membayakan bayi laki-laki. Selanjutnya, adanya pengaruh lingkungan pada semua status gizi merupakan faktor yang lebih memperberat
kondisi laki-laki terhadap kasus kematian Wells, 2000. Selain itu, menurut penelitian kualitatif diketahui bahwa anak
laki-laki ono matua dianggap lebih berharga dibandingkan dengan anak perempuan pada suku Nias. Hal ini disebabkan karena suku Nias
menganut sistem patrilinear, yakni garis keturunan yang diikuti adalah dari pihak laki-laki sehingga anak laki-lakilah yang akan meneruskan
keturunanmarga ngaötömado keluarga dan juga mengurus harta atau warisan yang dimiliki keluarga. Selain itu, sebagian besar anak
laki-laki yang sudah menikah tinggal bersama dengan orang tua sehingga kelak ketika orang tua sudah tidak bisa bekerja lagi maka
anak laki-laki inilah yang akan mengurus orang tuanya. Sehingga para ibu terus hamil sampai akhirnya berhasil mendapatkan anak laki-laki
Kemenkes RI, 2012.
6.3.6 Paritas
Menurut Kamus Saku Mosby, paritas merupakan klasifikasi perempuan berdasarkan jumlah bayi lahir hidup dan lahir mati yang
dilahirkannya pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu. Pada saat hamil, rahim ibu teregang karena adanya janin. Apabila terlalu sering
melahirkan, rahim ibu akan semakin lemah. Jika ibu telah melahirkan
3 anak atau lebih, perlu diwaspadai adanya gangguan pada waktu kehamilan, persalinan dan nifas Kemenkes RI, 2011.
Pada penelitian ini, paritas dibedakan menjadi kelompok paritas 1-3 dan paritas lebih dari 3. Pengkategorian ini didasarkan pada
hasil penelitian sebelumnya Titaley, dkk., 2008 yang membagi paritas kedalam dua kelompok. Pada penelitian ini menunjukkan
bahwa ibu yang telah melahirkan lebih dari tiga anak sebesar 19,1. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
paritas dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Titaley, dkk 2008 bahwa paritas lebih dari tiga memiliki
hubungan dengan kematian neonatal. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Wijayanti 2013 yang
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara paritas dengan kematian neonatal.
Pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa kematian neonatal lebih tinggi pada ibu dengan paritas lebih dari tiga. Hasil ini
konsisten dengan penelitian Titaley 2008 di Indonesia yang menunjukkan bahwa kematian neonatal lebih tinggi terjadi pada bayi
dengan urutan kelahiran lebih dari empat dengan jarak kelahiran kurang atau sama dengan dua tahun. Bayi dengan urutan kelahiran
lebih dari tiga merupakan faktor risiko potensial terhadap kematian neonatal Chaman, dkk., 2009. Tingginya paritas berkaitan dengan
semakin melemahnya rahim ibu akibat terjadinya peregangan rahim karena keberadaan janin Kemenkes RI, 2011.
Hasil peneilitian Faisal 2010 juga menunjukkan bahwa ibu yang telah melahirkan lebih dari tiga anak mempunyai kecenderungan
untuk mengalami kejadian kematian bayi sebesar 1,66 kali dibandingkan ibu yang telah melahirkan 1-3 anak. Pada penelitian
lainnya juga menunjukkan bahwa kematian neonatal semakin meningkat pada ibu dengan paritas lebih dari tiga Kozuki, dkk.,
2013. Kozuki, dkk 2013 juga menemukan bahwa kelahiran pertama nulipara menunjukkan risiko kematian neonatal yang lebih tinggi.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa ibu dengan kelahiran pertama memiliki risiko yang meningkat terhadap hipertensi, BBLR dan
persalinan caesar. Ibu dengan paritas tinggi namun tidak memiliki riwayat komplikasi sebelumnya memiliki risiko yang rendah terhadap
terjadinya komplikasi Majoko, dkk., 2004. Pada penelitian ini, peneliti memasukan paritas satu kedalam
kelompok tidak berisiko berdasarkan pertimbangan terhadap penelitian-penelitian yang telah dilakukan di Indonesia. Penelitian
tersebut menunjukkan tidak ada hubungan antara paritas satu dengan kematian neonatal Rahmawati, 2007; Nugraheni, 2013. Selain itu,
penelitian lainnya menunjukkan ada hubungan antara paritas lebih dari tiga dengan kematian neonatal Faisal, 2010. Penelitian yang
dilakukan di daerah rural Iran juga menunjukkan paritas lebih dari tiga memiliki hubungan dengan kejadian kematian pada neonatal Chaman,
dkk., 2009. Hasil penelitian kualitatif pada Suku Ngalum Provinsi Papua
