejak tanggal pelantikannya dan dapat diangkat
kembali untuk 1 satu kali jabatan berikutnya. Penetapan masa jabatan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tenggang waktu tersebut dianggap cukup
lama bagi seorang kepala desa untuk dapat menyelenggarakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik dan cukup untuk memberikan jaminan
terhindarnya perombakan-perombakan kebijaksanaan sebagai akibat dari pergantian-pergantian kepala desa.
53
Drs. A. W. Widjaja. 1993. Pemerintahan Desa dan Administrasi Desa Menurut UU Nomor 5 Tahun 1979 Sebuah Tinjauan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hal. 18
73
pimpinan lembaga-lembaga kemasyarakatan, pemuka-pemuka masyarakat desa yang yang ditunjuk dan atas persetujuan kepala desa dengan diketuai oleh kepala
desa karena jabatannya ex. Officio dan sekretaris desa sebagai sekretaris Lembaga Musyawarah Desa karena jabatannya ex. Officio. Sehingga kepala desa
pada saat itu sangat berkuasa dengan mempertanggungjawabkan tugas-tugasnya kepada bupati melalui camat.
54
Berkaitan dengan penyeragaman struktur pada masa orde baru selain dibentuk Lembaga Musyawarah Desa, dibentuk juga Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa sebagai penyempurnaan dan peningkatan Fungsi Lembaga Sosial Desa sesuai dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik
Indonesia nomor 28 tahun 1980. Namun kembali lagi sama seperti LMD, LKMD Sehingga Lembaga yang seharusnya bernaung
untuk lebih berpihak dan untuk mengutamakan kepentingan masyarakat malah diisi oleh elit-elit desa yang cenderung berpihak kepada pemerintahan.
Melihat ketua LMD dan sekretaris LMD yang diduduki oleh kepala desa dan sekretaris desa, maka tugas LMD sebagai lembaga pengontrol kinerja kepala
desa dan perangkatnya dalam menyelenggarakan pemerintahan desa secara otomatis tidak dapat berjalan dengan baik. Sehingga pada masa orde baru sangat
memungkinkan bagi pemerintah untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Disinilah tampak secara nyata bagaimana sistem
pemerintahan desa yang bersifat sentralistik pada masa orde baru.
54
AAGN Ari Dwipayana, Suroto Eko. 2003. Membangun Good Governance di Desa. Salatiga: Pustaka Percik. Hal. 56
74
juga diisi oleh kaum elit-elit desa, dimana kepala desa menjabat sebagai ketua LKMD karena jabatan ex. Deficio dan yang menjadi anggota LKMD harus atas
persetujuan kepala desa. Dalam hal ini semakin tampak sistem pemerintahan di tingkat desa yang sentralistik dan monolitik yang berdampak buruk terhadap
sistem pemerintahan desa. Sejak bergulir era reformasi yang terjadi tahun 1998, maka pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang pedoman
umum desa sebagai aturan hukum pelaksananya yang isinya mengatur pemerintahan daerah termasuk pemerintahan desa dimana kekuatan otonomi
dikembalikan lagi sesuai dengan porsi yang sebenarnya. Desa dalam Undang- Undang ini diberikan otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab untuk mengurus
rumah tangganya. Pemerintahan desa dalam hal ini tidak bertanggungjawab kepada Camat tetapi langsung kepada Bupati dan susunan pemerintah desa dalam
hal ini terdapat unsur Badan Perwakilan Desa sebagai alat control yang diambil dari unsur masyarakat masing-masing desa.
Dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah merupakan upaya yang dilakukan untuk mengubah sistem pemerintahan yang
awalnya bersifat sentralistik menjadi semakin demokratis dengan melakukan pemisahan kekuasaan antara Badan Perwakilan Desa dengan kepala desa. BPD
hadir untuk menggantikan Lembaga Musyawarah Desa yang bertujuan untuk membatasi kekuasaan kepala desa yang independen dari perwakilan elit-elit desa
75
yang dipilih oleh warga desa sesuai dengan UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta diharapkan dapat berperan sebagai kekuatan
pengontrol dan penyeimbang check and balances kepala desa. Sama dengan LMD, BPD bertugas sebagai pengontrol kinerja kepala desa dan perangkatnya
dalam menyelenggarakan pemerintahan desa. Tetapi dalam perjalanan paruh waktu, pada tahun 2004 Undang-Undang ini
diubah dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dimana substansi materi otonomi desa lebih disempurnakan
sedangkan pada hal terkait pemerintahan desa terjadi perubahan pada unsur Badan Perwakilan Desa yang menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Karena selama ini
dalam banyak kasus, kenyataan yang terjadi anggota Badan Perwakilan Desa dianggap terlampau jauh mancampuri urusan pemerintahan kepala desa dan
perangkat desa. Dimana terjadinya kecenderungan BPD bukan tampil sebagai wakil rakyat , melainkan sebagai oligarki baru. BPD hanya merupakan
representase dari elit-elit desa yang memegang kekuasaan daripada memperjuangkan permasalahan yang dihadapi masyarakatnya, BPD lebih tertarik
untuk mengurusi isu-isu strategis yang dapat menjatuhkan kepala desa. Sehingga dalam UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
dilakukan pemangkasan terhadap fungsi BPD, yakni BPD tidak memiliki pengawasan terhadap kinerja pemerintahan desa dan juga BPD tidak dapat
mengusulkan pemecatan kepala desa kepada bupati.
76
Adapun perbedaan antara BPD dalam UU nomor 22 tahun 1999 dengan UU nomor 32 tahun 2004 dapat dilihat dalam tabel berikut:
55
No Badan Perwakilan
Desa UU No. 22 tahun 1999
Badan Permusyawaratan Desa UU No. 32 tahun
2004 1
Keanggotaan Dipilih dari dan oleh penduduk desa yang
memenuhi persyaratan Wakil-wakil dari penduduk
desa yang ditetapkan secara musyawarah dan mufakat
2
Fungsi Mengayomi adat
istiadat, membuat peraturan
desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat, serta
melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan desa
Menetapkan peraturan desa bersama kepala desa ,
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
55
Heru Cahyono. 2005. Konflik Elit Politik Pedesaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 368
77
3
Posisi Politik Sangat kuat • Dapat mengusulkan
pemberhentian kepala desa kepada
bupati • Kepala desa
bertanggung jawab kepada rakyat
melalui BPD • Bersama kepala
desa menetapkan APBD
• Bersama kepala desa menetapkan
tata cara dan pungutan obyek
pendapatan dan belanja desa
Lemah • BPD tidak memiliki fungsi
pengawasan • BPDtidak dapat
mengusulkan pemberhentian kepala desa
kepada bupati • Kepala desa tidak lagi
bertanggung jawab kepada rakyat melalui BPD
• BPD tidak memiliki kewenangan dalam
pengelolaan keuangan desa, termasuk penetapan APBD
dan penetapan tata cara dan pungutan obyek pendapatan
dan belanja desa
78
BAB III ANALISIS HUBUNGAN POLITIK ANTARA PANGULU DAN
MAUJANA NAGORI
III. 1 Penyelenggaraan Pemerintahan Nagori Tiga Ras