Manajemen Kolaboratif TINJAUAN PUSTAKA

1. Sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu wahana kegiatan penelitian biologi dan konservasi in-situ. 2. Sebagai wahana pendidikan lingkungan, yaitu wahana untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat di sekitar kawasan taman nasional dan pengunjung atau masyarakat luas tentang konservasi. 3. Mendukung pengembangan budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa dalam rangka mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. 4. Sebagai wahana kegiatan wisata alam dalam rangka mendukung pertumbuhan industri pariwisata alam dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 5. Sumber plasma nutfah dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa sekaligus untuk mendukung upaya pelestarian kekayaan keanekaragaman hayati asli. 6. Untuk melestarikan ekosistem hutan sebagai pengatur tata air dan iklim mikro serta sumber mata air bagi masyarakat di sekitar taman nasional.

2.4. Manajemen Kolaboratif

Istilah manajemen kolaboratif dipakai secara luas dan meliputi berbagai aktifitas seperti pengelolaan hutan partisipatif, kehutanan masyarakat atau sosial, pengelolaan hutan bersama dan proyek-proyek pembangunan konservasi Fisher 1995. Manajemen kolaboratif diterapkan pada lahan dan hutan adat, swasta, Negara dan pada pengelolaan kawasan lindung. Petheram et al. 2004 mengemukakan bahwa kolaborasi adalah suatu proses yang melibatkan orang- orang yang secara konstruktif mengeksplorasi perbedaan dan tujuan mereka kemudian mencari dan mengembangkan rencana mereka untuk merubah manajemen yang menyenangkan untuk semua pihak. Fisher 1995 mengemukakan empat asumsi dalam manajemen kolaboratif yaitu: 1 penggunaan masyarakat memerlukan kontrol lokal yang terus meningkat atas penggunaan sumberdaya dan pengambilan keputusan; 2 keterlibatan stakeholders yang semakin besar akan menghasilkan taraf hidup yang lebih berkesinambungan; 3 pengakuan legitimasi atas keragaman yang berbeda- beda dan 4 pembangunan dan konservasi tidak selalu bertentangan. Mengacu pada asumsi terakhir, manajemen kolaboratif mengakui nilai-nilai lingkungan dan kebutuhan untuk menggunakan dan mengelola sumberdaya untuk menjamin kesinambungan ekologis. Berkaitan dengan keyakinan ini, masih ada peluang untuk menemukan cara mencapai tujuan ekonomi tanpa mengorbankan standar lingkungan hidup. Pengelolaan hutan secara kolaboratif dapat dipandang sebagai pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada masyarakat lokal dan pengakuan otoritas manajemen mereka secara formal. Semakin lama, masyarakat menuntut manajemen kolaboratif sebagai bagian dari gerakan politik masyarakat akar rumput, tidak peduli bagiamana kolaborasi itu diprakarsai atau dibangun, akhirnya mau tidak mau konflik harus dihadapi. Manajemen kolaborasi yang diharapkan sebagaimana adalah posisi ditengah dimana terjadi pembagian tugas dan tanggungjawab yang berimbang antara pemerintah dengan stakeholders lainnya. Ada negosiasi dalam mengambil keputusan dan mengembangkan kesepakatan-kesepakatan khusus dalam pengelolaan kawasan lindung. Manajemen kolaboratif meliputi sejumlah proses untuk membantu membangun dan memelihara seperangkat prinsip dan praktek yang sama-sama disetujui dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Pentingnya pengelolaan konflik dalam kerangka manajemen kolaboratif bervariasi dari stuasi kesituasi lain bergantung pada derajat dan skala konflik yang ada atau yang berpotensi ada. Kolaborasi pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam sangat penting dalam pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan pelestarian alam secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para pihak yang dimaksud adalah semua pihak yang memiliki minat, kepedulian, atau kepentingan dengan upaya konservasi Kawasan Pelestarian Alam, antara lain: Lembaga pemerintah pusat, Lembaga pemerintah daerah eksekutif dan legislatif, masyarakat setempat, LSM, BUMN, BUD, swasta nasional, perorangan maupun masyarakat internasional, Perguruan TinggiUniversitasLembaga PendidikanLembaga Ilmiah. Peran serta para pihak meliputi kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh para pihak yang timbul atas minat, kepedulian, kehendak dan atas keinginan sendiri untuk bertindak dan membantu dalam mendukung pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam Dephut, 2004b. Kassa 2009 mengemukakan setidaknya ada tujuh faktor kunci yang menentukan keberhasilan konsep kolaborasi dalam pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu yaitu : 1 partipasi stakeholders, 2 negosiasi, 3 konsensus, 4 batas teritori, 5 kejelasan hak dan tanggungjawab stakeholders, 6 pengakuan terhadap hak lahan adat, 7 penerapan sanksi adat.

2.5. Analisis Stakeholders