menemukan bahwa ibu yang hamil pada usia lebih dari 45 tahun memiliki anak rata-rata11-14 anak dengan jarak kelahiran yang
berdekatan. Namun, dengan jumlah anak yang banyak dan tingkat anemia tinggigizi kurang sehingga banyak ditemukan kasus retensio
plasenta plasenta tertahan di dalam rahim tidak keluar bersama bayi. Sehingga, ditemukan tingkat kematian ibu yang sangat tinggi pada
Suku Ngalum Kemenkes RI, 2012. Hasil penelitian kualitatif lainnya menunjukkan bahwa nilai
anak bagi orang Toraja Sa’dan sangat penting. Memiliki banyak anak masih menjadi pandangan utama bagi sebagian besar penduduk
Sa’dan. Program Keluarga Berencana KB dari pemerintah yang mengarahkan dua anak lebih baik tidak berlaku bagi orang Toraja
Sa’dan. Istilah KB bagi orang Toraja Sa’dan diubah menjadi “keluarga besar”, untuk menunjukkan banyaknya jumlah anak yang mereka
miliki. Bahkan seorang yang terpandang di Toraja menceritakan bahwa dua bukan dua orang, namun dua pasang empat orang untuk
menunjukkan anak yang beliau miliki. Ketiadaan seorang anak bagi orang Toraja Sa’dan merupakan hal yang masiri’ malu dalam
keluarga, dianggap lemah, dan dikasihani oleh keluarga luas. Bahkan, sekalipun sudah memiliki anak, tetapi baru satu, keluarga tersebut
masih dianggap belum lengkap Kemenkes RI, 2012. Padahal, hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang
bisa dilakukan untuk mengontrol jumlah kelahiran adalah penggunaan metode kontrasepsi. Penelitian yang dilakukan di Bangladesh,
menunjukkan bahwa penggunaan metode kontrasespi berhubungan dengan kejadian kematian neonatal. Pada ibu yang pernah
menggunakan metode kontrasepsi sekitar 39 lebih rendah terhadap kematian neonatal dibandingkan ibu yang tidak pernah menggunakan
metode kontrasepsi Chowdhury, dkk, 2013. Pemakaian metode kontrasepsi Contraceptive Prevalence
Rate di Indonesia menurut hasil SDKI 2012 diketahui tidak ada
perbedaan antara daerah perdesaan dengan daerah perkotaan yaitu sebesar 62. Pemakaian kontrasepsi ini mengalami peningkatan dari
tahun 2007 sebelumnya yaitu sebesar 61. Pemakaian metode kontrasepsi modern juga mengalami peningkatan dari 57 menjadi
58 BPS, BKKBN, Kemenkes ICF International, 2013. Namun, angka ini masih cukup jauh dari target MDGs 5
untuk meningkatkan pemakaian metode kontrasepsi modern sebesar 65 pada tahun 2015
Kemenkes RI, 2014.
Diantara metode KB modern, metode KB yang paling banyak digunakan wanita berstatus kawin adalah suntikan dan pil masing-
masing 32 dan 14. Peserta KB suntikan mengalami peningkatan dari 12 tahun 1991 menjadi 32 tahun 2012. Sedangkan peserta KB
IUD mengalami penurunan dari 13 tahun 1991 menjadi 4 tahun 2012. Wanita di daerah perdesaan cenderung lebih banyak
menggunakan metode suntik dibanding daerah perkotaan masing- masing sebesar 28 dan 35 sedangkan metode IUD,
MOWsterilisasi wanita dan kondom lebih banyak di gunakan di daerah perkotaan BPS, BKKBN, Kemenkes ICF International,
2013. Adapun total tingkat kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi
unmetneed wanita berstatus kawin 15-49 tahun pada SDKI 2012
sebesar 11 7 untuk membatasi kelahiran dan 4 untuk menjarangkan kelahiran. Walaupun unmetneed ini telah turun dari
13 pada SDKI 2007 menjadi 11 pada SDKI 2012 BPS, BKKBN, Kemenkes ICF International, 2013, namun angka ini masih belum
mencapai target MDGs 5 untuk menurunkan unmetneed menjadi 5 pada tahun 2015 Kemenkes RI, 2014.
Hasil penelitian kualitatif di daerah Kalimantan Tengah menemukan bahwa ibu hamil Suku Dayak Siang Murung terpaksa
tidak melakukan KB karena alat di fasilitas kesehatan tidak tersedia Kemenkes RI, 2012. Pada masyarakat suku lainnya diketahui bahwa
ibu sudah mengetahui tentang manfaat KB, namun ibu tetap ingin memiliki anak lebih dari dua. Falsafah hidup Banyak Anak Banyak
Rezeki masih diyakini beberapa warga hingga saat ini Kemenkes RI,
2012. Sehingga upaya penurunan angka kematian neonatal dengan
mengunakan strategi peningkatan pemakaian metode kontrasepsi perlu dilakukan.
Startegi pemakaian
metode kontrasepsi
selain memperhatikan aspek kelengkapan fasilitas yang dibutuhkan juga
memperhatikan aspek budayaadat masyarakat setempat.
6.3.7 Kunjungan Antenatal